Selasa, 29 September 2009

Sanksi Membocorkan Nasihat dan Pertimbangan kepada Presiden

Saya baru memperhatikan pernyataan dari Prof. Hikmahanto Juwana dalam berita di detiknews.com berjudul Hikmahanto: Adnan Buyung Perlu Diacungi Jempol.  Dari berita tersebut:

"Hikmahanto, mantan anggota Panitia Seleksi Pimpinan KPK 2007-2011, memberikan acungan jempol, karena sebagai Wantimpres, Buyung telah meminta Presiden SBY tidak melakukan penunjukan sepihak atas orang-orang yang akan diangkat sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Pimpinan KPK. Padahal, Buyung tidak disertakan dalam pembahasan Perpu 4/2009."

Tiga paragraph terakhir dari berita tersebut berbunyi:

"Menurut Guru Besar Ilmu Hukum UI ini, Presiden SBY telah diingatkan oleh Buyung agar tidak menjadikan dirinya sebagai penguasa yang absolut. "Bisa jadi ketika itu Presiden tidak berpikir panjang atau tidak sadar dalam upaya tulusnya menyelamatkan KPK. Yang patut disayangkan para pembantu Presiden tidak atau lupa mengingatkan Presiden sejak dini," ujar dia.



Dalam peran inilah, kata Hikmahanto, Buyung sebagai anggota Wantimpres perlu mendapat apresiasi. Menurut dia, Buyung telah menghindarkan Presiden dari malapetaka ketatanegaraan dan ancaman terhadap demokrasi.



"Buyung tidak saja menyelamatkan independensi KPK, tetapi juga menyelamatkan Presiden dari kesan sewenang-wenang dalam menjalankan hak prerogatif yang dimilikinya meski dilakukan tanpa kesengajaan," kata dia."

Dalam berita tersebut tidak disebutkan darimana Prof. Hikmahanto mengetahui bahwa Adnan Buyung Nasution (Bang Buyung) ada memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden. Apakah dari Bang Buyung sendiri atau dari pihak lain tidak jelas. Kalau informasi Prof. Hikmahanto ini berasal dari sumber lain selain Bang Buyung tentu sangat riskan bagi Prof. Hikmahanto memberikan keterangan tidak dari sumber asli (semacam testimonium de auditu). Tentu sebagai seorang Professor, saya menduga  beliau tidak akan berani memberikan pujian itu jika tidak langsung mendengar dari Bang Buyung.   Kalau langsung dari Bang Buyung, maka disini tampaknya sudah ada pelanggaran hukum.

Dari segi substansi saya kira tidak ada yang istimewa sehingga Bang Buyung perlu diacungi jempol.  Tentu sudah selayaknya anggota Wantimpres memberikan nasihat dan pertimbangan. Namun dari segi formal, saya kira ini sudah menyalahi. Anggota Wantimpres tidak dibenarkan menyebarkan isi nasihat atau pertimbangannya kepada Presiden. Pasal 6 Ayat (1) UU No. 19 tahun 2006 berbunyi:

"Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, anggota Dewan Pertimbangan Presiden tidak dibenarkan memberikan keterangan, pernyataan, dan/atau menyebarluaskan isi nasihat dan pertimbangan kepada pihak mana pun."

Jadi kalau Bang Buyung yang menyebarkan isi nasehatnya kepada Prof. Hikmahanto tentu, dengan merujuk pada Pasal 6 Ayat (1) UU No. 19 tahun 2006 tersebut, hal ini sudah menyalahi aturan. Pertama Bang Buyung menyebarkan isi nasihat dan pertimbangan kepada Prof. Hikmahanto dan Prof. Hikamahanto menyebarkan kepada publik dengan diembel-embeli pujian dan perlu diacungi jempol.

Saya tidak menemukan ada sanksi disebut dalam UU itu. Saya menduga bahwa Nasihat dan Pertimbangan anggota Wantimpres termasuk rahasia negara. Namun demikian dalam Pasal 11 ada disebut:


(1) Anggota Dewan Pertimbangan Presiden diberhentikan dari jabatannya karena:



a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri atas permintaan sendiri secara tertulis;
c. tidak dapat melaksanakan tugas selama 6 (enam) bulan secara berturut-turut;
d. tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8;
e. alasan lain yang ditentukan oleh Presiden.

 
Pasal 8 UU tersebut berbunyi:
Untuk dapat diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden, seseorang harus memenuhi persyaratan:
a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. warga negara Indonesia;
c. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945;
d. mempunyai sifat kenegarawanan;
e. sehat jasmani dan rohani;
f. jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
g. tidak pernah dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; dan
h. mempunyai keahlian tertentu di bidang pemerintahan negara.

Jika melihat pada persyaratan dalam Pasal 8 dan dengan anggapan bahwa Prof. Hikmahanto mendapatkan informasi nasihat dan pertimbangan kepada Presiden itu langsung dari Bang Buyung, saya menduga Bang Buyung sudah melakukan perbuatan tercela karena "memberikan keterangan, pernyataan, dan/atau menyebarluaskan isi nasihat dan pertimbangannya" kepada pihak lain. Jadi dihubungkan dengan Pasal 11, saya menduga sudah cukup alasan bagi Presiden untuk memberhentikan Bang Buyung sebagai anggota Wantimpres dengan alasan tidak lagi memenuhi ketentuan dalam Pasal 8 huruf f.

Senin, 28 September 2009

PERPU dan Pekerjaan Tim 5 perlu ditangguhkan

Dalam tulisan saya mengenai PERPU, saya sudah mengulas mengenai penerbitan sebuah PERPU yaitu dalam keadaan mendesak dan pada waktu dikeluarkannya PERPU DPR tidak sedang dalam keadaan bersidang sehingga tidak dapat membentuk UU.

Pada hari ini DPR sudah kembali bersidang dan malahan dilaporkan sudah membentuk 6 UU. Sesuai dengan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 maka PERPU yang sudah dikeluarkan oleh Presiden harus diajukan ke DPR untuk mendapatkan persetujuan. Namun saat ini Presiden belum kembali ke tanah air dari lawatan ke Amerika Serikat. Artinya keadaan sudah normal kembali dan keadaan mendesak sudah tidak ada sehingga PERPU yang sudah dikeluarkan perlu persetujuan DPR.

Terlepas dari soal bahwa DPR periode sekarang akan berakhir masa jabatannya pada tanggal 30 September 2009, setidaknya sudah terlihat bahwa keadaan mendesak sebagai dasar dikeluarkannya PERPU sudah kehilangan landasannya. Persoalan bahwa DPR sekarang tidak dapat mengambil keputusan menyetujui atau tidak, tetapi sekembalinya dari AS, Presiden harus segera mengajukan ke DPR PERPU yang menjadi persoalan untuk mendapatkan persetujuan DPR. Agung Laksono, Ketua DPR RI memang ada mengatakan bahwa persetujuan itu akan diambil oleh DPR pada periode berikutnya. Tentu perlu dicatat bahwa Agung Laksono menyatakan "Perpu akan disetujui atau ditolak DPR dalam masa persidangan berikutnya. Masa persidangan DPR berikutnya akan dilakukan oleh anggota DPR periode 2009-2014." Kata "masa" sebagaimana dikutip oleh Agung Laksono tidak ada dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. Pasal 22 Ayat (2) UUD 1945 lengkapnya berbunyi "(2) "Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut." Jadi persidangan berikut harus ditafsirkan persidangan DPR sesudah dikeluarkannya PERPU dalam mana DPR tidak dapat bersidang.


Demikian juga pekerjaan yang sedang dikerjakan oleh Tim 5 sebaiknya ditangguhkan sampai DPR memberi persetujuan atau tidak terhadap PERPU tersebut. Tentu situasinya akan berbeda jika setelah dikeluarkannya PERPU Presiden langsung mengisi kekosongan di KPK.

Minggu, 27 September 2009

Bang Buyung sungguh berlebihan

Dalam berita berjudul Kapolri Diharapkan Segera Respon Usul Adnan, kompas.com melaporkan pernyataan-pernyataan yang disampaikan oleh Adnan Buyung Nasution, Anggota Dewan Pertimbangan Presiden(Wantimpres), antara lain:


"Saya harapkan jangan Pak Susni Dadji, tapi Pak Kapolri sendiri yang mesti merespon. Bagaimana respon dia atas usul saran saya kemarin," kata Adnan di kantor Watimpres, Jakarta, Sabtu (26/9).

Lebih jauh:

Adnan mengaku, usulan penonaktifan dan pemeriksaan SD berdasarkan suara hatinya setelah menangkap kegelisahan di tengah masyarakat atas dugaan balas dendam kepada KPK.
Sebelumnya, Adnan mendesak Kapolri segera menonaktifkan dan memeriksa SD atas dugaan menerima suap. Atas usulnya tersebut, Adnan juga mengaku mendapat banyak telepon dan pesan singkat mengucapkan terima kasih karena telah menyampaikan kegelisahan yang terjadi di masyarakat.
"Saya katakan ini supaya menjernihkan apa yg ada di masyarakat. Tadi, saya banyak mendapat SMS dari banyak orang dan telepon dari radio, bahwa masyarakat merasa lega setelah saya menyampaikan unek-unek yang ada dimasyarakat," pungkasnya

Pernyataan-pernyataan yang disampaikan Bang Buyung tersebut cukupmenarik karena pernyataan itu disampaikan dalam kapasitasnya sebagai anggota Wantimpres dan di kantor Wantimpres sendiri. Ini tentu menimbulkan pertanyaan, apa sih tugas dari Wantimpres itu.

Pasal 16 UUD 1945 berbunyi “Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam undangundang.” UU yang mengatur mengenai Watimpres ini adalah UU No. 19 tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden. Dalam Pasal 4 UU tersebut ditentukan mengenai tugas Wantimpres sebagai berikut:

(1) Dewan Pertimbangan Presiden bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan negara.



(2) Pemberian nasihat dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan oleh Dewan Pertimbangan Presiden baik diminta maupun tidak diminta oleh Presiden.



(3) Nasihat dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan baik secara perorangan maupun sebagai satu kesatuan nasihat dan pertimbangan seluruh anggota dewan.


Sesuai dengan Pasal 4 Ayat (1) UU No. 19 tahun 2006 tersebut tugas Wantimpres itu adalah memberikan Nasehat dan pertimbangan kepada Presiden dan bukan kepada Kapolri atau kepada pejabat-pejabat yang lain. Pasal 16 UUD 1945 juga sangat tegas bahwa nasihat dan pertimbangankepada Presiden dan memang untuk itulah pengaturan tersebut dibuat. Pasal 4 ayat (2) UU No. 19 tahun 2006 tersebut mengatur kewajiban memberikan nasihat dan pertimbangan baik diminta atau tidak diminta,sementara ayat (3) menentukan bahwa nasihat dan pertimbangan dapat diberikan secara perorangan maupun satu kesatuan.

Maka berdasarkan hal-hal tersebut mengherankan bahwa Adnan Buyung Nasution memberikan usulan kepada Pihak Kepolisian dalam rangka menjalankan urusan penyidikan dalam kapasitas beliau sebagai Anggota Wantimpres dan di kantor Wantimpres. Apalagi jika kemudian Bang Buyung itu menempatkan dirinya seolah-olah sebagai penyambung lidah teman-temannya dan pendengar radio.

Tampaknya Bang Buyung tidak menempatkan diri dalam menjalankan peranannya sebagai Anggota Wantimpres. Masing-masing orang mempunyai peranan yang harus dilakoninya sendiri terutama di jajaran lembaga pemerintahan. Bang Buyung memainkan peranan yang bukan perannya dan tidak pada tempatnya Wantimpres mencampuri urusan Polri atau KPK atau Kejaksaan sekalipun secara langsung. Entah mengapa Bang Buyung terlihat seperti bertindak berlebihan. Jika memang ada dugaan beliau ada ketidakberesan dalam menjalankan fungsi penegakan hukum oleh lembaga lain atau oleh pejabat lain, Bang Buyung seyogyanya memberi nasihat dan pertimbangan kepada Presiden. Kalau memang orang yang dituduh Bang Buyung melakukan penyidikan ada aroma balas dendam, biar Presiden yang memberikan teguran kepada Kapolri.





 

Rabu, 23 September 2009

SOAL KEADAAN KEGENTINGAN YANG MEMAKSA

Hari-hari belakangan ini ramai diperbincangkan tentang tindakan Presiden untuk mengeluarkan Perpu mengenai KPK. Ada yang menyatakan bahwa tindakan Presiden tidak sah ada juga yang menyatakan tidak sah. Bagi yang menyatakan tidak sah, kondisi yang ada sekarang belum dapat dinyatakan genting. Bagi yang mendukung tindakan Presiden maka dinyakan bahwa penilaian mengenai kegentingan yang memaksa merupakan hak subjektif dari Presiden.


Untuk meninjau persoalan ini, terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan. Ketua KPK dan dua Wakil Ketua KPK terkena kasus yang membuat mereka harus berhadapan dengan proses hukum. Ketua KPK telah berhadapan dengan dakwaan dan sudah mulai disidangkan. Sedangkan dua wakil ketua KPK sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam suatu perkara yang lain dari yang dihadapi Ketua KPK. Dengan adanya proses hukum tersebut, Presiden lalu menonaktifkan ketiga petinggi KPK tersebut. Dengan dinonaktifkannya ketiganya, maka pengambilan keputusan di KPK menjadi tidak kondusif dengan hanya ada dua orang Petinggi KPK yang tersisa. Presiden lalu mengambil tindakan mengeluarkan PERPU untuk mengatasi hal ini dengan melakukan perubahan terhadap UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Tindakan-tindakan Presiden ini, yaitu menonaktifkan dua wakil ketua dan mengeluarkan PERPU diambil dalam masa liburan (lebaran) seperti sekarang ini. Dengan adanya penonaktifan maka pengambilan keputusan menjadi tidak memadai lagi dan perlu dilakukan upaya yang segera untuk mengatasi hal itu. Tindakan Presiden adalah menerbitkan PERPU yang memberikan wewenang kepada Presiden untuk menunjuk petinggi KPK dalam hal petinggi KPK kurang dari tiga orang. Lalu menjadi persoalan apakah tindakan subjektif presiden ini adalah merupakan tindakan objektif. Dengan kata lain apakah tindakan Presiden untuk mengeluarkan PERPU sudah memenuhi syarat diambil dalam keadaan kegentingan yang memaksa.

Kegentingan yang memaksa

Apakah yang dimaksud dengan hal ihwal kegentingan memaksa?

Pasal 22 UUD 1945 berbunyi:

(1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.
(2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.
(3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.



Semula UUD 1945 ada Penjelasan. Penjelasan Pasal 22 berbunyi:

“Pasal ini mengenai noodverordeningsrecht Presiden. Aturan sebagai ini memang perlu diadakan agar supaya keselamatan negara dapat dijamin oleh pemerintah dalam keadaan yang genting, yang memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat. Meskipun demikian, pemerintah tidak akan terlepas dari pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu, peraturan pemerintah dalam pasal ini, yang kekuatannya sama dengan undang-undang harus disahkan pula oleh Dewan Perwakilan Rakyat”.

Sesuai dengan Penjelasan UUD 1945 tersebut, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan kegentingan yang memaksa adalah keadaan yang sedemikian rupa yang berkaitan dengan urusan menjamin “keselamatan negara”. Sesuai dengan Penjelasan tersebut PERPU hanya akan dapat dibentuk dalam hal keselamatan negara terancam bahaya.

Kemudian terjadilah perubahan konstitusi. Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945 diubah sehingga menjadi berbunyi, “Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal”. Dengan adanya perubahan tersebut, Penjelasan Pasal 22 menjadi tereliminasi dan dalam melakukan tafsir atas Pasal 22Penjelasan Pasal 22 itu hanya merupakan dokumen historis. Namun tentu kita mengetahui bahwa ada penafsiran historis. Perubahan UUD 1945 tidak dengan sendirinya dapat mengabaikan bahwa Penjelasan itu pernah ada dan bahwa untuk keperluan melakukan penafsiran historis, Eks Penjelasan UUD 1945 tetap layak diperhatikan.

Dalam Putusan MK Konstitusi No. 003/PUU/2005, MK Konstitusi menyatakan:

“bahwa alasan dikeluarkannya sebuah Perpu oleh Presiden, termasuk Perpu No. 1 Tahun 2004, yaitu karena “hal ihwal kegentingan yang memaksa” sebagaimana dimaksud Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 merupakan penilaian subyektif Presiden, sedangkan obyektivitasnya dinilai oleh DPR dalam persidangan yang berikutnya yang dapat menerima atau menolak penetapan Perpu menjadi undang-undang.”

Saya melihat ada sedikit kekeliruan dalam pendapat dari MK ini. Tindakan Presiden untuk mengeluarkan PERPU dalam keadaan kegentingan yang memaksa adalah sekaligus merupakan tindakan objektif dari Presiden sesuai dengan Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945. Objektivitas itu tidak terdapat pada fakta bahwa menurut Pasal 22 Ayat (2) UUD 1945, DPR harus memberikan persetujuan terhadap PERPU. Artinya, kalau kemudian DPR tidak menyetujui PERPU maka hal itu tidak berarti bahwa tindakan subjektif Presiden bukan merupakan tindakan objektif. Persetujuan DPR dalam masa sidang berikutnya merupakan objektivitas yang lain, yaitu bahwa setelah tindakan subjektif Presiden untuk mengeluarkan suatu PERPU yang juga merupakan tindakan objektif Presiden karena sudah memenuhi ketentuan dari Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945, Tindakan Presiden selanjutnya adalah mengajukannya (Tindakan subjektif) untuk persetujuan DPR (tindakan objektif), sesuai dengan Pasal 22 Ayat (2), yaitu DPR harus memberikan persetujuan atau tidak terhadap PERPU itu dalam persidangan berikutnya.

Lalu kalau demikian halnya, apakah kegentingan memaksa itu? Dengan tidak adanya lagi Penjelasan maka keadaan kegentingan yang memaksa menjadi tidak jelas ukurannya. Dalam praktik ketetanegaraan selama ini, PERPU itu dikeluarkan dalam keadaan mendesak. Lihat sebagai contoh PERPU No. 1 Tahun 1992 tentang Penangguhan Berlakunya Undang-Undang No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, PERPU No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan PERPU-PERPU yang lain yang tidak mempunyai kaitan dengan keadaan bahaya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 12 UUD 1945 dan UU (Prp) No. 3 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya.

Dalam Putusan MK No. 003/PUU/2005, MK gagal mendefenisikan apa yang dimaksud dengan keadaan kegentingan yang memaksa. Para pakar dan komentator hukum tata negara juga gagal mendefenisikan keadaan kegentingan memaksa itu. Saya melihat kegentingan memaksa sebagai keadaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 UUD 1945 dan UU (Prp) No. 3 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya, serta keadaan yang mendesak lainnya dimana untuk pembentukan suatu undang-undang tidak mungkin dilakukan. Jadi ada dua unsur dari keadaan kegentingan yang memaksa, yaitu adanya hal yang perlu diatur dengan segera dalam bentuk undang-undang tetapi DPR tidak mungkin membentuk undang-undang yang bersangkutan pada keadaan yang mendesak itu. Jadi harus ada materi tertentu yang merupakan materi muatan undang-undang yang harus segera diatur dan bahwa DPR tidak mungkin pada keadaan mendesak itu membentuk UU. Hal yang terakhir ini, menyangkut tidak dapatnya DPR membentuk UU, selalu diabaikan dalam membahas mengenai keadaan kegentingan yang memaksa.

Pasal 20 ayat (1) menyatakan “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.” Pasal 20 ayat (2) menyatakan “Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama". Jadi esensi dari keadaan kegentingan memaksa adalah adanya materi tertentu yang merupakan materi muatan UU yang seharusnya diatur dengan UU tetapi diatur oleh Presiden dalam bentuk PERPU karena keadaan tertentu dimana Pasal 20 Ayat (1) dan (2) UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan. Dengan kata lain, keadaan kegentingan memaksa adalah keadaan dimana Pasal 20 ayat (1) dan (2) UUD 1945 tidak mungkin dilaksanakan. Karena itulah dalam Pasal 22 Ayat (2) ditetapkan bahwa PERPU, yang dikeluarkan dalam keadaan tidak dapat dilaksanakannya Pasal 20 Ayat (1) dan (2), harus mendapat persetujuan dari DPR dalam persidangan berikutnya. Ini artinya, PERPU, yang muatannya merupakan materi muatan UU, jika Pasal 20 Ayat (1) dan (2) UUD 1945 sudah dapat dilaksanakan, maka harus kembali diatur sesuai dengan Pasal 20 Ayat (1) dan (2) UUD 1945 tersebut dalam persidangan berikutnya.

Penutup

Kembali ke persoalan semula, apakah tindakan Presiden mengeluarkan PERPU menyangkut KPK masuk dalam keadaan kegentingan yang memaksa, saya melihat tindakan Presiden itu sudah tepat. Keadaan dimana hanya ada dua orang anggota KPK yang aktif sangat tidak memadai untuk mengambil keputusan. Dalam keadaan demikian, UU yang mengatur soal KPK tidak memberikan ketentuan mengenai langkah yang harus diambil. KPK mengurusi banyak hal yang perlu pengambilan keputusan yang segera. Dalam masa-masa ini, ketentuan dalam Pasal 20 Ayat (1) dan (2) UUD 1945 tidak mungkin untuk dilaksanakan (bukan masa persidangan DPR, karena libur lebaran) tetapi harus tetap ada jalan keluar. Jalan keluarnya adalah dengan mengeluarkan PERPU.

Selasa, 22 September 2009

KABINET YANG AKAN DATANG

Setelah usai pemilihan presiden, persoalan kementerian menjadi issu yang tidak dapat diremehkan. Pertarungan memperebutkan tempat di cabinet menjadi sesuatu yang menarik perhatian. Partai-partai anggota gabungan partai politik yang mengajukan Capres-Cawapres pemenang pilpres berlomba untuk mendapatkan jatah sesuai dengan yang disepakati waktu sebelum mengajukan Capres-Cawapres. Di dalam tubuh partaipun ada pertarungan untuk mengisi jatah yang sudah didapatkan. Terdapat silang pendapat mengenai komposisi antara menteri dari partai dan dari kalangan professional. Terdapat issu lain mengenai perampingan cabinet. Tulisan ini dimaksudkan untuk melihat pada issu terakhir ini.


Soal kementerian sudah ditentukan dalam sebuah undang-undang, yaitu UU No. 39 tahun 2008. Pasal 15 menentukan bahwa “Jumlah keseluruhan Kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 paling banyak 34 (tiga puluh empat)”. Dalam Penjelasan umum UU dinyatakan, “Undang-undang ini juga dimaksudkan untuk melakukan reformasi birokrasi dengan membatasi jumlah kementerian paling banyak 34 (tiga puluh empat). Artinya, jumlah kementerian tidak dimungkinkan melebihi jumlah tersebut dan diharapkan akan terjadi pengurangan.” Dengan demikian sudah cukup jelas bahwa kementrian tidak boleh melebihi 34 kementerian. Jadi UU memungkinkan kementrian kurang dari jumlah yang ada saat ini. Namun demikian tampak agak mustahil, mengingat banyaknya urusan pemerintahan sebagaimana disebut dalam UU dan kepentingan-kepentingan yang saling berbenturan dalam penentuannya, untuk membuat kementerian kurang dari jumlah 34 kementerian.

Nomenklatur Kementerian

Nomenklatur kementrian menurut UU ini berbeda dengan yang berlaku saat ini. Kita mengetahui bahwa selama ini bahwa nomenklatur kementrian adalah departemen dan kementerian Negara. Pada periode kedua dari masa jabatan Presiden SBY, nomenklatur kementrian berubah menjadi:

I. kementerian yang tegas disebut dalam UUD 1945, yaitu yang menangani urusan luar negeri, dalam negeri, dan pertahanan.

II. kementerian untuk mengurus urusan yang disebut dalam UUD 1945, yaitu yang mengurusi urusan agama, hukum, keuangan, keamanan, hak asasi manusia, pendidikan, kebudayaan, kesehatan, sosial, ketenagakerjaan, industri, perdagangan, pertambangan, energi, pekerjaan umum, transmigrasi, transportasi, informasi, komunikasi, pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, kelautan, dan perikanan; dan

III. kementrian dalam rangka penajaman, koordinasi, dan sinkronisasi program pemerintah, yaitu yang mengurusi urusan perencanaan pembangunan nasional, aparatur negara, kesekretariatan negara, badan usaha milik negara, pertanahan, kependudukan, lingkungan hidup, ilmu pengetahuan, teknologi, investasi, koperasi, usaha kecil dan menengah, pariwisata, pemberdayaan perempuan, pemuda, olahraga, perumahan, dan pembangunan kawasan atau daerah tertinggal.

Kementerian I dan II dikenal sebagai Departemen sampai dengan saat ini, sedangkan untuk III disebut sebagai Kementerian Negara dan Kementerian Koordinator. Pada kabinet yang akan datang, sesuai dengan UU tersebut, istilah Departemen dan Kementerian Negara sudah tidak ada lagi. Pasal 17 Ayat (1) UUD 1945 memang berbunyi "Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara". Pembedaan antara Menteri Negara dengan Menteri yang memimpin departemen memang seolah-olah menunjukkan bahwa menteri yang memimpin departemen bukanlah menteri negara. Hal ini diperbaiki dengan UU tersebut di atas.

Nomenklatur ini sekaligus menunjukkan soal ranking dan mungkin gengsi dari kementerian yang akan datang. Untuk Kementrian I, Pasal 8 Ayat (3) UUD 1945 menentukan bahwa Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama merupakan pelaksana tugas kepresidenan dalam hal Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan. Menteri-menteri dalam Nomenklatur I merupakan menteri-menteri utama dalam cabinet yang akan dating. Menteri Koordinator, yang berada dalam Nomenklatur III tidak lebih tinggi dari ketiga menteri dalam Nomenklatur I. Memang agak sedikit unik bahwa menteri coordinator, jika akan masih diadakan, mengkoordinir Menteri-menteri Utama yang rankingnya berada di atas Menteri Koordinator.

Untuk kementerian dalam Nomenklatur II terdapat 25 urusan. Ke-25 urusan ini ada yang tumpang tindih. Untuk saat ini terdapat satu urusan yang tidak ada menterinya, yaitu urusan keamanan. Pada masa pemerintahan Pak Harto, urusan keamanan ada pada Departemen Pertahanan. Demikianlah dulu dikenal Departemen Pertahanan dan Keamanan. Dalam masah-masa sesudah Pak Harto, urusan keamanan ditangani oleh Kepala Kepolisian RI. Belum diketahui secara pasti apakah akan diadakan kementerian keamanan secara tersendiri lepas dari Kepolisian RI. Mungkin juga bahwa kementerian keamanan dipimpin langsung/dijabat rangkap oleh Kapolri. Terdapat kombinasi lain yang mungkin, yaitu urusan keamanan dijalankan oleh kementrian dalam negeri atau dimasukkan dalam kementerian pertahanan. Tentu harus diperhatikan bahwa kementrian yang mengurusi keamanan harus ada menurut UU tersebut.

Urusan hukum yang berada dalam Nomenklatur II tampaknya masih akan tetap digabung dengan urusan HAM. Urusan Pendidikan dan Kebudayaan sangat mungkin untuk disatukan. Namun demikian mengingat saat ini urusan kebudayaan yang berada dalam Nomenklatur II disatukan dengan urusan Pariwisata yang berada dalam Nomenklatur III, penggabungan ini boleh jadi penggabungan urusan pendidikan dan kebudayaan tidak akan dilakukan. Urusan Pertanian, perkebunan, dan peternakan saat ini dibawah Departemen Pertanian dan tampaknya masih akan disatukan. Urusan Pertambangan dan Energi ada pada satu Departemen, yaitu Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Urusan Informasi dan Komunikasi ada pada Departemen Departemen Komunikasi dan Informatika.

Dalam Nomenklatur III terdapat kementerian-kementerian yang dimaksudkan untuk rangka penajaman, koordinasi, dan sinkronisasi program pemerintah. Saat ini terdapat beberapa urusan yang diurus oleh lembaga-lembaga pemerintah non departemen, seperti pertanaan, ilmu pengetahuan, kependudukan, investasi. Saya kira ke depan hal ini juga akan dibuat demikian. Demikian juga dengan urusan pariwisata, yang saat ini digabung dengan urusan kebudayaan masih mungkin dipertahankan.

Gabungan Urusan pada Nomenklatur I, II, dan III.


Dalam cabinet yang ada sekarang terdapat urusan-urusan yang menurut UU berada dalam nomenklatur yang berbeda. Sebagai contoh, dalam cabinet sekarang ada urusan kebudayaan, yang berada dalam Nomenklatur II, dan pariwisata yang berada pada Nomenklatur III. Memang tidak ada dalam UU yang melarang penyatuan urusan dalam Nomenklatur I, II, dan III. Jadi jika nantinya kementerian Kebudayaan dan Pariwisata masih berada dalam satu kementerian maka hal itu tidak ada masalah. Demikian juga dengan Kementerian Pertahanan, Nomenklatur I, dibuat mengurusi urusan keamanan, yang berada dalam Nomenklatur II maka hal itu tidak ada masalah. Kalau tidak diadakan penggabungan-penggabungan urusan maka hal itu akan melebihi batas yang ditentukan oleh UU, yaitu 34 Kementerian. Maka Kementerian yang akan datang (dengan nama/penyebutan yang mungkin berbeda) adalah:

Nomenklatur I

Kementerian Luar Negeri
Kementerian Dalam Negeri
Kementerian Pertahanan (+ urusan keamanan dari urusan dalam Nomenklatur II)

Nomenklatur II

Kementerian Agama,
Kementerian Hukum dan HAM
Kementerian Keuangan
Kementerian Pendidikan
Kementerian kebudayaan (ditambah Pariwisata dari urusan pada Nomenklatur III)
Kementerian kesehatan,
Kementerian Sosial,
Kementerian Ketenagakerjaan,
Kementerian Industri,
Kementerian Perdagangan,
Kementerian Pertambangan dan Energi
Kementerian Pekerjaan Umum,
Kementerian Transmigrasi,
Kementerian Transportasi,
Kementerian Komunikasi dan Informasi ,
Kementerian Pertanian (meliputi urusan pertanian, perkebunan, peternakan)
Kementerian Kehutanan
Kementerian Kelautan, dan Perikanan;

Nomenklatur III

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional
Kementerian Aparatur Negara
Kementerian Kesekretariatan Negara
Kementerian Badan Usaha Milik Negara
Kementerian Lingkungan Hidup
Kementerian Riset dan Teknologi
Kementerian Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah,
Kementerian Pemuda dan olahraga
Kementerian Perumahan
Kementerian Pembangunan Kawasan atau Daerah Tertinggal.
Kementerian Sinkronisasi dan Koordinasi Politik dan Keamanan
Kementerian Sinkronisasi dan Koordinasi dan Sinkronisasi Ekonomi, Keuangan, dan Industri
Kementerian Sinkronisasi dan Koordinasi Kesejahteraan Rakyat

Sabtu, 12 September 2009

Buku Binoto terbaru dan Artikelnya di UPH Law Review

Saya ada terima buku terbaru dari teman saya di dalam kehidupan nyata dan di facebook Binoto Nadapdap yang terbaru berjudul Hukum Perseroan Terbatas (berdasarkan Undang-Undang No. 40 tahun 2007, Penerbit: PT. Jala Permata Aksara, 2009. Buku tersebut sudah tersedia di toko-toko buku seperti Gramedia. Sebagaimana anak judl buku menunjukkan, buku ini membahas dan menguraikan banyak hal menyangkut Perseroan Terbatas setelah berlakunya UU No. 40 tahun 2007. Sebagaimana diketahui UU itu sudah mendapat ujian dalam suatu Uji Materiil di Mahkamah Konstitusi menyangkut persoalan Tanggungjawab social Perusahaan.
Buku tersebut terdiri dari 13 bab dan 159 yang membahas secara detail mengenai Perseroan Terbatas, mulai sejarah pengaturan dalam UU No. 40 tahun 2007, alasan-alasan mengapa harus memilih bentuk hukum PT, pendirian, tanggungjawab hukum pemegang saham, direksi, dan komisaris, pembubaran, nenggapungan perseroan sampai dengan soal biaya-biaya yang diperlukan menyangkut pengurusan PT. Buku dilengkapi dengan Daftar Pustaka, Naskah UU No. 40 tahun 2009 dan indeks. Meskipun buku ini menyandarkan diri pada UU No. 40 tahun 2007 tetapi penulisnya banyak melakukan perbandingan dengan UU yang lama yang mengatur masalah PT, yaitu UU No. 1 tahun 1995. Memang Binoto belum melihat bagaimana suatu UU diterapkan oleh hakim dalam putusan-putusannya. Jadi dalam melakukan perbandingan, Binoto melakukannya dengan merujuk ketentuan dalam UU No. 1 tahun 1995 dan UU No. 40 tahun 2007 dengan disertai pendapat para komentator tentang Perseroan Terbatas. Tampaknya memang putusan-putusan pengadilan belum merupakan suatu factor pendorong dalam perubahan dari undang-undang lama kepada undang-undang yang baru.
Buku ini merupakan buku yang pertama mengulas UU tersebut secara lengkap. Binoto memaksudkan buku ini sebagai suatu pedoman pengelolaan PT berdasarkan UU No. 40 tahun 2007. Sebagai suatu pedoman, tentu buku ini akan sangat berguna dalam praktek pengelolaan PT dalam kehidupannya sehari-hari. Buku ini dimaksudkan tidak hanya untuk dibaca oleh para sarjana hukum, tetapi juga oleh masyarakat awam hukum yang di dalam pekerjaan sehari-hari berurusan dengan PT.
Saya juga ada menerima artikel yang ditulis oleh Binoto berjudul Audit Lingkungan: Evaluasi Internal Penanggungjawab Usaha terhadap Lingkungan Hidup, yang dimuat di Jurnal Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, yaitu UPH Law Review Vol. VIII, No. 3 Maret 2009, hlm 528 – 550. Audit lingkungan dalam hal ini, menurut penulisnya merupakan sarana penegakan hukum. Pada halaman 538, karena kesalahan editing dalam penerbitannya, Artikel tidak  membuat jelas apa yang dimaksudkan dengan Audit Lingkungan sehingga sangat mengganggu dimana menjadi tidak jelas apa yang dibicarakan dalam tulisan tersebut.  Karena kesalahan dalam editing membuat pemaparan yang dilakukan oleh Binoto seperti sia-sia karena tidak jelas apa yang dimaksudkan dengan audit lingkungan itu sendiri.

Kamis, 10 September 2009

Pilpres oleh MPR

Pada tanggal 29 Agustus 2009 Presiden menandatangani sebuah RUU dan mengesahkannya menjadi UU, yaitu UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2009 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 123; TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5043).


Salah satu ketentuan yang diatur dalam UU tersebut adalah mengenai pemilihan Presiden yang dilakukan oleh MPR dalam hal Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan. Ketentuan itu diatur dalam Pasal 4 huruf f.


Pasal 4 huruf f berbunyi:
MPR mempunyai tugas dan wewenang:


f. memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, dari 2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.

Ketentuan tersebut merupakan salinan dari Pasal 8 Ayat (3) UUD 1945 (Amandemen ke empat) berbunyi:
Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama. Selambat-lambatnya tiga puluh hari setelah itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.
Perlu diperhatikan bahwa persyaratannya adalah jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan. Secara bersamaan ini tentu masih ada beberapa persoalan. Pertama, jika Presiden mangkat terlebih dahulu, kemudian tidak lama berselang, sebelum Wapres dilantik jadi Presiden, apakah hal ini termasuk secara bersamaan. Kedua, jika Wapres lebih dahulu mangkat, kemudian disusul oleh Presiden, tetapi pada saat wapres baru sudah dipilih tetapi belum mengucapkan sumpah sebagai Wapres, apakah hal ini termasuk secara bersamaan dalam Pengertian Pasal 4 huruf f. Dan seterusnya, yang tidak perlu diurai disini.

Dalam kondisi demikian, MPR harus memilih Presiden dan Wakil Presiden dari 2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.

Jadi disini kita lihat bahwa yang dapat mengusulkan adalah Partai Demokrat dan Mitra Koalisinya dan PDIP dan Partai Gerindra (Suara terbanyak kedua dalam Pemilu sebelumnya). Namun menjadi persoalan juga, mengingat dalam Pilpres yang lalu pasangan capres dan cawapres berasal dari gabungan Partai politik, apakah jika tidak ada persesuaian diantara gabungan parpol maka hal itu tidak lagi mencerminkan gabungan Parpol. Misalnya, gabungan Partai Demokrat dengan partai-partai lain. Jika, katakanlah, PAN, menarik diri dari gabungan partai tersebut, apakah hal itu masih memenuhi syarat untuk disebut sebagai gabungan partai dalam pengertian dari Pasal 4 huruf f. Atau, katakanlah Partai Golkar mau bergabung dengan gabungan Partai pendukung SBY-Boediono atau gabungan PDIP dan Partai Gerindra, apakah hal itu masih memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf f.

Memang terlihat sesuatu yang kurang menguntungkan bagi Partai atau gabungan partai pemenang Pemilihan Presiden. Namun saya pikir ini akan lebih menguntungkan dibandingkan dengan mengadakan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Namun tentu hal ini akan menjadi persoalan jika kondisi dalam Pasal 4 huruf f berada pada masa sudah dilakukannya persiapan pelaksanaan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden baru. 

Rabu, 09 September 2009

Propaganda Merongrong Keutuhan Wilayah RI

Sering terjadi sengketa wilayah antara Indonesia dengan Malaysia. Klaim-klaim Malaysia bahwa pulau-pulau tertentu yang merupakan bagian dari NKRI menyulut perselisihan. Namun tampaknya ada cara-cara untuk mengaburkan atau bahkan merongrong keutuhan wilayah RI, seperti yang dilakukan oleh pengelola bahasakita.com sebagaimana dapat dilihat di facebook dan twitter.

Salah satu akun di facebook, yaitu Bahasa Kita – Bahasa Indonesia menggunakan foto profil gambar merah putih dan pada gambar diletakkan pulau-pulau Indonesia. Pada bagian bawah warna putih, ditulisi tulisan Bahasa Kita – Bahasa Indonesia. Seorang pengguna kalau membuat status, status tersebut akan tersebar ke fansnya dengan foto profil. Foto profil akan muncul secara utuh di wall untuk menunjukkan siapa yang punya status. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan Bahasa Kita – Bahasa Indonesia. Ketika pengelola Bahasa Kita – Bahasa Indonesia membuat status, maka yang muncul adalah setengah dari foto profil dan Pulau-pulau yang muncul pada foto profil hanya Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan sebagian Sulawesi dan tidak ada tulisan Bahasa Kita - Bahasa Indonesia. Dengan demikian foto profil dalam wall Bahasa Kita - Bahasa Indonesia berbeda dengan foto profil yang muncul kalau membuat status (yang muncul di wall para fans).  Kemana pulau-pulau yang lain, apakah hanya itu pulau-pulau Indonesia? Versi dari pengelola Bahasa Kita – Bahasa Indonesia tampaknya hanya itulah pulau-pulau Indonesia.

bahasakita.com juga muncul di twitter. Pada twitter, bahasakita.com menggunakan merah putih yang membuat pulau-pulau Indonesia dan pada bagian bawah warna putih ditulisi Bahasa Kita – Bahasa Indonesia. Namun pulau Sumatera hanya tampak sebagian dan Papua hanya tampak bagian kepala burung.

Jika pengelola Bahasa Kita - Bahasa Indonesia (facebook) membuat status maka foto profil yang muncul di wall adalah merah putih yang hanya sebagian pulau-pulau Indonesia yang terlihat. Terkadang di wall muncul bersamaan status dari Bahasa Kita – Bahasa Indonesia dan Learning Indonesian (bahasa_kita on Twitter) dan kedua foto profil muncul yang satu pulau-pulau Indonesia bagian timurnya tidak tampak dan yang kedua Pulau Sumatera dan Papua yang terpenggal.

Perlu diperhatikan bahwa pada saat tulisan ini dibuat (tanggal 9/9/09), saya mengunjungi Bahasa Kita – Bahasa Indonesia dimana fansnya ada sebanyak 41.251 Fans. Banyak fans yang orang asing. Sementara pada Learning Indonesian, saya lihat followersnya sebanyak 176. Jadi jika pengelola Bahasa Kita – Bahasa Indonesia membuat status maka status itu akan muncul pada wall dari para fans. Hal ini tentu, bagi orang asing potensial untuk membuat mereka berpikir bahwa hanya pulau-pulau sebagaimana yang terdapat dalam foto profil yang merupakan pulau-pulau yang merupakan wilayah RI. Dalam hal Bahasa Kita - Bahasa Indonesia dan Learning Indonesian muncul di wall bersamaan maka tentu akan membingungkan. Ada Indonesia yang hanya Indonesia bagian Barat dan Tengah yang muncul (facebook) dan ada Indonesia yang pulau Sumatera dan Papuanya terpenggal (twitter). Orang yang pertama kali mau belajar Indonesia tentu dapat berpikir bahwa wilayah Indonesia hanya sebatas yang terdapat dalam foto profil, dan hal ini potensial merugikan Indonesia. Mungkin untuk jangka pendek hal ini tidak menimbulkan masalah, tetapi untuk jangka panjang hal ini akan sangat berbahaya.

Saya mencoba mempertanyakan hal ini di wall Bahasa Kita – Bahasa Indonesia, apakah ini suatu unsur kesengajaan? Pengelola Bahasa Kita - Bahasa Indonesia tidak menjawab tetapi ada pengguna facebook (saya kira menggunakan samaran) yang memberi tanggapan bahwa hal itu memang kesengajaan mengingat, kata penanggap itu, bahwa facebook tidak dapat memuat keseluruhan foto profilnya. Ini tentu suatu tanggapan yang mengada-ada. Foto profil tampil secara utuh di wall sebagaimana adanya. Facebook tidak melakukan tindakan untuk memotong bagian-bagian dari foto profil. Kalau memang tidak dapat memuat keseluruhan foto profil maka sebaiknya dibuat alternatif lain dengan tidak perlu memuat pulau-pulau Indonesia. Saya pikir akan lebih baik tidak memuat foto pulau-pulau sama sekali daripada memuaat pulau-pulau tetapi hanya sebagian yang dapat mengesankan bahwa hanya itulah pulau-pulau Indonesia. Tentu adalah suatu kesengajaan untuk menampilkan hanya setengah dari foto profil untuk keperluan membuat status. Lebih jauh dinyatakan bahwa seharusnya protesnya disampaikan ke pengembang facebook. Pertanyaan saya rupanya dianggap sebagai suatu protes. Tanggapan yang diberikan, seolah-olah penanggap tersebut adalah pengelola Bahasa Kita – Bahasa Indonesia. Atau mungkin memang pengelola yang menggunakan akun samaran. (Siapapunlah itu. Orang Amerika bilang “On the Net no one knows you’re a dog”). Tanggapan tersebut juga tidak menjelaskan bagaimana dengan yang di twitter dimana pulau Sumatera hanya tampak sebagian dan Papua hanya tampak bagian kepala burung.

Deskripsi

Bahasa Kita – Bahasa Indonesia (facebook) tidak jelas pengelolanya. Pada Info hanya disediakan link pada http://www.bahasakita.com dan http://twitter.com/bahasa_kita. Dalam Description disebutkan alamat http://www.bahasakita.com dan alamat e-mail kontak.


bahasakita.com

bahasakita.com mendeskripsikan dirinya sendiri sebagai “a practical learning site for NON - INDONESIAN SPEAKING and EXPATRIATES INDONESIAN.” Versi Indonesia sebagaimana terdapat pada facebook “pedoman praktis untuk kita MENJELASKAN PADA PENUTUR ASING.” Informasi yang tersedia di situs web ini sebagian besar dalam Bahasa Inggris. Tidak ada gambar bendera yang memuat pulau-pulau Indonesia dengan tulisan Bahasa Kita – Bahasa Indonesia .

Dalam situs web bahasakita.com  terdapat informasi mengenai kontributor yang merupakan orang-orang yang cukup terkenal di bidangnya masing-masing dan sejumlah kontributor ahli, termasuk Duta Besar Belanda di Indonesia. Informasi alamat dan nomor telepon yang dapat dihubungi juga tidak disebutkan. Pada halaman Contact disediakan form yang harus diisi jika ingin mengirim pesan kepada pemilik atau pengelola situs.

Penelusuran terhadap domain bahasakita.com menunjukkan bahwa pendaftar domain adalah seseorang yang beralamat di Ardross Western Australia.

Pada halaman HOME dari situs web ini tersedia link ke twitter dan facebook.

Twitter

Deskripsi pada twitter:



Name Learning Indonesian

Location Indonesia

Web http://www.bahasa...

Bio Keeps you up to date with current trends in formal and informal grammar, vocabularies and interesting news on bahasa Indonesia.


 
Konsern lain

Sebagaimana saya ulas sebelumnya dalam blog ini mengenai bendera, tampak bagi saya bahwa merah putih yang digunakan oleh Bahasa Kita – Bahasa Indonesia dan Learning Indonesia merupakan bendera yang merepresentasikan Bendera Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) Undang-undang No. 24 tahun 2009. Terdapat larangan dalam Pasal 24 untuk antara lain memakai Bendera Negara untuk reklame atau iklan komersial dan mencetak, menyulam, dan menulis huruf, angka, gambar atau tanda lain dan memasang lencana atau benda apapun pada Bendera Negara.

Pengelola bahasakita.com sudah melanggar ketentuan ini. Mengingat bahasakita.com dimaksudkan untuk “pedoman praktis untuk kita MENJELASKAN PADA PENUTUR ASING”, yang berarti memperkenalkan jatidiri Indonesia kepada Penutur Asing maka saya pikir sangat layak pihak bahasakita.com dalam penggunaannya di facebook dan twitter menghormati hukum Indonesia dan menghargai jatidiri Indonesia. Sanksi pidana tentu ada untuk ini. Ada baiknya jika pengelola bahasakita.com memperbaiki penggunaan bendera dan menghentikan penyesatan dan propaganda untuk merongrong keutuhan wilayah RI. Mengingat Duta Besar Belanda di Indonesia merupakan kontributor ahli dalam bahasakita.com dan fotonya muncul kalau membuat status maka wajar jika hal-hal yang disebutkan di atas menjadi perhatiannya. 

Saya kira para fans Bahasa Kita – Bahasa Indonesia dari Indonesia tidak menyadari potensi kerugian yang dapat dialami di kemudian hari dengan cara-cara yang dilakukan pengelola bahasakita.com dalam menggunakan jati diri Indonesia. Pasal 65 UU No. 24 tahun 2009 berbunyi:

Warga Negara Indonesia berhak dan wajib memelihara, menjaga, dan menggunakan Bendera Negara, Bahasa Indonesia, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan untuk kehormatan dan kedaulatan bangsa dan negara sesuai dengan Undang-Undang ini.

Selasa, 01 September 2009

Soal Lambang Negara

Mungkin, karena nasionalisme, ada di Facebook yang menggunakan foto Lambang Negara sebagai foto profilnya. Tidak jarang kita lihat bahwa dalam penggunaan lambang Negara tidak tertib. Misalnya, Lambang Negara yang terdapat di DPR tidak sesuai dengan UU No. 24 tahun 2009 menyangkut, setidak-tidaknya, warna. Demikian juga dengan penggunaan sebagai cap atau kop surat, yang mungkin untuk keperluan estetis tidak sesuai dengan undang-undang ini. Misalnya dengan menggunakan warna yang keseluruhannya warna keemasan, tentu jika diperhatikan lampiran UU maka hal itu tidak sesuai  

UU No. 24 tahun 2009 dimaksudkan untuk menghentikan praktek-praktek yang tidak tertib dalam penggunaan lambang Negara tersebut. Sebelum berlakunya UU ini, mengenai Lambang Negara diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 tentang Lambang Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1958 tentang Penggunaan Lambang Negara. Dengan adanya UU ini maka dapat diharapkan lambang Negara akan digunakan secara tertib. Salah satu asas yang dikandung dalam UU No. 24 tahun 2009 adalah asas ketertiban, yang dalam Penjelasan UU diberi makna bahwa penggunaan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam Penggunaannya. Dengan demikian maka kita melihat perlunya ketertiban dalam penggunaan baik menyangkut ukuran, warna dan komponen-komponen serta bahan pembuatan lambang Negara dimaksud..

LAMBANG NEGARA

Pasal 1 butir 2 menentukan bahwa  Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Lambang Negara adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Lambang Negara merupakan satu diantara empat hal yang disebut sebagai jati diri bangsa dan identitas Negara Kesatuan RI. Dalam Penjelasan Umum UU dinyatakan bahwa:

Keempat simbol tersebut menjadi cerminan kedaulatan negara di dalam tata pergaulan dengan negara-negara lain dan menjadi cerminan kemandirian dan eksistensi negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.” Dikatakan lebih lanjut bahwa lambang Negara “bukan hanya sekadar merupakan pengakuan atas Indonesia sebagai bangsa dan negara, melainkan menjadi simbol atau lambang negara yang dihormati dan dibanggakan warga negara Indonesia.

Dalam Penjelasan Pasal 46 disebutkan mengenai asal usul dari lambang Negara dan apa maksudnya. Garuda, sebagai contoh, disebutkan “menggambarkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar dan negara yang kuat.” Semoga demikian adanya.

Bab IV UU No. 29 tahun 2009 tersebut mengatur mengenai Lambang Negara. Pasal 46-49 mengatur mengenai uraian Lambang Negara dan Pasal 50 memberikan contoh Lambang Negara, yang menunjuk pada Lampiran UU tersebut yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari UU itu. Terdapat perbedaan mengenai lambang-lambang dalam perisai dalam Pasal 48 ayat (2) UU No. 24 tahun 2009 dengan yang diatur dalam PP No. 43 tahun 1958. Pada PP No. 43 tahun 58, pohon beringin merupakan dasar kebangsaan tetapi dalam UU No. 24 tahun 2009 pohon beringin merupakan lambang persatuan. Tidak ada penjelasan mengapa terjadi perubahan yang signifikan dalam hal ini. Menurut PP No. 43 tahun 1958 tersebut, pohon beringin adalah tempat berlindung.

Penggunaan Yang Wajib

Bagaimanakah penggunaannya? Pasal 51menentukan bahwa Lambang Negara wajib digunakan di:
a. dalam gedung, kantor, atau ruang kelas satuan pendidikan;
b. luar gedung atau kantor;
c. lembaran negara, tambahan lembaran negara, berita negara, dan tambahan berita negara;
d. paspor, ijazah, dan dokumen resmi yang diterbitkan pemerintah;
e. uang logam dan uang kertas; atau
f. materai.

Pasal 53
(1) Penggunaan Lambang Negara di dalam gedung, kantor atau ruang kelas satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a dipasang pada:
a. gedung dan/atau kantor Presiden dan Wakil Presiden;
b. gedung dan/atau kantor lembaga negara;
c. gedung dan/atau kantor instansi pemerintah; dan
d. gedung dan/atau kantor lainnya.

(2) Penggunaan Lambang Negara di luar gedung atau kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf b pada:
a. istana Presiden dan Wakil Presiden;
b. rumah jabatan Presiden dan Wakil Presiden;
c. gedung atau kantor dan rumah jabatan kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri; dan
d. rumah jabatan gubernur, bupati, walikota, dan camat.

(3) Penggunaan Lambang Negara di dalam gedung atau kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a dan di luar gedung atau kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf b diletakkan pada tempat tertentu.

(4) Penggunaan Lambang Negara pada lembaran negara, tambahan lembaran negara, berita negara, dan tambahan  berita negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf c diletakkan di bagian tengah atas halaman pertama dokumen.

(5) Penggunaan Lambang Negara pada paspor, ijazah, dan dokumen resmi yang diterbitkan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf d diletakkan di bagian tengah halaman dokumen.

Pasal 55
(1) Dalam hal Lambang Negara ditempatkan bersama-sama dengan Bendera Negara, gambar Presiden dan/atau gambar Wakil Presiden, penggunaannya diatur dengan ketentuan:
a. Lambang Negara ditempatkan di sebelah kiri dan lebih tinggi daripada Bendera Negara; dan
b. gambar resmi Presiden dan/atau gambar Wakil Presiden ditempatkan sejajar dan dipasang lebih rendah daripada Lambang Negara.
(2) Dalam hal Bendera Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dipasang di dinding, Lambang Negara diletakkan di tengah atas antara gambar resmi Presiden dan/atau gambar Wakil Presiden.

Penggunaan yang tidak wajib

Pasal 52 menentukan bahwa Lambang Negara dapat digunakan:
a. sebagai cap atau kop surat jabatan;
b. sebagai cap dinas untuk kantor;
c. pada kertas bermaterai;
d. pada surat dan lencana gelar pahlawan, tanda jasa, dan tanda kehormatan;
e. sebagai lencana atau atribut pejabat negara, pejabat pemerintah atau warga negara Indonesia yang sedang mengemban tugas negara di luar negeri;
f. dalam penyelenggaraan peristiwa resmi;
g. dalam buku dan majalah yang diterbitkan oleh Pemerintah;
h. dalam buku kumpulan undang-undang; dan/atau
i. di rumah warga negara Indonesia.

Pasal 54
(1) Lambang Negara sebagai cap atau kop surat jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf a digunakan oleh:
a. Presiden dan Wakil Presiden;
b. Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Dewan Perwakilan Rakyat;
d. Dewan Perwakilan Daerah;
e. Mahkamah Agung dan badan peradilan;
f. Badan Pemeriksa Keuangan;
g. menteri dan pejabat setingkat menteri;
h. kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai duta besar luar biasa dan berkuasa penuh, konsul jenderal, konsul, dan kuasa usaha tetap, konsul jenderal kehormatan, dan konsul kehormatan;
i. gubernur, bupati atau walikota;
j. notaris; dan
k. pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh undang-undang.

(2) Penggunaan Lambang Negara sebagai cap dinas untuk kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf b digunakan untuk kantor:
a. Presiden dan Wakil Presiden;
b. Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Dewan Perwakilan Rakyat;
d. Dewan Perwakilan Daerah;
e. Mahkamah Agung dan badan peradilan;
f. Badan Pemeriksa Keuangan;
g. menteri dan pejabat setingkat menteri;
h. kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai duta besar luar biasa dan berkuasa penuh, konsul jenderal, konsul, dan kuasa usaha tetap, konsul jenderal kehormatan, dan konsul kehormatan;
i. gubernur, bupati atau walikota;
j. notaris; dan
k. pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh undang-undang.

(3) Lambang Negara sebagai lencana atau atribut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf e dipasang pada pakaian di dada sebelah kiri.
(4) Lambang Negara yang digunakan dalam penyelenggaraan peristiwa resmi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf f dipasang pada gapura dan/atau bangunan lain yang pantas.

Fisik Lambang Negara

Pasal 56 berbunyi:
(1) Ukuran Lambang Negara disesuaikan dengan ukuran ruangan dan tempat sebagaimana tercantum dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
(2) Lambang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dibuat dari bahan yang kuat.

Dalam Penjelasan Pasal 56 Ayat (2) dijelaskan apa yang dimaksud dengan dibuat dari bahan yang kuat, yaitu bahwa Lambang Negara harus dibuat dari bahan cor semen, metal, campuran besi atau campuran bahan lain yang liat dan kuat, sehingga bentuk Lambang Negara terlihat kokoh dan kuat, dapat digunakan untuk waktu yang lama, tidak mudah patah, hancur ataupun tidak cepat rusak.

Dengan melihat Pasal 56 ayat (2) ini menjadi terasa aneh. Bagaimanakah membuat Lambang Negara dengan bahan-bahan sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Pasal 56 ayat (2) jika Lambang Negara itu akan ditempatkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 butir c – f.  Pembacaan saya terhadap Pasal 56 ayat (2) dan Penjelasannya, yang dimaksudkan adalah Lambang Negara dengan tiga dimensi. Sementara untuk butir c – f tidak mungkin dilekatkan Lambang Negara tiga dimensi. Demikian juga untuk ketentuan Pasal 52 butir a – e, g, dan h.
Pembuat UU No. 24 tahun 2009 tampaknya tidak menyadari bahwa masing-masing penggunaan membawa konsekwensi. Dengan membuat ketentuan seperti Pasal 56 ayat (2), maka seolah-olah lambang Negara dapat ditempatkan di atas kertas dan logam. Hal ini merupakan ketidakakuratan dalam menyusun draft undang-undang.

Pasal 51 butir c – f dan Pasal 52 butir a – e, g, dan h menunjukkan bahwa Lambang Negara dapat berupa gambar atau lukisan. Namun akan menimbulkan persoalan, mengingat, Pasal 50 sudah menentukan mengenai warna Lambang Negara. Bagaimana menempatkan aturan mengenai warna ketika Lambang Negara digunakan untuk uang logam? Bagaimana menempatkannya dalam uang kertas? Apakah semua uang kertas harus ditarik untuk menyesuaikan diri dengan UU No. 24 tahun 2009 dan dibuatkan yang baru? Demikian juga dalam hal “cap” sepertinya hampir tidak mungkin untuk membuat cap dengan warna-warna sebagaimana dimaksudkan dalam UU No. 24 tahun 2009 tersebut.

Saya kira jika hendak akurat, ketentuan tentang Lambang Negara ini harus membuat ketentuan seperti mengenai Bendera Negara. Pasal 4 ayat (4) menentukan adanya bendera sebagai representasi dari Bendera Negara. Ini artinya disamping bendera persegi panjang yang terbuat dari kain yang tidak mudah luntur (Bendera Negara), UU memungkinkan penyimpangan darinya dengan memperkenankan bendera yang merepresentasikan Bendera Negara. Dalam kaitan dengan Lambang Negara, maka UU seharusnya membuat ketentuan mengenai lambang yang merepresentasikan Lambang Negara, sehingga untuk keperluan penempatan di atas kertas, seperti diatur dalam  Pasal 51 butir c – f dan Pasal 52 butir a – d, g, dan h atau untuk atribut dan lencana (Pasal 52 butir e) tidak akan inkonsisten dengan Pasal 56 ayat (2).

Lalu bagaimana soal ini diatasi. Tampak tidak ada jalan keluar. Namun ada sedikit godaan bahwa ketetuan dalam PP No. 66 tahun 1951 berlaku. Hal ini tampak mungkin. Pasal 72 (Ketentuan Peralihan) UU No. 24 tahun 2009 menentukan:
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan Undang-Undang ini.

Hal ini berarti bahwa akan ada “peraturan baru berdasarkan Undang-undang ini”. Namun jika diperhatikan ketentuan-ketentuan mengenai Lambang Negara, tidak ada satu pasalpun yang menyebutkan pengaturan lebih lanjut dengan peraturan yang lebih rendah dari undang-undang. Ketentuan mengenai Lambang Negara sudah relative lengkap dan sudah menampung apa yang diatur dalam PP No. 66 tahun 1951. Namun PP tersebut jelas sudah bertentangan dengan UU No. 24 tahun 2009 terutama menyangkut warna. Soal warna sebagaimana diatur dalam UU adalah wajib dan ada larangan untuk menggunakan warna selain yang disebutkan dalam undang-undang dan atas pelanggarannya ada sanksi.

Dengan demikian PP No. 66 tahun 1951 dan PP No. 43 tahun 1958 sudah tidak berlaku karena bertentangan dengan UU ini.

Larangan

Pasal 57 menentukan larangan mengenai Lambang Negara. Pasal 57 berbunyi:
Setiap orang dilarang:
a. mencoret, menulisi, menggambari, atau membuat rusak Lambang Negara dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Lambang Negara;
b. menggunakan Lambang Negara yang rusak dan tidak sesuai dengan bentuk, warna, dan perbandingan ukuran;
c. membuat lambang untuk perseorangan, partai politik, perkumpulan, organisasi dan/atau perusahaan yang sama atau menyerupai Lambang Negara; dan
d. menggunakan Lambang Negara untuk keperluan selain yang diatur dalam Undang-Undang ini.

Sanksi Pidana
Sanksi pidana menyangkut Lambang Negara diformulasikan terhadap perbuatan yang disengaja dan tidak disengaja. Juga perlu diperhatikan bahwa ada tidaknya maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Lambang Negara akan tergantung tidak selalu merupakan factor dalam pemidanaan. Pasal 68, misalnya menentukan secara tegas diperlukannya pembuktian adanya maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Lambang Negara. Pasal 68 berbunyi:
Setiap orang yang mencoret, menulisi, menggambari, atau membuat rusak Lambang Negara dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Lambang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Jika sekiranya tidak ada maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Lambang Negara, maka tampak akan lolos dari sanksi berdasarkan Pasal 68 ini. Jadi jika sekiranya, tanpa sengaja, ada yang menabrak suatu gapura yang ada Lambang Negara dan Lambang Negara itu menjadi rusak, maka kemungkinan akan lolos dari sanksi Pasal 68.
Ketentuan dalam Pasal 69 mengatur adanya unsure kesengajaan. Pasal 69 berbunyi:
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah), setiap orang yang:
  1. dengan sengaja menggunakan Lambang Negara yang rusak dan tidak sesuai dengan bentuk, warna, dan perbandingan ukuran;
  2. membuat lambang untuk perseorangan, partai politik, perkumpulan, organisasi dan/atau perusahaan yang sama atau menyerupai Lambang Negara; atau
  3. dengan sengaja menggunakan Lambang Negara untuk keperluan selain yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Butir a
Dengan sengaja tanpa maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Lambang Negara dikenakan pidana juga. Tapi perlu diperhatikan bahwa terdapat kata “dan” yang berarti keduanya harus terjadi, menggunakan Lambang Negara yang rusak dan tidak sesuai dengan bentuk, warna dan ukuran. Ini berarti bahwa tidak dapat dipidana jika hanya sekedar menggunakan Lambang Negara yang tidak sesuai bentuk, warna, dan perbandingan ukuran.
Jika ditinjau dengan melihat pada persoalan fisik Lambang Negara sebagaimana ditinjau di atas, seolah-olah penggunaan warna menjadi tidak masalah. Membaca adanya “dan” dalam butir a ini maka mau tidak mau memang kita berpikir bahwa persoalan warna, bentuk, dan ukuran menjadi tidak penting. Lain soalnya jika yang digunakan kata “atau” maka tentu soal bentuk, warna, dan ukuran menjadi relevan.
Butir b
Membuat lambang dalam hal ini, patut diduga, berarti menjadikan Lambang Negara sebagai lambang untuk perseorangan, partai politik, perkumpulan, organisasi dan/atau perusahaan. Pengertian membuat dalam butir b tersebut bukan berarti memproduksi Lambang untuk  perseorangan, partai politik, perkumpulan, organisasi dan/atau perusahaan. Hal ini juga sudah diatur dalam UU Merek. Jadi seseorang, seperti di facebook menggunakan Lambang Negara sebagai foto profilnya sudah merupakan pidana.
Butir c

Dalam batas-batas tertentu tertentu ia sudah termasuk dalam butir b. Namun pasti ada hal lain. Notaris, misalnya, tidak boleh menggunakan lambang Negara pada kartu nama atau map kantornya. Jika ada notaries yang melakukannya, maka kemungkinan akan dapat diajukan pidana.

Penutup
Berdasarkan pembacaan di atas, saya melihat bahwa aturan-aturan mengenai Lambang Negara dalam UU No. 24 tahun 2009 tidak disusun dengan baik. Saya kira kelak akan banyak persoalan mengenai hal itu dan barangkali aka nada banyak perkara yang muncul mengenai hal ini. Semoga tidak sih…..