Jumat, 25 Februari 2011

Pemerintah, FIFA, dan PSSI

Abstrak: Intervensi pemerintah dalam pemilihan pengurus PSSI harus dipahami sebagai upaya pemerintah untuk menegakkan KODE ETIK FIFA dalam kapasitasnya selaku pembina olah raga. Pemerintah justru menyelamatkan PSSI dan persepakbolaan nasional. Jika PSSI sudah menegakkan aturan-aturan FIFA maka campur tangan pemerintah tidak diperlukan lagi.
---------------------------------------------------------------------------------

Waktu-waktu belakangan sering dipertentangkan antara FIFA dan Pemerintah. PSSI mengklaim bahwa Pemerintah tidak dapat mengintervensi PSSI. PSSI mengira dan selalu mengkampanyekan bahwa tindakan-tindakannya menyangkut pemilihan pengurus PSSI menundukkan diri pada Peraturan FIFA dan bahwa PSSI hanya tunduk pada FIFA. Pemerintah tidak boleh mengintervensi. Intervensi pemerintah, dalam pandangan ini merupakan dosa yang karenanya keanggotaan PSSI dapat ditangguhkan oleh FIFA. Ancaman adanya sanksi dari FIFA ini tentu akan merugikan Indonesia. Sebagai rujukan terhadap ancaman ini disampaikan adanya Statuta FIFA, FIFA Standard Electoral Code, dan Statuta PSSI. Rujukan kepada aturan FIFA ini membuat seolah-olah pemerintah tidak berarti apa-apa. Rasa hormat kepada pemerintah juga sama sekali tidak ditunjukkan oleh PSSI.

Pemerintah disisi lain mengklaim bahwa selama masih ada huruf 'I' pada PSSI maka pemerintah berwenang mengintervensinya. Hal ini sesuai dengan wewenang pemerintah sebagai pembina sebagaimana diatur dalam UU No. 3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional. Pemerintah memang gencar mencampuri urusan pergantian pimpinan PSSI. Pemerintah, bahkan oleh Ketua Banding PSSI dalam hal verifikasi calon Ketua Umum PSSI, memberikan ancaman sehingga Komisi Banding mengeluarkan putusan yang relative aneh.

Kedua argumen tersebut benar adanya. Pihak yang bersikukuh dengan aturan FIFA benar mengenai adanya aturan FIFA yang harus dilaksanakan. Namun aturan yang disampaikan sudah dipelintir sedemikian rupa sehingga telah dijadikan senjata untuk melumpuhkan keinginan pihak lain yang ingin mengisi kursi Ketua Umum PSSI. Disisi lain, PSSI juga telah tidak mengindahkan aturan lain yang dikeluarkan oleh FIFA. Jika aturan FIFA dijalankan secara utuh, sesungguhnya pemerintah juga tidak perlu mencampuri urusan PSSI. Pada kenyataannya ada aturan lain yang tidak dijalankan oleh PSSI dalam pemilihan Ketua Umum PSSI ini. Aturan itu adalah yang terdapat dalam Kode Etik FIFA. Berhubung ketentuan ini tidak dijalankan bersama ketentuan yang lain, pemerintah dapat memasukinya sesuai dengan fungsi dan wewenangnya sesuai dengan UU Sistem Keolahragaan Nasional.

Sekarang kita mencoba melihat pada ketentuan mengenai Kode Etik FIFA yang harus ditaati oleh para pejabat PSSI dalam menjalankan pekerjaannya dan juga menjadi persyaratan yang harus dituruti jika hendak melakukan pemilihan pengurus PSSI.
Kode Etik FIFA edisi 2009 disahkan pada 31 Mei 2009 dan mulai berlaku pada 1 September 2009 (Pasal 21). Kode Etik ini berlaku untuk perbuatan mulai 1 September 2009 dan fakta-fakta yang sebelumnya terjadi sejauh jika penggunaan Kode Etik ini lebih menguntungkan bagi yang dikenainya. Kode etik ini berlaku untuk setiap orang yang bertanggungjawab untuk hal-hal teknis, medis, dan administrasi FIFA. Termasuk dalam hal ini adalah pejabat-pejabat anggota FIFA, termasuk pengurus PSSI (Pasal 1).

Kewajiban pengurus ditentukan dalam Pasal 3 yang menentukan:
1. Para pejabat diharapkan untuk menyadari pentingnya fungsi dan kewajiban dan tanggung jawab secara bersamaan. Perilaku mereka harus merefleksikan fakta bahwa mereka mendukung dan menindaklanjuti prinsip-prinsip dan tujuan-tujuan FIFA, konfederasi, asosiasi, liga dan klub dalam segala hal dan menahan diri dari hal-hal yang dapat berbahaya bagi maksud dan tujuan-tujuan.
Mereka harus menghormati pentingnya persekutuan mereka kepada FIFA, konfederasi, asosiasi, liga dan klub dan mewakili mereka secara jujur, layak, sopan dan dengan integritas.
2. Pejabat harus menunjukkan komitmen untuk suatu sikap etika saat melakukan tugas mereka. Mereka harus berjanji untuk berperilaku secara bermartabat. Mereka harus
bersikap dan bertindak dengan kredibilitas dan integritas yang utuh.
3. Pejabat tidak dapat menyalahgunakan posisi mereka sebagai bagian dari fungsi mereka dengan cara apapun, khususnya untuk memanfaatkan fungsi mereka untuk kepentingan atau keuntungan pribadi.

Persyaratan menjadi pengurus suatu assosiasi sendiri ditentukan dalam Pasal 4. Ditentukan bahwa ‘hanya orang-orang yang menunjukkan tingkat etika dan integritas yang tinggi dan berjanji untuk mentaati ketentuan Kode Etik ini tanpa reservasi yang berhak untuk melayani sebagai pejabat’. Ini berarti seorang pengurus apakah dia ketua umum atau pengurus lain dari PSSI harus menunjukkan etika dan integritas yang tinggi. Hal ini perlu menjadi pertanyaan bagi para calon pengurus PSSI apakah mereka mempunyai etika dan integritas tinggi. Apakah seorang mantan narapidana harus menganggap dirinya masih mempunyai integritas tinggi? Selanjutnya mereka harus berjanji tanpa reservasi bahwa mereka akan menundukkan diri pada Kode Etik. Ayat (2) dari Pasal 4 melanjutkan bahwa Orang-orang dengan catatan kriminal tidak memenuhi syarat jika pelanggaran tersebut tidak sesuai dengan kemampuan mereka untuk melaksanakan tugas mereka. Apakah Nurdin Halid masih merasa dirinya memenuhi persyaratan untuk menjadi pengurus PSSI. Apalagi menjadi Ketua Umumnya? Ayat (3) Pasal 4 lebih menyengat lagi dengan menyatakan bahwa orang yang tidak memenuhi ketentuan dalam Kode Etik tidak layak lagi menjadi pengurus.

Hal lain yang patut dicatat dari Kode Etik adalah kewajiban membuka soal kemungkinan adanya konflik kepentingan yang akan berkaitan dengan pelaksanaan fungsinya jika terpilih. Jadi sebelum dipilih atau ditunjuk, para calon harus mengungkapkan hal ini. Dalam pencalonan untuk menjadi Ketua umum PSSI, hal ini tidak menjadi perhatian. Panitia seleksi lebih banyak berkutat dengan soal lamanya seseorang menjadi pengurus PSSI. Adanya konflik kepentingan sama sekali tidak dibuka. PSSI sendiri memang tidak mengumumkan tata cara pemilihan secara terbuka dalam situs webnya. Baik Statuta dan ketentuan-ketentuan yang dibuat untuk pemilihan Ketua Umum tidak dibuka sehingga masyarakat hanya meraba-raba peraturan mana yang harus diturut dalam pemilihan ini. Tidak jelas apakah dalam peraturan-peraturan yang dirujuk dalam melakukan seleksi calon pemimpin PSSI ini ada dimasukkan ketentuan mengenai konflik kepentingan ini.

Kembali kepada persoalan yang disebutkan di atas, apakah memang pemerintah tidak dapat mencampuri urusan PSSI. Pemerintah tentu dapat melakukannya sesuai dengan fungsi dan wewenangnya sesuai UU.
Apakah dengan merujuk pada ketentuan dalam Statuta FIFA dan FIFA Standard Electoral Code, PSSI tidak perlu menaruh rasa hormat kepada pemerintah. Kode Etik FIFA mengatur bagaimana pengurus assosiasi bersikap kepada pemerintah dan organisasi lain. Pasal 6 Kode etik menentukan:

Dalam berurusan dengan institusi pemerintah, organisasi nasional dan internasional, assosiasi dan kelompok2, pejabat harus, sebagai tambahan untuk mentaati ketentuan dasar dalam Pasal 3, tetap netral secara politik, sesuai dengan prinsip-prinsip dan tujuan-tujuan FIFA, Konfederasi-konfederasi, assosiasi-assosiasi, liga, klub, dan secara umum bertindak menurut cara yang sesuai dengan fungsi dan integritasnya.

Pengurus PSSI harus tetap netral secara politik. Pengurus PSSI tidak dapat menyampaikan secara terbuka keterkaitannya dengan suatu partai politik tertentu. Dalam kasus yang saat ini terjadi di Indonesia, Ketua Umum yang ada saat ini secara jelas menunjukkan afiliasinya dengan salah satu partai politik dan memang yang bersangkutan adalah pengurus partai politik yang bersangkutan. Dari sudut pandang ini, calon ketua umum yang ada saat ini, Nurdin Halid harusnya tidak memenuhi syarat lagi untuk maju sebagai ketua umum PSSI mengingat beliau adalah salah satu pengurus Parati Golkar dan sesuai dengan Pasal 4 ayat (4) Kode Etik memang tidak lagi memenuhi persyaratan menjadi Ketua Umum PSSI.

Meskipun banyak elemen masyarakat menolak Nurdin Halid untuk jadi ketua umum PSSI tetapi hal ini tidak dihiraukan. Ketentuan-ketentuan dalam melakukan pemilihan yang tidak transparan dan adanya calon ketua umum yang sesuai dengan kode etik tidak lagi memenuhi syarat sungguh akan menempatkan PSSI dalam bahaya. Mengingat Ketua Umum, yang adalah calon Ketua Umum, saat ini adalah pengurus partai yang masih mempunyai kekuatan politik yang sangat diperhitungkan maka tidak ada elemen yang dapat membebaskan PSSI dari kehancuran. Satu-satunya yang mungkin menyelamatkan PSSI hanya pemerintah. Dalam hal inilah dapat kita memahami dan harus mendorong pemerintah untuk melakukan intervensi terhadap PSSI. Sebagai Pembina olahraga tentu pemerintah berkepentingan untuk menyelamatkan PSSI dari keterpurukan yang semakin dalam yang dapat persepakbolaan tidak dapat maju. Kegagalan demi kegagalan yang dialami oleh Tim Nasional Sepakbola Indonesia sudah menunjukkan kegagalan dari Ketua Umum yang ada sekarang. Maka tidak ada salahnya melakukan intervensi dalam pemilihan pengurus PSSI saat ini. Tentu jika PSSI sudah menjalankan aturan-aturan FIFA secara benar maka campur tangan pemerintah tidak dapat dibenarkan.

Rabu, 23 Februari 2011

Usulan Angket Kandas: Lepas dari Malapetaka

Setelah bertarung cukup alot, Para Inisiator Angket pada akhirnya kalah, dengan selisih 2 angka, dan dengan demikian tidak jadi angket pajak. Tentu hal ini sangat mengecewakan, baik para inisiator maupun para pendukungnya, di luar atau dalam parlemen. Disisi lain, tentu hasil ini menggembirakan. Pengalaman pada waktu kasus Bank Century tentu menjadi faktor pendorong adanya perjuangan yang ketat agar usulan angket mafia pajak ini ditolak.

Usulan angket dibuat sedemikian rupa tanpa mempersiapkan hal-hal yang ingin diselidiki. Dalam rapat paripurna DPR dapat dilihat bahwa para penggagas tidak menyiapkan dengan jelas apa yang mau diselidiki. Semua bersifat mengambang. Setelah banyak fraksi mengemukakan ketidaksetujuan dengan angket, barulah anggota dewan dari fraksi penggagas menyampaikan apa yang ada di benaknya. Masing-masing anggota Dewan dari penggagas memberikan keterangan mengenai hal-hal yang perlu diselidiki.

Beruntunglah karena angket ini kandas. Tidak akan pernah jelas apa yang akan diselidiki. Masing-masing penggagas mempunyai agenda sendiri. Ingatlah betapa liarnya Pansus Century. Ketika baru mulai, permintaan pertama adalah agar Boediono dan SMI non-aktif. Ini tentu menunjukkan liarnya Pansus Century pada waktu itu. Dalam membuat angket tentu sangat baik jika yang mengusulkan merinci hal-hal yang perlu diselidiki dan menjelaskan apa yang akan diselidiki. Kalau tidak demikian maka seperti terlihat dalam rapat paripurna tanggal 22 Februari 2011, usulan angket itu kandas.

Barangkali penggagasnya tidak memikirkan dampak bagi masyarakat. Apapun yang terjadi tidak dipikirkan. Yang penting hanya mencari panggung, tidak hanya untuk mentas tetapi mungkin untuk melakukan pemerasan. Adanya issu percobaan penyuapan dalam pengambilan keputusan mengenai angket menunjukkan betapa tidak urgent-nya angket itu. Penolakan angket menyelamatkan Indonesia dari malapetaka.

Rabu, 16 Februari 2011

Komite Pengawas Perpajakan: Menyoal PMK 133/2010

Waktu-waktu belakangan Komite Pengawas Perpajakan mendapat sorotan di DPR. Dalam RDP dengan Menteri Keuangan, DPR telah meminta agar Peraturan Menteri Keuangan No. 133/PMK.01/2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA SEKRETARIAT KOMITE PENGAWAS PERPAJAKAN dicabut. Menjadi mudarat dalam PMK 133 tersebut karena secara tiba-tiba terdapat kewenangan menyangkut Bea dan Cukai. Sebagaimana dilansir oleh Bisnis Indonesia, Komisi XI berkeberatan dengan PMK 133 itu menyusul terbongkarnya kasus penyeludupan. Menteri Keuangan tidak bersedia mencabut PMK 133 ini dan menantang agar Komisi XI mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Agung.

Apa yang diatur dalam PMK itu, menurut Anggota Dewan dari Partai Gerindra Sadar Soebagyo, sebagaimana dikutip oleh jurnal Parlemen, tidak salah. Sudah sesuai dengan nomenklatur perpajakan yang dianut dalam UU APBN dan UU lain, yaitu pajak dan Bea Cukai. Namun Sadar melihat persoalan di seputar ditjen Pajak sendiri yang masih banyak menghadapi masalah.

Saya kira apa yang dinyatakan oleh Sadar Soebagyo tersebut, sepanjang menyangkut nomenklatur perpajakan juga tidak terlalu tepat. Juga bahwa ditjen pajak masih menghadapi banyak persoalan tidak memadai untuk dijadikan alasan untuk menolak PMK 133 tersebut. Boleh jadi Menteri Keuangan menghadapi jalan buntu untuk masuk ke Bea dan Cukai mengingat Bea dan Cukai seperti kebal hukum dan tidak tersentuh sama sekali. Jadi dengan PMK 133 ini, Menteri Keuangan mempunyai jalan masuk untuk mengungkap borok-borok di Ditjen Bea dan Cukai, termasuk soal penyelundupan yang jelas-jelas merugikan keuangan Negara tersebut. Namun jalur hukumnya memang perlu dipersoalkan. Saya melihat ada yang penyimpangan yang tidak sewajarnya dalam PMK 133 tersebut yang saya kira tidak dilihat oleh Para Anggota Komisi XI, yang memang patut dipersoalkan.

Dasar hukum dari KPP ditemukan dalam Pasal 36C UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007
TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN
. Pasal 36 C berbunyi “Menteri Keuangan membentuk komite pengawas perpajakan, yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.” Ketentuan dalam Pasal 36 C ini memberikan kewenangan kepada menteri untuk membentuk KPP tanpa memberikan batasan apapun. Jika Menteri Keuangan belakangan mengatur bahwa Kewenangan KPP juga merambah ke Bea dan Cukai, maka hal itu juga tidak dapat dipersalahkan. KPP sendiri dibentuk berdasarkan PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 54/PMK .09/2008 TENTANG KOMITE PENGAWAS PERPAJAKAN. Pasal 1 PMK No. 54 ini menentukan bahwa KPP merupakan Komite non structural yang membantu Menteri keuangan dan bersifat mandiri melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas instansi perpajakan. Yang termasuk dalam pengawasan adalah kegiatan pengamatan, pengumpulan informasi, dan penerimaan pengaduan masyarakat. Ayat 4 dari Pasal 1 menentukan bahwa KPP juga melakukan pengkajian dan memberikan saran dan/atau masukan yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas Instansi Perpajakan.

Apakah yang masuk dalam instansi perpajakan? Instansi perpajakan “meliputi instansi yang berwenang melakukan pemungutan pajak berdasarkan undang-undang, baik instansi pada pemerintah pusat maupun instansi pada pemerintah daerah.” Disinilah kunci persoalann yang sesungguhnya dihadapi oleh DPR. Sesuai ayat (3) Pasal 1 tersebut hanya instansi yang berwenang melakukan pemungutan pajak”. Menjadi persoalan tentu apakah Bea dan Cukai termasuk instansi yang berwenang melakukan pemungutan pajak?
PMK No. 54 ini hanya memuat garis besar mengenai KPP. Pembagian tugas secara detail tidak diatur dalam PMK No. 54. Keluarlah PMK No. 133 tahun 2010 yang seolah-olah memperluas jangkauan dari KPP sehingga meliputi Bea dan Cukai. Judul PMK 133 ini jelas secara spesifik menyangkut organisasi dan tata kerja secretariat KPP dan bukan mengenai KPP. Pasal 6 ayat (1) PMK 54 menentukan bahwa KPP dibantu oleh secretariat yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. PMK 54 tidak mengatur organisasi dan tata kerja Sekretariat KPP. PMK 133 sesungguhnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari Pasal 6 ayat (1) PMK 54 tersebut. Jadi KPP tetap tidak berwenang mencampuri urusan Bea dan Cukai karena kewenangan KPP hanya menyangkut instansi yang berwenang melakukan pemungutan pajak.

Sekretariat KPP, sesuai dengan Pasal 4 PMK 133, terdiri dari Bagian Umum, Bagian Fasilitasi Analisa dan Konsultasi, Bagian Fasilitasi Pencegahan dan Monitoring, Bagian Fasilitasi Pengaduan dan Verifikasi, dan Bagian Jabatan Fungsional. Bagian 2 sampai 4 lah yang membuat penyimpangan dari Pasal 1 ayat (3) PMK 54.

Pasal 9 PMK 133 masih berjalan lurus ketika menyabutkan tugas dari Bagian Fasilitasi Analisa dan Konsultasi dalam rangka instansi perpajakan. Namun Pasal 11 melebarkan bagian ini menjadi sub-sub bagian yang menyangkut ditjen Pajak, Bea dan Cukai dan Instansi perpajakan. Dengan adanya tiga sub bagian ini seolah-olah instansi perpajakan berbeda dengan Ditjen Pajak. Namun disisi lain seolah-olah instansi perpajakan ini terdiri dari 3 unsur, yaitu Ditjen Pajak, Ditjen Bea dan Cukai dan instansi perpajakan secara tersendiri. Salah satu sub bagian yang menjadi persoalan dari Bagian Fasilitasi Analisa dan Konsultasi dimana disebutkan bahwa Bagian ini terdiri dari 3 sub bagian, dan salah satunya Subbagian Fasilitasi Analisa Bea dan Cukai. Pasal 12 ayat (2) menentukan apa yang menjadi tugas Subbagian Fasilitasi Analisa Bea dan Cukai:
Subbagian Fasilitasi Analisa Bea dan Cukai melakukan penyiapan bahan koordinasi dan penyusunan kebijakan teknis dan program, bahan dan evaluasi pelaksanaan fasilitasi analisis bahan rekomendasi dan pemberian saran dan/atau masukan dan fasilitasi analisis mengenai prosedur, sistem, dan kebijakan, serta penerapan prioritas yang memerlukan proses lebih lanjut yang berhubungan dengan tugas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Hal yang sama terjadi dengan Bagian Fasilitasi Pencegahan dan Monitoring dan Bagian Fasilitasi Pengaduan dan Verifikasi

Dari uraian di atas, saya melihat persoalannya tidaklah sesederhana yang dibayangkan oleh para Anggota Dewan dari Komisi XI. Saya membaca risalah persidangan RDP Komisi XI dengan KPP, persoalan yang saya sebutkan di atas tidak mendapat perhatian dari Komisi XI. Terlihat bahwa Komisi XI tidak memahami apa yang mereka persoalkan sendiri.

KPP dan Komisi XI sesungguhnya harus tetap berdiri pada apa yang menjadi kewenangannya sesuai dengan PMK No. 54 dan tidak berkutat dengan PMK No. 133. KPP dan sekretariat KPP adalah dua hal yang berbeda. Pelaksanaan tugas sekretariat sesuai PMK 133 harus dipilah oleh KPP.

Lalu kalau demikian halnya, bagaimana kelanjutan dari persoalan ini. Dalam RDP dengan Komisi XI, KPP mengembalikan persoalannya kepada Menteri Keuangan. Menteri Keuangan sendiri sudah menyatakan tidak akan mencabut PMK 133 ini. Tantangan Menteri Keuangan agar dilakukan uji materi ke MA juga bukan suatu hal yang patut diapresiasi. Pertentangan terjadi pada level peraturan yang sederajat, yang bukan ranah MA untuk memeriksanya. Tidak ada pertentangan antara PMK dengan UU karena UU menyerahkan sepenuhnya kepada Menteri Keuangan (lihat Pasal 36 C UU KUP). Sementara kalau dibiarkan Sekretariat KPP dapat mengacak-acak wilayah Bea dan Cukai karena mereka berwenang sesuai yang diatur dalam PMK 133. KPP sendiri tidak mempunyai kewenangan sejauh kewenangan yang dimiliki oleh Sekretariatnya. Ini memang suatu hal yang aneh.

Jalan terbaik saya kira adalah menerbitkan PMK yang baru mengganti PMK 154 untuk menambah kewenangan KPP dan sekaligus untuk mengubah namanya yang tidak hanya mengawasi perpajakan tetapi juga ikut Bea dan Cukai. Landasan hukumnya juga tidak hanya Pasal 36 C UU KUP tetapi juga bersama dengan UU menyangkut Bea dan Cukai.

Selasa, 08 Februari 2011

Perlunya Undang-undang tentang Agama

Sudah sekian lama Indonesia berdiri gagah sebagai suatu Negara tetapi konflik agama sering terjadi dan sampai memakan korban melayangnya jiwa manusia. Malangnya, nyawa yang terbuang sia-sia itu terjadi atas nama agama dan yang menjadi korban dianggap mati syahid atau mungkin martir. Tidak terbilang kasus-kasus yang demikian terjadi. Kejadian yang lebih ringan adalah peledakan/pembakaran tempat ibadah, pengucilan sesorang yang menganut agama berbeda di suatu lingkungan masyarakat, penyediaan tempat atau fasilitas /layanan untuk yang beragama tertentu. Barangkali, hanya tempat pelacuran yang, pada akhirnya, tidak akan menyediakan layanan berbasis agama.

Sekalipun pada awal persiapan NRI ini persoalan agama telah muncul dan menjadi perdebatan yang hangat tetapi sesungguhnya belum pernah diciptakan suatu defenisi hokum mengenai agama. Dari tingkat SD sampai perguruan tinggi pelajaran agama diberikan kepada pelajar/mahasiswa dan merupakan mata pelajaran/kuliah yang ada dalam setiap jenjang pendidikan. Bahkan banyak sekolah/perguruan tinggi agama didirikan, tetapi tidak pernah persoalan agama ini terumuskan dengan baik.

Saya tidak berniat memberikan apa yang menjadi defenisi agama. Saya tidak berpretensi untuk memberikannya, selain tidak kompeten, juga tidak tertarik mendefenisikan agama itu. Biarlah itu menjadi tugas para ahli merumuskannya untuk nantinya dituangkan dalam suatu undang-undang.

Saya hanya ingin menuliskan betapa perlunya membuat suatu undang-undang tentang agama yang akan mengatur secara komprehensif mengenai Agama dan kalau memang diperlukan sistem kepercayaan. Pengaturan soal agama ini dalam undang-undang sangat perlu untuk memberikan kepastian hukum menyangkut agama dan sistem keagamaan supaya rakyat dapat bertindak sesuai dengan rambu-rambu yang ada. Misalnya, dengan memberikan defenisi agama dapat dicari unsur-unsur yang membangun suatu pengertian mengenai agama. Jika unsur-unsur tidak memenuhi, maka suatu sistem kepercayaan tertentu tidak dapat disebut sebagaio agama. Dengan merujuk pada defenisi, kita juga dapat menentukan syarat-syarat untuk disebut sebagai agama dan untuk mendirikan suatu agama. Kreatifitas manusia tidak terbatas sehingga mungkin ada orang Indonesia yang mampu menciptakan suatu agama baru, yang pantas dihargai juga, terutama dalam kerangka kebebasan berekspresi yang diatur dalam UUD 1945. Bagaimanapun juga, agama di Indonesia adalah agama impor. Pemerintah dapat mendorong warganya untuk menciptakan agama tertentu sesuai dengan budaya Indonesia.

Silang pendapat mengenai ajaran agama sering juga terjadi sehingga menimbulkan lahirnya varian-varian dari suatu agama. Hal ini juga perlu diatur agar kreatifitas manusia dalam memberikan tafsir tidak terhambat dan disisi lain juga tidak mengganggu stabilitas. Tidak perlu, misalnya, suatu penyimpangan dari tafsir atas ajaran yang mapan, menjadikan tafsir yang belakangan menjadi terbuang atau menjadikan pengikut tafsir yang belakangan menjadi terganggu kemanusiaannya karena diburu-buru pengikut tafsir yang mapan.

Penyebaran agama juga perlu menjadi perhatian karena ini merupakan bagian paling hitam dari perkembangan agama. Saya katakan bagian paling hitam karena penyebaran agama ini yang menimbulkan banyak goncangan di masyarakat. Misalnya, suatu komunitas tertentu yang sudah lama menganut agama tertentu tiba-tiba di datangi oleh penyebar agama dari agama yang lain. Apakah hal seperti ini dapat dibenarkan? Apakah perlu izin dalam hal penyebaran izin dan apakah penyebar izin ini harus juga terdaftar? Jika hal ini dirumuskan dengan baik dalam undang-undang tentu konflik dapat dieliminir sedemikian rupa. Dalam hal terjadi konflik tentu harus ada penyelesaian sengketanya.

Perlu juga diatur mengenai tata cara dan akibat-akibat hukum jika terjadi perpindahan agama.

Undang-undang tidak akan lengkap tanpa adanya sanksi pidana. Maka perlu diatur pelanggaran-pelanggaran apa yang dapat disebut sebagai tindak pidana agama.

Selama ini ketentuan mengenai agama belum sepenuhnya diatur dan kalaupun diatur tersebar dalam berbagai instrumen hukum. Apa yang disampaikan di atas hanya sekelumit soal mengenai sistem keagamaan di Indonesia yang tidak teratur dengan baik. Persoalan yang saat ini panas menyangkut pembantaian Jemaah Ahmadiyah merupakan buah dari keengganan menata kehidupan keberagamaan di Indonesia. Oleh karena itu perlu dibuat suatu undang-undang yang bersifat komprehensif dan mengatur sekurang-kurangnya hal-hal berikut:

KETENTUAN UMUM
DASAR, FUNGSI, DAN TUJUAN
PRINSIP PENYELENGGARAAN KEAGAMAAN
HAK DAN KEWAJIBAN
TUGAS, WEWENANG, DAN TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH DAN PEMERINTAH DAERAH
RUANG LINGKUP AGAMA
PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN AGAMA
PENGELOLAAN KEAGAMAAN
PENYELENGGARAAN PENYEBARAN AGAMA
UMAT BERAGAMA
PERPINDAHAN AGAMA
PRASARANA DAN SARANA AGAMA
PENDANAAN KEAGAMAAN
PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI KEAGAMAAN
PERAN SERTA MASYARAKAT
KERJA SAMA DAN INFORMASI KEAGAMAAN
INDUSTRI AGAMA
PENGAWASAN
PENYELESAIAN SENGKETA
KETENTUAN PIDANA

Sabtu, 05 Februari 2011

Antara Pengusiran dan Penolakan

Sambil menunggu pertandingan Arsenal v Newcastle United, di sela-sela pertandingan antara Sunderland v Stoke City, saya mencoba menulis soal pergelutan baru dalam perhelatan politik Indonesia.

Belakangan ini menjadi pemberitaan mengenai penolakan atas Bibit-Chandra dalam Rapat Dengar Pendapat denganKomisi III DPR. Penolakan menyangkut perselisihan faham mengenai pengesampingan perkara demi kepentingan umum yang dikeluarkan oleh Jaksa Agung terhadap perkara dugaan suap yang dialami oleh Bibit-Chandra. Penolakan itu berubah istilah menjadi pengusiran. Entah kenapa, terdapat perubahan istilah yang digunakan menjadi pengusiran. Perkembangan telah sedemikian rupa sehingga penolakan oleh DPR berbuah persoalan yang lain. Hal ini berbuntut pada rencana dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia untuk mengadukan 'pengusir' ke Badan Kehormatan DPR. .


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, "meng·u·sir v 1 menyuruh pergi dng paksa; menyuruh (orang lain) meninggalkan tempat; menghalau: ia sudah ~ anak-anak nakal itu dr rumahnya; kami tidak ~ mu, tetapi hanya sekadar memberi tahu; 2 kl mengejar; memburu;"


Jika melihat pengertian yang diberikan dalam kamus tersebut untuk kata 'mengusir' terdapat hal yang harus diperhatikan bahwa perbuatan yang dilakukan harus tertuju langsung kepada objek. Jadi jika Rapat Dengar Pendapat ada mengusir Bibit-Chandra maka RDP harus menyatakannya secara langsung kepada Bibit-Chandra. Hal ini tidak terjadi. Arti 1 dari kata 'mengusir' ada unsur paksaan. Saya melihat tidak ada secara paksa RDP mengusir Bibit-Chandra tersebut.


Sebagaimana ramai diberitakan, Para Anggota DPR Komisi III terdapat silang pendapat mengenai apakah pengesampingan perkara Bibit-Chandra menghapuskan status tersangka Bibit-Chandra atau tidak. Inilah yang terjadi, Para Anggota Komisi III melakukan perdebatan mengenai status ini dan dilakukan skorsing dalam Rapat Dengar Pendapat tersebut. Dalam pemberitaan di Detik dijelaskan bahwa dalam perdebatan itu akhirnya lahir dua opsi yang akan ditawarkan, yaitu "Apakah Pak Bibit dan Pak Chandra kita minta secara legowo untuk meninggalkan ruangan ini atau kita berembug terlebih dahulu buat menentukan sikap,". Dalam berita yang sama juga terdapat pernyataan dari Ketua KPK yang menyatakan bahwa "Terhadap perdebatan dan skorsing rapat, Ketua KPK Busyro Muqoddas menyerahkan sepenuhnya keputusan kepada tuan rumah dalam hal ini Komisi III DPR. Sebagai pihak yang diundang, pimpinan KPK tidak dalam kapasitas untuk mengatur tata tertib rapat." Adapun Bibit S. Rianto diberitakan 'memilih untuk tidak memberi tanggapan.' dan menyatakan, "Kita lihat saja nanti, ini kan belum final."

Dengan demikian cukup menyedihkan melihat pergeseran issu dari perbedaan pendapat di Komisi III DPR menjadi 'pengusiran'. Saya tidak yakin para Anggota Dewan yang terhormat itu ada melakukan pengusiran kepada Bibit-Chandra. Ini suatu pengalihan yang tidak pada tempatnya. Tentu saya juga berpendirian bahwa DPR tidak pada tempatnya melakukan hal itu ketika yang diundang sudah berada di tempat. Ada baiknya perbedaan pendapat di kalangan DPR diselesaikan dahulu di antara sesama mereka sebelum mengundang lembaga ataupun orang.

Tentu kita akan menunggu proses selanjutnya mengenai langkah yang akan ditempuh. Sejauh ini perbedaan pendapat soal pengesampingan perkara masih terbatas di lingkup Komisi III DPR. DPR belum mengambil sikap dalam paripurna mengenai penolakan terhadap Bibit-Chandra. Sesungguhnya cukup adil menunggu keputusan akhir dari Rapat Paripurna DPR sebelum mengambil langkah perlawanan terhadap tindakan Komisi III DPR tersebut.

Kamis, 03 Februari 2011

Mengesampingkan Perkara

Ramai dibicarakan mengenai pengesampingan perkara Bibit-Chandra oleh Jaksa Agung. Meskipun sudah agak lama berselang, persoalan itu muncul lagi berkaitan dengan penolakan oleh DPR atas Bibit-Chandra dalam Rapat Dengar Pendapat dengan DPR. Menjadi persoalan, apakah dengan penyampingan perkara, dalam kasus Bibit-Chandra, status "Tersangka" yang sebelumnya dikenakan pada Bibit-Chandra seketika terhapus dengan adanya penyampingan perkara itu? Ada yang bilang status tersangka hilang dan ada yang menyatakan tidak hilang.

Ketika persoalan itu muncul kembali, para komentator, yang mungkin ke-Belanda-belandaan, lebih suka menggunakan istilah "deponeering". Tentu kita menghargai juga penggunaan istilah itu. Namun ada masalah ketika ternyata bukan hanya kata deponeering yang muncul tetapi juga seponering, ketika membicarakan pengesampingan perkara ini. Para ahli hukumpun berselisih soal yang mana yang akurat, deponering atau seponering. Namun untuk menghormati UU No. 24 tahun 2009, saya tidak begitu antusias dengan istilah Belanda yang banyak digunakan itu. Ada baiknya digunakan istilah yang digunakan oleh UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA. Pasal 35 butir c menentukan bahwa Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.

Dari ketentuan tersebut dapat dilihat adanya tugas dan wewenang Jaksa Agung untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Ada dua hal yang menjadi sorotan dalam hal ini. mengesampingkan dan kepentingan umum.

Mengesampingkan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, mengesampingkan v menyampingkan. me·nyam·ping·kan v 1 menyingkirkan ke arah sisi (pinggir); membersihkan: petugas itu - runtuhan pohon yg merintangi jalan; 2 mengabaikan; meremehkan; menyepelekan; tidak menghiraukan: pejabat itu - pendapat yg baik dr bawahannya;

Kamus tersebut untuk entri mengesampingkan juga menyediakan untuk perkara hukum. ditulis disitu "- perkara Huk kewenangan jaksa agung untuk tidak menuntut pelaku tindak pidana berdasarkan kepentingan umum". Apa yang disebut dalam kamus itu mengenai perkara hukum, merujuk pada pengertian yang biasa digunakan di kalangan hukum.

Untuk keperluan penafsiran hukum, entri mengenai mengesampingkan dalam perkara Huk dalam kamus tersebut tidak memenuhi persyaratan.

Dari arti yang diberikan kamus tersebut, yang relevan dengan pembicaraan ini, mengesampingkan itu berati menyingkirkan ke arah sisi (pinggir). Itu artinya, mengesampingkan itu berarti menyingkirkan dari tengah atau jalur. Jalur dalam hal ini adalah bahwa perkara yang harusnya diajukan ke pengadilan untuk dituntut disingkirkan ke yang bukan jalur. Ini tentu akan mengundang pertanyaan sampai kapan dia di sisi (pinggig) atau apakah ada kemungkinan untuk membawa kembali dari sisi (pinggir) ke tengah (jalur). Hal ini mendapatkan dukungan dari Penjelasan Pasal 77 KUHAP yang berbunyi "yang dimaksud dengan penghentian penuntutan tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung”. Penjelasan ini mengindikasikan bahwa penyampingan perkara demi kepentingan umum, yang adalah wewenang Jaksa Agung, bukanlah penghentian penuntutan yang dapat di-pra-peradilan-kan. Dalam hal ini ada dua kemungkinan apakah penyampingan perkara bukan penghentian penuntutan atau apakah penyampingan perkara juga adalah penghentian penuntutan (perkara). Apakah karena Jaksa Agung yang punya wewenang, maka tidak disebut penghentian penuntutan, sementara Jaksa yang berada di bawahnya harus menggunakan istilah yang berbeda.

Mengesampingkan ini tidak sekedar mengesampingkan tetapi harus ada persyaratannya, yaitu demi kepentingan umum. Berhubung adanya mengesampingkan perkara demi kepentingan umum, tentu logis juga untuk berpikir bahwa ada mengesampingkan perkara untuk yang bukan kepentingan umum. Namun untuk yang terakhir ini, bukanlah tugas dan wewenang Jaksa Agung. Jadi mengesampingkan perkara disini berarti menyingkirkan ke sisi (pinggir) demi kepentingan umum. Artinya supaya Jaksa Agung dapat dikatakan mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan perkara, harus ada kepentingan umum yang deminya Jaksa Agung mengesampingkan perkara ini. Kepentingan umum itu sendiri adalah "kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas." Dalam kasus Bibit-Chandra tidak jelas "kepentingan umum" apa yang menjadi pertimbangan Jaksa Agung untuk mengesampingkan perkara tersebut. Justru, Jaksa Agung mengabaikan kepentingan umum dengan menyampingkan perkara itu. Hal ini terjadi karena sesunggunya pengadilan sudah memutuskan agar perkara tersebut dilanjutkan ke pengadilan. Jadi dalam hal ini Jaksa Agung tidak menghormati pengadilan. Jika suatu putusan pengadilan dapat dikesampingkan begitu saja oleh Jaksa Agung, maka kepentingan umum menjadi diinjak-injak oleh Jaksa Agung. Memang hal ini menjadi penilaian subjektif Jaksa Agung untuk menentukan ada tidaknya kepentingan umum yang akan terganggu jika kasus Bibit-Chandra ini diajukan ke pengadilan.

Penjelasan Pasal 35 butir c UU Kejaksaan itu menyatakan:

"Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas oportunitas, yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut".

Asas Oportunitas merupakan lawan dari asas legalitas. Asas Opportunitas, asas yang menentukan bahwa tidak setiap tindak pidana yang dilakukan seseorang itu harus atau wajib dituntut. Asas Legalitas, asas yang menentukan bahwa setiap tindak pidana yang
dilakukan seseorang itu harus atau wajib dituntut.

Asas oportunitas dijalankan oleh Jaksa Agung demi kepentingan umum (Pasal 35 butir c Undang-undang Kejaksaan) dan oleh jaksa di bawah Jaksa agung untuk perkara yang dihentikan bukan demi kepentingan umum (Pasal 77 KUHAP).

Mengingat adanya alasan demi kepentingan umum dan yang bukan demi kepentingan umum dimana yang pertama tidak dapat dipersoalkan dalam Pra Peradilan sedangkan yang terakhir dapat, maka adalah logis jika beranggapan bahwa penyampingan demi kepentingan umum bukanlah suatu yang sudah defenitif yang dapat dipersoalkan melalui Pra Peradilan. Jadi penyampingan perkara ini memang bukan penghentian penuntutan, tetapi hanya semata-mata menyingkirkan ke sisi (pinggir). Status tersangka, yang sudah sempat melekat, tidak dengan sendirinya terhapus. Jika hanya penghentian penuntutan yang dapat dipersoalkan, maka akan ada ketidaksamaan di hadapan hukum, yang sudah pasti bertentangan dengan UUD 1945. Jaksa Agung dapat bertindak mengesampingkan perkara tanpa ada kontrol. Sayangnya KUHAP dan UU Kejaksaan tidak mengatur kemana hal ini dipersoalkan.

Keputusan Jaksa Agung memenuhi syarat sebagai suatu keputusan tata usaha negara, dalam pengertian yang diberikan oleh UU No. 5 tahun 1986. Namun UU No. 5 tahun 1986 membatasi PTUN untuk tidak mengadili keputusan TUN yang diambil dalam pelaksanaan Hukum Acara Pidana dan dengan demikian soal penyampingan perkara bukan wewenang PTUN. Mengingat yang mempersoalkan penyampimgan perkara Bibit-Chandra adalah DPR, maka DPR dapat mempersoalkannya sebagai suatu sengketa antar lembaga negara. DPR dapat mengajukan persoalan ini ke Mahkamah Konstitusi.