Kamis, 20 Oktober 2011

BEREBUT KEKUASAAN MEMBENTUK UNDANG-UNDANG

Baru-baru ini Mahkamah Konstitusi membuat Putusan yang dapat dikatakan sebagai upaya penggerogotan terhadap kekuasaan DPR untuk membentuk Undang-undang. Putusan yang dimaksud adalah Putusan No. 48/PUU/2011. Dalam Putusan tersebut MK membatalkan ketentuan dalam Pasal 45A dan 57 ayat (2a) UU No. 8 tahun 2011.
Pasal 45A UU No. 8 tahun 2011 berbunyi:
“Putusan Mahkamah Konstitusi tidak boleh memuat amar putusan yang tidak diminta oleh pemohon atau melebihi Permohonan pemohon, kecuali terhadap hal tertentu yang terkait dengan pokok Permohonan”.

Pasal 57 ayat (2a) UU No. 8 Tahun 2011 berbunyi sebagai berikut:
(2a) Putusan Mahkamah Konstitusi tidak memuat:
a. amar selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2);
b. perintah kepada pembuat undang-undang; dan
c. rumusan norma sebagai pengganti norma dari undang-undang yang dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dalam putusannya, MK menyatakan Kedua Pasal dimaksud dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, tanpa menyatakan secara spesifik pada Pasal(-pasal) yang mana dari UUD 1945 kedua Pasal UU itu bertentangan.

Pasal 45A yang dibatalkan oleh MK tersebut berkaitan dengan apa yang disebut sebagai Ultra Petita. Sementara Pasal 57 lebih kepada soal tindak lanjut apa yang dilakukan oleh MK setelah menyatakan bahwa suatu UU yang dimintakan untuk diuji bertentangan dengan UUD 1945. Dengan dinyatakannya Pasal 57 ayat (2a) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hokum maka MK dapat berbuat apa saja, seperti memerintahkan pembuat UU menciptakan norma baru atau membuat rumusan norma baru sebagai pengganti dari norma yang dibatalkan. Putusan MK hanya memuat bahwa Pasal atau ayat yang dibatalkan tidak mempunyai kekuatan hukum (Lihat Pasal 57 ayat (1) dan (2)).

Kamis, 06 Oktober 2011

Putusan Komite Etik KPK

Komite Etik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah membuat putusan yang sungguh aneh. Namanya Komite Etik tetapi membuat putusan yang terlalu jauh menyimpang dari itu. Dalam Bab II mengenai penilaian umum komite etik disebutkan hal-hal yang membuat KPK menghadapi persoalan sehingga adanya pemeriksaan. Membaca uraian dalam Bab II ini pelanggaran kode etik merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari. Malangnya kemudian Komite Etik dalam penilaian khususnya (Bab III)menyimpulakn hal yang berbeda. Sebutlah salah satu putusan Komite Etik:
1. M. Busyro Muqoddas
Putusan
Komite Etik beranggapan, tidak ditemukan indikasi pelanggaran pidana dan pelanggaran Kode Etik Pimpinan yang dilakukan oleh terperiksa, M. Busyro Muqoddas. Dengan demikian, terperiksa M. Busyro Muqoddas dinyatakan bebas/tidak bersalah atas semua yang dipersangkakan atas dirinya.


Tidak jelas apa sebetulnya yang dituduhkan terhadap Ketua KPK tersebut dan tidak sepenuhnya jelas mengapa Komite Etik memutuskan seperti itu. Antara Bab II dan Bab III tidak terdapat kesepadanan.

Lebih jauh tidak jelas mengapa KPK sampai pada putusan "tidak ditemukan indikasi pelanggaran pidana". Dari awal putusan tidak ditemukan adanya persoalan pidana tetapi Komite memasukkan adanya soal indikasi pelanggaran pidana dalam Bab III. Adakah Komite telah menjadi organ penyelidik yang dapat memutuskan tidak ada indikasi pelanggaran pidana dan dengan demikian Terperiksa tidak perlu diproses lebih laanjut dalam perkara pidana? Ataukah komite Etik merasa mereka dapat menduduki kursi hakim? Salah satu anggota Komite etik adalah pakar di bidang hukum pidana.

Melihat putusan Komite Etik KPK tentu menimbulkan pertanyaan mengenai kredibilitas dan integritas dari Komite Etik KPK. Hal ini tentu juga menimbulkan pertanyaan yang serius mengenai validitas dari Putusan Komite Etik KPK.

Senin, 19 September 2011

Hak Prerogatif

Belakangan ini istilah Hak Prerogatif muncul lagi sehubungan dengan adanya issu atau, mungkin, agenda reshuffle kabinet. Istilah hak prerogatif ini ditemukan dalam Penjelasan UUD 1945 sebagai Penjelasan atas Pasal 10 - 15 UUD 1945. Meskipun Penjelasan UUD 1945 tidak masuk hitungan lagi, tapi rupanya baik politisi maupun pengamat masih suka menggunakan istilah dari Penjelasan UUD 1945 tersebut.



Penjelasan Pasal 10-15 merupakan satu dari dua hal pokok dari Penjelasan UUD 1945 yang merupakan pembenaran atas perubahan ketatanegaraan di Indonesia tahun 1945.Bagian-bagian lain dari Penjelasan UUD 1945 selain dua hal itu sesungguhnya hanya menyamarkan kedua hal pokok itu. Cerdas juga orang yang dulu melakukan perubahab UUD secara diam-diam itu menyamarkan kedua hak pokok itu.Terutama lagi dengan penempatan Penjelasan UUD 1945 itu dalam Berita Republik Indonesia (sekarang Lembaran Negara Republik Indonesia). Dengan dimasukkannya dalam Berita Republik Indonesia, Penjelasan UUD 1945 diperlakukan seolah-olah sebagai norma hukum.



Dengan Penjelasan Pasal 10 - 15 tersebut dibenarkanlah keberadaan Perdana Menteri dan menteri yang tidak diangkat oleh Presiden. Dengan menyebut bahwa Pasal 10 -15 adalah konsekwensi dari hak prerogatif Presiden selaku Kepala Negara maka kekuasaan pemerintahan dapat tidak dijalankan oleh Presiden tetpi oleh pejabat lain seperti Perdana Menteri. Jadi sebagai contoh, jika menurut Pasal 17 UUD 1945 menteri diangkat dan dberhentikan Presiden, dengan adanya Penjelasan Pasal 10-15 maka tidak perlu oleh Presiden tetapi oleh kepala Pemerintahan. Penjelasan Pasal 10 -15 menciptakan dua kapasitas kepala negara dan kepala pemerintahan. Wewenang Presiden selain menurut Pasal 10-15 dapat dilaksanakan oleh Kepala Pemerintahan, Perdana Menteri.



Lalu apa pembenaran atas keberadaan Perdana Menteri padahal UUD1945 tidak mengenalnya? Ini lain waktu dibahas.



Kembali ke soal semula mengenai hak prerogatif ini, dengan tidak diakuinya lagi Penjelasan UUD 1945, mestinya hak prerogatif tidak perlu lagi dimunculkan. Sejak Pak Harto, Presiden adalah Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Pak Harto sedemikian kuatnya sehingga tidak ada pihak yang dapat memaksakan kehendaknya untuk memisahkan kepala negara dengan kepala pemerintahan. Mengangkat dan memberhentikan Menteri seyogyanya juga merupakan kekuasaan Preside, sama dengan kekuasaan Presiden yang lain. Jika sekiranya Penjelasan UUD 1945 masih dipandang, mengangkat dan memberhentikan menteri bukan hak prerogatif Presiden (Kepala Negara). Bisa oleh siapa saja yang mengemban jabatan Kepala Pemerintahan.

Sabtu, 30 Juli 2011

Memaafkan Koruptor

Hari Juma't, 29 Juli 2011, Marzuki Alie membuat pernyataan yang sungguh sangat menarik perhatian berbagai kalangan. Dalam perrnyataannya, Marzuki Alie menyarankan agar koruptor dimaafkan saja. Sebagaimana kemudian dibantah, pernyataan itu bukanlah sikap resmi DPR, tetapi pernyataan pribadi Marzuki Ali. Boleh jadi pernyataan itu dikeluarkan menyongsong tibanya bulan Ramadhan, yang menawarkan sikap maaf memaafkan antara sesama manusia.

Pernyataan itu menimbulkan tanggapan negatif, bahkan dari kalangan Partai Demokrat sendiri.

Kalau dikatakan memaafkan koruptor, sebenarnya hal itu baik-baik saja. Memaafkan hanya dilakukan terhadap orang yang bersalah. Koruptor juga adalah sebutan yang diberikan kepada orang yang sudah terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Agar orang dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana, maka harus dengan adanya putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Hal ini berarti koruptor tersebut sudah menjalani proses hukum yang ditentukan dalam undang-undang. Jika sesudah dinyatakan bahwa sesorang koruptor maka orang itu sudah menjalani keseluruhan proses. Kalau demikian halnya apakah salahnya memaafkan koruptor itu?

Memaafkan orang yang bersalah tentulah perbuatan yang mulia. Apa artinya memenjarakan seorang koruptor karena koruptor yang bersangkutan tidak dapat lagi mengulangi perbuatannya. Korupsi biasanya terjadi dalam hal orang-orrang memegang peran tertentu yang memungkinkan orang itu melakukan korupsi. Ketika seseorang sudah dinyatakan bersalah dengan putusan hukum yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap maka orang itu tidak lagi dapat memainkan peranan yang memungkinkan terjadinya korupsi.

Sabtu, 05 Maret 2011

e-APS

Seiring dengan semakin matangnya Internet sebagai medium untuk melakukan komunikasi, alternatif penyelesaian sengketa secara online (e-APS) semakin menunjukkan dirinya sebagai suatu alternatif yang sangat menarik dibandingkan dengan litigasi. Ethan Katsh & Janet Rifkin dalam karyanya berjudul On-line Conflict Management. Resolving Conflicts in Cyberspace (2001) mengindikasikan bahwa Internet dapat menyediakan ruang untuk mengelola sengketa. Sama dengan APS, e-APS lebih murah, cepat, dan cocok bagi para pihak yang selama dalam proses dan sesudahnya masih menginginkan hubungan baik. Para pihak yang melibatkan diri dalam e-APS pada dasarnya lebih tertarik untuk mencari jalan keluar dibandingkan mengetahui apa yang menjadi alas hukum bagi sengketa mereka.


Pemanfaatan Internet sebagai sarana alternatif penyelesaian sengketa sudah sedemikian maju di luar Indonesia. E-APS ini dilakukan oleh institusi-institusi Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam bentuk negosiasi online, mediasi online dan arbitrase online. Beberapa institusi yang menyelenggarakan e-APS adalah 1-2-3 Settle (BB), American Arbitration Association (AAA), Chartered Institute of Arbitrators, ClickNsettle, Cybersettle, ENeutral, Electronic Consumer Dispute Resolution (ECODIR), Hong Kong International Arbitration Centre, International Chamber of Commerce, Internet Neutral, Mediation Arbitration Resolution Services (MARS), Nova Forum, ODR.NL, SettleOnline, SettleTheCase, SmartSettle, SquareTrade, The Virtual Magistrate, Webmediate.com, WeCanSettle, World Intellectual Property Organization (WIPO), dan lain-lain. Penggunaan e-APS dilakukan terhadap semua jenis sengketa, mulai dari e-commerce, pencemaran nama baik, asuransi, sengketa berdasar hukum kekeluargaan seperti warisan, perceraian, tindakan yang diambil pejabat tata usaha negara, dan lain-lainnya.

Pemanfaatan Internet dalam penyelesaian sengketa belum memadai di Indonesia. Tulisan ini bermaksud mengintrodusir e-APS. Terdapat dua bentuk e-APS yang saat ini sudah berkembang yang akan disinggung dalam tulisan ini yaitu negosiasi dan mediasi secara online. Pembatasan terhadap e-APS dalam tulisan ini semata-mata mengikuti Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang mengadakan pemisahan yang tajam antara Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Sehubungan dengan pemisahan tersebut saya tidak membahas soal Arbitrase Online.

Negosiasi Online

Negosiasi online menawarkan keuntungan berupa kesederhanaan. Tiada suatu hal yang diwajibkan dalam hal ini kecuali soal adanya itikad baik dan koneksi Internet. Tidak ada suatu kebutuhan untuk melakukan perjalanan untuk bertatap muka, tidak perlu ditentukan suatu tempat untuk melakukan pertemuan secara khusus. Hal ini karena memang negosiasi online tidak membutuhkan pertemuan secara langsung. Yang terjadi adalah meninggalkan pesan-pesan pada sarana yang tersedia untuk itu atau membuat permintaan atau penawaran. Proses yang sederhana juga membuat penghematan biaya yang tidak sedikit. Hal ini terjadi karena dalam negosiasi online, para pihak tidak harus terkoneksi pada Internet pada saat yang bersamaan. Kesederhanaan dari negosiasi online ini pada saat yang sama juga merupakan kekurangan dari system ini. Hal ini terjadi karena dalam negosiasi online tidak ada suatu sarana untuk mendapatkan sentuhan kemanusiaan. Dalam negosiasi secara offline, pengamatan terhadap bahasa tubuh, pertemuan selama dalam rehat kopi, dan persepsi non verbal memegang peranan penting dalam upaya saling memahami posisi masing-masing.

Dalam perkembangan terdapat dua macam negosiasi online, yaitu negosiasi otomatis dan negosiasi langsung.

Negosiasi Otomatis

Dalam negosiasi otomatis ini, penyedia jasa menyediakan sarana elektronik dan prosedur penawaran buta (blind bidding). Dalam penawaran buta ini, penyedia jasa menyediakan sarana bagi para pihak untuk mengirimkan penawaran untuk penyelesaian sengketa pada suatu mesin dan menggunakan perangkat lunak untuk membandingkan penawaran yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa secara rahasia. Dalam penyelesaian semacam ini, pengajuan penawaran berupa jumlah uang yang diklaim dan penawaran dari pihak yang diklaim hanya dilakukan oleh komputer. Para pihak tidak mengetahui satu sama lain berapa penawaran yang dilakukan pihak lawan. Hal itu menjadi tugas dari komputer. Dalam hal penawaran di antara para pihak berada dalam tingkatan tertentu maka mesin akan menghentikan sengketa dengan menyesuaikan perbedaan-perbedaan yang ada sehingga didapatkan hasil rata-rata. Dalam hal sengketa terselesaikan maka para pihak diberitahukan baik secara online atau melalui e-mail.

Dalam hal penawaran jauh dari batas yang ditentukan, maka komputer akan menyimpan hal itu dan dapat melanjutkan negosiasi. Terdapat jangka waktu tertentu untuk penyelesaian sengketa yang berkisar antara 15 hari sampai dengan 12 bulan tergantung pada penyedia jasa.

Negosiasi Langsung

Dalam Negosiasi langsung, Penyedia jasa hanya menyediakan suatu situs yang aman beserta cara-cara menyimpan hal-hal yang dikomunikasikan, tetapi tidak terlibat sama sekali dalam proses negosiasi. Dalam negosiasi jenis ini para pihak harus mengupayakan sendiri kesepakatannya tanpa campur tangan dari pihak manapun termasuk dari komputer yang digunakan. Disinilah perbedaannya dengan negosiasi otomatis. Negosiasi langsung ini kurang popular dalam bisnis ini dibandingkan dengan negosiasi otomatis.

Mediasi Online

Dalam mediasi, peranan dari seorang Mediator merupakan ciri khas. Mediasi merupakan suatu prosedur melalui mana pihak ketiga yang netral membantu para pihak yang bersengketa mencapai kesepakatan untuk menyelesaikan sengketanya. Dalam mediasi, mediator tidak membuat suatu solusi atau putusan. Namun demikian terdapat tingkatan tertentu dimana mediator berperan dalam penyelesaian sengketa mulai dari tingkatan yang murni dimana mediator sedapat mungkin hanya mencampuri sedikit penyelesaian sengketa sampai dengan mediasi dengan cara yang kasar dimana mediator mencoba memaksakan suatu penyelesaian sengketa bagi para pihak.

Terdapat tiga jenis mediasi dalam rangka mediasi online. Pertama, mediasi yang bersifat fasilitatif dimana mediator berfungsi sebagai fasilitator dan tidak dapat memberikan opini atau merekomendasikan penyelesaian. Dalam hal ini mediator memberikan jalan agar para pihak menemukan sendiri penyelesaian bagi sengketa yang dihadapinya. Penyelesaian sengketa dari jenis ini dilakukan oleh Online Resolution.

Mediasi evaluatif adalah mediasi melalui mana mediator memberikan pandangan dari segi hukum, fakta-fakta, dan bukti-bukti. Dalam mediasi ini strateginya adalah membuat suatu kesepakatan melalui mana mediator memberikan suatu solusi yang dapat diterima oleh kedua belah pihak dan mencoba membujuk para pihak untuk menerimanya. Hal ini dijalankan oleh Web Mediate. Pada WEB Mediate, mediator dapat bertindak secara hukum untuk memberikan solusi tetapi tidak berhak membuat penyelesaian.

Ketiga terdapat suatu pendekatan yang bersifat tengah. Mediator mencoba mencampuri permasalahan sejauh disetujui para pihak. Mediator hanya memasuki jika para pihak gagal melakukan negosiasi di anatara mereka sendiri dan jika sekiranya mencampuri, mediator hanya dapat mengajukan solusi hanya jika para pihak memintakan kepadanya. Tujuan awal dari prosedur ini adalah membantu memfasilitasi komunikasi antara para pihak dengan mediator dan antara para pihak sendiri. Komunikasi semacam itu dapat dijalankan dengan menggunakan teknologi yang tersedia seperti Internet relay chats, e-mail, dan videoconferencing). Sarana komunikasi merupakan elemen dasar dalam mediasi online.

Mediasi online sama dengan mediasi off line yang biasanya diorganisir melalui tiga tahapan atau sesi. Pertama adalah sesi pembukaan dimana para pihak, penasehat hukum, mediator dan mungkin ekspert atau psikolog hadir. Dalam sesi ini para pihak mengemukakan pandangan, fakta-fakta dan soal-soal hukum dan mediator membuat ringkasan dari permasalahan yang dihadapi oleh para pihak.

Sesudah sesi tersebut terdapat sesi selanjutnya yaitu sejumlah sesi yang lebih bersifat privat, kadangkala disebut juga sebagai kaukus. Dalam sesi ini mediator mendiskusikan secara privat dengan masing-masing pihak. Sesi ini disebut juga sebagai “engine room” dari keseluruhan prosedur yang harus dilalui.

Selanjutnya adalah sesi penutup melalui mana para pihak bertemu kembali dan melakukan verifikasi terhadap kesepakatan yang sudah dicapai atau sekurang-kurangnya hasil yang sudah dicapai.

Sesi-sesi dalam mediasi off line ini mempengaruhi pembuatan arsitektur dari mediasi online. Dalam mediasi offline terdapat keseimbangan antara langkah formal dan tahapan informal. Para pihak dan mediator membuat sesi-sesi bersama, periode-periode dalam kaukus dan bahkan masa-masa jeda (coffee breaks). Berbagai cara berkomunikasi dilakukan selama proses penyelesaian dan masing-masing cara berkomunikasi itu berbeda menurut sesi yang ditempuh, suasana batin dari para pihak dan kesimbangan dalam posisi para pihak.

Sedapat mungkin, apa yang dilakukan dalam mediasi offline dilakukan dalam mediasi online tentu saja dengan penyesuaian disana-sini. Penyedia jasa mediasi online harus mempunyai ruang diskusi dan fasilitas komunikasi privat serta menyediakan peralatan teknologi yang dapat mendukung komunikasi dengan cara-cara yang terbaik. Perbedaan antara mediasi online dengan mediasi offline adalah bahwa dalam mediasi online, dunia nyata (real space) digantikan oleh dunia virtual atau dunia maya( cyberspace).

Penutup

Pemanfaatan Internet sudah berkembang sedemikian rupa sampai-sampai sudah merambah dalam penyelesaian sengketa. Pengaturan mengenai penyelenggaraanya ditentukan sendiri berdasarkan kesepakatan di antara pengguna (para pihak) dan penyedia jasa penyelesaian sengketa. Penyelenggaraan e-APS tidak perlu menunggu lahirnya undang-undang baru di bidang cyberlaw. E-APS akan sangat membantu dalam penyelesaian sengketa yang cepat, murah, dan efektif, sebagaimana merupakan tujuan dari diadakannya APS.

Jumat, 25 Februari 2011

Pemerintah, FIFA, dan PSSI

Abstrak: Intervensi pemerintah dalam pemilihan pengurus PSSI harus dipahami sebagai upaya pemerintah untuk menegakkan KODE ETIK FIFA dalam kapasitasnya selaku pembina olah raga. Pemerintah justru menyelamatkan PSSI dan persepakbolaan nasional. Jika PSSI sudah menegakkan aturan-aturan FIFA maka campur tangan pemerintah tidak diperlukan lagi.
---------------------------------------------------------------------------------

Waktu-waktu belakangan sering dipertentangkan antara FIFA dan Pemerintah. PSSI mengklaim bahwa Pemerintah tidak dapat mengintervensi PSSI. PSSI mengira dan selalu mengkampanyekan bahwa tindakan-tindakannya menyangkut pemilihan pengurus PSSI menundukkan diri pada Peraturan FIFA dan bahwa PSSI hanya tunduk pada FIFA. Pemerintah tidak boleh mengintervensi. Intervensi pemerintah, dalam pandangan ini merupakan dosa yang karenanya keanggotaan PSSI dapat ditangguhkan oleh FIFA. Ancaman adanya sanksi dari FIFA ini tentu akan merugikan Indonesia. Sebagai rujukan terhadap ancaman ini disampaikan adanya Statuta FIFA, FIFA Standard Electoral Code, dan Statuta PSSI. Rujukan kepada aturan FIFA ini membuat seolah-olah pemerintah tidak berarti apa-apa. Rasa hormat kepada pemerintah juga sama sekali tidak ditunjukkan oleh PSSI.

Pemerintah disisi lain mengklaim bahwa selama masih ada huruf 'I' pada PSSI maka pemerintah berwenang mengintervensinya. Hal ini sesuai dengan wewenang pemerintah sebagai pembina sebagaimana diatur dalam UU No. 3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional. Pemerintah memang gencar mencampuri urusan pergantian pimpinan PSSI. Pemerintah, bahkan oleh Ketua Banding PSSI dalam hal verifikasi calon Ketua Umum PSSI, memberikan ancaman sehingga Komisi Banding mengeluarkan putusan yang relative aneh.

Kedua argumen tersebut benar adanya. Pihak yang bersikukuh dengan aturan FIFA benar mengenai adanya aturan FIFA yang harus dilaksanakan. Namun aturan yang disampaikan sudah dipelintir sedemikian rupa sehingga telah dijadikan senjata untuk melumpuhkan keinginan pihak lain yang ingin mengisi kursi Ketua Umum PSSI. Disisi lain, PSSI juga telah tidak mengindahkan aturan lain yang dikeluarkan oleh FIFA. Jika aturan FIFA dijalankan secara utuh, sesungguhnya pemerintah juga tidak perlu mencampuri urusan PSSI. Pada kenyataannya ada aturan lain yang tidak dijalankan oleh PSSI dalam pemilihan Ketua Umum PSSI ini. Aturan itu adalah yang terdapat dalam Kode Etik FIFA. Berhubung ketentuan ini tidak dijalankan bersama ketentuan yang lain, pemerintah dapat memasukinya sesuai dengan fungsi dan wewenangnya sesuai dengan UU Sistem Keolahragaan Nasional.

Sekarang kita mencoba melihat pada ketentuan mengenai Kode Etik FIFA yang harus ditaati oleh para pejabat PSSI dalam menjalankan pekerjaannya dan juga menjadi persyaratan yang harus dituruti jika hendak melakukan pemilihan pengurus PSSI.
Kode Etik FIFA edisi 2009 disahkan pada 31 Mei 2009 dan mulai berlaku pada 1 September 2009 (Pasal 21). Kode Etik ini berlaku untuk perbuatan mulai 1 September 2009 dan fakta-fakta yang sebelumnya terjadi sejauh jika penggunaan Kode Etik ini lebih menguntungkan bagi yang dikenainya. Kode etik ini berlaku untuk setiap orang yang bertanggungjawab untuk hal-hal teknis, medis, dan administrasi FIFA. Termasuk dalam hal ini adalah pejabat-pejabat anggota FIFA, termasuk pengurus PSSI (Pasal 1).

Kewajiban pengurus ditentukan dalam Pasal 3 yang menentukan:
1. Para pejabat diharapkan untuk menyadari pentingnya fungsi dan kewajiban dan tanggung jawab secara bersamaan. Perilaku mereka harus merefleksikan fakta bahwa mereka mendukung dan menindaklanjuti prinsip-prinsip dan tujuan-tujuan FIFA, konfederasi, asosiasi, liga dan klub dalam segala hal dan menahan diri dari hal-hal yang dapat berbahaya bagi maksud dan tujuan-tujuan.
Mereka harus menghormati pentingnya persekutuan mereka kepada FIFA, konfederasi, asosiasi, liga dan klub dan mewakili mereka secara jujur, layak, sopan dan dengan integritas.
2. Pejabat harus menunjukkan komitmen untuk suatu sikap etika saat melakukan tugas mereka. Mereka harus berjanji untuk berperilaku secara bermartabat. Mereka harus
bersikap dan bertindak dengan kredibilitas dan integritas yang utuh.
3. Pejabat tidak dapat menyalahgunakan posisi mereka sebagai bagian dari fungsi mereka dengan cara apapun, khususnya untuk memanfaatkan fungsi mereka untuk kepentingan atau keuntungan pribadi.

Persyaratan menjadi pengurus suatu assosiasi sendiri ditentukan dalam Pasal 4. Ditentukan bahwa ‘hanya orang-orang yang menunjukkan tingkat etika dan integritas yang tinggi dan berjanji untuk mentaati ketentuan Kode Etik ini tanpa reservasi yang berhak untuk melayani sebagai pejabat’. Ini berarti seorang pengurus apakah dia ketua umum atau pengurus lain dari PSSI harus menunjukkan etika dan integritas yang tinggi. Hal ini perlu menjadi pertanyaan bagi para calon pengurus PSSI apakah mereka mempunyai etika dan integritas tinggi. Apakah seorang mantan narapidana harus menganggap dirinya masih mempunyai integritas tinggi? Selanjutnya mereka harus berjanji tanpa reservasi bahwa mereka akan menundukkan diri pada Kode Etik. Ayat (2) dari Pasal 4 melanjutkan bahwa Orang-orang dengan catatan kriminal tidak memenuhi syarat jika pelanggaran tersebut tidak sesuai dengan kemampuan mereka untuk melaksanakan tugas mereka. Apakah Nurdin Halid masih merasa dirinya memenuhi persyaratan untuk menjadi pengurus PSSI. Apalagi menjadi Ketua Umumnya? Ayat (3) Pasal 4 lebih menyengat lagi dengan menyatakan bahwa orang yang tidak memenuhi ketentuan dalam Kode Etik tidak layak lagi menjadi pengurus.

Hal lain yang patut dicatat dari Kode Etik adalah kewajiban membuka soal kemungkinan adanya konflik kepentingan yang akan berkaitan dengan pelaksanaan fungsinya jika terpilih. Jadi sebelum dipilih atau ditunjuk, para calon harus mengungkapkan hal ini. Dalam pencalonan untuk menjadi Ketua umum PSSI, hal ini tidak menjadi perhatian. Panitia seleksi lebih banyak berkutat dengan soal lamanya seseorang menjadi pengurus PSSI. Adanya konflik kepentingan sama sekali tidak dibuka. PSSI sendiri memang tidak mengumumkan tata cara pemilihan secara terbuka dalam situs webnya. Baik Statuta dan ketentuan-ketentuan yang dibuat untuk pemilihan Ketua Umum tidak dibuka sehingga masyarakat hanya meraba-raba peraturan mana yang harus diturut dalam pemilihan ini. Tidak jelas apakah dalam peraturan-peraturan yang dirujuk dalam melakukan seleksi calon pemimpin PSSI ini ada dimasukkan ketentuan mengenai konflik kepentingan ini.

Kembali kepada persoalan yang disebutkan di atas, apakah memang pemerintah tidak dapat mencampuri urusan PSSI. Pemerintah tentu dapat melakukannya sesuai dengan fungsi dan wewenangnya sesuai UU.
Apakah dengan merujuk pada ketentuan dalam Statuta FIFA dan FIFA Standard Electoral Code, PSSI tidak perlu menaruh rasa hormat kepada pemerintah. Kode Etik FIFA mengatur bagaimana pengurus assosiasi bersikap kepada pemerintah dan organisasi lain. Pasal 6 Kode etik menentukan:

Dalam berurusan dengan institusi pemerintah, organisasi nasional dan internasional, assosiasi dan kelompok2, pejabat harus, sebagai tambahan untuk mentaati ketentuan dasar dalam Pasal 3, tetap netral secara politik, sesuai dengan prinsip-prinsip dan tujuan-tujuan FIFA, Konfederasi-konfederasi, assosiasi-assosiasi, liga, klub, dan secara umum bertindak menurut cara yang sesuai dengan fungsi dan integritasnya.

Pengurus PSSI harus tetap netral secara politik. Pengurus PSSI tidak dapat menyampaikan secara terbuka keterkaitannya dengan suatu partai politik tertentu. Dalam kasus yang saat ini terjadi di Indonesia, Ketua Umum yang ada saat ini secara jelas menunjukkan afiliasinya dengan salah satu partai politik dan memang yang bersangkutan adalah pengurus partai politik yang bersangkutan. Dari sudut pandang ini, calon ketua umum yang ada saat ini, Nurdin Halid harusnya tidak memenuhi syarat lagi untuk maju sebagai ketua umum PSSI mengingat beliau adalah salah satu pengurus Parati Golkar dan sesuai dengan Pasal 4 ayat (4) Kode Etik memang tidak lagi memenuhi persyaratan menjadi Ketua Umum PSSI.

Meskipun banyak elemen masyarakat menolak Nurdin Halid untuk jadi ketua umum PSSI tetapi hal ini tidak dihiraukan. Ketentuan-ketentuan dalam melakukan pemilihan yang tidak transparan dan adanya calon ketua umum yang sesuai dengan kode etik tidak lagi memenuhi syarat sungguh akan menempatkan PSSI dalam bahaya. Mengingat Ketua Umum, yang adalah calon Ketua Umum, saat ini adalah pengurus partai yang masih mempunyai kekuatan politik yang sangat diperhitungkan maka tidak ada elemen yang dapat membebaskan PSSI dari kehancuran. Satu-satunya yang mungkin menyelamatkan PSSI hanya pemerintah. Dalam hal inilah dapat kita memahami dan harus mendorong pemerintah untuk melakukan intervensi terhadap PSSI. Sebagai Pembina olahraga tentu pemerintah berkepentingan untuk menyelamatkan PSSI dari keterpurukan yang semakin dalam yang dapat persepakbolaan tidak dapat maju. Kegagalan demi kegagalan yang dialami oleh Tim Nasional Sepakbola Indonesia sudah menunjukkan kegagalan dari Ketua Umum yang ada sekarang. Maka tidak ada salahnya melakukan intervensi dalam pemilihan pengurus PSSI saat ini. Tentu jika PSSI sudah menjalankan aturan-aturan FIFA secara benar maka campur tangan pemerintah tidak dapat dibenarkan.

Rabu, 23 Februari 2011

Usulan Angket Kandas: Lepas dari Malapetaka

Setelah bertarung cukup alot, Para Inisiator Angket pada akhirnya kalah, dengan selisih 2 angka, dan dengan demikian tidak jadi angket pajak. Tentu hal ini sangat mengecewakan, baik para inisiator maupun para pendukungnya, di luar atau dalam parlemen. Disisi lain, tentu hasil ini menggembirakan. Pengalaman pada waktu kasus Bank Century tentu menjadi faktor pendorong adanya perjuangan yang ketat agar usulan angket mafia pajak ini ditolak.

Usulan angket dibuat sedemikian rupa tanpa mempersiapkan hal-hal yang ingin diselidiki. Dalam rapat paripurna DPR dapat dilihat bahwa para penggagas tidak menyiapkan dengan jelas apa yang mau diselidiki. Semua bersifat mengambang. Setelah banyak fraksi mengemukakan ketidaksetujuan dengan angket, barulah anggota dewan dari fraksi penggagas menyampaikan apa yang ada di benaknya. Masing-masing anggota Dewan dari penggagas memberikan keterangan mengenai hal-hal yang perlu diselidiki.

Beruntunglah karena angket ini kandas. Tidak akan pernah jelas apa yang akan diselidiki. Masing-masing penggagas mempunyai agenda sendiri. Ingatlah betapa liarnya Pansus Century. Ketika baru mulai, permintaan pertama adalah agar Boediono dan SMI non-aktif. Ini tentu menunjukkan liarnya Pansus Century pada waktu itu. Dalam membuat angket tentu sangat baik jika yang mengusulkan merinci hal-hal yang perlu diselidiki dan menjelaskan apa yang akan diselidiki. Kalau tidak demikian maka seperti terlihat dalam rapat paripurna tanggal 22 Februari 2011, usulan angket itu kandas.

Barangkali penggagasnya tidak memikirkan dampak bagi masyarakat. Apapun yang terjadi tidak dipikirkan. Yang penting hanya mencari panggung, tidak hanya untuk mentas tetapi mungkin untuk melakukan pemerasan. Adanya issu percobaan penyuapan dalam pengambilan keputusan mengenai angket menunjukkan betapa tidak urgent-nya angket itu. Penolakan angket menyelamatkan Indonesia dari malapetaka.

Rabu, 16 Februari 2011

Komite Pengawas Perpajakan: Menyoal PMK 133/2010

Waktu-waktu belakangan Komite Pengawas Perpajakan mendapat sorotan di DPR. Dalam RDP dengan Menteri Keuangan, DPR telah meminta agar Peraturan Menteri Keuangan No. 133/PMK.01/2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA SEKRETARIAT KOMITE PENGAWAS PERPAJAKAN dicabut. Menjadi mudarat dalam PMK 133 tersebut karena secara tiba-tiba terdapat kewenangan menyangkut Bea dan Cukai. Sebagaimana dilansir oleh Bisnis Indonesia, Komisi XI berkeberatan dengan PMK 133 itu menyusul terbongkarnya kasus penyeludupan. Menteri Keuangan tidak bersedia mencabut PMK 133 ini dan menantang agar Komisi XI mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Agung.

Apa yang diatur dalam PMK itu, menurut Anggota Dewan dari Partai Gerindra Sadar Soebagyo, sebagaimana dikutip oleh jurnal Parlemen, tidak salah. Sudah sesuai dengan nomenklatur perpajakan yang dianut dalam UU APBN dan UU lain, yaitu pajak dan Bea Cukai. Namun Sadar melihat persoalan di seputar ditjen Pajak sendiri yang masih banyak menghadapi masalah.

Saya kira apa yang dinyatakan oleh Sadar Soebagyo tersebut, sepanjang menyangkut nomenklatur perpajakan juga tidak terlalu tepat. Juga bahwa ditjen pajak masih menghadapi banyak persoalan tidak memadai untuk dijadikan alasan untuk menolak PMK 133 tersebut. Boleh jadi Menteri Keuangan menghadapi jalan buntu untuk masuk ke Bea dan Cukai mengingat Bea dan Cukai seperti kebal hukum dan tidak tersentuh sama sekali. Jadi dengan PMK 133 ini, Menteri Keuangan mempunyai jalan masuk untuk mengungkap borok-borok di Ditjen Bea dan Cukai, termasuk soal penyelundupan yang jelas-jelas merugikan keuangan Negara tersebut. Namun jalur hukumnya memang perlu dipersoalkan. Saya melihat ada yang penyimpangan yang tidak sewajarnya dalam PMK 133 tersebut yang saya kira tidak dilihat oleh Para Anggota Komisi XI, yang memang patut dipersoalkan.

Dasar hukum dari KPP ditemukan dalam Pasal 36C UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007
TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN
. Pasal 36 C berbunyi “Menteri Keuangan membentuk komite pengawas perpajakan, yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.” Ketentuan dalam Pasal 36 C ini memberikan kewenangan kepada menteri untuk membentuk KPP tanpa memberikan batasan apapun. Jika Menteri Keuangan belakangan mengatur bahwa Kewenangan KPP juga merambah ke Bea dan Cukai, maka hal itu juga tidak dapat dipersalahkan. KPP sendiri dibentuk berdasarkan PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 54/PMK .09/2008 TENTANG KOMITE PENGAWAS PERPAJAKAN. Pasal 1 PMK No. 54 ini menentukan bahwa KPP merupakan Komite non structural yang membantu Menteri keuangan dan bersifat mandiri melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas instansi perpajakan. Yang termasuk dalam pengawasan adalah kegiatan pengamatan, pengumpulan informasi, dan penerimaan pengaduan masyarakat. Ayat 4 dari Pasal 1 menentukan bahwa KPP juga melakukan pengkajian dan memberikan saran dan/atau masukan yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas Instansi Perpajakan.

Apakah yang masuk dalam instansi perpajakan? Instansi perpajakan “meliputi instansi yang berwenang melakukan pemungutan pajak berdasarkan undang-undang, baik instansi pada pemerintah pusat maupun instansi pada pemerintah daerah.” Disinilah kunci persoalann yang sesungguhnya dihadapi oleh DPR. Sesuai ayat (3) Pasal 1 tersebut hanya instansi yang berwenang melakukan pemungutan pajak”. Menjadi persoalan tentu apakah Bea dan Cukai termasuk instansi yang berwenang melakukan pemungutan pajak?
PMK No. 54 ini hanya memuat garis besar mengenai KPP. Pembagian tugas secara detail tidak diatur dalam PMK No. 54. Keluarlah PMK No. 133 tahun 2010 yang seolah-olah memperluas jangkauan dari KPP sehingga meliputi Bea dan Cukai. Judul PMK 133 ini jelas secara spesifik menyangkut organisasi dan tata kerja secretariat KPP dan bukan mengenai KPP. Pasal 6 ayat (1) PMK 54 menentukan bahwa KPP dibantu oleh secretariat yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. PMK 54 tidak mengatur organisasi dan tata kerja Sekretariat KPP. PMK 133 sesungguhnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari Pasal 6 ayat (1) PMK 54 tersebut. Jadi KPP tetap tidak berwenang mencampuri urusan Bea dan Cukai karena kewenangan KPP hanya menyangkut instansi yang berwenang melakukan pemungutan pajak.

Sekretariat KPP, sesuai dengan Pasal 4 PMK 133, terdiri dari Bagian Umum, Bagian Fasilitasi Analisa dan Konsultasi, Bagian Fasilitasi Pencegahan dan Monitoring, Bagian Fasilitasi Pengaduan dan Verifikasi, dan Bagian Jabatan Fungsional. Bagian 2 sampai 4 lah yang membuat penyimpangan dari Pasal 1 ayat (3) PMK 54.

Pasal 9 PMK 133 masih berjalan lurus ketika menyabutkan tugas dari Bagian Fasilitasi Analisa dan Konsultasi dalam rangka instansi perpajakan. Namun Pasal 11 melebarkan bagian ini menjadi sub-sub bagian yang menyangkut ditjen Pajak, Bea dan Cukai dan Instansi perpajakan. Dengan adanya tiga sub bagian ini seolah-olah instansi perpajakan berbeda dengan Ditjen Pajak. Namun disisi lain seolah-olah instansi perpajakan ini terdiri dari 3 unsur, yaitu Ditjen Pajak, Ditjen Bea dan Cukai dan instansi perpajakan secara tersendiri. Salah satu sub bagian yang menjadi persoalan dari Bagian Fasilitasi Analisa dan Konsultasi dimana disebutkan bahwa Bagian ini terdiri dari 3 sub bagian, dan salah satunya Subbagian Fasilitasi Analisa Bea dan Cukai. Pasal 12 ayat (2) menentukan apa yang menjadi tugas Subbagian Fasilitasi Analisa Bea dan Cukai:
Subbagian Fasilitasi Analisa Bea dan Cukai melakukan penyiapan bahan koordinasi dan penyusunan kebijakan teknis dan program, bahan dan evaluasi pelaksanaan fasilitasi analisis bahan rekomendasi dan pemberian saran dan/atau masukan dan fasilitasi analisis mengenai prosedur, sistem, dan kebijakan, serta penerapan prioritas yang memerlukan proses lebih lanjut yang berhubungan dengan tugas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Hal yang sama terjadi dengan Bagian Fasilitasi Pencegahan dan Monitoring dan Bagian Fasilitasi Pengaduan dan Verifikasi

Dari uraian di atas, saya melihat persoalannya tidaklah sesederhana yang dibayangkan oleh para Anggota Dewan dari Komisi XI. Saya membaca risalah persidangan RDP Komisi XI dengan KPP, persoalan yang saya sebutkan di atas tidak mendapat perhatian dari Komisi XI. Terlihat bahwa Komisi XI tidak memahami apa yang mereka persoalkan sendiri.

KPP dan Komisi XI sesungguhnya harus tetap berdiri pada apa yang menjadi kewenangannya sesuai dengan PMK No. 54 dan tidak berkutat dengan PMK No. 133. KPP dan sekretariat KPP adalah dua hal yang berbeda. Pelaksanaan tugas sekretariat sesuai PMK 133 harus dipilah oleh KPP.

Lalu kalau demikian halnya, bagaimana kelanjutan dari persoalan ini. Dalam RDP dengan Komisi XI, KPP mengembalikan persoalannya kepada Menteri Keuangan. Menteri Keuangan sendiri sudah menyatakan tidak akan mencabut PMK 133 ini. Tantangan Menteri Keuangan agar dilakukan uji materi ke MA juga bukan suatu hal yang patut diapresiasi. Pertentangan terjadi pada level peraturan yang sederajat, yang bukan ranah MA untuk memeriksanya. Tidak ada pertentangan antara PMK dengan UU karena UU menyerahkan sepenuhnya kepada Menteri Keuangan (lihat Pasal 36 C UU KUP). Sementara kalau dibiarkan Sekretariat KPP dapat mengacak-acak wilayah Bea dan Cukai karena mereka berwenang sesuai yang diatur dalam PMK 133. KPP sendiri tidak mempunyai kewenangan sejauh kewenangan yang dimiliki oleh Sekretariatnya. Ini memang suatu hal yang aneh.

Jalan terbaik saya kira adalah menerbitkan PMK yang baru mengganti PMK 154 untuk menambah kewenangan KPP dan sekaligus untuk mengubah namanya yang tidak hanya mengawasi perpajakan tetapi juga ikut Bea dan Cukai. Landasan hukumnya juga tidak hanya Pasal 36 C UU KUP tetapi juga bersama dengan UU menyangkut Bea dan Cukai.

Selasa, 08 Februari 2011

Perlunya Undang-undang tentang Agama

Sudah sekian lama Indonesia berdiri gagah sebagai suatu Negara tetapi konflik agama sering terjadi dan sampai memakan korban melayangnya jiwa manusia. Malangnya, nyawa yang terbuang sia-sia itu terjadi atas nama agama dan yang menjadi korban dianggap mati syahid atau mungkin martir. Tidak terbilang kasus-kasus yang demikian terjadi. Kejadian yang lebih ringan adalah peledakan/pembakaran tempat ibadah, pengucilan sesorang yang menganut agama berbeda di suatu lingkungan masyarakat, penyediaan tempat atau fasilitas /layanan untuk yang beragama tertentu. Barangkali, hanya tempat pelacuran yang, pada akhirnya, tidak akan menyediakan layanan berbasis agama.

Sekalipun pada awal persiapan NRI ini persoalan agama telah muncul dan menjadi perdebatan yang hangat tetapi sesungguhnya belum pernah diciptakan suatu defenisi hokum mengenai agama. Dari tingkat SD sampai perguruan tinggi pelajaran agama diberikan kepada pelajar/mahasiswa dan merupakan mata pelajaran/kuliah yang ada dalam setiap jenjang pendidikan. Bahkan banyak sekolah/perguruan tinggi agama didirikan, tetapi tidak pernah persoalan agama ini terumuskan dengan baik.

Saya tidak berniat memberikan apa yang menjadi defenisi agama. Saya tidak berpretensi untuk memberikannya, selain tidak kompeten, juga tidak tertarik mendefenisikan agama itu. Biarlah itu menjadi tugas para ahli merumuskannya untuk nantinya dituangkan dalam suatu undang-undang.

Saya hanya ingin menuliskan betapa perlunya membuat suatu undang-undang tentang agama yang akan mengatur secara komprehensif mengenai Agama dan kalau memang diperlukan sistem kepercayaan. Pengaturan soal agama ini dalam undang-undang sangat perlu untuk memberikan kepastian hukum menyangkut agama dan sistem keagamaan supaya rakyat dapat bertindak sesuai dengan rambu-rambu yang ada. Misalnya, dengan memberikan defenisi agama dapat dicari unsur-unsur yang membangun suatu pengertian mengenai agama. Jika unsur-unsur tidak memenuhi, maka suatu sistem kepercayaan tertentu tidak dapat disebut sebagaio agama. Dengan merujuk pada defenisi, kita juga dapat menentukan syarat-syarat untuk disebut sebagai agama dan untuk mendirikan suatu agama. Kreatifitas manusia tidak terbatas sehingga mungkin ada orang Indonesia yang mampu menciptakan suatu agama baru, yang pantas dihargai juga, terutama dalam kerangka kebebasan berekspresi yang diatur dalam UUD 1945. Bagaimanapun juga, agama di Indonesia adalah agama impor. Pemerintah dapat mendorong warganya untuk menciptakan agama tertentu sesuai dengan budaya Indonesia.

Silang pendapat mengenai ajaran agama sering juga terjadi sehingga menimbulkan lahirnya varian-varian dari suatu agama. Hal ini juga perlu diatur agar kreatifitas manusia dalam memberikan tafsir tidak terhambat dan disisi lain juga tidak mengganggu stabilitas. Tidak perlu, misalnya, suatu penyimpangan dari tafsir atas ajaran yang mapan, menjadikan tafsir yang belakangan menjadi terbuang atau menjadikan pengikut tafsir yang belakangan menjadi terganggu kemanusiaannya karena diburu-buru pengikut tafsir yang mapan.

Penyebaran agama juga perlu menjadi perhatian karena ini merupakan bagian paling hitam dari perkembangan agama. Saya katakan bagian paling hitam karena penyebaran agama ini yang menimbulkan banyak goncangan di masyarakat. Misalnya, suatu komunitas tertentu yang sudah lama menganut agama tertentu tiba-tiba di datangi oleh penyebar agama dari agama yang lain. Apakah hal seperti ini dapat dibenarkan? Apakah perlu izin dalam hal penyebaran izin dan apakah penyebar izin ini harus juga terdaftar? Jika hal ini dirumuskan dengan baik dalam undang-undang tentu konflik dapat dieliminir sedemikian rupa. Dalam hal terjadi konflik tentu harus ada penyelesaian sengketanya.

Perlu juga diatur mengenai tata cara dan akibat-akibat hukum jika terjadi perpindahan agama.

Undang-undang tidak akan lengkap tanpa adanya sanksi pidana. Maka perlu diatur pelanggaran-pelanggaran apa yang dapat disebut sebagai tindak pidana agama.

Selama ini ketentuan mengenai agama belum sepenuhnya diatur dan kalaupun diatur tersebar dalam berbagai instrumen hukum. Apa yang disampaikan di atas hanya sekelumit soal mengenai sistem keagamaan di Indonesia yang tidak teratur dengan baik. Persoalan yang saat ini panas menyangkut pembantaian Jemaah Ahmadiyah merupakan buah dari keengganan menata kehidupan keberagamaan di Indonesia. Oleh karena itu perlu dibuat suatu undang-undang yang bersifat komprehensif dan mengatur sekurang-kurangnya hal-hal berikut:

KETENTUAN UMUM
DASAR, FUNGSI, DAN TUJUAN
PRINSIP PENYELENGGARAAN KEAGAMAAN
HAK DAN KEWAJIBAN
TUGAS, WEWENANG, DAN TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH DAN PEMERINTAH DAERAH
RUANG LINGKUP AGAMA
PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN AGAMA
PENGELOLAAN KEAGAMAAN
PENYELENGGARAAN PENYEBARAN AGAMA
UMAT BERAGAMA
PERPINDAHAN AGAMA
PRASARANA DAN SARANA AGAMA
PENDANAAN KEAGAMAAN
PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI KEAGAMAAN
PERAN SERTA MASYARAKAT
KERJA SAMA DAN INFORMASI KEAGAMAAN
INDUSTRI AGAMA
PENGAWASAN
PENYELESAIAN SENGKETA
KETENTUAN PIDANA

Sabtu, 05 Februari 2011

Antara Pengusiran dan Penolakan

Sambil menunggu pertandingan Arsenal v Newcastle United, di sela-sela pertandingan antara Sunderland v Stoke City, saya mencoba menulis soal pergelutan baru dalam perhelatan politik Indonesia.

Belakangan ini menjadi pemberitaan mengenai penolakan atas Bibit-Chandra dalam Rapat Dengar Pendapat denganKomisi III DPR. Penolakan menyangkut perselisihan faham mengenai pengesampingan perkara demi kepentingan umum yang dikeluarkan oleh Jaksa Agung terhadap perkara dugaan suap yang dialami oleh Bibit-Chandra. Penolakan itu berubah istilah menjadi pengusiran. Entah kenapa, terdapat perubahan istilah yang digunakan menjadi pengusiran. Perkembangan telah sedemikian rupa sehingga penolakan oleh DPR berbuah persoalan yang lain. Hal ini berbuntut pada rencana dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia untuk mengadukan 'pengusir' ke Badan Kehormatan DPR. .


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, "meng·u·sir v 1 menyuruh pergi dng paksa; menyuruh (orang lain) meninggalkan tempat; menghalau: ia sudah ~ anak-anak nakal itu dr rumahnya; kami tidak ~ mu, tetapi hanya sekadar memberi tahu; 2 kl mengejar; memburu;"


Jika melihat pengertian yang diberikan dalam kamus tersebut untuk kata 'mengusir' terdapat hal yang harus diperhatikan bahwa perbuatan yang dilakukan harus tertuju langsung kepada objek. Jadi jika Rapat Dengar Pendapat ada mengusir Bibit-Chandra maka RDP harus menyatakannya secara langsung kepada Bibit-Chandra. Hal ini tidak terjadi. Arti 1 dari kata 'mengusir' ada unsur paksaan. Saya melihat tidak ada secara paksa RDP mengusir Bibit-Chandra tersebut.


Sebagaimana ramai diberitakan, Para Anggota DPR Komisi III terdapat silang pendapat mengenai apakah pengesampingan perkara Bibit-Chandra menghapuskan status tersangka Bibit-Chandra atau tidak. Inilah yang terjadi, Para Anggota Komisi III melakukan perdebatan mengenai status ini dan dilakukan skorsing dalam Rapat Dengar Pendapat tersebut. Dalam pemberitaan di Detik dijelaskan bahwa dalam perdebatan itu akhirnya lahir dua opsi yang akan ditawarkan, yaitu "Apakah Pak Bibit dan Pak Chandra kita minta secara legowo untuk meninggalkan ruangan ini atau kita berembug terlebih dahulu buat menentukan sikap,". Dalam berita yang sama juga terdapat pernyataan dari Ketua KPK yang menyatakan bahwa "Terhadap perdebatan dan skorsing rapat, Ketua KPK Busyro Muqoddas menyerahkan sepenuhnya keputusan kepada tuan rumah dalam hal ini Komisi III DPR. Sebagai pihak yang diundang, pimpinan KPK tidak dalam kapasitas untuk mengatur tata tertib rapat." Adapun Bibit S. Rianto diberitakan 'memilih untuk tidak memberi tanggapan.' dan menyatakan, "Kita lihat saja nanti, ini kan belum final."

Dengan demikian cukup menyedihkan melihat pergeseran issu dari perbedaan pendapat di Komisi III DPR menjadi 'pengusiran'. Saya tidak yakin para Anggota Dewan yang terhormat itu ada melakukan pengusiran kepada Bibit-Chandra. Ini suatu pengalihan yang tidak pada tempatnya. Tentu saya juga berpendirian bahwa DPR tidak pada tempatnya melakukan hal itu ketika yang diundang sudah berada di tempat. Ada baiknya perbedaan pendapat di kalangan DPR diselesaikan dahulu di antara sesama mereka sebelum mengundang lembaga ataupun orang.

Tentu kita akan menunggu proses selanjutnya mengenai langkah yang akan ditempuh. Sejauh ini perbedaan pendapat soal pengesampingan perkara masih terbatas di lingkup Komisi III DPR. DPR belum mengambil sikap dalam paripurna mengenai penolakan terhadap Bibit-Chandra. Sesungguhnya cukup adil menunggu keputusan akhir dari Rapat Paripurna DPR sebelum mengambil langkah perlawanan terhadap tindakan Komisi III DPR tersebut.

Kamis, 03 Februari 2011

Mengesampingkan Perkara

Ramai dibicarakan mengenai pengesampingan perkara Bibit-Chandra oleh Jaksa Agung. Meskipun sudah agak lama berselang, persoalan itu muncul lagi berkaitan dengan penolakan oleh DPR atas Bibit-Chandra dalam Rapat Dengar Pendapat dengan DPR. Menjadi persoalan, apakah dengan penyampingan perkara, dalam kasus Bibit-Chandra, status "Tersangka" yang sebelumnya dikenakan pada Bibit-Chandra seketika terhapus dengan adanya penyampingan perkara itu? Ada yang bilang status tersangka hilang dan ada yang menyatakan tidak hilang.

Ketika persoalan itu muncul kembali, para komentator, yang mungkin ke-Belanda-belandaan, lebih suka menggunakan istilah "deponeering". Tentu kita menghargai juga penggunaan istilah itu. Namun ada masalah ketika ternyata bukan hanya kata deponeering yang muncul tetapi juga seponering, ketika membicarakan pengesampingan perkara ini. Para ahli hukumpun berselisih soal yang mana yang akurat, deponering atau seponering. Namun untuk menghormati UU No. 24 tahun 2009, saya tidak begitu antusias dengan istilah Belanda yang banyak digunakan itu. Ada baiknya digunakan istilah yang digunakan oleh UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA. Pasal 35 butir c menentukan bahwa Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.

Dari ketentuan tersebut dapat dilihat adanya tugas dan wewenang Jaksa Agung untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Ada dua hal yang menjadi sorotan dalam hal ini. mengesampingkan dan kepentingan umum.

Mengesampingkan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, mengesampingkan v menyampingkan. me·nyam·ping·kan v 1 menyingkirkan ke arah sisi (pinggir); membersihkan: petugas itu - runtuhan pohon yg merintangi jalan; 2 mengabaikan; meremehkan; menyepelekan; tidak menghiraukan: pejabat itu - pendapat yg baik dr bawahannya;

Kamus tersebut untuk entri mengesampingkan juga menyediakan untuk perkara hukum. ditulis disitu "- perkara Huk kewenangan jaksa agung untuk tidak menuntut pelaku tindak pidana berdasarkan kepentingan umum". Apa yang disebut dalam kamus itu mengenai perkara hukum, merujuk pada pengertian yang biasa digunakan di kalangan hukum.

Untuk keperluan penafsiran hukum, entri mengenai mengesampingkan dalam perkara Huk dalam kamus tersebut tidak memenuhi persyaratan.

Dari arti yang diberikan kamus tersebut, yang relevan dengan pembicaraan ini, mengesampingkan itu berati menyingkirkan ke arah sisi (pinggir). Itu artinya, mengesampingkan itu berarti menyingkirkan dari tengah atau jalur. Jalur dalam hal ini adalah bahwa perkara yang harusnya diajukan ke pengadilan untuk dituntut disingkirkan ke yang bukan jalur. Ini tentu akan mengundang pertanyaan sampai kapan dia di sisi (pinggig) atau apakah ada kemungkinan untuk membawa kembali dari sisi (pinggir) ke tengah (jalur). Hal ini mendapatkan dukungan dari Penjelasan Pasal 77 KUHAP yang berbunyi "yang dimaksud dengan penghentian penuntutan tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung”. Penjelasan ini mengindikasikan bahwa penyampingan perkara demi kepentingan umum, yang adalah wewenang Jaksa Agung, bukanlah penghentian penuntutan yang dapat di-pra-peradilan-kan. Dalam hal ini ada dua kemungkinan apakah penyampingan perkara bukan penghentian penuntutan atau apakah penyampingan perkara juga adalah penghentian penuntutan (perkara). Apakah karena Jaksa Agung yang punya wewenang, maka tidak disebut penghentian penuntutan, sementara Jaksa yang berada di bawahnya harus menggunakan istilah yang berbeda.

Mengesampingkan ini tidak sekedar mengesampingkan tetapi harus ada persyaratannya, yaitu demi kepentingan umum. Berhubung adanya mengesampingkan perkara demi kepentingan umum, tentu logis juga untuk berpikir bahwa ada mengesampingkan perkara untuk yang bukan kepentingan umum. Namun untuk yang terakhir ini, bukanlah tugas dan wewenang Jaksa Agung. Jadi mengesampingkan perkara disini berarti menyingkirkan ke sisi (pinggir) demi kepentingan umum. Artinya supaya Jaksa Agung dapat dikatakan mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan perkara, harus ada kepentingan umum yang deminya Jaksa Agung mengesampingkan perkara ini. Kepentingan umum itu sendiri adalah "kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas." Dalam kasus Bibit-Chandra tidak jelas "kepentingan umum" apa yang menjadi pertimbangan Jaksa Agung untuk mengesampingkan perkara tersebut. Justru, Jaksa Agung mengabaikan kepentingan umum dengan menyampingkan perkara itu. Hal ini terjadi karena sesunggunya pengadilan sudah memutuskan agar perkara tersebut dilanjutkan ke pengadilan. Jadi dalam hal ini Jaksa Agung tidak menghormati pengadilan. Jika suatu putusan pengadilan dapat dikesampingkan begitu saja oleh Jaksa Agung, maka kepentingan umum menjadi diinjak-injak oleh Jaksa Agung. Memang hal ini menjadi penilaian subjektif Jaksa Agung untuk menentukan ada tidaknya kepentingan umum yang akan terganggu jika kasus Bibit-Chandra ini diajukan ke pengadilan.

Penjelasan Pasal 35 butir c UU Kejaksaan itu menyatakan:

"Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas oportunitas, yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut".

Asas Oportunitas merupakan lawan dari asas legalitas. Asas Opportunitas, asas yang menentukan bahwa tidak setiap tindak pidana yang dilakukan seseorang itu harus atau wajib dituntut. Asas Legalitas, asas yang menentukan bahwa setiap tindak pidana yang
dilakukan seseorang itu harus atau wajib dituntut.

Asas oportunitas dijalankan oleh Jaksa Agung demi kepentingan umum (Pasal 35 butir c Undang-undang Kejaksaan) dan oleh jaksa di bawah Jaksa agung untuk perkara yang dihentikan bukan demi kepentingan umum (Pasal 77 KUHAP).

Mengingat adanya alasan demi kepentingan umum dan yang bukan demi kepentingan umum dimana yang pertama tidak dapat dipersoalkan dalam Pra Peradilan sedangkan yang terakhir dapat, maka adalah logis jika beranggapan bahwa penyampingan demi kepentingan umum bukanlah suatu yang sudah defenitif yang dapat dipersoalkan melalui Pra Peradilan. Jadi penyampingan perkara ini memang bukan penghentian penuntutan, tetapi hanya semata-mata menyingkirkan ke sisi (pinggir). Status tersangka, yang sudah sempat melekat, tidak dengan sendirinya terhapus. Jika hanya penghentian penuntutan yang dapat dipersoalkan, maka akan ada ketidaksamaan di hadapan hukum, yang sudah pasti bertentangan dengan UUD 1945. Jaksa Agung dapat bertindak mengesampingkan perkara tanpa ada kontrol. Sayangnya KUHAP dan UU Kejaksaan tidak mengatur kemana hal ini dipersoalkan.

Keputusan Jaksa Agung memenuhi syarat sebagai suatu keputusan tata usaha negara, dalam pengertian yang diberikan oleh UU No. 5 tahun 1986. Namun UU No. 5 tahun 1986 membatasi PTUN untuk tidak mengadili keputusan TUN yang diambil dalam pelaksanaan Hukum Acara Pidana dan dengan demikian soal penyampingan perkara bukan wewenang PTUN. Mengingat yang mempersoalkan penyampimgan perkara Bibit-Chandra adalah DPR, maka DPR dapat mempersoalkannya sebagai suatu sengketa antar lembaga negara. DPR dapat mengajukan persoalan ini ke Mahkamah Konstitusi.

Minggu, 30 Januari 2011

Pembebasan Seorang Pemain untuk Tim Nasional

Okto Maniani, pemain klub Sriwijaya FC, terpaksa kabur dari pemusatan latihan nasional Kualifikasi Olimpiade yang diselenggarakan oleh PSSI. Hal ini terjadi karena Sriwijaya FC tidak dapat menggunakan jasa Okto dalam kompetisi Liga Super Indonesia. Sementara, seperti dilaporkan oleh media massa, pemain Arema, yang juga dipanggil masuk pelatnas, dapat memperkuat Arema malang tersebut. Okto harus memilih antara tim nasional dan klubnya Sriwijaya FC. Sriwijaya FC telah menekan Okto sedemikian rupa sehingga Okto ketakutan kehilangan kontraknya dengan Sriwijaya FC dan memilih kabur. Sriwijaya Post melukiskan hal ini:

"Sikap labil yang ditunjukkan penyerang muda Oktovianus Maniani benar-benar membuat kejutan. Setelah memastikan diri memilih mengikuti aturan Timnas Kamis (27/1) pukul 19.00, Okto sapaannya tiba-tiba mengejutkan publik dengan meninggalkan Timnas pukul 22.00."

PSSI memang memberikan jaminan bahwa apabila Sriwijaya FC memberhentikan okto maka PSSI akan mencarikan klub untuknya. Namun demikian, persoalannya bukan pada jaminan tersebut. Setiap pemain professional harus mendapatkan kenyamanan untuk membela tim nasional dan terbebas dari ancaman kehilangan kontrak. Tampaknya antara PSSI dan klub-klub di bawah asuhannya tidak ada pemahaman mengenai pembebasan pemain klub untuk digunakan keahliannya dalam tim nasional. Hal ini tentu sungguh ganjil. Antara PSSI, sebagai induk cabang olah raga dan anggota dari FIFA, dan klub harus ada pemahaman mengenai bagaimana kalau seorang pemain professional dipanggil masuk dalam tim nasional. Tidak jelas apakah PSSI mempunyai perjanjian dengan klub. Tidak jelas juga apakah ada aturan menyangkut pembebasan pemain klub yang dipanggil masuk dalam tim nasional. Hal ini dinyatakan oleh Henri Zainuddin, sebagaimana dilaporkan Sriwijaya Post:

"Hendri pun mengatakan kabur Okto dari Timnas dan permasalahan sudah selesai. Proses terjadi sebenarnya bermula karena SFC kebingungan dengan prosedur peminjaman. "Sejak awal tidak ada penjelasan mengenai tenggat waktu 5-10 hari sebelum masuk Pelatnas, makanya kita ajukan peminjaman, jika jelas aturannya kami pasti ikuti prosedur. Kami pikir semuanya sudah berjalan baik dan kami akan mengembalikan Okto," ujar Hendri."

Untuk memahami hal ini, kita perlu melihat ketentuan yang ditetapkan oleh Fédération Internationale de Football Association (FIFA) menyangkut hal ini. Peraturan mengenai pembebasan pemain oleh klub jika dipanggil memperkuat tim nasional diatur dalam Pasal 1 Annex 1 pada Regulations on the Status and the transfer of Players, yang ditandatangani pada 7 Juni 2010 di Johannesburg.

Klub berkewajiban membebaskan pemain terdaftar untuk tim nasional negaranya untuk mana pemain dapat bermain atas dasar kebangsaan jika pemain yang bersangkutan dipanggil untuk tim nasional yang bersangkutan. Perjanjian antar pemain dan klub yang mengatur kebalikan dari ketentuan tersebut adalah terlarang. Jika pemain dipangil untuk masuk dalam tim nasional, pembebasan pemain ke tim nasional adalah wajib untuk pertandingan-pertandingan pada tanggal-tanggal yang didaftarkan dalam calendar pertandingan internasional yang dikoordinasikan dan untuk semua pertandingan untuk mana pembebasan pemain ada atas dasar keputusan khusus yang dibuat oleh Keputusan Komite Eksekutif FIFA. Adalah tidak wajib untuk membebaskan pemain untuk pertandingan-pertandingan yang dijadwalkan pada tanggal yang tidak terdaftar dalam calendar pertandingan internasional yang dikoordinasikan. Para pemain harus dibebaskan untuk periode persiapan sebelum pertandingan dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Untuk pertandingan persahabatan, 48 jam
2. Pertandingan-pertandingan untuk turnamen internasional: 4 hari (termasuk hari pertandingan). Periode pembebasan harus diperpanjang menjadi 5 hari jika pertandingan yang bersangkutan dilakukan pada konfederasi yang berbeda dengan konfederasi dimana pemain klub terdaftar; dalam hal pertandingan dilakukan pada hari jum at dan selasa yang terdaftar dalam calendar pertandingan internasional yang dikoordinasikan, periode pembebasan harus dalam setiap kasus 5 hari sebelum permulaan rentang waktu yang ditetapkan dalam kalender termasuk hari jum’at yang bersangkutan.
3. Pertandingan-pertandingan kualifikasi untuk suatu turnamen internasional yang dilangsungkan pada suatu tanggal yang ditentukan untuk pertandingan persahabatan adalah 48 jam.
4. Pertandingan persahabatan yang dilangsungkan pada tanggal yang ditentukan untuk pertandingan kualifikasi untuk turnamen internasional; 48 hari;
5. Putaran final dari suatu turnamen internasional, 14 hari sebelum pertandingan pertama dalam turnamen itu. Para pemain harus bergabung dengan tim nasional tidak kurang dari 48 jam sebelum pertandingan dimulai.
5. Para pemain tim nasional yang secara otomatis masuk kualifikasi untuk putaran final piala dunia atau kejuaraan benua untuk tim nasional utama harus dibebaskan untuk pertandingan-pertandingan persahabatan pada tanggal tanggal yang disediakan untuk pertandingan kualifikasi resmi sesuai dengan keputusan yang akan berlaku untuk pertandingan resmi yang dilangsungkan pada tanggal itu.
6. Klub dan Assosiasi yang bersangkutan dapat menyetujui suatu periode yang lebih lama untuk pembebasan pemain.
7. Para pemain yang dipanggil untuk tim nasionalnya sesuai dengan ketentuan dalam pasal ini harus melanjutkan kewajibannya dengan klub tidak kurang dari 24 jam sesudah berakhirnya pertandingan untuk mana mereka dipanggil. Jangka waktu ini harus diperpanjang sampai 48 jam jika pertandingan yang bersangkutan berlangsung dalam konfederasi yang berbeda dengan klub pemain terdaftar. Klub harus diberitahu secara tertulis mengenai jadwal keluar dan kembalinya pemain sepuluh hari sebelum pertandingan. Assosiasi harus memastikan bahwa para pemain dapat kembali ke klub tepat waktu sesudah pertandingan. Jika pemain tidak dapat memenuhi kewajibannya secara tepat waktu pada klub sesuai dengan ketentuan FIFA ini, pada waktu lain pemain yang bersangkutan dipanggil untuk memperkuat tim nasional, jangka waktu pembebasan dapat diperpendek menjadi sebagai berikut:
a. Pertandingan persahabatan, 24 jam;
b. Pertandingan kualifikasi, 3 hari;
c. Putaran final turnamen internasional, 10 hari.
Jika assosiasi secara berulangkali melanggar ketentuan ini, Komite Status Pemain FIFA dapat mengenakan sanksi yang layak, termasuk tetapi tidak terbatas pada
a) denda;
b) pengurangan jangka waktu pembebasan;
c) larangan untuk memanggil pemain untuk pertandingan yang berikutnya.

Sabtu, 29 Januari 2011

Langkah Kontradiktif: Pra Peradilan dan Penangguhan Penahanan

Menarik juga melihat kasus yang tengah berjalan di KPK ini. Salah satunya adalah kasus yang dilaporkan Kompas .

Terlepas dari soal dugaan politisasi, catatan ini melihat soal logika dari proses yang diajukan kuasa tersangka dalam kasus ini. Ini menyangkut dua langkah hukum, yaitu pra peradilan dan permohonan penangguhan penahanan. Kuasa hukum akan mengajukan Pra Peradilan dengan alasan " KPK dinilainya tidak memiliki dasar yang kuat untuk menahan para tersangka. ”KPK menyatakan karena ada perintah dari pimpinan dan menyatakan untuk mempercepat proses di persidangan. Ini tidak logis. Klien kami kooperatif , tidak ada indikasi akan melarikan diri dan tidak mempersulit pemeriksaan”. Yang menjadi soal disini adalah sah tidaknya penahanan. Soal sah tidaknya penahanan, yang menjadi batu ujinya menurut KUHAP adalah pada prosedurnya, dan bukan pada alasan yang menjadi dasar penahanan.


Terlepas dari soal apakah pengadilan akan mengabulkan atau tidak, yang penting untuk keperluan catatan ini adalah bahwa yang dipersoalkan dalam pra peradilan adalah sah tidaknya penahanan. Menurut kuasa, penahanan tidak sah.



Proses yang lain yang mau diajukan adalah penangguhan penahanan.

" Selain mengajukan praperadilan, tim kuasa hukum enam tersangka tersebut juga akan mengajukan penangguhan penahanan. Sejak malam tadi keenam tersangka itu resmi ditahan KPK di sejumlah rumah tahanan yang berbeda, yaitu Rutan Salemba, LP Cipinang, dan Rutan Pondok Bambu."


Penangguhan penahanan dimintakan oleh tersangka atau kuasanya. Kalau diajukan penangguhan, itu berarti yang mengajukan beranggapan bahwa penahanan sah adanya.

Lalu disini menjadi menarik bahwa disatu sisi kuasa mempersoalkan kesahan dari penahanan, maka mengajukan pra - peradilan, dan pada saat yang bersamaan mengakui kesahan penahanan, dengan mengajukan penangguhan penahanan. Ini suatu kontradiksi yang menjurus pada kesesatan. Kalau mengajukan pra-peradilan tentu tidak pada tempatnya mengajukan penangguhan penahanan. Kalau pengadilan sudah memutus bahwa penahanan sah, tentu boleh mengajukan penangguhan penahanan. Kalau mengajukan pra-peradilan, tersangka harus menunggu sampai adanya putusan pengadilan tersebut. Kalau penangguhan yang terlebih dahulu diajukan, maka pra-peradilan tidak lagi dapat diajukan.


Namun dalam praktek, tampak hal ini suatu yang lumrah terjadi.

Minggu, 23 Januari 2011

Instruksi Presiden

Presiden mengeluarkan instruksi mengenai kasus Bank Century dan kasus Gayus. Kedua instruksi ini dikeluarkan pada saat kondisi hukum Indonesia sangat mengenaskan. Dua instruksi untuk dua kasus yang berbeda tetapi yang mempunyai dampak hukum.

Kedua instruksi ini sesungguhnya telah menunjukkan keseriusan pemerintah untuk penanganan yang cepat atas kedua kasus yang menarik perhatian masyarakat luas tersebut. Untuk kasus Bank Century, kita lihat bahwa Presiden telah dengan sungguh-sungguh memperhatikan rekomendasi dari Panitia Angket, yang, meskipun kredibilitas dan legalitasnya diragukan itu. Presiden melihat kenyataan di masyarakat bahwa rekomendasi Panitia Angket perlu mendapatkan tindak lanjut dan Presiden meminta penuntasannya.

Hanya saja menjadi pertanyaan adalah instruksi ke enam, apa hubungan antara kasus Bank Century dengan depoonering Bibit-Chandra? Presiden mendukung rencana kejaksaan untuk depoonering tersebut. Meskipun mencederai hukum, toh kita patut menyambut baik instruksi presiden dalam hal ini, menyangkut berlarut-larutnya kasus Bibit-Chandra yang sedikit aneh itu.

Demikian juga dengan kasus Gayus, apa yang diinstruksikan Presiden sungguh melegakan. Ini dapat berarti bahwa hukum akan tegak dan ke-149 perusahaan yang diduga terlibat akan mendapatkan titik terang. Betapa pajak selama ini seharusnya menjadi sumber utama biaya pembangunan menjadi tidak jelas tergerus permainan mafia-mafia-an. Mudah-mudahan langkah ini dapat dimaksimalkan agar penegakan hukum semakin mantap. Kasus Gayus bagaimanapun juga sudah membuka mata dan pikiran kita semua betapa selama ini sumber pembiayaan pembangunan raib ditelan kolusi antara pengusaha dan birokrat dan penegak hukum.

Hanya saja perlu mendapat catatan mengenai butir Kelima, yang berbunyi:

"guna meningkatkan efektivitas penegakan hukum, Presiden berpendapat, pembuktian terbalik dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku di negara kita."

Apakah peraturan perundang-undangan kita sudah menganut asas pembuktian terbalik ini? Itikad baik Presiden untuk penuntasan kasus Gayus ini mungkin akan terbentur dengan issu penerapan pembuktian terbalik ini. Peraturan perundang-undangan belum sepenuhnya menganutnya. Tentu, dengan tidak mengurangi rasa hormat kita, instruksi Presiden tidak dapat begitu saja melampaui undang-undang. Jika memang pembuktian terbalik belum diterima, Presiden tidak dapat begitu saja memberlakukakannya untuk kasus ini.

Mudah-mudahan dengan instruksi Presiden ini, penanganan kasus-kasus besar tersebut dapat berjalan sesuai yang diharapkan dan kasus-kasus lain, yang boleh jadi lebih besar, segera dapat dituntaskan juga.

Sabtu, 15 Januari 2011

Soal Pembatalan Pasal 184 Ayat (4) UU 27 tahun 2009



Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 23-26/PUU-VIII/2010, yang diputuskan pada tanggal 6 Januari 2011 dan dibacakan tanggal 12 Januari 2011, sungguh menarik untuk disimak. Berbagai pihak memandang Putusan MK ini sebagai jalan masuk untuk melakukuan pemakzulan Presiden dan Wakil Presiden. Sebagaimana diberitakan, Para Anggota Dewan dari fraksi-fraksi tertentu sudah menandatangani usulan untuk mengajukan hak menyatakan pendapat mengenai kasus Bank century. Namun demikian, jika dibaca dengan baik dan dipahami dalam konteks hukum tata Negara, Putusan MK hanya suatu jalan untuk melakukan perubahan undang-undang.  Amar Putusan MK berbunyi:

5. AMAR PUTUSAN,
Mengadili,
Menyatakan:
�� Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
�� Pasal 184 ayat (4) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
�� Pasal 184 ayat (4) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
�� Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;

Amar putusan MK tersebut, sesuai dengan kewenangan MK, tidak berbicara apa-apa mengenai kuorum pasca putusan, karena hal itu memang bukan kewenangan MK. Dengan adanya Putusan MK tersebut, terdapat kekosongan hukum mengenai kuorum pengambilan keputusan mengenai hak DPR untuk menyatakan pendapat. MK tidak menentukan, dalam amar putusannya, bagaimana kuorum untuk pengambilan keputusan mengenai hal menyatakkan pendapat di DPR.  Namun dalam pertimbangannya dalam Para 3.18, MK menyatakan:

Menimbang bahwa dengan tidak berlakunya ketentuan Pasal 184 ayat (4) UU 27/2009 berdasarkan putusan Mahkamah ini, ketentuan persyaratan pengambilan keputusan mengenai “usul” penggunaan hak menyatakan pendapat berlaku ketentuan mayoritas sederhana”.

Mengingat MK menyatakan hal itu dalam pertimbangan sebelum sampai putusan, artinya bukan amar putusan MK, maka hal itu bukanlah suatu hal yang mengikat. MK bukanlah suatu badan pencipta aturan yang dapat menentukan apa yang harus dijalankan oleh DPR dalam menyikapi Putusan MK berjenaan dngan pembatalan Pasal 184 ayat (4) itu. Bahwa MK berwenang membatalkan ketentuan Pasal 184 ayat (4) tidak berarti MK juga berwenang menentukan apa yang menjadi ketentuan pengganti untuk kuorum dalam hal hak menyatakan pendapat. MK memang berusaha menutupi ‘cacat wewenang’ dalam dirinya, yang hanya mempunyai wewenang untuk menyatakan suatu UU atau ketentuan dalam UU bertentangan dengan UUD 1945 dan menyatakan suatu UU atau ketentuan dalam UU tidak mempunyai kekuatan hukum, dengan menyembunyikan dalam pertimbangan hukumnya apa yang dikehendakinya menjadi norma yang menurut MK sebagai pengganti dari norma yang dibatalkan dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum. Ini  hanya sekedar ‘kenakalan’ MK untuk mensiasati ketidakberwenangannya untuk menentukan norma yang seharusnya ada dan yang sepenuhnya merupakan wewenang pembuat undang-undang. Pembuat UU-lah yang harus bekerja kembali untuk mengatur hal-hal yang sudah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum oleh MK.

Pembatalan Pasal 184 ayat (4) berarti tidak ada lagi ayat (4) dalam Pasal 184 UU No. 27 tahun 2009. Pertimbangan MK yang menyebutkan “ketentuan persyaratan pengambilan keputusan mengenai “usul” penggunaan hak menyatakan pendapat berlaku ketentuan mayoritas sederhana tidak serta merupakan pengganti ketentuan Pasal 184 ayat (4). Pertimbangan MK tersebut bukan suatu norma yang harus ditaati (bukan suatu imperativa) tetapi suatu ‘statement’ yang dapat dipertimbangkan oleh Pembuat UU untuk mengganti ketentuan lama.  

Lalu apa yang perlu dilakukan? Pemberitaan di Media Massa sudah menyebutkan adanya usulan mengenai hak menyatakan pendapat ini pasca Putusan MK tersebut.  Ini tentu sangat berlebihan. DPR seharusnya mengadakan hak inisiatif untuk mengajukan RUU perubahan atas Pasal 184 ayat (4) yang dibatalkan oleh MK tersebut. Perubahan dalam hal ini berarti mengisi kekosongan hukum mengenai kuorum pengambilan keputusan menyangkut hak menyatakan pendapat. Tentu DPR dapat mengambil pertimbangan MK mengenai mayoritas sederhana sebagai bahan untuk penyusunan RUU inisiatif tersebut. Tentu menjadi pertanyaan juga bagi para Anggota DPR mengenai apa yang dimaksud dengan “mayoritas sederhana”. Apakah yang dimaksudkan 50 + 1 atau 2/3 hal ini bergantung pada pembuat undang-undang. UU No. 27 tahun 2009 tidak mendefenisikan “mayoritas sederhana” dan dengan demikian akan menjadi perdebatan tersendiri apa yang dimaksudkan dengan “mayoritas sederhana itu” DPR perlu menyikapi hal ini dan menuangkannya dalam RUU inisiatif.

Para Anggota Dewan yang sungguh bernafsu itu perlu menahan diri untuk tidak mempertontonkan ke-lebay-annya, dalam menyikapi Putusan MK tersebut. Sekali lagi, MK tidak berwenang mengatur apa yang menjadi pengganti dari Pasal 184 Ayat (4) yang dinyatakannya tidak mempunyai kekuatan hukum. Jika Para Anggota Dewan tertentu mengajukan usul hak menyatakan pendapat, aturan mana yang akan dituruti dalam pengambilan keputusan. Putusan MK, yang membatalkan Pasal 184 Ayat (4), justru menutup kemungkinan untuk menggunakan hak menyatakan pendapat sampai adanya aturan baru yang dibuat oleh pembuat UU menyangkut kuorum pengambilan keputusan mengenai hak menyatakan pendapat tersebut.

Pansus Bank Century yang sia-sia itu perlu menjadi pelajaran agar Para Anggota Dewan, yang tidak memahami aturan itu, agar tidak menghambur-hamburkan energy dan uang rakyat untuk kepentingan publikasi dirinya masing-masing dalam bentuk sinetron politik yang konyol itu.