Senin, 16 Maret 2020

Dampak Virus Corona Pada Kontrak: Keadaan memaksa




Virus Corona sudah menyebar kemana-mana dan Indonesia sudah menyatakan keadaan itu sebagai bencana non alam nasional. Perusahaan-perusahaan sudah banyak yang mengubah cara kerjanya. Larangan berkumpul lebiih dari puluha orang. Sekolah-sekolah diliburkan, pertandingan-pertandingan olahraga dihentikan.Hal-hal tersebut di atas menghadirkan pertaanyaan di Indonesia dalam waktu-waktu ke depan tentang dampak pandemi itu sendiri, dan bahwa langkah-langkah yang diambil oleh pihak berwenang ( misalnya social distancing, lockdown, karantina, penutupan, dll.), pada kinerja kontrak dan pembebasan dari konsekuensi keterlambatan atau pelanggaran kontrak lainnya.

Dalam konteks epidemi di seluruh dunia seperti coronavirus, situasi dapat muncul, di mana para pihak yang berkontrak - yang mengacu pada force majeure - gagal melakukan kontrak atau tidak melakukan kontrak sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam kontrak. Menurut KUH Perdata Indonesia, suatu pihak dapat membebaskan dirinya dari kewajibannya untuk membayar ganti rugi yang disebabkan oleh pelanggaran kontrak, jika dapat membuktikan bahwa (i) pelanggaran kontrak terjadi sebagai akibat dari keadaan yang berada di luar kendali. , (ii) keadaan seperti itu tidak dapat diperkirakan pada saat memasuki kontrak, dan (iii), tidak dapat diharapkan secara wajar untuk menghindari keadaan seperti itu dan untuk mengurangi kerusakan yang dihasilkan.
Berdasarkan hal di atas, berbagai peristiwa 'force majeure' memenuhi syarat sebagai alasan untuk dikecualikan dari kinerja, meskipun KUHPerdata tidak memiliki definisi yang tepat dan daftar perincian peristiwa 'force majeure'.

Namun, yang relevan, menurut KUH Perdata yang berlaku, keberadaan peristiwa force majeure tidak secara otomatis menghasilkan pembebasan pihak dari konsekuensi pelanggaran kontrak. Penting juga bahwa peristiwa force majeure yang diberikan memenuhi kriteria berikut:
• ini memiliki akibat langsung pada kinerja pihak yang gagal menjalankan prestasinya
• itu terbukti tidak dapat diperkirakan pada saat penyelesaian kontrak; dan
• pada saat kejadiannya, tidak dapat diharapkan dari pihak terkait untuk mencegah konsekuensinya.

Keadaan Memaksa dalam KUHPerdata Indonesia
Ketentuan-ketentuan dalam KUHPerdata mengenai keadaan memaksa adalah:
a. Pasal 1244 KUH Perdata
“Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemaunya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya.”
b. Pasal 1245 KUH Perdata
“Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apalagi lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja si berutang beralangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatanyang terlarang.”
Ketentuan lain mengenai keadaan memaksa juga terdapat dalamPasal 1444 dan 1445 KUH Perdata, sebagai berikut :
a. Pasal 1444 KUH Perdata
  1. Jika barang tertentu yang menjadi bahan perjanjian, musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang, sedemikian hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang di luar salahnya si berutang, dan sebelum ia lalai menyerahkannya.
  2. Bahkan meskipun si berutang lalai menyerahkan sesuatu barang sedangkan ia tidak telah menanggung terhadap kejadian-kejadian yang tak terduga, perikatan hapus jika barangnya akan musnah secara yang sama di tangan si berpiutang, seandainya sudah diserahkan kepadanya.
  3. Si berutang diwajibkan membuktikan kejadian yang tak terduga, yang dimajukan itu.
  4. Dengan cara bagaimanapun sesuatu barang, yang telah dicuri, musnah atau hilang, hilangnya barang ini tidak sekali-kali membebaskan orang yang mencuri barang dari kewajibannya untuk mengganti harganya.
b.  Pasal 1445 KUH Perdata
“Jika barang yang terutang, di luar salahnya si berutang musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang, maka si berutang, jika ia mempunyai hak-hak atau tuntutan-tuntutan ganti rugi mengenai barang tersebut, diwajibkan memberikan hak-hak dan tuntutan-tuntutan tersebut kepada orang yang mengutangkan padanya.”

2. Unsur-Unsur Keadaan Memaksa 
Berdasarkan pasal-pasal KUH Perdata di atas, unusr-unsur keadaan memaksa meliputi :
  • peristiwa yang tidak terduga;
  • tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur;
  • tidak ada itikad buruk dari debitur;
  • adanya keadaan yang tidk disengaja oleh debitur;
  • keadaan itu menghalangi debitur berprestasi;
  • jika prestasi dilaksanakan maka akan terkena larangan
  • keadaan di luar kesalahan debitur;
  • debitur tidak gagal berprestasi (menyerahkan barang);
  • kejadian tersebut tidak dapat dihindari oleh siapapun (baik debitur maupun pihak lain);
  • debitur tidak terbukti melakukan kesalahan atau kelalaian.
Berdasarkan KUH Perdata dan praktek hukum, pihak yang mengajukan peristiwa force majeure harus membuktikan keberadaan keadaan tersebut.

Praktek Kontrak
Namun, para pihak mungkin telah mengatur ruang lingkup peristiwa force majeure, pemberitahuan aturan yang harus diikuti dalam acara peristiwa force majeure dan juga konsekuensi hukum dari force majeure secara khusus dan, dengan cara yang lebih rinci dibandingkan dengan aturan umum KUHPerdata. Jika kontrak yang dimaksud berisi klausul force majeure tertentu, biasanya berisi prosedur pemberitahuan, dan ketidakpatuhan terhadap prosedur tersebut dapat memiliki efek signifikan pada konsekuensi kontrak force majeure. Oleh karena itu perlu untuk meninjau kembali klausul tersebut dengan cermat mengingat situasi saat ini.

Di bawah hukum Indonesia, wabah koronavirus tidak harus memenuhi syarat sebagai peristiwa force majeure yang membebaskan suatu pihak dari konsekuensi hukum dari pelanggaran kontrak. Pertama dan terutama, para pihak harus meninjau klausul yang relevan dari kontrak mereka. Kecuali jika para pihak telah menyetujui aturan khusus untuk peristiwa force majeure dalam kontrak mereka, koeksistensi dari tiga persyaratan konseptual yang dijelaskan di atas harus diperiksa dan dievaluasi.

Dalam hal ini, aspek-aspek berikut umumnya layak dipertimbangkan, antara lain:
• dalam hal kontrak yang disepakati sebelum munculnya coronavirus pada Desember 2019, secara umum dapat dinyatakan bahwa para pihak tidak perlu mengantisipasi penyebaran virus COVID-19 di seluruh dunia, sedangkan dalam kasus kontrak yang disepakati sejak awal 2020 , keadaan ini perlu dinilai dan ditunjukkan secara individual;
• pihak yang mengajukan keadaan memaksa (force majeure) harus menunjukkan, dalam konteks spesifik kontrak, mengapa dan bagaimana persisnya wabah koronavirus memengaruhi kinerja kontrak - rujukan semata-mata pada menyebarnya virus tampaknya tidak cukup untuk mendukungnya; dan
• pihak yang meminta force majeure juga perlu menunjukkan mengapa pihaknya tidak dapat diharapkan untuk menangkal dampak wabah koronavirus terhadap kinerja kontrak tertentu - mis. mengapa dampak pandemi pada kontrak tidak dapat diobati dengan mempekerjakan pemasok lain, atau menasihati karyawan untuk bekerja dari rumah.

Penutup
Virus COVID-19 bukanlah "cek kosong" generik untuk menolak melaksanakan kontrak - akibat-akibat dari wabah harus diperiksa secara individual dalam konteks kontrak tertentu, yang melibatkan penilaian syarat-syarat spesifik kontrak dan persyaratan hukum yang dijelaskan di atas. Selain ketentuan keadaan memaksa dalam kontrak, penting bagi pihak-pihak yang berkontrak  untuk meninjau situasi dan mempersiapkan langkah-langkah yang diperlukan dengan meninjau ketentuan pemberitahuan dan penyelesaian sengketa.