Senin, 30 November 2009

Demi Hukum dan Keadilan

Menarik juga perkembangan terakhir mengenai gonjang-ganjing kasus Bibit-Chandra. JAMPIDSUS Marwan Efendi memastikan bahwa kejaksaan negeri Jakarta Selatan akan mengeluarkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP) untuk kasus Bibit-Chandra. Menurut Jampidsus, sebagaimana dikutip DetikNews (30/11/09), sebenarnya hasil penyidikan kasus Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah menunjukkan terpenuhinya unsur penyalahgunaan wewenang yang disangkakan. Namun ada karena dua hal, yaitu secara yuridis Bibit -Chandra dinilai tidak tahu dampak perbuatannya dan secara sosiologis untuk memenuhi rasa keadilan di masyarakat, proses hukum dihentikan.


Setelah keluar SKPP dan terbit Kepres pengaktifan,Bibit-Chandra akan kembali ke KPK.

Belum jelas apa kelanjutan dari kasus ini. Polri belum menunjukkan sikap apakah akan mengajukan proses pra-peradilan atas penerbitan SKPP terebut. Namun saya tadi mendengar dalam Program Suara Anda di Metrotv bahwa Rekan Advokat Eggy Sudjana akan mengajukan gugatan Pra Peradilan jika kejaksaan mengeluarkan SKPP dalam kasus Bibit-Chandra.

Patut dicatat alasan yuridis dan sosiologis SKPP ini sangat mungkin digunakan untuk kasus lain. Para Pejabat yang cukup bukti menyalahgunakan kekuasaan dapat berdalih bahwa mereka tidak mengetahui dampak perbuatannya, meskipun mungkin secara sosiologis tidak dapat dibenarkan. Demikian juga kasus-kasus lain yang secara sosiologis sesuai dengan rasa keadilan di masyarakat, dapat dikeluarkan SKPP.

Jika benar kabar burung yang beredar di masyarakat bahwa Sri Mulyani dan Boediono telah menyalahgunakan kekuasaan dalam kasus bail-out Bank Century, keduanya dapat berkilah bahwa mereka tidak mengetahui dampak perbuatannya.Jika dalam kasus Bibit-Chandra alasan sosiologis mengemuka, maka sangat mungkin dalam kasus Bank Century alasan politis yang mengemuka. Dan meskipun mungkin kelak unsur-unsur pidana cukup untuk mengajukan Sri Mulyani dan Boediono ke pengadilan, dengan alasan yuridis dan politis perkaranya dapat dihentikan.

Minggu, 29 November 2009

Pengakuan Dosa secara Online

Masa Adven sudah tiba. Dalam masa-masa ini biasanya umat katolik mengakukan dosa agar dapat menyambut kelahiran Jesus Kritus dengan hati bersih dan sudah diampuni. Sebagaimana dinyatakan dalam Katekismus Katolik:

Dosa adalah terutama penghinaan terhadap Allah dan pemutusan persekutuan dengan Dia. Serentak pula ia merugikan persekutuan dengan Gereja. Karena itu, pertobatan mendatangkan secara serentak pengampunan Allah dan perdamaian dengan Gereja.

Biasanya umat antri untuk mengaku dosa di gereja. Mengingat banyaknya umat yang mau mengaku dosa, maka terkadang ada keengganan untuk berantri-ria menanti giliran untuk mengaku dosa. Terkadang ada juga perasaan risih untuk pergi mengaku dosa. Apalagi kalau antri dan duduk berdampingan dengan umat lain yang juga ingin mengaku dosa. Terkadang terasa seperti pesakitan yang hendak diadili di hadapan hakim. Dalam banyak hal umat juga tidak sempat untuk pergi ke gereja untuk mengaku dosa kepada Pastor. Hal ini membuat kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pengampunan dari Tuhan.

Kemajuan teknologi informasi tampaknya dapat mengatasi hal-hal semacam itu.

Internet tidak hanya digunakan kaum awam. Para rahib juga memanfaatkan internet dalam kehidupan sehari-harinya, tidak hanya dalam pekerjaannya tetapi juga dalam berinteraksi dengan masyarakat pada umumnya, dan para jemaat pada khususnya. Kita sebut saja mereka sebagai pastor gaul atau pastor online. Demikianlah kita tidak jarang melihat para pastor muncul di mailing list maupun dalam jejaring social seperti facebook dan lain-lain. Tidak jarang pula Pastor menggunakan status teman-teman di facebook sebagai material kotbahnya.

Fasilitas yang disediakan oleh para penyedia jasa komunikasi dengan pemanfaatan internet, mulai dari sarana e-mail, list-serve, chatting, dan yang sudah makin sempurna dengan adanya cam 2 cam. Hal ini dimanfaatkan oleh para Pastor untuk menjalin interaksi yang lebih intens dengan para jemaat.

Bapa Suci (Alm) Johannes Paulus II dalam pesannya berjudul "Internet: A New Forum for Proclaiming the Gospel" pada Hari Komunikasi Dunia tahun 2002, menyatakan antara lain:

For the Church the new world of cyberspace is a summons to the great adventure of using its potential to proclaim the Gospel message. This challenge is at the heart of what it means at the beginning of the millennium to follow the Lord's command to "put out into the deep”: Duc in altum! (Lk 5:4).

Menjadi pertanyaan, dapatkah para pastor ini memanfaatkan sarana-sarana yang disediakan oleh teknologi informasi untuk menjalankan pekerjaan rohaninya, yaitu melangsungkan perayaan sacramental bersama dengan jemaat. Dari sudut jemaat, dapatkah menggunakan sarana teknologi informasi ini untuk mendapatkan pengampunan dari Allah dan perdamaian dengan gereja? Pertanyaan ini juga membawa kita untuk mengisi konsep pertemanan yang dikedepankan oleh situs jejaring social, seperti facebook. Dalam hal ini menarik untuk mengutip apa yang dikatakan oleh Bapa Suci Benediktus XVI dalam pesan pada Hari Komunikasi Dunia 2009 berjudul, "New Technologies, New Relationships. Promoting a Culture of Respect, Dialogue and Friendship."
Friendship is a great human good, but it would be emptied of its ultimate value if it were to be understood as an end in itself. Friends should support and encourage each other in developing their gifts and talents and in putting them at the service of the human community. In this context, it is gratifying to note the emergence of new digital networks that seek to promote human solidarity, peace and justice, human rights and respect for human life and the good of creation.

Diantara sakramen-sakramen yang ada, hanya sakramen pengakuan dosa yang tampaknya mungkin dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi. Sakramen-sakramen yang lain, seperti ekaristi, perkawinan dan penguatan memerlukan interaksi fisik yang nyata.

Seorang Pastor ketika sedang online tentu dapat juga memberikan pelayanan sacramental dalam hal teman, seperti di facebook, memohonkan untuk mengaku dosa. Fasilitas chat seperti Yahoo Messenger, MSN, facebook tentu akan sangat membantu jemaat untuk pengakuan dosa.

Dalam Katekismus Katolik dinyatakan:

1448. Kendati susunan dan upacara Sakramen ini mengalami berbagai perubahan dalam peredaran sejarah, namun ada kerangka dasar yang sama. Ia mencakup dua unsur yang sama-sama hakiki: di satu pihak kegiatan manusia yang bertobat di bawah kuasa Roh Kudus, yaitu penyesalan, pengakuan, dan penitensi; di lain pihak kegiatan Allah oleh pelayanan Gereja. Di samping itu Gereja, yang memberi pengampunan dosa oleh Uskup dan imam-imamnya atas nama Yesus Kristus dan yang menentukan jenis dan cara penitensi, berdoa untuk pendosa dan menjalankan penitensi bersama dengannya. Dengan demikian pendosa disembuhkan dan diterima kembali ke dalam persekutuan Gereja.

Hal ini berarti bahwa tidak tertutup kemungkinan untuk menggunakan sarana-sarana komunikasi yang ada untuk pelaksanaan upacara Sakramen Pengakuan Dosa ini, dalam hal ini sarana online.

Sangat mungkin menjadi persoalan mengingat dalam Katekismus dinyatakan:

1450. Pertobatan mendorong pendosa untuk menerima segala sesuatu dengan rela hati: di dalam hatinya ada penyesalan, di mulutnya ada pengakuan, dalam tindakannya ada kerendahan hati yang mendalam atau penitensi yang menghasilkan buah" (Catech. R. 2,5,21)

Kata-kata “dimulutnya ada pengakuan” (dalam bahasa Inggris “confess with lips”) tentu membuat semata-mata chatting tidak memungkinkan. Tentu pastor harus memastikan bahwa orang yang mengaku dosa mengucakan pengakuannya dengan bibirnya. Sarana chatting dengan menggunakan cam tentu akan sangat membantu.

Penutup

Saya melihat tidak ada salahnya untuk menggunakan sarana teknologi informasi ini untuk melakukan upacara pengakuan dosa. Tentu ada persoalan lain yang mungkin menganga seperti soal keamanan dan kerahasiaan dari pengakuan dosa dengan sarana teknologi informasi. UU No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik telah mengatur masalah ini. Tinggal pelaksanaan dan keinginan untuk menggunakannya.

Rabu, 25 November 2009

UJI Materiil MK atas UU KPK

Antasari yang tidak takut kehilangan jabatan dan merasa dirinya tidak bersalah tidak mempersoalkan keberadaan dari Pasal 32 ayat (1) huruf c UU No. 30 tahun 2002 dan juga tidak memanipulasi massa untuk mempertahankan jabatannya.. Tentu kita dapat berharap manipulasi terhadap massa karena ketakutan kehilangan jabatan ini tidak akan terulang di masa yang akan datang.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Saya tadi membaca sekilas PUTUSAN NOMOR 133/PUU-VII/2009 mengenai pengujian Pasal 32 ayat (1) huruf C UU No.30 tahun 2002 yang hari ini dibacakan oleh Mahkamah Konstitusi. Putusan tersebut cukup menarik. Amar Putusan:

· Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
· Menyatakan Pasal 32 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250) adalah bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional), kecuali harus dimaknai “pimpinan KPK berhenti atau diberhentikan secara tetap setelah dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;”
· Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;
· Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.


Pada point kedua tersebut MK melakukan amandemen terhadap UU. MK berpendirian Pasal 32 ayat (1) huruf c UU No. 30 tahun 2002 bertentangan dengan UUD. Namun untuk mencegah kekosongan hukum MK memberikan pemaknaan sendiri. Ini berarti MK melakukan perubahan terhadap UU. Pertimbangan MK mengenai hal ini:

[3.21] Menimbang bahwa meskipun dalil-dalil para Pemohon beralasan hukum namun keberadaan Pasal a quo tidak dapat secara serta-merta dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena hal demikian dapat menimbulkan kekosongan hukum. Oleh karena itu, menurut Mahkamah Pasal 32 ayat (1) huruf c UU 30/2002 yang berbunyi, “Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi berhenti atau diberhentikan karena: … c. menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan;” harus dinyatakan inkonstitusional kecuali dimaknai “pimpinan KPK berhenti
atau diberhentikan secara tetap setelah dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.


UU MK dan UU Susduk No. 27 tahun 2009 memang tidak mengatur mengenai konsekwensi dari pembatalan suatu UU. Demikianlah, MK memberikan jalan keluar, yaitu dengan membuat putusan konstitusional bersyarat untuk mencegah kekosongan hukum, yang memberikan kewenangan untuk mengamandemen suatu undang-undang. Saya pikir pembuat UU perlu mempertimbangkan dengan baik untuk mebuat aturan menyangkut konsekwensi-konsekwensi dari pembatalan hukum, yaitu apa yang harus dilakukan untuk mengisi kekosongan jika sekiranya MK membatalkan suatu ayat, pasal, atau apapun dalam suatu UU. Berapa lama sesudah putusan MK peraturan pengganti ditetapkan. Berhubung MK bukanlah lebaga pembuat UU maka ketentuan yang ditetapkan oleh MK untuk mengisi kekosongan hukum bukanlah sesuatu yang final.

Tentu akan menjadi persoalan kelak, jika sekiranya Antasari kelak tidak terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan padanya, apakah Antasari dapat kembali ke KPK. Memang Putusan MK berlaku prospektif, sementara Antasari sudah diberhentikan sesudah dinyatakan terdakwa. Jadi Antasari tidak dapat menikmati buah dari putusan MK ini.

Hal lain yang menjadi perhatian juga bahwa dari putusan ini dapat ditarik bahwa ketakutan untuk diberhentikan dari jabatan pimpinan KPK merupakan pemicu gonjang-ganjing kasus rekayasa yang diberitakan secara luas dan menyedot perhatian massa. Presiden, Kejaksaan, dan Polri harus tunduk pada rasa takut kehilangan jabatan ini yang mendapatkan manifestasinya dalam amarah massa . Kasus yang menurut Polri dan Kejaksaan dapat diajukan ke pengadilanpun harus menguap. Tentu ini merupakan diskriminasi juga. Jika sekiranya suatu perkara harus dihentikan karena kepercayaan kepada kejaksaan dan Polri tidak ada, lalu bagaimana dengan kasus-kasus yang lainnya yang juga disidik dan dituntut oleh lembaga yang tidak dipercaya tersebut.

Antasari yang tidak takut kehilangan jabatan dan merasa dirinya tidak bersalah tidak mempersoalkan keberadaan dari Pasal 32 ayat (1) huruf c UU No. 30 tahun 2002 dan juga tidak memanipulasi massa untuk mempertahankan jabatannya. Tentu ketika hendak memangku jabatan orang harus melihat aturan yang akan berlaku padanya. Orang sudah harus siap dengan konsekwensi-konsekwensi yang mungkin timbul dalam perjalanan menjalankan jabatan.

Tentu kita dapat berharap manipulasi terhadap massa karena ketakutan kehilangan jabatan dan untuk menutupi rasa bersalah ini tidak akan terulang di masa yang akan datang.

Selasa, 24 November 2009

Kasus Bank Century dan Kasus Bibit-Chandra: Langkah Selanjutnya

Mengenai kasus Bank Century, Presiden hendak mengatakan biarlah Menteri Keuangan menjelaskan dan mengklarifikasi setelah mempelajari hasil investigasi BPK. Jika DPR tetap menggunakan hak angketnya maka pada saat yang bersamaan Presiden akan melakukan dua langkah yang tegas. Menyangkut kasus Bibit-Chandra Presiden menawarkan dua solusi dan opsi, yaitu proses ke pengadilan jalan terus atau tidak membawa kasusnya ke pengadilan. Opsi kedua perlu dijalankan apabila jalan pertama lebih banyak mudaratnya. Yang manapun yang hendak dipilih, Presiden mengembalikannya kepada Polri dan Kejaksaan. Jadi Presiden sama sekali tidak mengindahkan rekomendasi Tim 8.


========================================================================



Presiden RI Susilo Bamabng Yudhoyono pada akhirnya memberikan pernyataan sikap dan penjelasannya atas dua kasus besar yang menyedot perhatian selama ini, yaitu kasus Bank Century dan Kasus Bibit-Chandra melalui sebuah pidato tanpa teks yang cerdas pada tanggal 23 Noveber 2009.  Pada awal pidatonya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan bahwa beliau "menyampaikan penjelasan kepada seluruh rakyat Indonesia menyangkut dua isu penting yang berkaitan dengan penegakan hukum dan keadilan di negeri kita". (Transkrip Pidato Presiden ini disediakan oleh Kompas  (disini dan disini ) Lebih jauh dikatakan oleh Presiden “Oleh karena itu, selaku Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, malam ini saya pandang perlu untuk menjelaskan duduk persoalan serta sikap pandangan dan solusi yang perlu ditempuh terhadap kedua permasalahan tersebut.” Dari kutipan-kutipan tersebut jelas bahwa apa yang dinyatakan oleh beliau bukanlah suatu yang bersifat tegas terhadap kedua kasus itu. Solusi-solusi yang ditawarkan oleh beliau adalah "solusi yang perlu ditempuh" dan bukan solusi yang harus ditempuh.

Menarik untuk dicermati bahwa penjelasan Presiden ini tidak banyak berbicara mengenai rekomendasi Tim 8. Dan sebagaimana saya akan tunjukkan di bawah, rekomendasi Tim 8 sama sekali tidak dianggap oleh Presiden.

Kasus Bank Century


Menyangkut Kasus Bank Century beliau menyatakan:

"Dengan telah saya terimanya hasil pemeriksaan investigasi BPK atas kasus Bank Century sore tadi, pemerintah akan segera mempelajarinya dan pada saatnya nanti saya akan meminta Saudari Menteri Keuangan dengan jajarannya bersama-sama dengan pihak Bank Indonesia untuk memberikan penjelasan dan klarifikasinya. Saya sungguh ingin keterbukaan dan akuntabilitas dapat kita tegakkan bersama. Saya juga ingin semua desas-desus, kebohongan, dan fitnah dapat disingkirkan dengan cara menghadirkan fakta dan kebenaran yang sesungguhnya.


Terhadap pemikiran dan usulan sejumlah anggota DPR RI untuk menggunakan hak angket terhadap Bank Century, saya menyambut dengan baik agar perkara ini mendapatkan kejelasan serta sekaligus untuk mengetahui apakah ada tindakan-tindakan yang keliru dan tidak tepat. Bersamaan dengan penggunaan hak angket oleh DPR RI tersebut, saya juga akan melakukan sejumlah langkah tindakan internal pemerintah, berangkat dari hasil dan temuan pemeriksaan investigasi BPK tersebut.


Dan, yang tidak kalah pentingnya adalah percepatan proses hukum bagi para pengelola Bank Century dan segera dapat dikembalikannya dana penyertaan modal yang berjumlah Rp 6,7 triliun itu kepada negara. Saya telah menginstruksikan Jaksa Agung dan Kapolri untuk melaksanakan tugas penting ini."

Pernyataan Presiden mengenai kasus Bank Century ini dapat dibaca sebagai menyatakan bahwa kalau DPR mau menggunakan hak angketnya terserah saja, Presiden tidak mendukung tetapi juga tidak menentang penggunaan hak angket oleh DPR. Bersamaan dengan berjalannya angket, Presiden akan mengambil dua langkah, yaitu langkah  internal dan langkah percepatan proses hukum bagi para pengelola Bank Century dan pengembalian dana penyertaan modal yang berjumlah Rp 6,7 Trilyun kepada Negara. Namun perlu dicatat bahwa kedua langkah ini akan diambil jika DPR mengguunakan hak angketnya. Kalau DPR tidak menggunakan hak angketnya, maka kedua langkah Presiden tidak akan berjalan.  Jadi langkah yang akan diambil Presiden ini hendak engibangi angket yang dilaksanakan DPR. Sebelum DPR menggunakan hak angketnya, pemerintah akan mempelajari hasil investigasi BPK dan menugaskan Menteri Keuangan untuk menjelaskan dan mengklarifikasi.


Kasus Bibit-Chandra

Menyangkut kasus Bibit-Chandra belia menyatakan:

Dalam kaitan ini, saudara-saudara, sesungguhnya jika kita ingin mengakhiri silang pendapat mengenai apakah Saudara Chandra Hamzah dan Saudara Bibit Samad Rianto salah atau tidak salah, maka forum atau majelis yang tepat adalah pengadilan.



Semula saya memiliki pendirian seperti itu dengan catatan proses penyelidikan dan penuntutan mendapat kepercayaan publik yang kuat. Dan tentu saja, proses penyidikan dan penuntutan itu fair, objektif, disertai bukti-bukti yang kuat.

Pernyataan Presiden tersebut menunjukkan keinginan yang kuat dari Presiden agar persoalan hukum diselesaikan sesuai proses hukum. Beliau lebih percaya pada penyelesaian pada proses hukum dan beliau ingin menjunjung tinggi proses hukum. Namun kenyataan proses hukum dan keadaan masyarakat telah memaksa beliau untuk menyampaikan solusi lain. Lebih jauh beliau menyatakan:

"Dalam perkembangannya, justru yang muncul adalah ketidakpercayaan yang besar kepada pihak Polri dan Kejaksaan Agung sehingga telah masuk ke ranah sosial dan bahkan ranah kehidupan masyarakat yang lebih besar. Oleh karena itu, faktor yang saya pertimbangkan bukan hanya proses penegakan hukum itu sendiri, tapi juga faktor-faktor lain seperti pendapat umum, keutuhan masyarakat kita, asas manfaat, serta kemungkinan berbedanya secara hakiki antara hukum dengan keadilan."

Presiden telah dipaksa untuk menawarkan solusi dan opsi alternatif karena adanya faktor-faktor non hukum yang lebih menonjol. Ini tentu mengenaskan. Presiden mengakui bahwa disamping faktor non hukum yang dipertimbangkannya ada permasalahan pada ketiga lembaga penegak hukum, polri, kejaksaan, dan KPK yang "tentu tidak boleh kita biarkan dan harus kita koreksi, kita tertibkan, dan kita perbaiki."

Solusi dan opsi yang diajukan Presiden dalam hal Kasus Bibit-handra tidak dibawa ke pengadilan? Presiden menyatakan:
"Oleh karena itu, solusi dan opsi lain yang lebih baik yang dapat ditempuh adalah pihak kepolisian dan kejaksaan tidak membawa kasus ini ke pengadilan dengan tetap mempertimbangkan asas keadilan, namun perlu segera dilakukan tindakan-tindakan korektif dan perbaikan terhadap ketiga lembaga penting itu, yaitu Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK."

Presiden tidak menyatakan menghentikan proses hukum terhadap kasus ini, tetapi agar tidak membawa kasusnya ke pengadilan dengan tetap mempertimbangkan asas keadilan, sebagai salah satu alternatif. Jadi proses-proses untuk tidak membawa kasus ini ke pengadilan dapat terus dijalankan. Hal ini sudah pula ditegaskan oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Marwan Efendi, sebagaimana dikutip oleh Kompas . Hal ini menunjukkan bahwa penyidikan yang dilakukan oleh Polri sudah selesai dan unsur-unsur pidananya memenuhi. Kejaksaan juga melihat bahwa perbuatannya sudah cukup bukti tetapi masih harus melihat pertanggungjawaban pidananya.

Ini berarti bahwa menurut Presiden ada dua opsi, yaitu proses peradilan dan tidak dibawa ke pengadilan. Presiden tidak menutup kemungkinan proses di pengadilan tetap berjalan. Ini dapat disimpulkan dari kata-kata beliau "...., solusi dan opsi lain yang lebih baik yang dapat ditempuh..." sebagaimana dikutip di atas. Kata "dapat" yang digunakan oleh beliau tidak menutup kemungkinan proses ke pengadilan jalan terus. Ini dapat kita tarik dari pidato Presiden dimana beliau menyatakan "Saya tidak boleh dan tidak akan memasuki wilayah ini karena penghentian penyidikan berada di wilayah lembaga penyidik atau Polri, penghentian tuntutan merupakan kewenangan lembaga penuntut atau kejaksaan, serta pengenyampingan perkara melalui pelaksanaan asas oportunitas merupakan kewenangan Jaksa Agung." Jadi Presiden mepersilahkan Polri dan Kejaksaan untuk memutuskan apakah akan menghentikan atau akan jalan terus ke pengadilan.

Menarik perhatian juga bahwa Presiden tidak hanya menyatakan perlu melakukan tindakan korektif dan perbaikan di Polri dan Kejaksaan, tetapi juga di KPK. Salah satu sangkaan dalam kasus Bibit-Chandra ini adalah adanya penyalahgunaan wewenang berupa penandatangan pembatalan Cekal yang hanya dilakukan dua orang dimana seharusnya diambil secara kolegial oleh komisioner KPK. Saya menduga bahwa Presiden sesungguhnya berpendirian bahwa memang ada penyalahgunaan tetapi beliau harus mengalah kepada faktor-faktor non hukum, sebagaimana disebutkan di atas dan mengembalikan persoalan kepada Polri dan Kejaksaan untuk memutuskan soal itu.  .

Pandangan Ke Depan

Banyak yang bingung mendengar Pidato Presiden. Presiden menggunakan bahasa yang seolah-olah tidak menyinggung persoalan tetapi sesungguhnya memang sikap Presiden cukup jelas, sebagaimana sudah saya uraikan di atas. Tinggal sekarang bagaimana memilih pilihan-pilihan yang tersedia. Mengenai kasus Bank Century, Presiden hendak mengatakan biarlah Menteri Keuangan menjelaskan dan mengklarifikasi setelah mempelajari hasil investigasi BPK. Jika DPR tetap menggunakan hak angketnya maka pada saat yang bersamaan Presiden akan melakukan dua langkah yang tegas. Menyangkut kasus Bibit-Chandra Presiden menawarkan dua solusi dan opsi, yaitu proses ke pengadilan jalan terus atau tidak membawa kasusnya ke pengadilan. Opsi kedua perlu dijalankan apabila jalan  pertama lebih banyak mudaratnya. Yang manapun yang hendak dipilih, Presiden mengembalikannya kepada Polri dan Kejaksaan. Jadi Presiden sama sekali tidak mengindahkan rekomendasi Tim 8.

Saya melihat sebaiknya jangan memaksa Presiden untuk mengambil langkah atas perangkap yang dibuat untuk mencelakakan. Presiden dengan caranya yang cerdas telah membalikkan persoalannya kembali ke masyarakat dan mempersilahkan penegak hukum untuk bekerja sebagaimana mestinya. Perangkap yang dibuat dapat dihindari dengan cara yang layak dan tidak terpikirkan oleh lawan-lawan politiknya.

Jumat, 13 November 2009

Hak Angket


DPR periode berjalan tidak dapat menggunakan hak angketnya atas pelaksanaan undang-undang dan/atau kebijakan oleh Pemerintah pada periode yang sudah berlalu. Fungsi Pengawasan DPR adalah mengawasi pemerintahan yang sedang berjalan, tidak pemerintahan yang sudah tidak ada.  Andaikanlah Pasangan Capres Ibu Mega dan Bapak Prabowo atau Bapak Jusuf Kalla dan Wiranto yang menang dalam Pilpres yang lalu, apakah Pemerintah di bawah Ibu Mega dan Bapak Prabowo atau Jusuf Kalla dan Wiranto diselidiki atas pelaksanaan kebijakan oleh Pemerintahan SBY-JKmenyangkut kasus Bank Century?


---------------------------------------------------------------------------------------------------------



Belakangan ini marak persoalan adanya kasus Bank Century. Kasus ini menyangkut pencairan dana sebesar Rp 6,7 Trilyun untuk menyelamatkan Bank Century. Kasus ini terjadi pada masa pemerintahan SBY-JK dan sudah final, artinya dananya sudah dikucurkan. Kebijakan pemerintahan SBY-JK untuk mengucurkan dana sebesar Rp 6,7 T tersebut kini dipersoalkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)  dan DPR berniat untuk menggunakan haknya, yang dijamin oleh UUD 1945, yaitu Hak Angket. Tulisan ini mencoba menjernihkan persoalan hukum yang membelit masalah tersebut, yaitu menyangkut boleh tidaknya digunakan hak angket untuk mengungkap kasus itu.

Dalam pemberitaan-pemberitaan di mass media sudah santer bahwa para anggota DPR sudah menandatangani pengajuan hak angket tersebut. Bahkan menurut rencana, usulan hak angket ini akan dibawakan dalam rapat Badan Musyawarah (BAMUS) DPR.

Pengertian Hak Angket


Hak Angket diatur dalam Pasal 20A ayat (2) UUD 1945:
(2) Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain UndangUndang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.


Ketentuan tersebut dielaborasi lebih lanjut dalam UU No. 27 tahun 2009 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 123; TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5043).


Pasal 77 ayat (3) UU No. 27 tahun 2009 menentukan bahwa hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Dari defenisi undang-undang tersebut hak angket adalah hak untuk melakukan penyelidikan. Penyelidikan sendiri tidak didefenisikan. Apakah penyelidikan dalam pengertian dari UU No. 27 tahun 2009 sama dengan pengertian penyelidikan dalam KUHAP? Tidak ada kejelasan. Pasal 179 dan Pasal 180 UU No. 27 tahun 2009 menentukan:

Pasal 179

Panitia angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 ayat (2), dalam melakukan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (3), selain meminta keterangan dari Pemerintah, dapat juga meminta keterangan dari saksi, pakar, organisasi profesi, dan/atau pihak terkait lainnya.

Pasal 180

(1) Dalam melaksanakan tugasnya, panitia angket dapat memanggil warga negara Indonesia dan/atau orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia untuk memberikan keterangan.

(2) Warga negara Indonesia dan/atau orang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi panggilan panitia angket.

Pelaksanaan angket, jika disetujui dilakukan oleh Panitia Angket. Yang dilakukan oleh Panitia Angket adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 dan Pasal 180 ayat (1) dan (2) tersebut.
Jadi yang dimaksud dengan penyelidikan adalah meminta keterangan dari pemerintah, saksi, pakar, organisasi profesi dan/atau pihak terkait lainnya. Untuk mendapatkan keterangan itu DPR panitia angket dapat memanggil Warga Negara Indonesia dan/atau orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.

Apa yang diselidiki? Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 77 ayat (3) UU No. 27 tahun 2009, yang diselidiki adalah pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Jadi yang diselidiki itu pelaksanaan, dan bukan kebijakan atau undang-undang. Disini terdapat perbedaan dengan hak interpelasi. Dalam hak interpelasi, yang dilakukan adalah meminta keterangan mengenai kebijakan. Dalam hak angket, menyelidiki pelaksanaan undang-undang dan atau kebijakan. Disini kita dapat melihat bahwa sesungguhnya, sebelum hak angket dilakukan, dapat dilakukan terlebih dahulu hak interpelasi untuk menilai kebijakan.

Menyangkut pelaksanaan undang-undang dan/atau kebijakan ini terdapat dua persyaratan. Pertama, pelaksanaan undang-undang dan/atau kebijakan itu “berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”. Kasus Bank Century tentu memenuhi persyaratan dalam hal ini. Kedua adalah pelaksanaan undang-undang dan/atau kebijakan harus ada dugaan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan. Jadi harus ada dugaan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dalam melaksanakan UU dan/atau kebijakan itu.

Persoalan yang sangat penting menjadi perhatian dari defenisi hak angket itu adalah siapa pemerintah atau pemerintah yang mana yang dimaksudkan. Penjelasan Pasal 77 ayat (3) hanya menyatakan "Pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah dapat berupa kebijakan yang dilaksanakan sendiri oleh Presiden, Wakil Presiden, menteri negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian." Pengertian hak angket tersebut tidak menyebutkan mengenai rentang waktu pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah. Tentu menjadi pertanyaan, untuk periode pemerintah mana saja DPR dapat menggunakan hak angketnya. Apakah pemerintah yang sedang berjalan atau terhadap semua pemerintah yang pernah ada? Pertanyaan ini tentu dapat dianggap tidak valid karena DPR adalah satu kesatuan. DPR yang dulu dan yang sekarang adalah sama, yang beda adalah para anggotanya yang berganti dari masa ke masa. Namun dari sudut lain, pertanyaan ini perlu menjadi perhatian. Apakah DPR periode sekarang dapat mengajukan hak angket untuk pelaksanaan UU dan/atau kebijakan yang dilakukan oleh pemerintahan Pak Harto atau Pak Habibie atau Gus Dura atau Ibu Mega? Sebagimana diketahui kasus Bank Century terjadi pada masa pemerintahan Presiden SBY-JK. Apakah pemerintahan SBY-Boediono harus diselidiki untuk pelaksanaan kebijakan pada masa Presiden SBY-JK.

Jika sekiranya Bapak Soesilo Bambang Yudhoyono dan Boediono tidak terpilih dalam Pemilihan Presiden yang lalu, maka DPR tidak akan menggunakan hak angketnya atas kasus Bank Century karena pelaksanaan undang-undang dan/atau kebijakan pengucuran dana itu terjadi pada masa Presiden 2004-2009. Andaikanlah Pasangan Capres Ibu Mega dan Bapak Prabowo atau Bapak Jusuf Kalla dan Wiranto yang menang dalam Pilpres yang lalu, apakah Pemerintah di bawah Ibu Mega dan Bapak Prabowo atau Jusuf Kalla dan Wiranto diselidiki atas pelaksanaan kebijakan oleh Pemerintahan SBY-JK? Ini tentu suatu hal yang tidak benar.

Fakta bahwa Presiden masih tetap orang yang sama, tidaklah menunjukkan bahwa pemerintahannya secara otomatis bertanggungjawab atas pelaksanaan yang dilakukan pada pemerintahan SBY-JK. Saat ini Bapak Boediono, yang diduga berperan besar dalam pengucuran dana itu, adalah wakil Presiden sedangikan pengucuran dana itu terjadi pada masa beliau menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia. Demikian juga fakta bahwa Menteri Keuangan Ibu Sri Mulyani masih tetap menjabat Menteri Keuangan, tidak menjadikannya sama dengan Menteri Keuangan pada masa pemerintahan SBY JK.

Muara dari Hak Angket

Hak Angket tentu tidak akan berarti apa-apa jika tidak ada tindak lanjutnya. Penyelidikan tidak berguna jika tidak ditentukan untuk apa hasil penyelidikan dipergunakan.


Pasal 181 UU No. 27 tahun 2009 menentukan bahwa (1) Panitia angket melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada rapat paripurna DPR paling lama 60 (enam puluh) hari sejak dibentuknya panitia angket dan (2) Rapat paripurna DPR mengambil keputusan terhadap laporan panitia angket. Apabila Rapat Paripurna DPR memutuskan Pelaksanaan UU dan/atau kebijakan melanggar peraturan perundang-undangan, maka DPR dapat menggunakan hak menyatakan pendapat, sedangkan apabila tidak bertentangan maka usul hak angket dinyatakan selesai dan materi angket tidak dapat diajukan kembali.

Sekarang kita mengandaikan bahwa Rapat Paripurna DPR memutuskan bahwa pelaksanaan UU dan/atau kebijakan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan maka DPR dapat menggunakan hak untuk menyatakan pendapat. Hak menyatakan pendapat ini diusulkan oleh paling sedikit 25 orang anggota DPR. DPR memutuskan apakah menerima atau menolak hak menyatakan pendapat. Kalau menerima usul menyatakan pendapat, maka akan dibentuk Panitia Khusus, yang akan bekerja selama 60 hari dan Rapat Paripurna DPR menerima Laporan Panitia Khusus. Dalam hal rapat Paripurna DPR memutuskan menerima Laporan Panitia Khusus yang menyatakan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, ataupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, DPR menyampaikan keputusan tentang hak menyatakan pendapat kepada Mahkamah Konstitusi.

Pasal 188 UU No. 27 tahun 2009 selanjutnya menentukan bahwa dalam hal pendapat DPR mengenai adanya perbuatan-perbuatan Presiden dan/atau Wakil Presiden yang melakukan pelanggaran hokum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, ataupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, DPR menyelenggarakan rapat paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR.

Jadi disini, dihubungkan dengan usulan hak angket kasus Bank Century, kita melihat bahwa muara dari hak angket adalah pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden, sebagaimana diatur dalam Pasal 7B ayat (1) UUD 1945. Jadi Presiden SBY-Boediono harus bertanggungjawab dan dapat berujung pada pemberhentiannya atas pelaksanaan UU dan/atau kebijakan yang bertentangan dengan perundang-undangan pada masa pemerintahan SBY-JK. Perlu diperhatikan bahwa Presiden SBY dan Wakil Presiden Boediono dilantik dan mengucapkan sumpah selaku Presiden dan Wakil Presidenpada tanggal 20 Oktober 2009. Ini menandakan bahwa masa pemerintahan sekarang adalah masa pemerintahan yang berbeda dari masa Pemerintahan SBY-JK.


Penutup
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa usulan hak angket oleh sejumlah anggota DPR sungguh tidak tepat dilakukan untuk pelaksanaan UU dan/atau kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah yang sudah berlalu. DPR tidak dapat melakukannya karena tugasnya adalah melakukan pengawasan terhadap pemerintahan yang sedang berjalan.

Tentu ada mekanisme hukum yang tersedia untuk melakukan pemrosesan terhadap kasus Bank Century itu, yaitu melalui proses hukum di Komisi Pemberantasan Korupsi. Proses politik melalui hak angket tidak akan menyelesaikan persoalan dan malahan dapat membuat pemrosesan atas kasus tersebut menjadi sirna. Jika ternyata Laporan Panitia Angket nantinya menyatakan tidak terbukti adanya pelanggaran hukum dalam pengucuran dana ke Bank century, maka hal ini akan menjadi kendala bagi proses hukum. Maka persoalan hukum sebaiknya diselesaikan secara hukum dan tidak melalui saluran-saluran poltik.

Rabu, 04 November 2009

MK: Quo Vadis?

Kemarin kita disuguhkan suatu proses hukum yang sangat spektakuler. Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar persidangan yang membuka rekaman-rekaman yang diduga sebagai suatu upaya menjegal pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Rekaman tersebut merupakan hasil sadapan KPK. Mayarakat menyambut gembira peristiwa tersebut. Antusiasisme masyarakat, disamping mengingat upaya pengkriminalisasian petinggi KPK,  juga karena dalam rekaman RI 1 disebut-sebut.

Tindakan MK ini patut mendapat catatan khusus. Persidangan yang membuka rekaman-rekaman penyadapan itu adalah dalam permohonan pengujian Pasal 32 ayat (1) butir c UU No. 30 tahun 2002  terhadap  Pasal 28D ayat (1) , Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, dalam perkara dengan nomor registrasi 133/PUU-VII/2009 . Dalam perkara tersebut yang dimohonkan adalah agar MK menyatakan Pasal 32 ayat (1) butir (c) UU KPK bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28J ayat (2) dan menyatakan bahwa Pasal 32 ayat (1) butir (c) UU KPK tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya.

Ketua MK Moh. Mahfud MD menjelaskan pada persidangan mengenai landasan hukum untuk mendengarkan perekaman dalam persidangan:
 "Setelah Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH), Mahkamah berdasarkan pada undang-undang yakni Pasal 17 UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, UU No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, maka diperbolehkan untuk mendengarkan rekaman penyadapan KPK dalam persidangan."

Penjelasan yang disampaikan oleh Ketua MK tersebut menyimpan problematika tersendiri. Pertama, apakah MK merupakan pelaksana UU No. 14 tahun 2008? Kedua, pakah rekaman-rekaman yang bersangkutan termasuk dalam pengertian informasi publik sebagaimana dimaksud dalam UU tersebut? Pengertian informasi publik adalah: informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik.

Menyangkut relevansi. Ketua MK tidak menjelaskan apa relevansi dari rekaman-rekaman tersebut dengan pokok perkara yang tengah ditanganinya. Apakah rekaman-rekaman tersebut relevan untuk dipertimbangkan oleh MK dalam memutuskan apakah Pasal 32 ayat (1) butir c UU No. 30 tahun 2000 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) , Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945? Apakah rekaman tersebut memberikan atau tidak dukungan terhadap soal kebertentangan pasal 32 ayat (1) butir c UU No. 30 tahun 2002 itu?

Persoalan lain adalah apakah status dari rekaman-rekaman tersebut dalam perkara yang bersangkutan. Secara gamblang tentu kita berpikir bahwa rekaman-rekaman tersebut dapat dilihat sebagai alat bukti. Mengenai alat bukti ini tentu masih dapat dipersoalkan juga. Pertama adalah menyangkut kesahannya. Pasal 36 ayat (2) UU No. 23 tahun 2003 menentukan bahwa alat bukti perolehannya harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Sebagaimana sudah saya tulis sebelum ini, Komunikasi yang Aman: Soal Penyadapan, dengan mengutip Ketua Plt KPK, rekaman-rekaman tersebut adalah merupakan hasil penyelidikan kasus korupsi sistem komunikasi radio terpadu (SKRT) di Dephut dengan tersangka Anggoro Widjojo. Rekaman-rekaman itu sah tentu untuk kasus yang bersangkutan tetapi tidak untuk dibuka di MK dan sudah barang tentu hal itu bukan informasi publik dalam pengertian dari UU No. 14 tahun 2008. Menurut Pasal 36 ayat (3) UU MK, jika suatu alat bukti perolehannya tidakdapat dipertanggungjawabkan secara hukum maka tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah. Memang dalam Pasal 36 ayat (4) UU MK, MK yang menentukan sah tidaknya suatu alat bukti. Pasal 37 lebih jauh menentukan "Mahkamah Konstitusi menilai alat-alat bukti yang diajukan ke persidangan dengan memperhatikan persesuaian antara alat bukti yang satu dengan alat bukti yang lain." Tentulah rekaman-rekaman itu akan menjadi aneh sendiri diantara alat bukti-alat bukti yang ada.

Mengingat hal-hal tersebut, sesungguhnya tidak ada alasan yang cukup bagi MK untuk menghadirkan dan mendengarkan rekaman-rekaman tersebut dalam persidangan pengujian undang-undang. Sulit untuk memahami langkah yang ditempuh oleh MK ini. Tampak seperti penyalahgunaan wewenang (abuse of power). Kalau demikian, mau kemanakah anda MK?

Catatan Tambahan:
Pada tanggal 29 Oktober 2009 telah diundangkan UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. UU ini berlaku pada tanggal diundangkan. Pasal 62 dari UU ini berbunyi:


Pada saat Undang-Undang ini berlaku, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Salah satu dasar hukum MK untuk membuka rekaman penyadapan itu adalah  UU No. 4 tahun 2004, yang ternyata sudah dicabut dan tidak berlaku mulai tanggal 29 Oktober 2009. Jadi MK sudah tidak dapat menggunakan UU No. 4 tahun 2004 sebagai dasar hukum untuk tindakannya tersebut. 

Selasa, 27 Oktober 2009

Komunikasi yang Aman: Soal Penyadapan

Hari-hari belakangan ini ramai dibicarakan adanya rekaman percakapan telepon sejumlah orang yang disebut-sebut sebagai rencana penghancuran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Banyak kalangan berharap agar rekaman itu dibuka secara publik dan ditindaklanjuti sebagai suatu kejahatan yang serius. Tentu saja hal ini perlu mendapat apresiasi mengingat upaya-upaya yang dilakukan untuk menghancurkan KPK, sebuah lembaga yang sarat wibawa itu, merupakan suatu upaya menelikung reformasi dan akan dapat membuat upaya-upaya pemberantasan korupsi menjadi sia-sia. KPK memang sudah tersohor sebagai suatu lembagai yang sangat gigih dan mempunyai gigi dalam penegakan hukum di Indonesia.


Namun demikian ada suatu soal yang harus diperhatikan dalam menyikapi rekaman yang disebut-sebut sampai saat ini berada dalam penguasaan dari KPK. Sebagaimana diberitakan juga dalam media elektronik, pihak-pihak yang diduga orang yang direkam pembicaraannya sudah menyampaikan keberatan mengenai rekaman tersebut dan ada juga penyangkalan terhadap pembicaraan yang direkam tersebut. Hal ini menandakan bahwa rekaman yang diberitakan sebagai suatu alat bukti untuk menguak persekongkolan untuk menghancurkan KPK itu dibuat tidak dengan persetujuan dari pihak-pihak yang suaranya diduga ada dalam rekaman tersebut atau rekaman tersebut tidak dibuat dalam rangka mempersoalkan secara hukum persekongkolan tetapi untuk tindak pidana korupsi lain yang diduga melibatkan Anggoro.  Dengan kata lain ada penyadapan komunikasi yang dilakukan oleh yang membuat rekaman itu. Mengingat rekaman itu ada di KPK maka tentu dugaan adalah bahwa penyadapan itu dilakukan oleh pihak KPK atau sekurang-kurangnya sepengetahuan KPK.

Menurut berita di Detiknews:
"Plt Ketua KPK Tumpak Hatorangan dalam jumpa pers Senin (26/10) malam menegaskan bahwa rekaman itu memang ada dan merupakan hasil penyelidikan kasus korupsi sistem komunikasi radio terpadu (SKRT) di Dephut dengan tersangka Anggoro Widjojo. Namun saat ditanya apakah isi rekaman seperti yang dirilis di berbagai media, Tumpak enggan berkomentar."

Menjadi persoalan dalam hal ini apakah rekaman yang diperuntukkan untuk penyelidikan kasus korupsi sistem komunikasi radio terpadu dapat dipergunakan untuk kasus lain yaitu untuk pengungkapan persekongkolan untuk menghancurkan KPK? Wakil Jaksa Agung Abdul Hakim Ritonga, yang diduga ada dalam rekaman tersebut, sudah menyampaikan pandangan. Dari Detiknews:

"Saya rasa KPK juga tahu bahwa untuk merekam suatu peristiwa, penyadapan hanya diperkenankan oleh UU untuk menyadap yang menyangkut tindak pidana korupsi. Apakah ini menyangkut tindak pidana korupsi? Itu dipertanyakan," ujar Ritonga.


Tulisan ini akan meninjau mengenai keamanan dalam berkomunikasi sebagai suatu hak asasi manusia. Pasal 28 F UUD 1945 menyatakan "Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia." Selanjutnya Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 menyatakan "Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi"


Penyadapan

Penyadapan adalah merupakan perbuatan yang terlarang. 

UU Telekomunikasi

Pasal 40 UU No. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi berbunyi:

Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun.

Ketentuan ini dengan tegas melarang kegiatan penyadapan dan terhadap pelanggaran atas larangan itu, menurut Pasal 56, diancam sanksi pidana paling lama 15 (lima belas) tahun. Pasal 59 menentukan perbuatan yang melanggar Pasal 40 tersebut merupakan kejahatan.

Pasal 42 UU No. 36 tahun 1999 tersebut lebih jauh menentukan:

(1) Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib merahasiakan informasi yang dikirim dan atau diterima oleh pelanggan jasa telekomunikasi melalui jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi yang diselenggarakannya.

(2) Untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas:

a. permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu;

b. permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang-undang yang berlaku.

(3) Ketentuan mengenai tata cara permintaan dan pemberian rekaman informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.



Ketentuan Pasal 42 ayat (1) ini membuat kewajiban kepada Penyelenggara jasa telekomunikasi untuk merahasiakan informasi yang dikirim dan atau diterima oleh pelanggan jasa telekomunikasi. Pelanggaran atas Pasal itu, sesuai Pasal 57, diancam sanksi pidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Perbuatan melanggar Pasal 42 ayat (1) UU itu merupakan kejahatan, sesuai dengan Pasal 59.



Pasal 42 ayat (2) membuka kemungkinan untuk merekam dan memberikan informasi yang dikirim dan atau diterima oleh pelanggan atas permintaan Jaksa Agung atau Kepala Kepolisian RI atau penyidik untuk tindak pidana tertentu. Namun demikian tetap dalam hal ini yang melakukan perekaman adalah penyelenggara jasa telekomunikasi. Bukan Jaksa Agung, Kapolri atau penyidik.

Dengan adanya ketentuan-ketentuan sebagaimana disebutkan di atas maka penyadapan tidak diperkenankan dalam bentuk apapun dan merupakan pelanggaran hukum berat.

UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Pasal 31 UU No. 11 tahun 2008 memberikan larangan untuk melakukan penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain. Selanjutnya ayat (2) Pasal 31 melarang setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan. Namun ayat (3) Pasal 31 menentukan bahwa penyadapan dapat dilakukan dalam rangka penegakan hokum atas permintaan permintaan kepolisian, kejaksaan,dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang. PeraturanPemerintah mengenai tata cara penyadapan ini sampai dengan saat ini belum ada.

Dengan demikian baik UU No. 36 tahun 1999 maupun UU No. 11 tahun 2008 berada dalam satu garis yang melarang perbuatan-perbuatan untuk melakukan penyadapan.

UU tentang KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Menyimpang dari ketentuan dalam kedua UU di atas, Pasal 12 ayat (1) huruf a UU No. 30 tahun 2002 memberikan kewenangan kepada KPK untuk melakukan penyadapan dalam rangka melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Hanya dalam kerangka tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan diperbolehkan melakukan penyadapan.

Sebagaimana dikutip di atas pernyataan dari Plt. Ketua KPK Bapak Tumpak Hatorangan Panggabean, rekaman yang ada di KPK adalah untuk penyelidikan tindak pidana korupsi yang diduga dilakukan oleh Anggoro Widjojo. Jika sekiranya dilakukan penyadapan dalam rangka kasus tersebut tentu rekaman yang ada tersebut merupakan rekaman yang sah dan dapat dijadikan sebagai alat bukti. Namun demikian jika sekiranya rekaman itu kemudian dipergunakan untuk kasus lain di kepolisian atau di kejaksaan maka hal itu termasuk pelanggaran hukum. Dengan kata lain, rekaman yang menjadi persoalan, tidak dapat menjadi alat bukti dalam kasus yang ada saat ini mengenai yang disebut sebagai penghancuran KPK.

Penyadapan oleh KPK
Berdasarkan pembacaan saya, saya belum menemukan aturan-aturan yang harus diindahkan dalam melakukan penyadapan. Ketentuan dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a UU No. 30 tahun 2002 tentu akan sangat mengganggu keamanan dan kenyamanan dalam berkomunikasi yang merupakan suatu hak asasi manusia yang diakui dalam UUD 1945. Kasus bocornya rekaman hasil penyadapan tersebut tentu akan membawa persoalan yang serius menyangkut keamanan dan kenyamanan dalam berkomunikasi. Tidak jelas siapa-siapa yang disadap oleh KPK, kapan disadap, dan untuk keperluan apa KPK menyadap. Wewenang KPK yang sangat besar dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang diikuti dengan pemberian wewenang untuk melakukan penyadapan potensial untuk disalahgunakan.  Dapat terjadi bahwa penyadapan dilakukan, dengan mengatas namakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, untuk keperluan yang jauh dari pelaksanaan tugas dari KPK.

Persoalan juga akan menjadi berbeda jika sekiranya seperti yang terjadi sekarang ini, penyadapan yang dilakukan atas nama penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, ternyata melahirkan kasus baru, misalnya perzinahan. Pemanfaatan hasil penyadapan oleh KPK untuk kasus-kasus lain diluar peruntukannya tentu merupakan pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 40 UU Telekomunikasi atau Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU No. 11 tahun 2008.

KPK perlu menjelaskan kepada masyarakat atura-aturan yang harus diindahkan dan praktek-praktek penyadapan yang dilakukannya. Sebagaimana sudah ditentukan dalam UUD 1945, berkomunikasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.merupakan hak asasi manusia dan setiap orang berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

Meskipun kita sangat menyayangkan adanya upaya-upaya untuk menghancurkan KPK tetapi kita tidak dapat mengabaikan aturan-aturan yang ada dengan memanfaatkan penyadapan KPK untuk kasus yang lain di luar peruntukannya yang semula. Adalah baik untuk membuka setiap konspirasi, tetapi membuka hasil penyadapan KPK untuk tujuan lain dari yang dimaksudkan dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a UU No. 30 tahun 2002 adalah merupakan pelanggaran hukum.





Rabu, 21 Oktober 2009

Kabinet Indonesia Bersatu II

Sesuai dengan yang dijanjikannya, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, mengumumkan susunan Kabinet Indonesia Bersatu II untuk masa bakti 2009 – 2014. Sesuai dengan UU No. 39 tahun 2008, dan sebagaimana saya ulas dalam blog ini sebelumnya, Presiden mengumumkan 34 Kementrian dan nama-nama yang ditunjuk untuk memimpin kementerian yang bersangkutan dan tiga pejabat tinggi seperti Ketua UKP4, Kepala Badan Intelijen Negara, dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal. Sementara itu untuk Jaksa Agung, Panglima Tentara Nasional Indonesia, dan Kepala Kepolisian Negara RI tetap. Presiden juga akan dalam waktu yang tidak terlalu lama menunjuk para anggota Dewan Pertimbangan Kepresidenan untuk masa bakti 2009 -2014. Presiden juga akan menunjuk Wakil Menteri untuk kementerian-kementerian yang dianggap memerlukannya mengingat beban tugas yang berat dari kementerian.

Pengumuman yang disampaikan Presiden, yang didampingi oleh Wakil Presiden Boediono, tersebut tidak jauh berbeda dengan yang sudah diberitakan di mass media. Tentu ada satu nama yang mengikuti fit and proper test yang kemudian tidak masuk dalam Kabinet, yaitu Nila Djuwita F Moeloek, yang semula digadang-gadang sebagai Menteri Kesehatan. Dalam pengumuman Presiden, Menteri Kesehatan adalah Endang Rahayu Sedyaningsih. Presiden juga tidak menunjuk Sekretaris Kabinet yang pada Kabinet lalu dijabat oleh Sudi Silalahi. Sudi Silalahi ditunjuk menjadi Menteri Sekretaris Negara menggantikan Hatta Rajasa yang menempati pos baru sebagai Menteri Koordinator Perekonomian. Presiden tidak menjelaskan apakah Sekretaris Kabinet dan Sekretaris Negara tetap terpisah atau dilebur kembali dan berada di bawah Kementrian Kesekretariatan Negara.

Terdapat dua kementerian yang mendapatkan tambahan nama yaitu pertama Kemeterian Pemberdayaan Perempuan yang ditambah dengan perlindungan anak. Ini menunjukkan konsern bahwa untuk mengurusi anak tidak dapat dilepaskan dari pemberdayaan perempuan dan perempuan merupakan yang utama dalam mengurus anak. Pemberdayaan perempuan sekaligus juga pengoptimalan perlindungan terhadap anak.  Kedua Kementerian Penertiban Aparatur Negara yang ditambah dengan Reformasi Birokrasi. Upaya yang dilakukan oleh Presiden menyangkut perlindungan anak dan reformasi birokrasi merupakan suatu langkah yang patut mendapat acungan jempol. Ini menyangkut komitmen Presiden untuk melindungi anak sebagai penerus bangsa dan melakukan reformasi birokrasi. Program-program dan aplikasinya di kedua bidang tersebut sangat ditunggu. Keduanya merupakan kunci dalam memajukan Indonesia.

Pengumuman Presiden tersebut juga mengakhiri spekulasi mengenai ikut sertanya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dalam Kabinet. PDIP tidak ikut dalam Kabinet. Ini menunjukkan keteguhan pendirian dari Ketua Umum PDIP Ibu Megawaty Soekarno Puteri yang tidak ingin PDIP bergabung dalam Kabinet. Tentu ini merupakan suatu kebijaksanaan yang perlu diacungi jempol.  Ketidakikutsertaan PDIP dalam Kabinet memberikan harapan perimbangan kekuatan di Kabinet. Oposisi kritis tentu sangat diharapkan agar pemerintahan dapat bekerja untuk mencapai tujuan Negara sebagaimana dimaksud dalam Paragraf ketiga UUD 1945. Bersama PDIP ada Partai HATI NURANI RAKYAT (HANURA) dan Partai GERAKAN INDONESIA RAYA (GERINDRA). Partai-partai yang mengirimkan utusan ke Kabinet Indonesia bersatu adalah Partai Demokrat, Partai Golongan Karya, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Kebangkitan Bangsa.

Presiden menyadari bahwa beliau tidak mungkin memenuhi harapan semua lapisan masyarakat. Pro dan Kontra akan merebak menilik Kabinet yang dibentuk oleh Presiden tersebut. Presiden tentu lebih mengetahui pertimbangan-pertimbangan untuk menunjuk orang-orang tertentu sebagai menteri. Namun terlepas dari soal Pro dan Kontra yang akan menyemarakkan demokrasi tersebut, tiga partai yang memilih untuk tidak bergabung dalam Kabinet akan memberikan perimbangan kekuatan yang memadai. Kita berharap ke depan demokrasi, pembangunan ekonomi, hukum dan hak azasi manusia lebih maju.

Adapun susunan Kabinet yang diumumkan adalah sebagai berikut:

1. Menko Politik Hukum dan Keamanan : Marsekal (Purn) Djoko Suyanto

2. Menko Perekonomian : Hatta Rajasa

3. Menko Kesra : R Agung Laksono

4. Sekretaris Negara : Sudi Silalahi

5. Menteri Dalam Negeri : Gamawan Fauzi

6. Menteri Luar Negeri : Marty Natalegawa

7. Menteri Pertahanan : Purnomo Yusgiantoro

8. Menteri Hukum dan HAM : Patrialis Akbar

9. Menteri Keuangan : Sri Mulyani

10. Menteri ESDM: Darwin Saleh

11. Menteri Perindustrian : MS Hidayat

12. Menteri Perdagangan : Mari E. Pangestu

13. Menteri Pertanian : Suswono

14. Menteri Kehutanan : Zulkifli Hasan

15. Menteri Perhubungan : Freddy Numberi

16. Menteri Kelautan dan Perikanan : Fadel Muhammad

17. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi : Muhaimin Iskandar

18. Menteri Pekerjaan Umum : Djoko Kirmanto

19. Menteri Kesehatan : Endang Rahayu Setianingsih

20. Menteri Pendidikan Nasional : Mohammad Nuh

21. Menteri Sosial : Salim Segaf Al Jufri

22. Menteri Agama : Suryadharma Ali

23. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata : Jero Wacik

24. Menteri Komunikasi dan Informasi : Tifatul Sembiring

25. Menteri Riset dan Teknologi : Suharna Suryapranata

26. Menteri Koperasi dan UKM : Syarifudin Hasan

27. Menteri Lingkungan Hidup : Gusti Muhammad Hatta

28. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak: Linda Amalia Sari

29. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi: E.E Mangindaan

30. Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal : Ahmad Helmy Faishal Zaini

31. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional : Armida Alisjahbana

32. Menteri BUMN : Mustafa Abubakar

33. Menteri Perumahan Rakyat : Suharso Manoarfa

34. Menteri Pemuda dan Olahraga : Andi Alfian Mallarangeng


PEJABAT SETINGKAT MENTERI



1. Jaksa Agung: HENDARMAN SUPANDJI, SH.

2. Panglima TNI : Jenderal (TNI) Djoko Santoso

3. Kapolri: Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri

4. Kepala BIN: Jenderal (Purn) Sutanto

5. Kepala BKPM: Gita Wirjawan

6. Ketua Unit Kerja Presiden Pengawasan Pengedalian Pembangunan: Kuntoro Mangkusubroto

Dengan ini saya menyampaikan ucapan selamat dan semoga berhasil menjalankan kewajiban-kewajiban konstitusionalnya masing-masing.

Selasa, 20 Oktober 2009

Presiden dan Wapres dilantik

Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan dalam Sidang Paripurna MPR tanggal 20 Oktober 2009. Presiden Soesilu Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono sudah harus memulia tugas-tugasnya. Bapak Jusuf Kalla sudah mengakhiri masa jabatannya sebagai wakil Presiden RI 2004-2009.

Ada sedikit insiden, apa disengaja atau bukan. Sidang Paripurna yang dipimpin oleh Ketua MPR Taufik Kiemas (TK). TK setelah menyambut Presiden, Wakil Presiden Bapak Jusuf Kalla, dan Wakil Presiden terpilih Bapak Boediono langsung menyebutkan Wakil Presiden ke 6 yaitu Bapak Try Soetrisno. Lalu memberi salam kepada kepala negara/pemerintahan atau perwakilan negara sahabat. Seseorang terlihat berbisik kepada TK. lupa menyebut Presiden RI yang ketiga BJ Habibie.Lalu TK mengulang menyebut Wapres JK dan wakil presiden terpilih lalu menyebut Presiden RI ke 3 Bapak BJ Habibie. "Saya minta maaf Pak Habibie'" kata TK.

Pelantikan ini dilakukan dengan mengangkat sumpah sebagaimana diwajibkan oleh Pasal 9 ayat (1) UUD 1945.Pengucapan sumpah dimulai oleh Presiden SBY yang kemudian diikuti oleh pengucapan sumpah oleh Boediono yang akan menduduki posisi Wakil Presiden RI. Selanjutnya adalah penandatangan berita acara pelantikan. Terlihat Pak Boediono lebih dahulu menyelesaiakan penandatangan dan kemudian TK membubukan tandatangan pada berita acara diikuti oleh Para Wakil Ketua MPR. Setelah penandatangan TK menyerahkan berita acara kepada Presiden dan lalu ke DPR.Habis itu salam-salaman.

Setelah penyerahan berita acara lalu diikuti pidato Ketua MPR  dengan banyak maaf maafnya. Setelah menyampaikan terima kasih kepada Bapak Jusuf Kalla, TK mempersilahkan Presiden SBY menyampaikan pidato pelantikan sesuai pemenuhan ketentuan Pasal 33 ayat 8 UU No. 27 tahun 2009.

Pidato Presiden mengutip siaran televisi internasional bahwa Indonesia sebagai remarkable nation yaitu bangsa yang berhasil mengatasi krisis dalam 10 tahun terakhir. Dari panggung internasional Presiden menyoroti krisis global yang belum sepenuhnya pulih dan dalam tataran domestik belia menyoroti good governance dan reformasi.

Presiden juga mengajak segenap komponen bangsa untuk bersatu dalam menyongsong pembangunan ke depan.

Saya dengan ini menyampaikan ucapan selamat kepada Bapak Presiden DR. Susilo Bambang Yudhoyono dan Bapak Wakil Presiden Prof. DR. Boediono yang akan memimpin bangsa dan negara RI periode 2009 - 2014. Semoga berhasil membawa Indonesia untuk mencapai tujuan negara sebagaimana dimaksud dalam Paragraf ketiga Pembukaan UUD 1945.

Senin, 12 Oktober 2009

Konsultasi DPR - MK


Marzuki Alie, Ketua DPR RI membuat pernyataan yang menarik untuk diperhatikan. Dari detiknews:

"Menurut Marzuki, ada mekanisme baru yang berlaku di DPR mengenai pembuatan sebuah UU. Sebelum disahkan, suatu UU akan dikonsultasikan lebih dulu ke MK supaya hasilnya tidak bertentangan dengan UUD.


"Jadi kerja 560 orang ini benar-benar efektif, jangan sampai dibatalkan. Karena selain memakan waktu tentu saja juga memakan anggaran yang besar," kata Marzuki."

Apa yang menjadi konsern dari Ketua DPR tersebut tentu dapat dipahami. Sudah ada undang-undang yang dibatalkan secara keseluruhannya dan ada banyak UU yang dibatalkan secara parsial. Dari segi waktu dan biaya tentu akan sangat mubazir dengan sistem yang ada sekarang.

Sayangnya mekanisme baru tersebut belum tersedia di situs web DPR RI. Yang ada masih tata tertib dari masa sebelumnya. Sulit untuk melihat apakah mekanisme baru yang digagas DPR tersebut akan lebih baik dari yang terdapat dalam Tata Tertib lama.

Tentu hal ini akan menimbulkan persoalan konstitusional mengingat Mahkamah Konstitusi(MK)  tidak dimaksudkan sebagai tempat berkonsultasi bagi DPR dalam hal pembentukan UU. Bab VII UUD 1945 yang mengatur soal DPR dan pembentukan undang-undang tidak ada menyebut-nyebut MK. Demikian juga Pasal 24C UUD 1945 tidak ada menyebutkan bahwa MK mempunyai wewenang untuk mengadakan konsultasi menyangkut suatu RUU. Juga dalam UU No. 27 tahun 2009 tidak ditemukan mekanisme semacam ini, apalagi dalam UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Jika mekanisme baru yang disebutkan oleh Marzuki Alie tersebut benar-benar berjalan tentu akan merupakan pelanggaran terhadap UUD 1945.

Memang ada konsern lain juga. Dengan mekanisme baru yang disebutkan oleh Marzuki Alie tersebut, MK akan kehilangan kondusifitasnya sebagai benteng terakhir menyangkut konstitusionalitas dari suatu undang-undang. Jika MK sudah terlibat dalam pembentukan undang-undang, dalam rupa konsultasi dengan DPR, masih perlukah MK melakukan pengujian terhadap UU? Ataukah ada upaya untuk meniadakan wewenang dari MK untuk menguji undang-undang ke depan?

Saya menduga mekanisme yang hendak diterapkan DPR dalam pembentukan UU mirip pada sistem yang berlaku di Perancis dimana dalam persiapan RUU diajukan dulu kepada Conseil d'Etat. Bedanya, di Perancis itu adalah pemerintah yang diber saran oleh Conseil d'Etat. Mungkinkah MK digiring menjadi suatu Conseil d'Etat? Tentu hal ini perlu amandemen UUD 1945.

Selasa, 06 Oktober 2009

Menguji PERPU

Ada semacam kejanggalan mengenai kedudukan dari Peraturan Pemerintan Pengganti Undang-Undang (PERPU). Kita melihat dalam UU No. 10 tahun 2004 ada ketidaktepatan atau kebertentangan dengan UUD 1945 menyangkut PERPU ini. Pasal 7 ayat (1) huruf b menempatkan PERPU sederajat dengan UU. Karena adanya ketentuan yang menempatkan PERPU setara dengan UU maka kita dapat membaca di hukumonline, kompas.com dan detiknews.com, bahwa sejumlah advokat mengajukan permohonan pengujian atas PERPU No. 4 tahun 2009 yang menghebohkan itu. Tentu secara gamblang kita dapat melihat bahwa upaya dari para advokat itu seperti sia-sia karena toh permohonan mereka akan terbentur dengan persoalan kedudukan hukum (legal standing) dan pada akhirnya masalah pokoknya tidak akan tersentuh. Namun demikian saya pribadi sangat menghargai upaya ini karena dengan adanya persoalan itu saya jadi terpikir untuk membahas soal itu dalam blog saya ini.

PERPU sebagaimana sudah saya ulas sebelumnya dalam posting saya di blog ini harus dikeluarkan dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Tulisan ini dimaksudkan membahas satu persoalan ketatanegaraan baru, apakah PERPU dapat diuji di Mahkamah Konstitusi (MK). Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka sebagai suatu persyaratan adalah meluruskan apakah PERPU itu sederajat dengan UU atau tidak. Kalau PERPU sederajat dengan UU tentu dapat diajukan permohonan pengujian ke MK dan kalau ternyata tidak maka harus dicari di tempat lain yang mungkin seperti Mahkamah Agung atau ke DPR. Ketua MK Moh Mahfud MD , sebagaimana dikutip oleh hukum online, menegaskan bahwa PERPU tak bisa diuji ke MK.

Ada dua macam peraturan pemerintah

Landasan hukum dari PERPU adalah Pasal 22 UUD 1945 yang berbunyi:

(1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.


(2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.


(3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.

Dari ketiga ayat dalam Pasal 22 jelas-jelas disebutkan peraturan pemerintah. Namun peraturan pemerintah menurut Pasal 22 ini adalah sebagai pengganti undang-undang. Hal ini berarti bahwa apa yang kita sebut sebagai PERPU bukanlah undang-undang atau sederajat dengan undang-undang. PERPU adalah istilah yang diciptakan kemudian dan tidak terdapat dalam UUD 1945. Pasal 22 ayat (2) menggunakan istilah peraturan pemerintah dan demikian juga dengan ayat (3). Dengan adanya ketentuan yang menyebutkan peraturan pemerintah dalam Pasal 22, maka menjadi jelas bahwa menurut UUD 1945 terdapat dua macam peraturan pemerintah, yaitu peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya (Pasal 5 Ayat (2) UUD 1945) dan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang (Pasal 22 ayat (1)). Karena keduanya adalah sama-sama peraturan pemerintah maka keduanya sudah barang tentu sederajat. Jadi bahwa peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang itu memuat materi muatan yang merupakan materi muatan undang-undang tidak menjadikan PERPU itu setara dengan undang-undang. Baik Pasal 5 Ayat (2) UUD 1945 maupun Pasal 22 Ayat (1) menggunakan kata “menetapkan” untuk kedua macam peraturan pemerintah itu. Hal ini terjadi karena Presiden yang menetapkan peraturan pemerintah untuk melaksakan undang-undang menurut Pasal 5 Ayat (2) UUD 1945 adalah juga Presiden yang sama dengan yang menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa menurut Pasal 22 Ayat (1). Tentu harus saya ingatkan dalam hubungan ini bahwa Presiden dalam arti jabatannya dan bukan pribadi orang yang mengemban jabatan itu. Dapat terjadi bahwa dalam keadaan normal, katakanlah si A mengemban jabatan Presiden dan kemudian karena si A secara bersamaan dengan wakil presidennya tidak dapat menjalankan kewajibannya lalu Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan, dan Menteri Dalam Negeri secara bersama-sama mengeluarkan PERPU menurut Pasal 22 Ayat (1). Ini tentu tindakan presiden juga meski pribadi yang mengeluarkannya berbeda.

Berhubung Presiden yang menetapkan pertauran pemerintah sebagai pelaksanaan UU adalah presiden yang sama dengan presiden yang menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang maka derajat dari kedua peraturan pemerintah itu adalah sama. Jadi peraturan pemerintah menurut Pasal 5 Ayat (2) adalah sederajat dengan peraturan pemerintah menurut Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945.



Memang ada kerancuan yang terdapat dalam UU No. 10 tahun 2004 menyangkut kedudukan dari PERPU ini. Pasal 7 ayat (1) huruf b menempatkan PERPU sederajat dengan UU. Dalam Pasal 4 UU ini ditentukan bahwa “Peraturan Perundang-undangan yang diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang ini meliputi Undang-Undang dan Peraturan Perundang-undangan di bawahnya.” Pasal 4 terlihat menyebutkan bahwa ada uu dan peraturan di bawahnya. Namun dengan Pasal 7 ayat (1) huruf b tersebut ternyata yang dimaksudkannya adalah bahwa PERPU itu sederajat dengan UU.



PERPU tidak sederajat dengan UU



Defenisi dari PERPU disebutkan dalam Pasal 1 angka (4) yaitu Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa.Pengertian tersebut tidak secara tegas menyebutkan bahwa ia sederajat dengan undang-undang. Sebagaimana disebutkan di atas, Pasal 7 Ayat (1) huruf b yang menempatkan PERPU sederajat dengan UU. Namun menjadi pertanyaan, jika PERPU sederajat dengan UU mengapa masih diperlukan persetujuan DPR dan setelah mendapat persetujuan lalu berubah menjadi UU. Mestinya, kalau PERPU sederajat maka PERPU itu akan tetap berlaku sebagai PERPU dan tidak dibutuhkan lagi persetujuan DPR. Dalam Pasal 22 Ayat (2) UUD 1945 jelas dinyatakan bahwa peraturan pemerintah itu harus mendapatkan persetujuan DPR untuk masa sidang berikutnya.



UU No. 10 tahun 2004 mengelaborasi lebih lanjut ketentuan dalam Pasal 22 UUD 1945 di dalam Pasal 25, yang berbunyi:



(1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.


(2) Pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk pengajuan rancangan undang-undang tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang menjadi undang-undang.


(3) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut tidak berlaku.


(4) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, maka Presiden mengajukan rancangan undang-undang tentang pencabutan peraturan pemerintah pengganti undang-undang tersebut yang dapat mengatur pula segala akibat dari penolakan tersebut.



Sesuai Pasal 25 ayat (2) tersebut, pengajuan PERPU itu adalah dalam bentuk RUU tentang penetapan PERPU menjadi undang-undang. Ayat (3) menentukan lebih lanjut bahwa dalam hal PERPU ditolak maka perpu tersebut tidak berlaku. Hal ini menunjukkan bahwa DPR lebih tinggi dari Presiden dalam hal keberlakuan lebih lanjut dari PERPU. Jika DPR menyetujui PERPU tersebut maka PERPU itu diangkat menjadi UU. Hal ini terjadi karena menurut Pasal 20 ayat (1) DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. JIka ketentuan dalam Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 dihubungkan dengan dan Pasal 22 ayat (2) maka akan terlihat bahwa PERPU tersebut tidak setara dengan UU.



Sebagaimana sudah saya sampaikan dalam posting saya terdahulu, salah satu unsur hakiki dari hal ihwal kegentingan yang memaksa adalah tidak dapatnya DPR melakukan persidangan untuk mendapatkan persetujuan bersama dengan Presiden atas suatu Rancangan Undang-undang Menurut Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 harus ada persetujuan bersama antara DPR dan Presiden mengenai RUU. PERPU dikeluarkan karena DPR tidak dapat melakukan persidangan dan PERPU tersebut adalah sebagai pengganti undang-undang. Jadi sesungguhnya istilah peraturan pemerintah pengganti undang-undang sungguh menyesatkan karena kata “sebagai” dihilangkan.



Dengan demikian dapat kita lihat bahwa PERPU itu sesungguhnya tidak sederajat dengan UU dan oleh karenanya tidak dapat diajukan pengujian ke MK. Bahwa PERPU ditempatkan sederajat dengan UU dalam UU No. 10 tahun 2004 menunjukkan adanya kebertentangan antara UU tersebut dengan UUD 1945 dan hal itu perlu diuji.



PERPU bersifat Provisional



Suatu PERPU bersifat sementara sampai DPR menyetujui dan jika menyetujui maka selanjutnya membentuk UU yang menetapkan PERPU sebagai UU. Jika ditolak maka PERPU itu harus tidak berlaku. Persetujuan DPR itu harus diberikan pada masa persidangan berikutnya dari DPR. Dalam Penjelasan Pasal 25 ayat (1) UU No. 10 tahun 2004 disebutkan “Yang dimaksud dengan "persidangan yang berikut" adalah masa persidangan Dewan Perwakilan Rakyat yang hanya diantarai satu masa reses.” Ini berarti bahwa setelah hal ihwal kegentingan yang memaksa itu berakhir maka, PERPU itu harus diajukan ke DPR dalam bentuk RUU pada masa sidang berikutnya. Penjelasan Pasal 25 ayat (1) menegaskan bahwa hanya diantarai satu masa reses. Jadi waktu antara diundangkannya suatu PERPU dengan pengajuan untuk persetujuan ke DPR tidak terlalu lama. Atau dengan kata lain kesementaraan itu ada batasannya waktunya dan waktu itu begitu singkat. Dalam kondisi sekarang, PERPU No. 4 tahun 2009 yang menjadi persoalan seyogyanya sudah harus diajukan kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan DPR. Jika disetujui maka akan jadi UU dan jika ditolak maka PERPU itu tidak berlaku lagi.

Disini kita melihat sifat kesementaraannya. Jika diajukan pengujian atas PERPU yang hanya bersifat sementara maka tentu suatu hal yang tidak selayaknya karena ketika PERPU dalam proses pengujian PERPU mungkin sudah menjadi UU atau tidak berlaku lagi.

Jadi buat apa bersusah-susah menguji PERPU?

Kamis, 01 Oktober 2009

Selamat Bertugas Para Wakil Rakyat

Pada tanggal 1 Oktober 2009 telah dilakukan pelantikan para anggota DPR dan para anggota DPD hasil pemilihan umum legislatif 2009 untuk masa jabatan 2009 - 2014. Sebagaimana dilaporkan kompas.com, Pimpinan DPR, yaitu Marzuki Alie dari Partai Demokrat sebagai Ketua DPR, dan para wakil ketua DPR Priyo Budi Santoso dari Partai Golkar, Pramono Anung dari PDI Perjuangan, Anis Matta dari PKS, dan Marwoto Mintrohardjono dari PAN, juga sudah dilantik. Sampai saat tulisan ini dibuat, belum ada berita mengenai hasil pemilihan pimpinan DPD.

Pelantikan kali ini dilakukan dalam suasana duka yang mendalam sehubungan dengan Gempa yang terjadi sehari sebelum pelantikan di Sumatera Barat dan diikuti dengan rentetan gempa lainnya. Satu bulan sebelumnya Gempa dengan kekuatan yang hampir sama telah terjadi di Tasikmalaya.  Presiden sendiri dilaporkan tidak menghadiri pelantikan karena beliau sedang melakukan peninjauan ke lokasi bencana alam di Sumatera Barat.

Dalam suasana duka yang mendalam ini DPR baru mulai bertugas. Banyak persoalan bangsa yang belum tuntas dilakukan oleh para Anggota DPR periode sebelum ini. Memang jika kita perhatikan bahwa produk DPR, yaitu dalam hal pembentukan undang-undang, banyak yang mendapatkan sorotan. Beberapa undang-undang sudah diuji di Mahkamah Konstitusi, dan beberapa ketentuan dalam undang-undang dibatalkan. Malangnya, ada juga undang-undang, yaitu Undang-undang No. 27 tahun 2009 yang begitu diundangkan langsung dimohonkan pengujian kepada MK dan MK membenarkan bahwa memang ketentuan yang dimohonkan pengujian dalam undang-undang itu bertentangan dengan UUD 1945. Kita juga melihat bahwa pada masa-masa akhir dari jabatan para anggota DPR yang lalu DPR mengebut pengesahan RUU seolah-olah ada yang harus dikejar. Ini tentu sikap yang tidak begitu baik mengingat suatu undang-undang akan membawa dampak yang luas dalam masyarakat. Pembuatan suatu undang-undang bukanlah pekerjaan yang mudah. Dibutuhkan pemikiran yang mendalam dan matang dan harus dilihat dampakanya di masa yang akan datang.  Namun demikian produktivitas dari DPR periode lama patut dihargai juga. Banyak produk hukum yang dihasilkannya. Belum lagi dalam pelaksanaan fungsi-fungsi lain seperti pengawasan.
Pepatah lama bilang "tidak ada gading yang tidak retak". Sebaik apapun DPR bekerja tentu akan selalu ada kekurangannya.

Demikian juga halnya dengan para Anggota  DPD periode yang lalu yang telah menuntaskan pekerjaannya dengan cukup baik. DPD tentu saat ini masih mencari pola yang cocok baginya mengingat hal ini masih baru sebagai konsekwensi dari amandemen terhadap UUD 1945. Perselisihan dengan DPR bukanlah hal yang mengejutkan. UU No. 27 tahun 2009 tentu sudah dibuat sedemikian rupa untuk merajut pola ketatanegaraan Indonesia sesuai UUD 1945. Namun sekali lagi masih banyak kelemahan yang ke depan harus diperbaiki untuk kemajuan dan kematangan dalam berdemokrasi sesuai UUD 1945.

Pada periode 2009 -2014 ini tentu kita sangat berharap bahwa DPR dan DPD dapat lebih meningkatkan kinerjanya agar lebih baik dri periode yang lalu.

Kita ucapkan selamat jalan kepada para anggota DPR dan DPD yang lalu dan selamat bertugas kepada para Anggota DPR dan DPD periode 2009 - 2014 serta turut berduka cita atas musibah bencana alam yang terjadi di di Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu dan sekitarnya.  

Terjemahan Konvensi

Saya ada menyediakan terjemahan bebas dari Konvensi ICSID mengenai penyelesaian sengketa investasi internasional antara negara-negara dengan warga negara dari negara lain dan Konvensi New York 1958 mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing.

Kedua konvensi tersebut sangat penting dan sejauh pengamatan saya belum diterjemahkan selama ini secara utuh. Tentu banyak penulis sudah memberikan terjemahan konvensi secara parsial, yaitu pasal-pasal tertentu. Saya juga melakukannya, yaitu menterjemahkan beberapa pasal dari Konvensi New York dalam buku saya berjudul Arbitrase Online, 2004.

Maksud peng-Indonesia-an secara bebas ini adalah untuk membantu untuk memahami kedua Konvensi  tersebut.

Selasa, 29 September 2009

Sanksi Membocorkan Nasihat dan Pertimbangan kepada Presiden

Saya baru memperhatikan pernyataan dari Prof. Hikmahanto Juwana dalam berita di detiknews.com berjudul Hikmahanto: Adnan Buyung Perlu Diacungi Jempol.  Dari berita tersebut:

"Hikmahanto, mantan anggota Panitia Seleksi Pimpinan KPK 2007-2011, memberikan acungan jempol, karena sebagai Wantimpres, Buyung telah meminta Presiden SBY tidak melakukan penunjukan sepihak atas orang-orang yang akan diangkat sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Pimpinan KPK. Padahal, Buyung tidak disertakan dalam pembahasan Perpu 4/2009."

Tiga paragraph terakhir dari berita tersebut berbunyi:

"Menurut Guru Besar Ilmu Hukum UI ini, Presiden SBY telah diingatkan oleh Buyung agar tidak menjadikan dirinya sebagai penguasa yang absolut. "Bisa jadi ketika itu Presiden tidak berpikir panjang atau tidak sadar dalam upaya tulusnya menyelamatkan KPK. Yang patut disayangkan para pembantu Presiden tidak atau lupa mengingatkan Presiden sejak dini," ujar dia.



Dalam peran inilah, kata Hikmahanto, Buyung sebagai anggota Wantimpres perlu mendapat apresiasi. Menurut dia, Buyung telah menghindarkan Presiden dari malapetaka ketatanegaraan dan ancaman terhadap demokrasi.



"Buyung tidak saja menyelamatkan independensi KPK, tetapi juga menyelamatkan Presiden dari kesan sewenang-wenang dalam menjalankan hak prerogatif yang dimilikinya meski dilakukan tanpa kesengajaan," kata dia."

Dalam berita tersebut tidak disebutkan darimana Prof. Hikmahanto mengetahui bahwa Adnan Buyung Nasution (Bang Buyung) ada memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden. Apakah dari Bang Buyung sendiri atau dari pihak lain tidak jelas. Kalau informasi Prof. Hikmahanto ini berasal dari sumber lain selain Bang Buyung tentu sangat riskan bagi Prof. Hikmahanto memberikan keterangan tidak dari sumber asli (semacam testimonium de auditu). Tentu sebagai seorang Professor, saya menduga  beliau tidak akan berani memberikan pujian itu jika tidak langsung mendengar dari Bang Buyung.   Kalau langsung dari Bang Buyung, maka disini tampaknya sudah ada pelanggaran hukum.

Dari segi substansi saya kira tidak ada yang istimewa sehingga Bang Buyung perlu diacungi jempol.  Tentu sudah selayaknya anggota Wantimpres memberikan nasihat dan pertimbangan. Namun dari segi formal, saya kira ini sudah menyalahi. Anggota Wantimpres tidak dibenarkan menyebarkan isi nasihat atau pertimbangannya kepada Presiden. Pasal 6 Ayat (1) UU No. 19 tahun 2006 berbunyi:

"Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, anggota Dewan Pertimbangan Presiden tidak dibenarkan memberikan keterangan, pernyataan, dan/atau menyebarluaskan isi nasihat dan pertimbangan kepada pihak mana pun."

Jadi kalau Bang Buyung yang menyebarkan isi nasehatnya kepada Prof. Hikmahanto tentu, dengan merujuk pada Pasal 6 Ayat (1) UU No. 19 tahun 2006 tersebut, hal ini sudah menyalahi aturan. Pertama Bang Buyung menyebarkan isi nasihat dan pertimbangan kepada Prof. Hikmahanto dan Prof. Hikamahanto menyebarkan kepada publik dengan diembel-embeli pujian dan perlu diacungi jempol.

Saya tidak menemukan ada sanksi disebut dalam UU itu. Saya menduga bahwa Nasihat dan Pertimbangan anggota Wantimpres termasuk rahasia negara. Namun demikian dalam Pasal 11 ada disebut:


(1) Anggota Dewan Pertimbangan Presiden diberhentikan dari jabatannya karena:



a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri atas permintaan sendiri secara tertulis;
c. tidak dapat melaksanakan tugas selama 6 (enam) bulan secara berturut-turut;
d. tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8;
e. alasan lain yang ditentukan oleh Presiden.

 
Pasal 8 UU tersebut berbunyi:
Untuk dapat diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden, seseorang harus memenuhi persyaratan:
a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. warga negara Indonesia;
c. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945;
d. mempunyai sifat kenegarawanan;
e. sehat jasmani dan rohani;
f. jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
g. tidak pernah dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; dan
h. mempunyai keahlian tertentu di bidang pemerintahan negara.

Jika melihat pada persyaratan dalam Pasal 8 dan dengan anggapan bahwa Prof. Hikmahanto mendapatkan informasi nasihat dan pertimbangan kepada Presiden itu langsung dari Bang Buyung, saya menduga Bang Buyung sudah melakukan perbuatan tercela karena "memberikan keterangan, pernyataan, dan/atau menyebarluaskan isi nasihat dan pertimbangannya" kepada pihak lain. Jadi dihubungkan dengan Pasal 11, saya menduga sudah cukup alasan bagi Presiden untuk memberhentikan Bang Buyung sebagai anggota Wantimpres dengan alasan tidak lagi memenuhi ketentuan dalam Pasal 8 huruf f.