Minggu, 31 Januari 2016

PILKADA UNTUK MENJARING CALON PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN RI



Sebagaimana dilaporkan media, Partai Gerindra sudah melakukan suatu ritual untuk menjaring calon Gubernur DKI Jakarta yang akan maju dalam Pilkada 2017 untuk maju menantang petahana Gubernur Basuki Tjahaya Purnama. Partai lain juga akan melakukannya dalam waktu-waktu yang tidak akan terlalu lama. Menurut kabar yang beredar, Gubernur Basuki juga akan mendeklarasikan diri untuk maju dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta   pada Mei 2016 yang akan datang. Meski Gubernur Basuki belum memutuskan apakah maju melalui jalur partai atau jalur independen, Gubernur Basuki sudah dipastikan akan maju. Tentu akan ada pertarungan yang menarik dan dahsyat. Survey atraktif teranyar yang dilakukan CSIS sudah cukup signifikan menunjukkan hal-hal yang harus diperbuat oleh para bakal kandidat sebelum dipinang oleh partai politik.

Pemilihan Gubernur DKI, sebagaimana juga dengan Gubernur, bupati, walikota dalam pilkada 2015 yang lalu dan pilkada tahun 2017 mendatang menjadi sangat penting dan mempunyai arti strategis mengingat Presiden Joko Widodo maju dalam Pilpres 2014 dalam masa jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Saya pikir ini adalah suatu sinyal yang baik bahwa seorang Gubernur DKI Jakarta dapat maju dalam pemilihan Presiden dan berhasil pula menang dan saat ini, sebagaimana kita melihat Joko Widodo menjadi Presiden Republik Indonesia.  

Tentu saja tidak hanya Gubernur DKI Jakarta, Gubernur dan mantan gubernur dari daerah lain juga dapat maju dan memang diharapkan untuk maju menjadi Presiden RI, seperti  Gubernur Ganjar Pranowo dan Gubernur Ahmad Heryawan, Bahkan kalau saya boleh mengusulkan Bupati/Walikota juga mempunyai peluang yang sama untuk maju bersaing dalam Pemilihan Presiden. Walikota Ridwan Kamil dan Tri Risma merupakan sosok walikota yang sukses. Pengalaman pernah memimpin suatu daerah/wilayah territorial merupakan modal yang penting dalam penilaian untuk menjadi Presiden RI walaupun tidak perlu dijadikan sebagaai syarat tertulis yang diatur dalam undang-undang. Tentu tidak tertutup kemungkinan melalui jalur lain selain pemimpin daerah/territorial dapat lahir pemimpin yang hebat.

Pasal 7 UU Pipres sendiri sudah memberikan kesempatan kepada Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota untuk maju dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Dalam Pasal 7 UU Pilpres ditentukan:
(1) Gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota yang akan dicalonkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden harus meminta izin kepada Presiden.
(2) Surat permintaan izin gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada KPU oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebagai dokumen persyaratan calon Presiden atau calon Wakil Presiden.

(Catatan: Tentu Pasal 7 ini perlu diamandemen juga. Joko Widodo mendapatkan izin dari Presiden pada waktu itu, saya pikir karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak lagi berhak maju dalam Pilpres karena pembatasan masa jabatan Presiden. Boleh jadi jika Presiden SBY dapat maju pada waktu itu, Joko Widodo tidak akan diijinkan. Jadi, amandemen yang diperlukan, jika seorang GubernurBupati, Walikota dan wakilnya, respectively,  maju dalam Pilpres harus diberi ijin otomatis setelah Partai/Gabungan Partai secara resmi akan mencalonkan Gubernur yang bersangkutan sebagai Capes/cawapres)
.
Sebagaimana Panglima TNI dijabat oleh Jenderal yang pernah memimpin territorial tertentu, kecuali Almarhum Jenderal L.B Moerdani, tidak ada juga salahnya bahwa Presiden RI, yang adalah panglima tertinggi atas angkatan bersenjata,  harus pernah/sedang  memimpin daerah/atau territorial tertentu di wilayah Republik Indonesia ini. Sebagaimana Panglima TNI adalah orang yang berprestasi dan sudah teruji kepemimpinannya, maka untuk menjadi Presiden RI juga harus sudah teruji dalam memimpin daerah/territorial tertentu.

Saya tidak bermaksud mendukung  model kutu loncat seperti yang ditunjukkan Presiden Joko Widodo. Saya lebih melihat bahwa para mantan dan incumbent kepala Daerah, apakah Gubernur, bupati, walikota dan wakil-wakilnya, respectively, dan mantan dan incumbent Panglima TNI, para Pangdam dan yang setara, Danrem dan yang setara, serta Kapolri, Kapolda, dan Kapolres sangat layak dipertimbangkan untuk maju dalam Pilpres. Mereka sudah teruji kepemimpinannya memimpin daerah/territorial tertentu. Tentu dengan ketentuan harus mendapat dukungan dari dan diajukan oleh Partai Politik atau gabungan partai politik.

Pemilihan Gubernur DKI dan gubenur lain serta Bupati dan Walikota dalam Pilkada 2017 yang akan datang diharapkan berjalan dengan antusiasisme tinggi dan menghasilkan pemimpin yang hebat sebagai suatu sarana untuk menjaring bakal calon Presiden/Wakil Presiden RI tahun 2019 dan sesudahnya. Silahkan bertarung dengan sehat…………

Senin, 18 Januari 2016

Pencabutan Hak Untuk Dipilih: MA melanggar HAM

Dalam berbagai putusan MA dalam perkara korupsi./TPPU, terdakwa, disamping dikenai pidana pokok juga diberikan pidana tambahan seperti pencabutan hak untuk dipilih untuk mengisi jabatan publik dan hak untuk menduduki jabatan partai. Sejauh ini, sudah terdapat 9 orang yang dicabut haknya untuk dipilih. Dalam putusan teranyar,  Majelis Kasasi menyatakan bahwa alasan pencabutan hak Bupati Karawang nonaktif, Ade Swara dan istrinya, Nurlatifah adalah “Masyarakat harus dilindungi dari keserakahan para Pejabat Negara yang seharusnya mengayomi dan melayani rakyat,” Sayangnya putusan dalam perkara tersebut belum diunggah di situs web MA. Untuk melihat bagaimana MA sampai pada pencabutan hak politik, Putusan No. 1195 K/Pid.Sus/2014 (Luthfi Hasan Ishaaq) dapat dijadikan sebagai bahan analisa. Dalam putusan tersebut, halaman 127, dapat dibaca dalil Penuntut Umum pada KPK yang dibenarkan oleh Mahkamah Agung.:
 “……karena penjatuhan pidana tambahan berupa pencabutan hak Terdakwa untuk dipilih sebagai wakil rakyat dan hak untuk menjabat sebagai pengurus suatu partai politik sangatlah dimungkinkan berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 10 huruf b angka 1 KUHPidana. Hal ini dimaksudkan agar seseorang yang telah di vonis bersalah melakukan tindak pidana Korupsi dan tindak pidana Pencucian Uang tidak lagi diberi kesempatan untuk memegang jabatan publik yang rentan terhadap perbuatan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), sehingga dengan penjatuhan pidana tambahan dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku tindak pidana Korupsi dan tindak pidana Pencucian Uang. Ada beberapa contoh kasus di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di mana pelaku yang telah di vonis bersalah melakukan tindak pidana Korupsi, namun setelah ke luar dari penjara, tetap memegang jabatan publik seperti menjadi Bupati dan sebagainya. Hal ini sungguh sangat mencederai rasa keadilan masyarakat ;

Dasar dari Pencabutan hak untuk dipilih, sebagaimana didalilkan Penuntut Umum pada KPK, adalah Pasal 18 ayat (1) huruf d UU TIPIKOR. Sebelum memberikan pembenaran untuk dalil Penuntut umum dalam perkara tersebut, Mahkamah Agung tidak terlebih dahulu memeriksa dan menganalisa Pasal 18 ayat (1) huruf d tersebut. Apa betul “pencabutan hak,,,,sangat dimungkinkan”?

Pasal 18 ayat (1) huruf d UU TIPIKOR tersebut berbunyi:
(1) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah :
…….
d. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.

Apakah hak untuk dipilih dan /atau menduduki jabatan public atau jabatan dalam partai termasuk dalam hak-hak tertentu? Jika masuk, apakah memang hak-hak untuk dipilih dalam pemilihan umum atau hak untuk menduduki jabatan public atau jabatan dalam partai sesuatu “yang telah atau dapat diberikan pemerintah”? Penjelasan Pasal 18 ayat (1) huruf d menyatakan cukup jelas. Namun sesungguhnya tidak jelas.

Hak-hak untuk menduduki jabatan public adalah hak hak asasi manusia yang disebutkan dalam UUD 1945 dan dielaborasi lebih lanjut dalam undang-undang. Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.” Hak Asasi tersebut dielaborasi dan dijamin lebih lanjut dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia(“UU HAM”) yang berbunyi: (1) Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan perantaraan wakil yang dipilihnya dengan bebas, menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundangundangan. (3) Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan. Dalam Pasal 1 angka 1 UU HAM, HAM didefenisikan sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Hak asasi manusia dengan demikian hak dasar yang dimiliki manusia sejak manusia itu dilahirkan.

Dengan melihat ketentuan tersebut, hak untuk dipilih dalam jabatan public bukanlah hak yang diberikan pemerintah tetapi merupakan hak asasi manusia. Dengan demikian hak untuk dipilih dalam jabatan publik tidak termasuk dalam lingkup dari Pasal 18 ayat (1) huruf d UU TIPIKOR. MA tidak mempunyai wewenang untuk mencabut hak asasi terpidana.
Dalam BAB VI UU HAM ditentukan:
PEMBATASAN DAN LARANGAN
Pasal 73
Hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.
Pasal 74
Tidak satu ketentuanpun dalam Undang-undang ini boleh diartikan bahwa Pemerintah, partai, golongan atau pihak manapun dibenarkan mengurangi, merusak, atau menghapuskan hak asasi manusia atau kebebasan dasar yang diatur dalam Undang-undang ini.

Tujuan Tidak Menghalalkan Cara

Sesungguhnyalah tujuan yang hendak dicapai oleh MA sangatlah luhur. Masyarakat harus dilindungi dari ” keserakahan para Pejabat Negara yang seharusnya mengayomi dan melayani rakyat.” Sayangnya, meskipun tujuan itu dapat dibenarkan tetapi MA tidak berwenang mencabut hak politik tersebut. Pertama, ia tidak masuk dalam rumusan Pasal 18 ayat (1) huruf d dan kedua, HAM hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan UU dan ia tidak dapat dicabut. Dengan demikian tindakan MA mencabut hak-hak terpidana tersebut adalah merupakan pelanggaran HAM berat.

Sabtu, 09 Januari 2016

Kisruh Partai Golkar





Dalam Pokok Sengketa:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan batal Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-01.AH.11.01 Tahun 2015 tertanggal 23 Maret 2015 tentang Pengesahan Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga serta Komposisi dan Personalia Dewan Pimpinan Pusat Partai Golongan Karya;
3. Mewajibkan kepada Tergugat untuk mencabut Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-01.AH.11.01 Tahun 2015 tertanggal 23 Maret 2015 tentang Pengesahan Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga serta Komposisi dan Personalia Dewan Pimpinan Pusat Partai Golongan Karya;

Menteri Yasonna sudah menjalankan dengan benar kewajiban yang ditetapkan MA untuk dijalankannya. Yaitu menjalankan amar 3.

Tinggal persoalan menganga pengurus Golkar siapa?

Saya pikir hal ini dikembalikan pada Putusan MA itu juga. Dengan mengabulkan gugatan Penggugat dalam perkara tersebut maka Penggugatlah yang sah sebagai pengurus Partai Golkar. Siapakah Penggugat?pemohon Kasasi  dalam perkara tersebut?

DEWAN PIMPINAN PUSAT PARTAI GOLONGAN KARYA (DPP GOLKAR), baik yang dihasilkan oleh Musyawarah Nasional (Munas) VIII Partai Golkar di Pekanbaru tanggal 5 s.d. 8 Oktober 2009, maupun yang dihasilkan oleh Munas IX Partai Golkar di Bali tanggal 30 November s.d. 4 Desember 2014, yang dalam hal ini
diwakili oleh:
1. Ir. Aburizal Bakrie, Kewarganegaraan Indonesia, Pekerjaan Ketua Umum DPP Partai Golkar Periode 2009-2014 maupun Ketua Umum DPP Partai Golkar Periode 2014-2019, bertempat tinggal di Jalan Magunsarkoro Nomor 42, Menteng, Jakarta Pusat;
2. Idrus Marham, Kewarganegaraan Indonesia, Pekerjaan Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar Periode 2009-2014 maupun Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar Periode 2014-2019, bertempat tinggal di Komplek DPRD DKI Jakarta Blok F Nomor 3 Cibubur, Jakarta Timur;

Dengan menerima mengabulkan gugatan penggugat berarti MA berpendapat dan mengakui Kubu Munas Bali pimpinan ARB dan Idrus Marham sebagai sah.

Tinggal pendaftaran harus dilakukan ulang dan kabarnya sudah dilakukan pada anggal 3 Januari 2016. Tentu Menteri Yasonna harus mengeluarkan SK menyangkut pendaftaran yang dilakukan. Menteri Yasonna tentu mengerti bahwa pemerintah sekarang tidak akan melakukan tindakan balasan aas perilaku di masa lalu dari partai berkuasa di masa lalu dan tidak melegalkan kehancuran Partai Golkar.