Selasa, 27 Oktober 2009

Komunikasi yang Aman: Soal Penyadapan

Hari-hari belakangan ini ramai dibicarakan adanya rekaman percakapan telepon sejumlah orang yang disebut-sebut sebagai rencana penghancuran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Banyak kalangan berharap agar rekaman itu dibuka secara publik dan ditindaklanjuti sebagai suatu kejahatan yang serius. Tentu saja hal ini perlu mendapat apresiasi mengingat upaya-upaya yang dilakukan untuk menghancurkan KPK, sebuah lembaga yang sarat wibawa itu, merupakan suatu upaya menelikung reformasi dan akan dapat membuat upaya-upaya pemberantasan korupsi menjadi sia-sia. KPK memang sudah tersohor sebagai suatu lembagai yang sangat gigih dan mempunyai gigi dalam penegakan hukum di Indonesia.


Namun demikian ada suatu soal yang harus diperhatikan dalam menyikapi rekaman yang disebut-sebut sampai saat ini berada dalam penguasaan dari KPK. Sebagaimana diberitakan juga dalam media elektronik, pihak-pihak yang diduga orang yang direkam pembicaraannya sudah menyampaikan keberatan mengenai rekaman tersebut dan ada juga penyangkalan terhadap pembicaraan yang direkam tersebut. Hal ini menandakan bahwa rekaman yang diberitakan sebagai suatu alat bukti untuk menguak persekongkolan untuk menghancurkan KPK itu dibuat tidak dengan persetujuan dari pihak-pihak yang suaranya diduga ada dalam rekaman tersebut atau rekaman tersebut tidak dibuat dalam rangka mempersoalkan secara hukum persekongkolan tetapi untuk tindak pidana korupsi lain yang diduga melibatkan Anggoro.  Dengan kata lain ada penyadapan komunikasi yang dilakukan oleh yang membuat rekaman itu. Mengingat rekaman itu ada di KPK maka tentu dugaan adalah bahwa penyadapan itu dilakukan oleh pihak KPK atau sekurang-kurangnya sepengetahuan KPK.

Menurut berita di Detiknews:
"Plt Ketua KPK Tumpak Hatorangan dalam jumpa pers Senin (26/10) malam menegaskan bahwa rekaman itu memang ada dan merupakan hasil penyelidikan kasus korupsi sistem komunikasi radio terpadu (SKRT) di Dephut dengan tersangka Anggoro Widjojo. Namun saat ditanya apakah isi rekaman seperti yang dirilis di berbagai media, Tumpak enggan berkomentar."

Menjadi persoalan dalam hal ini apakah rekaman yang diperuntukkan untuk penyelidikan kasus korupsi sistem komunikasi radio terpadu dapat dipergunakan untuk kasus lain yaitu untuk pengungkapan persekongkolan untuk menghancurkan KPK? Wakil Jaksa Agung Abdul Hakim Ritonga, yang diduga ada dalam rekaman tersebut, sudah menyampaikan pandangan. Dari Detiknews:

"Saya rasa KPK juga tahu bahwa untuk merekam suatu peristiwa, penyadapan hanya diperkenankan oleh UU untuk menyadap yang menyangkut tindak pidana korupsi. Apakah ini menyangkut tindak pidana korupsi? Itu dipertanyakan," ujar Ritonga.


Tulisan ini akan meninjau mengenai keamanan dalam berkomunikasi sebagai suatu hak asasi manusia. Pasal 28 F UUD 1945 menyatakan "Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia." Selanjutnya Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 menyatakan "Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi"


Penyadapan

Penyadapan adalah merupakan perbuatan yang terlarang. 

UU Telekomunikasi

Pasal 40 UU No. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi berbunyi:

Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun.

Ketentuan ini dengan tegas melarang kegiatan penyadapan dan terhadap pelanggaran atas larangan itu, menurut Pasal 56, diancam sanksi pidana paling lama 15 (lima belas) tahun. Pasal 59 menentukan perbuatan yang melanggar Pasal 40 tersebut merupakan kejahatan.

Pasal 42 UU No. 36 tahun 1999 tersebut lebih jauh menentukan:

(1) Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib merahasiakan informasi yang dikirim dan atau diterima oleh pelanggan jasa telekomunikasi melalui jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi yang diselenggarakannya.

(2) Untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas:

a. permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu;

b. permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang-undang yang berlaku.

(3) Ketentuan mengenai tata cara permintaan dan pemberian rekaman informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.



Ketentuan Pasal 42 ayat (1) ini membuat kewajiban kepada Penyelenggara jasa telekomunikasi untuk merahasiakan informasi yang dikirim dan atau diterima oleh pelanggan jasa telekomunikasi. Pelanggaran atas Pasal itu, sesuai Pasal 57, diancam sanksi pidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Perbuatan melanggar Pasal 42 ayat (1) UU itu merupakan kejahatan, sesuai dengan Pasal 59.



Pasal 42 ayat (2) membuka kemungkinan untuk merekam dan memberikan informasi yang dikirim dan atau diterima oleh pelanggan atas permintaan Jaksa Agung atau Kepala Kepolisian RI atau penyidik untuk tindak pidana tertentu. Namun demikian tetap dalam hal ini yang melakukan perekaman adalah penyelenggara jasa telekomunikasi. Bukan Jaksa Agung, Kapolri atau penyidik.

Dengan adanya ketentuan-ketentuan sebagaimana disebutkan di atas maka penyadapan tidak diperkenankan dalam bentuk apapun dan merupakan pelanggaran hukum berat.

UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Pasal 31 UU No. 11 tahun 2008 memberikan larangan untuk melakukan penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain. Selanjutnya ayat (2) Pasal 31 melarang setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan. Namun ayat (3) Pasal 31 menentukan bahwa penyadapan dapat dilakukan dalam rangka penegakan hokum atas permintaan permintaan kepolisian, kejaksaan,dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang. PeraturanPemerintah mengenai tata cara penyadapan ini sampai dengan saat ini belum ada.

Dengan demikian baik UU No. 36 tahun 1999 maupun UU No. 11 tahun 2008 berada dalam satu garis yang melarang perbuatan-perbuatan untuk melakukan penyadapan.

UU tentang KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Menyimpang dari ketentuan dalam kedua UU di atas, Pasal 12 ayat (1) huruf a UU No. 30 tahun 2002 memberikan kewenangan kepada KPK untuk melakukan penyadapan dalam rangka melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Hanya dalam kerangka tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan diperbolehkan melakukan penyadapan.

Sebagaimana dikutip di atas pernyataan dari Plt. Ketua KPK Bapak Tumpak Hatorangan Panggabean, rekaman yang ada di KPK adalah untuk penyelidikan tindak pidana korupsi yang diduga dilakukan oleh Anggoro Widjojo. Jika sekiranya dilakukan penyadapan dalam rangka kasus tersebut tentu rekaman yang ada tersebut merupakan rekaman yang sah dan dapat dijadikan sebagai alat bukti. Namun demikian jika sekiranya rekaman itu kemudian dipergunakan untuk kasus lain di kepolisian atau di kejaksaan maka hal itu termasuk pelanggaran hukum. Dengan kata lain, rekaman yang menjadi persoalan, tidak dapat menjadi alat bukti dalam kasus yang ada saat ini mengenai yang disebut sebagai penghancuran KPK.

Penyadapan oleh KPK
Berdasarkan pembacaan saya, saya belum menemukan aturan-aturan yang harus diindahkan dalam melakukan penyadapan. Ketentuan dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a UU No. 30 tahun 2002 tentu akan sangat mengganggu keamanan dan kenyamanan dalam berkomunikasi yang merupakan suatu hak asasi manusia yang diakui dalam UUD 1945. Kasus bocornya rekaman hasil penyadapan tersebut tentu akan membawa persoalan yang serius menyangkut keamanan dan kenyamanan dalam berkomunikasi. Tidak jelas siapa-siapa yang disadap oleh KPK, kapan disadap, dan untuk keperluan apa KPK menyadap. Wewenang KPK yang sangat besar dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang diikuti dengan pemberian wewenang untuk melakukan penyadapan potensial untuk disalahgunakan.  Dapat terjadi bahwa penyadapan dilakukan, dengan mengatas namakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, untuk keperluan yang jauh dari pelaksanaan tugas dari KPK.

Persoalan juga akan menjadi berbeda jika sekiranya seperti yang terjadi sekarang ini, penyadapan yang dilakukan atas nama penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, ternyata melahirkan kasus baru, misalnya perzinahan. Pemanfaatan hasil penyadapan oleh KPK untuk kasus-kasus lain diluar peruntukannya tentu merupakan pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 40 UU Telekomunikasi atau Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU No. 11 tahun 2008.

KPK perlu menjelaskan kepada masyarakat atura-aturan yang harus diindahkan dan praktek-praktek penyadapan yang dilakukannya. Sebagaimana sudah ditentukan dalam UUD 1945, berkomunikasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.merupakan hak asasi manusia dan setiap orang berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

Meskipun kita sangat menyayangkan adanya upaya-upaya untuk menghancurkan KPK tetapi kita tidak dapat mengabaikan aturan-aturan yang ada dengan memanfaatkan penyadapan KPK untuk kasus yang lain di luar peruntukannya yang semula. Adalah baik untuk membuka setiap konspirasi, tetapi membuka hasil penyadapan KPK untuk tujuan lain dari yang dimaksudkan dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a UU No. 30 tahun 2002 adalah merupakan pelanggaran hukum.





Rabu, 21 Oktober 2009

Kabinet Indonesia Bersatu II

Sesuai dengan yang dijanjikannya, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, mengumumkan susunan Kabinet Indonesia Bersatu II untuk masa bakti 2009 – 2014. Sesuai dengan UU No. 39 tahun 2008, dan sebagaimana saya ulas dalam blog ini sebelumnya, Presiden mengumumkan 34 Kementrian dan nama-nama yang ditunjuk untuk memimpin kementerian yang bersangkutan dan tiga pejabat tinggi seperti Ketua UKP4, Kepala Badan Intelijen Negara, dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal. Sementara itu untuk Jaksa Agung, Panglima Tentara Nasional Indonesia, dan Kepala Kepolisian Negara RI tetap. Presiden juga akan dalam waktu yang tidak terlalu lama menunjuk para anggota Dewan Pertimbangan Kepresidenan untuk masa bakti 2009 -2014. Presiden juga akan menunjuk Wakil Menteri untuk kementerian-kementerian yang dianggap memerlukannya mengingat beban tugas yang berat dari kementerian.

Pengumuman yang disampaikan Presiden, yang didampingi oleh Wakil Presiden Boediono, tersebut tidak jauh berbeda dengan yang sudah diberitakan di mass media. Tentu ada satu nama yang mengikuti fit and proper test yang kemudian tidak masuk dalam Kabinet, yaitu Nila Djuwita F Moeloek, yang semula digadang-gadang sebagai Menteri Kesehatan. Dalam pengumuman Presiden, Menteri Kesehatan adalah Endang Rahayu Sedyaningsih. Presiden juga tidak menunjuk Sekretaris Kabinet yang pada Kabinet lalu dijabat oleh Sudi Silalahi. Sudi Silalahi ditunjuk menjadi Menteri Sekretaris Negara menggantikan Hatta Rajasa yang menempati pos baru sebagai Menteri Koordinator Perekonomian. Presiden tidak menjelaskan apakah Sekretaris Kabinet dan Sekretaris Negara tetap terpisah atau dilebur kembali dan berada di bawah Kementrian Kesekretariatan Negara.

Terdapat dua kementerian yang mendapatkan tambahan nama yaitu pertama Kemeterian Pemberdayaan Perempuan yang ditambah dengan perlindungan anak. Ini menunjukkan konsern bahwa untuk mengurusi anak tidak dapat dilepaskan dari pemberdayaan perempuan dan perempuan merupakan yang utama dalam mengurus anak. Pemberdayaan perempuan sekaligus juga pengoptimalan perlindungan terhadap anak.  Kedua Kementerian Penertiban Aparatur Negara yang ditambah dengan Reformasi Birokrasi. Upaya yang dilakukan oleh Presiden menyangkut perlindungan anak dan reformasi birokrasi merupakan suatu langkah yang patut mendapat acungan jempol. Ini menyangkut komitmen Presiden untuk melindungi anak sebagai penerus bangsa dan melakukan reformasi birokrasi. Program-program dan aplikasinya di kedua bidang tersebut sangat ditunggu. Keduanya merupakan kunci dalam memajukan Indonesia.

Pengumuman Presiden tersebut juga mengakhiri spekulasi mengenai ikut sertanya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dalam Kabinet. PDIP tidak ikut dalam Kabinet. Ini menunjukkan keteguhan pendirian dari Ketua Umum PDIP Ibu Megawaty Soekarno Puteri yang tidak ingin PDIP bergabung dalam Kabinet. Tentu ini merupakan suatu kebijaksanaan yang perlu diacungi jempol.  Ketidakikutsertaan PDIP dalam Kabinet memberikan harapan perimbangan kekuatan di Kabinet. Oposisi kritis tentu sangat diharapkan agar pemerintahan dapat bekerja untuk mencapai tujuan Negara sebagaimana dimaksud dalam Paragraf ketiga UUD 1945. Bersama PDIP ada Partai HATI NURANI RAKYAT (HANURA) dan Partai GERAKAN INDONESIA RAYA (GERINDRA). Partai-partai yang mengirimkan utusan ke Kabinet Indonesia bersatu adalah Partai Demokrat, Partai Golongan Karya, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Kebangkitan Bangsa.

Presiden menyadari bahwa beliau tidak mungkin memenuhi harapan semua lapisan masyarakat. Pro dan Kontra akan merebak menilik Kabinet yang dibentuk oleh Presiden tersebut. Presiden tentu lebih mengetahui pertimbangan-pertimbangan untuk menunjuk orang-orang tertentu sebagai menteri. Namun terlepas dari soal Pro dan Kontra yang akan menyemarakkan demokrasi tersebut, tiga partai yang memilih untuk tidak bergabung dalam Kabinet akan memberikan perimbangan kekuatan yang memadai. Kita berharap ke depan demokrasi, pembangunan ekonomi, hukum dan hak azasi manusia lebih maju.

Adapun susunan Kabinet yang diumumkan adalah sebagai berikut:

1. Menko Politik Hukum dan Keamanan : Marsekal (Purn) Djoko Suyanto

2. Menko Perekonomian : Hatta Rajasa

3. Menko Kesra : R Agung Laksono

4. Sekretaris Negara : Sudi Silalahi

5. Menteri Dalam Negeri : Gamawan Fauzi

6. Menteri Luar Negeri : Marty Natalegawa

7. Menteri Pertahanan : Purnomo Yusgiantoro

8. Menteri Hukum dan HAM : Patrialis Akbar

9. Menteri Keuangan : Sri Mulyani

10. Menteri ESDM: Darwin Saleh

11. Menteri Perindustrian : MS Hidayat

12. Menteri Perdagangan : Mari E. Pangestu

13. Menteri Pertanian : Suswono

14. Menteri Kehutanan : Zulkifli Hasan

15. Menteri Perhubungan : Freddy Numberi

16. Menteri Kelautan dan Perikanan : Fadel Muhammad

17. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi : Muhaimin Iskandar

18. Menteri Pekerjaan Umum : Djoko Kirmanto

19. Menteri Kesehatan : Endang Rahayu Setianingsih

20. Menteri Pendidikan Nasional : Mohammad Nuh

21. Menteri Sosial : Salim Segaf Al Jufri

22. Menteri Agama : Suryadharma Ali

23. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata : Jero Wacik

24. Menteri Komunikasi dan Informasi : Tifatul Sembiring

25. Menteri Riset dan Teknologi : Suharna Suryapranata

26. Menteri Koperasi dan UKM : Syarifudin Hasan

27. Menteri Lingkungan Hidup : Gusti Muhammad Hatta

28. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak: Linda Amalia Sari

29. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi: E.E Mangindaan

30. Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal : Ahmad Helmy Faishal Zaini

31. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional : Armida Alisjahbana

32. Menteri BUMN : Mustafa Abubakar

33. Menteri Perumahan Rakyat : Suharso Manoarfa

34. Menteri Pemuda dan Olahraga : Andi Alfian Mallarangeng


PEJABAT SETINGKAT MENTERI



1. Jaksa Agung: HENDARMAN SUPANDJI, SH.

2. Panglima TNI : Jenderal (TNI) Djoko Santoso

3. Kapolri: Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri

4. Kepala BIN: Jenderal (Purn) Sutanto

5. Kepala BKPM: Gita Wirjawan

6. Ketua Unit Kerja Presiden Pengawasan Pengedalian Pembangunan: Kuntoro Mangkusubroto

Dengan ini saya menyampaikan ucapan selamat dan semoga berhasil menjalankan kewajiban-kewajiban konstitusionalnya masing-masing.

Selasa, 20 Oktober 2009

Presiden dan Wapres dilantik

Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan dalam Sidang Paripurna MPR tanggal 20 Oktober 2009. Presiden Soesilu Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono sudah harus memulia tugas-tugasnya. Bapak Jusuf Kalla sudah mengakhiri masa jabatannya sebagai wakil Presiden RI 2004-2009.

Ada sedikit insiden, apa disengaja atau bukan. Sidang Paripurna yang dipimpin oleh Ketua MPR Taufik Kiemas (TK). TK setelah menyambut Presiden, Wakil Presiden Bapak Jusuf Kalla, dan Wakil Presiden terpilih Bapak Boediono langsung menyebutkan Wakil Presiden ke 6 yaitu Bapak Try Soetrisno. Lalu memberi salam kepada kepala negara/pemerintahan atau perwakilan negara sahabat. Seseorang terlihat berbisik kepada TK. lupa menyebut Presiden RI yang ketiga BJ Habibie.Lalu TK mengulang menyebut Wapres JK dan wakil presiden terpilih lalu menyebut Presiden RI ke 3 Bapak BJ Habibie. "Saya minta maaf Pak Habibie'" kata TK.

Pelantikan ini dilakukan dengan mengangkat sumpah sebagaimana diwajibkan oleh Pasal 9 ayat (1) UUD 1945.Pengucapan sumpah dimulai oleh Presiden SBY yang kemudian diikuti oleh pengucapan sumpah oleh Boediono yang akan menduduki posisi Wakil Presiden RI. Selanjutnya adalah penandatangan berita acara pelantikan. Terlihat Pak Boediono lebih dahulu menyelesaiakan penandatangan dan kemudian TK membubukan tandatangan pada berita acara diikuti oleh Para Wakil Ketua MPR. Setelah penandatangan TK menyerahkan berita acara kepada Presiden dan lalu ke DPR.Habis itu salam-salaman.

Setelah penyerahan berita acara lalu diikuti pidato Ketua MPR  dengan banyak maaf maafnya. Setelah menyampaikan terima kasih kepada Bapak Jusuf Kalla, TK mempersilahkan Presiden SBY menyampaikan pidato pelantikan sesuai pemenuhan ketentuan Pasal 33 ayat 8 UU No. 27 tahun 2009.

Pidato Presiden mengutip siaran televisi internasional bahwa Indonesia sebagai remarkable nation yaitu bangsa yang berhasil mengatasi krisis dalam 10 tahun terakhir. Dari panggung internasional Presiden menyoroti krisis global yang belum sepenuhnya pulih dan dalam tataran domestik belia menyoroti good governance dan reformasi.

Presiden juga mengajak segenap komponen bangsa untuk bersatu dalam menyongsong pembangunan ke depan.

Saya dengan ini menyampaikan ucapan selamat kepada Bapak Presiden DR. Susilo Bambang Yudhoyono dan Bapak Wakil Presiden Prof. DR. Boediono yang akan memimpin bangsa dan negara RI periode 2009 - 2014. Semoga berhasil membawa Indonesia untuk mencapai tujuan negara sebagaimana dimaksud dalam Paragraf ketiga Pembukaan UUD 1945.

Senin, 12 Oktober 2009

Konsultasi DPR - MK


Marzuki Alie, Ketua DPR RI membuat pernyataan yang menarik untuk diperhatikan. Dari detiknews:

"Menurut Marzuki, ada mekanisme baru yang berlaku di DPR mengenai pembuatan sebuah UU. Sebelum disahkan, suatu UU akan dikonsultasikan lebih dulu ke MK supaya hasilnya tidak bertentangan dengan UUD.


"Jadi kerja 560 orang ini benar-benar efektif, jangan sampai dibatalkan. Karena selain memakan waktu tentu saja juga memakan anggaran yang besar," kata Marzuki."

Apa yang menjadi konsern dari Ketua DPR tersebut tentu dapat dipahami. Sudah ada undang-undang yang dibatalkan secara keseluruhannya dan ada banyak UU yang dibatalkan secara parsial. Dari segi waktu dan biaya tentu akan sangat mubazir dengan sistem yang ada sekarang.

Sayangnya mekanisme baru tersebut belum tersedia di situs web DPR RI. Yang ada masih tata tertib dari masa sebelumnya. Sulit untuk melihat apakah mekanisme baru yang digagas DPR tersebut akan lebih baik dari yang terdapat dalam Tata Tertib lama.

Tentu hal ini akan menimbulkan persoalan konstitusional mengingat Mahkamah Konstitusi(MK)  tidak dimaksudkan sebagai tempat berkonsultasi bagi DPR dalam hal pembentukan UU. Bab VII UUD 1945 yang mengatur soal DPR dan pembentukan undang-undang tidak ada menyebut-nyebut MK. Demikian juga Pasal 24C UUD 1945 tidak ada menyebutkan bahwa MK mempunyai wewenang untuk mengadakan konsultasi menyangkut suatu RUU. Juga dalam UU No. 27 tahun 2009 tidak ditemukan mekanisme semacam ini, apalagi dalam UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Jika mekanisme baru yang disebutkan oleh Marzuki Alie tersebut benar-benar berjalan tentu akan merupakan pelanggaran terhadap UUD 1945.

Memang ada konsern lain juga. Dengan mekanisme baru yang disebutkan oleh Marzuki Alie tersebut, MK akan kehilangan kondusifitasnya sebagai benteng terakhir menyangkut konstitusionalitas dari suatu undang-undang. Jika MK sudah terlibat dalam pembentukan undang-undang, dalam rupa konsultasi dengan DPR, masih perlukah MK melakukan pengujian terhadap UU? Ataukah ada upaya untuk meniadakan wewenang dari MK untuk menguji undang-undang ke depan?

Saya menduga mekanisme yang hendak diterapkan DPR dalam pembentukan UU mirip pada sistem yang berlaku di Perancis dimana dalam persiapan RUU diajukan dulu kepada Conseil d'Etat. Bedanya, di Perancis itu adalah pemerintah yang diber saran oleh Conseil d'Etat. Mungkinkah MK digiring menjadi suatu Conseil d'Etat? Tentu hal ini perlu amandemen UUD 1945.

Selasa, 06 Oktober 2009

Menguji PERPU

Ada semacam kejanggalan mengenai kedudukan dari Peraturan Pemerintan Pengganti Undang-Undang (PERPU). Kita melihat dalam UU No. 10 tahun 2004 ada ketidaktepatan atau kebertentangan dengan UUD 1945 menyangkut PERPU ini. Pasal 7 ayat (1) huruf b menempatkan PERPU sederajat dengan UU. Karena adanya ketentuan yang menempatkan PERPU setara dengan UU maka kita dapat membaca di hukumonline, kompas.com dan detiknews.com, bahwa sejumlah advokat mengajukan permohonan pengujian atas PERPU No. 4 tahun 2009 yang menghebohkan itu. Tentu secara gamblang kita dapat melihat bahwa upaya dari para advokat itu seperti sia-sia karena toh permohonan mereka akan terbentur dengan persoalan kedudukan hukum (legal standing) dan pada akhirnya masalah pokoknya tidak akan tersentuh. Namun demikian saya pribadi sangat menghargai upaya ini karena dengan adanya persoalan itu saya jadi terpikir untuk membahas soal itu dalam blog saya ini.

PERPU sebagaimana sudah saya ulas sebelumnya dalam posting saya di blog ini harus dikeluarkan dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Tulisan ini dimaksudkan membahas satu persoalan ketatanegaraan baru, apakah PERPU dapat diuji di Mahkamah Konstitusi (MK). Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka sebagai suatu persyaratan adalah meluruskan apakah PERPU itu sederajat dengan UU atau tidak. Kalau PERPU sederajat dengan UU tentu dapat diajukan permohonan pengujian ke MK dan kalau ternyata tidak maka harus dicari di tempat lain yang mungkin seperti Mahkamah Agung atau ke DPR. Ketua MK Moh Mahfud MD , sebagaimana dikutip oleh hukum online, menegaskan bahwa PERPU tak bisa diuji ke MK.

Ada dua macam peraturan pemerintah

Landasan hukum dari PERPU adalah Pasal 22 UUD 1945 yang berbunyi:

(1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.


(2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.


(3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.

Dari ketiga ayat dalam Pasal 22 jelas-jelas disebutkan peraturan pemerintah. Namun peraturan pemerintah menurut Pasal 22 ini adalah sebagai pengganti undang-undang. Hal ini berarti bahwa apa yang kita sebut sebagai PERPU bukanlah undang-undang atau sederajat dengan undang-undang. PERPU adalah istilah yang diciptakan kemudian dan tidak terdapat dalam UUD 1945. Pasal 22 ayat (2) menggunakan istilah peraturan pemerintah dan demikian juga dengan ayat (3). Dengan adanya ketentuan yang menyebutkan peraturan pemerintah dalam Pasal 22, maka menjadi jelas bahwa menurut UUD 1945 terdapat dua macam peraturan pemerintah, yaitu peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya (Pasal 5 Ayat (2) UUD 1945) dan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang (Pasal 22 ayat (1)). Karena keduanya adalah sama-sama peraturan pemerintah maka keduanya sudah barang tentu sederajat. Jadi bahwa peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang itu memuat materi muatan yang merupakan materi muatan undang-undang tidak menjadikan PERPU itu setara dengan undang-undang. Baik Pasal 5 Ayat (2) UUD 1945 maupun Pasal 22 Ayat (1) menggunakan kata “menetapkan” untuk kedua macam peraturan pemerintah itu. Hal ini terjadi karena Presiden yang menetapkan peraturan pemerintah untuk melaksakan undang-undang menurut Pasal 5 Ayat (2) UUD 1945 adalah juga Presiden yang sama dengan yang menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa menurut Pasal 22 Ayat (1). Tentu harus saya ingatkan dalam hubungan ini bahwa Presiden dalam arti jabatannya dan bukan pribadi orang yang mengemban jabatan itu. Dapat terjadi bahwa dalam keadaan normal, katakanlah si A mengemban jabatan Presiden dan kemudian karena si A secara bersamaan dengan wakil presidennya tidak dapat menjalankan kewajibannya lalu Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan, dan Menteri Dalam Negeri secara bersama-sama mengeluarkan PERPU menurut Pasal 22 Ayat (1). Ini tentu tindakan presiden juga meski pribadi yang mengeluarkannya berbeda.

Berhubung Presiden yang menetapkan pertauran pemerintah sebagai pelaksanaan UU adalah presiden yang sama dengan presiden yang menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang maka derajat dari kedua peraturan pemerintah itu adalah sama. Jadi peraturan pemerintah menurut Pasal 5 Ayat (2) adalah sederajat dengan peraturan pemerintah menurut Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945.



Memang ada kerancuan yang terdapat dalam UU No. 10 tahun 2004 menyangkut kedudukan dari PERPU ini. Pasal 7 ayat (1) huruf b menempatkan PERPU sederajat dengan UU. Dalam Pasal 4 UU ini ditentukan bahwa “Peraturan Perundang-undangan yang diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang ini meliputi Undang-Undang dan Peraturan Perundang-undangan di bawahnya.” Pasal 4 terlihat menyebutkan bahwa ada uu dan peraturan di bawahnya. Namun dengan Pasal 7 ayat (1) huruf b tersebut ternyata yang dimaksudkannya adalah bahwa PERPU itu sederajat dengan UU.



PERPU tidak sederajat dengan UU



Defenisi dari PERPU disebutkan dalam Pasal 1 angka (4) yaitu Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa.Pengertian tersebut tidak secara tegas menyebutkan bahwa ia sederajat dengan undang-undang. Sebagaimana disebutkan di atas, Pasal 7 Ayat (1) huruf b yang menempatkan PERPU sederajat dengan UU. Namun menjadi pertanyaan, jika PERPU sederajat dengan UU mengapa masih diperlukan persetujuan DPR dan setelah mendapat persetujuan lalu berubah menjadi UU. Mestinya, kalau PERPU sederajat maka PERPU itu akan tetap berlaku sebagai PERPU dan tidak dibutuhkan lagi persetujuan DPR. Dalam Pasal 22 Ayat (2) UUD 1945 jelas dinyatakan bahwa peraturan pemerintah itu harus mendapatkan persetujuan DPR untuk masa sidang berikutnya.



UU No. 10 tahun 2004 mengelaborasi lebih lanjut ketentuan dalam Pasal 22 UUD 1945 di dalam Pasal 25, yang berbunyi:



(1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.


(2) Pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk pengajuan rancangan undang-undang tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang menjadi undang-undang.


(3) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut tidak berlaku.


(4) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, maka Presiden mengajukan rancangan undang-undang tentang pencabutan peraturan pemerintah pengganti undang-undang tersebut yang dapat mengatur pula segala akibat dari penolakan tersebut.



Sesuai Pasal 25 ayat (2) tersebut, pengajuan PERPU itu adalah dalam bentuk RUU tentang penetapan PERPU menjadi undang-undang. Ayat (3) menentukan lebih lanjut bahwa dalam hal PERPU ditolak maka perpu tersebut tidak berlaku. Hal ini menunjukkan bahwa DPR lebih tinggi dari Presiden dalam hal keberlakuan lebih lanjut dari PERPU. Jika DPR menyetujui PERPU tersebut maka PERPU itu diangkat menjadi UU. Hal ini terjadi karena menurut Pasal 20 ayat (1) DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. JIka ketentuan dalam Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 dihubungkan dengan dan Pasal 22 ayat (2) maka akan terlihat bahwa PERPU tersebut tidak setara dengan UU.



Sebagaimana sudah saya sampaikan dalam posting saya terdahulu, salah satu unsur hakiki dari hal ihwal kegentingan yang memaksa adalah tidak dapatnya DPR melakukan persidangan untuk mendapatkan persetujuan bersama dengan Presiden atas suatu Rancangan Undang-undang Menurut Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 harus ada persetujuan bersama antara DPR dan Presiden mengenai RUU. PERPU dikeluarkan karena DPR tidak dapat melakukan persidangan dan PERPU tersebut adalah sebagai pengganti undang-undang. Jadi sesungguhnya istilah peraturan pemerintah pengganti undang-undang sungguh menyesatkan karena kata “sebagai” dihilangkan.



Dengan demikian dapat kita lihat bahwa PERPU itu sesungguhnya tidak sederajat dengan UU dan oleh karenanya tidak dapat diajukan pengujian ke MK. Bahwa PERPU ditempatkan sederajat dengan UU dalam UU No. 10 tahun 2004 menunjukkan adanya kebertentangan antara UU tersebut dengan UUD 1945 dan hal itu perlu diuji.



PERPU bersifat Provisional



Suatu PERPU bersifat sementara sampai DPR menyetujui dan jika menyetujui maka selanjutnya membentuk UU yang menetapkan PERPU sebagai UU. Jika ditolak maka PERPU itu harus tidak berlaku. Persetujuan DPR itu harus diberikan pada masa persidangan berikutnya dari DPR. Dalam Penjelasan Pasal 25 ayat (1) UU No. 10 tahun 2004 disebutkan “Yang dimaksud dengan "persidangan yang berikut" adalah masa persidangan Dewan Perwakilan Rakyat yang hanya diantarai satu masa reses.” Ini berarti bahwa setelah hal ihwal kegentingan yang memaksa itu berakhir maka, PERPU itu harus diajukan ke DPR dalam bentuk RUU pada masa sidang berikutnya. Penjelasan Pasal 25 ayat (1) menegaskan bahwa hanya diantarai satu masa reses. Jadi waktu antara diundangkannya suatu PERPU dengan pengajuan untuk persetujuan ke DPR tidak terlalu lama. Atau dengan kata lain kesementaraan itu ada batasannya waktunya dan waktu itu begitu singkat. Dalam kondisi sekarang, PERPU No. 4 tahun 2009 yang menjadi persoalan seyogyanya sudah harus diajukan kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan DPR. Jika disetujui maka akan jadi UU dan jika ditolak maka PERPU itu tidak berlaku lagi.

Disini kita melihat sifat kesementaraannya. Jika diajukan pengujian atas PERPU yang hanya bersifat sementara maka tentu suatu hal yang tidak selayaknya karena ketika PERPU dalam proses pengujian PERPU mungkin sudah menjadi UU atau tidak berlaku lagi.

Jadi buat apa bersusah-susah menguji PERPU?

Kamis, 01 Oktober 2009

Selamat Bertugas Para Wakil Rakyat

Pada tanggal 1 Oktober 2009 telah dilakukan pelantikan para anggota DPR dan para anggota DPD hasil pemilihan umum legislatif 2009 untuk masa jabatan 2009 - 2014. Sebagaimana dilaporkan kompas.com, Pimpinan DPR, yaitu Marzuki Alie dari Partai Demokrat sebagai Ketua DPR, dan para wakil ketua DPR Priyo Budi Santoso dari Partai Golkar, Pramono Anung dari PDI Perjuangan, Anis Matta dari PKS, dan Marwoto Mintrohardjono dari PAN, juga sudah dilantik. Sampai saat tulisan ini dibuat, belum ada berita mengenai hasil pemilihan pimpinan DPD.

Pelantikan kali ini dilakukan dalam suasana duka yang mendalam sehubungan dengan Gempa yang terjadi sehari sebelum pelantikan di Sumatera Barat dan diikuti dengan rentetan gempa lainnya. Satu bulan sebelumnya Gempa dengan kekuatan yang hampir sama telah terjadi di Tasikmalaya.  Presiden sendiri dilaporkan tidak menghadiri pelantikan karena beliau sedang melakukan peninjauan ke lokasi bencana alam di Sumatera Barat.

Dalam suasana duka yang mendalam ini DPR baru mulai bertugas. Banyak persoalan bangsa yang belum tuntas dilakukan oleh para Anggota DPR periode sebelum ini. Memang jika kita perhatikan bahwa produk DPR, yaitu dalam hal pembentukan undang-undang, banyak yang mendapatkan sorotan. Beberapa undang-undang sudah diuji di Mahkamah Konstitusi, dan beberapa ketentuan dalam undang-undang dibatalkan. Malangnya, ada juga undang-undang, yaitu Undang-undang No. 27 tahun 2009 yang begitu diundangkan langsung dimohonkan pengujian kepada MK dan MK membenarkan bahwa memang ketentuan yang dimohonkan pengujian dalam undang-undang itu bertentangan dengan UUD 1945. Kita juga melihat bahwa pada masa-masa akhir dari jabatan para anggota DPR yang lalu DPR mengebut pengesahan RUU seolah-olah ada yang harus dikejar. Ini tentu sikap yang tidak begitu baik mengingat suatu undang-undang akan membawa dampak yang luas dalam masyarakat. Pembuatan suatu undang-undang bukanlah pekerjaan yang mudah. Dibutuhkan pemikiran yang mendalam dan matang dan harus dilihat dampakanya di masa yang akan datang.  Namun demikian produktivitas dari DPR periode lama patut dihargai juga. Banyak produk hukum yang dihasilkannya. Belum lagi dalam pelaksanaan fungsi-fungsi lain seperti pengawasan.
Pepatah lama bilang "tidak ada gading yang tidak retak". Sebaik apapun DPR bekerja tentu akan selalu ada kekurangannya.

Demikian juga halnya dengan para Anggota  DPD periode yang lalu yang telah menuntaskan pekerjaannya dengan cukup baik. DPD tentu saat ini masih mencari pola yang cocok baginya mengingat hal ini masih baru sebagai konsekwensi dari amandemen terhadap UUD 1945. Perselisihan dengan DPR bukanlah hal yang mengejutkan. UU No. 27 tahun 2009 tentu sudah dibuat sedemikian rupa untuk merajut pola ketatanegaraan Indonesia sesuai UUD 1945. Namun sekali lagi masih banyak kelemahan yang ke depan harus diperbaiki untuk kemajuan dan kematangan dalam berdemokrasi sesuai UUD 1945.

Pada periode 2009 -2014 ini tentu kita sangat berharap bahwa DPR dan DPD dapat lebih meningkatkan kinerjanya agar lebih baik dri periode yang lalu.

Kita ucapkan selamat jalan kepada para anggota DPR dan DPD yang lalu dan selamat bertugas kepada para Anggota DPR dan DPD periode 2009 - 2014 serta turut berduka cita atas musibah bencana alam yang terjadi di di Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu dan sekitarnya.  

Terjemahan Konvensi

Saya ada menyediakan terjemahan bebas dari Konvensi ICSID mengenai penyelesaian sengketa investasi internasional antara negara-negara dengan warga negara dari negara lain dan Konvensi New York 1958 mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing.

Kedua konvensi tersebut sangat penting dan sejauh pengamatan saya belum diterjemahkan selama ini secara utuh. Tentu banyak penulis sudah memberikan terjemahan konvensi secara parsial, yaitu pasal-pasal tertentu. Saya juga melakukannya, yaitu menterjemahkan beberapa pasal dari Konvensi New York dalam buku saya berjudul Arbitrase Online, 2004.

Maksud peng-Indonesia-an secara bebas ini adalah untuk membantu untuk memahami kedua Konvensi  tersebut.