Rabu, 04 November 2009

MK: Quo Vadis?

Kemarin kita disuguhkan suatu proses hukum yang sangat spektakuler. Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar persidangan yang membuka rekaman-rekaman yang diduga sebagai suatu upaya menjegal pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Rekaman tersebut merupakan hasil sadapan KPK. Mayarakat menyambut gembira peristiwa tersebut. Antusiasisme masyarakat, disamping mengingat upaya pengkriminalisasian petinggi KPK,  juga karena dalam rekaman RI 1 disebut-sebut.

Tindakan MK ini patut mendapat catatan khusus. Persidangan yang membuka rekaman-rekaman penyadapan itu adalah dalam permohonan pengujian Pasal 32 ayat (1) butir c UU No. 30 tahun 2002  terhadap  Pasal 28D ayat (1) , Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, dalam perkara dengan nomor registrasi 133/PUU-VII/2009 . Dalam perkara tersebut yang dimohonkan adalah agar MK menyatakan Pasal 32 ayat (1) butir (c) UU KPK bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28J ayat (2) dan menyatakan bahwa Pasal 32 ayat (1) butir (c) UU KPK tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya.

Ketua MK Moh. Mahfud MD menjelaskan pada persidangan mengenai landasan hukum untuk mendengarkan perekaman dalam persidangan:
 "Setelah Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH), Mahkamah berdasarkan pada undang-undang yakni Pasal 17 UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, UU No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, maka diperbolehkan untuk mendengarkan rekaman penyadapan KPK dalam persidangan."

Penjelasan yang disampaikan oleh Ketua MK tersebut menyimpan problematika tersendiri. Pertama, apakah MK merupakan pelaksana UU No. 14 tahun 2008? Kedua, pakah rekaman-rekaman yang bersangkutan termasuk dalam pengertian informasi publik sebagaimana dimaksud dalam UU tersebut? Pengertian informasi publik adalah: informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik.

Menyangkut relevansi. Ketua MK tidak menjelaskan apa relevansi dari rekaman-rekaman tersebut dengan pokok perkara yang tengah ditanganinya. Apakah rekaman-rekaman tersebut relevan untuk dipertimbangkan oleh MK dalam memutuskan apakah Pasal 32 ayat (1) butir c UU No. 30 tahun 2000 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) , Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945? Apakah rekaman tersebut memberikan atau tidak dukungan terhadap soal kebertentangan pasal 32 ayat (1) butir c UU No. 30 tahun 2002 itu?

Persoalan lain adalah apakah status dari rekaman-rekaman tersebut dalam perkara yang bersangkutan. Secara gamblang tentu kita berpikir bahwa rekaman-rekaman tersebut dapat dilihat sebagai alat bukti. Mengenai alat bukti ini tentu masih dapat dipersoalkan juga. Pertama adalah menyangkut kesahannya. Pasal 36 ayat (2) UU No. 23 tahun 2003 menentukan bahwa alat bukti perolehannya harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Sebagaimana sudah saya tulis sebelum ini, Komunikasi yang Aman: Soal Penyadapan, dengan mengutip Ketua Plt KPK, rekaman-rekaman tersebut adalah merupakan hasil penyelidikan kasus korupsi sistem komunikasi radio terpadu (SKRT) di Dephut dengan tersangka Anggoro Widjojo. Rekaman-rekaman itu sah tentu untuk kasus yang bersangkutan tetapi tidak untuk dibuka di MK dan sudah barang tentu hal itu bukan informasi publik dalam pengertian dari UU No. 14 tahun 2008. Menurut Pasal 36 ayat (3) UU MK, jika suatu alat bukti perolehannya tidakdapat dipertanggungjawabkan secara hukum maka tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah. Memang dalam Pasal 36 ayat (4) UU MK, MK yang menentukan sah tidaknya suatu alat bukti. Pasal 37 lebih jauh menentukan "Mahkamah Konstitusi menilai alat-alat bukti yang diajukan ke persidangan dengan memperhatikan persesuaian antara alat bukti yang satu dengan alat bukti yang lain." Tentulah rekaman-rekaman itu akan menjadi aneh sendiri diantara alat bukti-alat bukti yang ada.

Mengingat hal-hal tersebut, sesungguhnya tidak ada alasan yang cukup bagi MK untuk menghadirkan dan mendengarkan rekaman-rekaman tersebut dalam persidangan pengujian undang-undang. Sulit untuk memahami langkah yang ditempuh oleh MK ini. Tampak seperti penyalahgunaan wewenang (abuse of power). Kalau demikian, mau kemanakah anda MK?

Catatan Tambahan:
Pada tanggal 29 Oktober 2009 telah diundangkan UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. UU ini berlaku pada tanggal diundangkan. Pasal 62 dari UU ini berbunyi:


Pada saat Undang-Undang ini berlaku, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Salah satu dasar hukum MK untuk membuka rekaman penyadapan itu adalah  UU No. 4 tahun 2004, yang ternyata sudah dicabut dan tidak berlaku mulai tanggal 29 Oktober 2009. Jadi MK sudah tidak dapat menggunakan UU No. 4 tahun 2004 sebagai dasar hukum untuk tindakannya tersebut. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar