Minggu, 30 Januari 2011

Pembebasan Seorang Pemain untuk Tim Nasional

Okto Maniani, pemain klub Sriwijaya FC, terpaksa kabur dari pemusatan latihan nasional Kualifikasi Olimpiade yang diselenggarakan oleh PSSI. Hal ini terjadi karena Sriwijaya FC tidak dapat menggunakan jasa Okto dalam kompetisi Liga Super Indonesia. Sementara, seperti dilaporkan oleh media massa, pemain Arema, yang juga dipanggil masuk pelatnas, dapat memperkuat Arema malang tersebut. Okto harus memilih antara tim nasional dan klubnya Sriwijaya FC. Sriwijaya FC telah menekan Okto sedemikian rupa sehingga Okto ketakutan kehilangan kontraknya dengan Sriwijaya FC dan memilih kabur. Sriwijaya Post melukiskan hal ini:

"Sikap labil yang ditunjukkan penyerang muda Oktovianus Maniani benar-benar membuat kejutan. Setelah memastikan diri memilih mengikuti aturan Timnas Kamis (27/1) pukul 19.00, Okto sapaannya tiba-tiba mengejutkan publik dengan meninggalkan Timnas pukul 22.00."

PSSI memang memberikan jaminan bahwa apabila Sriwijaya FC memberhentikan okto maka PSSI akan mencarikan klub untuknya. Namun demikian, persoalannya bukan pada jaminan tersebut. Setiap pemain professional harus mendapatkan kenyamanan untuk membela tim nasional dan terbebas dari ancaman kehilangan kontrak. Tampaknya antara PSSI dan klub-klub di bawah asuhannya tidak ada pemahaman mengenai pembebasan pemain klub untuk digunakan keahliannya dalam tim nasional. Hal ini tentu sungguh ganjil. Antara PSSI, sebagai induk cabang olah raga dan anggota dari FIFA, dan klub harus ada pemahaman mengenai bagaimana kalau seorang pemain professional dipanggil masuk dalam tim nasional. Tidak jelas apakah PSSI mempunyai perjanjian dengan klub. Tidak jelas juga apakah ada aturan menyangkut pembebasan pemain klub yang dipanggil masuk dalam tim nasional. Hal ini dinyatakan oleh Henri Zainuddin, sebagaimana dilaporkan Sriwijaya Post:

"Hendri pun mengatakan kabur Okto dari Timnas dan permasalahan sudah selesai. Proses terjadi sebenarnya bermula karena SFC kebingungan dengan prosedur peminjaman. "Sejak awal tidak ada penjelasan mengenai tenggat waktu 5-10 hari sebelum masuk Pelatnas, makanya kita ajukan peminjaman, jika jelas aturannya kami pasti ikuti prosedur. Kami pikir semuanya sudah berjalan baik dan kami akan mengembalikan Okto," ujar Hendri."

Untuk memahami hal ini, kita perlu melihat ketentuan yang ditetapkan oleh Fédération Internationale de Football Association (FIFA) menyangkut hal ini. Peraturan mengenai pembebasan pemain oleh klub jika dipanggil memperkuat tim nasional diatur dalam Pasal 1 Annex 1 pada Regulations on the Status and the transfer of Players, yang ditandatangani pada 7 Juni 2010 di Johannesburg.

Klub berkewajiban membebaskan pemain terdaftar untuk tim nasional negaranya untuk mana pemain dapat bermain atas dasar kebangsaan jika pemain yang bersangkutan dipanggil untuk tim nasional yang bersangkutan. Perjanjian antar pemain dan klub yang mengatur kebalikan dari ketentuan tersebut adalah terlarang. Jika pemain dipangil untuk masuk dalam tim nasional, pembebasan pemain ke tim nasional adalah wajib untuk pertandingan-pertandingan pada tanggal-tanggal yang didaftarkan dalam calendar pertandingan internasional yang dikoordinasikan dan untuk semua pertandingan untuk mana pembebasan pemain ada atas dasar keputusan khusus yang dibuat oleh Keputusan Komite Eksekutif FIFA. Adalah tidak wajib untuk membebaskan pemain untuk pertandingan-pertandingan yang dijadwalkan pada tanggal yang tidak terdaftar dalam calendar pertandingan internasional yang dikoordinasikan. Para pemain harus dibebaskan untuk periode persiapan sebelum pertandingan dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Untuk pertandingan persahabatan, 48 jam
2. Pertandingan-pertandingan untuk turnamen internasional: 4 hari (termasuk hari pertandingan). Periode pembebasan harus diperpanjang menjadi 5 hari jika pertandingan yang bersangkutan dilakukan pada konfederasi yang berbeda dengan konfederasi dimana pemain klub terdaftar; dalam hal pertandingan dilakukan pada hari jum at dan selasa yang terdaftar dalam calendar pertandingan internasional yang dikoordinasikan, periode pembebasan harus dalam setiap kasus 5 hari sebelum permulaan rentang waktu yang ditetapkan dalam kalender termasuk hari jum’at yang bersangkutan.
3. Pertandingan-pertandingan kualifikasi untuk suatu turnamen internasional yang dilangsungkan pada suatu tanggal yang ditentukan untuk pertandingan persahabatan adalah 48 jam.
4. Pertandingan persahabatan yang dilangsungkan pada tanggal yang ditentukan untuk pertandingan kualifikasi untuk turnamen internasional; 48 hari;
5. Putaran final dari suatu turnamen internasional, 14 hari sebelum pertandingan pertama dalam turnamen itu. Para pemain harus bergabung dengan tim nasional tidak kurang dari 48 jam sebelum pertandingan dimulai.
5. Para pemain tim nasional yang secara otomatis masuk kualifikasi untuk putaran final piala dunia atau kejuaraan benua untuk tim nasional utama harus dibebaskan untuk pertandingan-pertandingan persahabatan pada tanggal tanggal yang disediakan untuk pertandingan kualifikasi resmi sesuai dengan keputusan yang akan berlaku untuk pertandingan resmi yang dilangsungkan pada tanggal itu.
6. Klub dan Assosiasi yang bersangkutan dapat menyetujui suatu periode yang lebih lama untuk pembebasan pemain.
7. Para pemain yang dipanggil untuk tim nasionalnya sesuai dengan ketentuan dalam pasal ini harus melanjutkan kewajibannya dengan klub tidak kurang dari 24 jam sesudah berakhirnya pertandingan untuk mana mereka dipanggil. Jangka waktu ini harus diperpanjang sampai 48 jam jika pertandingan yang bersangkutan berlangsung dalam konfederasi yang berbeda dengan klub pemain terdaftar. Klub harus diberitahu secara tertulis mengenai jadwal keluar dan kembalinya pemain sepuluh hari sebelum pertandingan. Assosiasi harus memastikan bahwa para pemain dapat kembali ke klub tepat waktu sesudah pertandingan. Jika pemain tidak dapat memenuhi kewajibannya secara tepat waktu pada klub sesuai dengan ketentuan FIFA ini, pada waktu lain pemain yang bersangkutan dipanggil untuk memperkuat tim nasional, jangka waktu pembebasan dapat diperpendek menjadi sebagai berikut:
a. Pertandingan persahabatan, 24 jam;
b. Pertandingan kualifikasi, 3 hari;
c. Putaran final turnamen internasional, 10 hari.
Jika assosiasi secara berulangkali melanggar ketentuan ini, Komite Status Pemain FIFA dapat mengenakan sanksi yang layak, termasuk tetapi tidak terbatas pada
a) denda;
b) pengurangan jangka waktu pembebasan;
c) larangan untuk memanggil pemain untuk pertandingan yang berikutnya.

Sabtu, 29 Januari 2011

Langkah Kontradiktif: Pra Peradilan dan Penangguhan Penahanan

Menarik juga melihat kasus yang tengah berjalan di KPK ini. Salah satunya adalah kasus yang dilaporkan Kompas .

Terlepas dari soal dugaan politisasi, catatan ini melihat soal logika dari proses yang diajukan kuasa tersangka dalam kasus ini. Ini menyangkut dua langkah hukum, yaitu pra peradilan dan permohonan penangguhan penahanan. Kuasa hukum akan mengajukan Pra Peradilan dengan alasan " KPK dinilainya tidak memiliki dasar yang kuat untuk menahan para tersangka. ”KPK menyatakan karena ada perintah dari pimpinan dan menyatakan untuk mempercepat proses di persidangan. Ini tidak logis. Klien kami kooperatif , tidak ada indikasi akan melarikan diri dan tidak mempersulit pemeriksaan”. Yang menjadi soal disini adalah sah tidaknya penahanan. Soal sah tidaknya penahanan, yang menjadi batu ujinya menurut KUHAP adalah pada prosedurnya, dan bukan pada alasan yang menjadi dasar penahanan.


Terlepas dari soal apakah pengadilan akan mengabulkan atau tidak, yang penting untuk keperluan catatan ini adalah bahwa yang dipersoalkan dalam pra peradilan adalah sah tidaknya penahanan. Menurut kuasa, penahanan tidak sah.



Proses yang lain yang mau diajukan adalah penangguhan penahanan.

" Selain mengajukan praperadilan, tim kuasa hukum enam tersangka tersebut juga akan mengajukan penangguhan penahanan. Sejak malam tadi keenam tersangka itu resmi ditahan KPK di sejumlah rumah tahanan yang berbeda, yaitu Rutan Salemba, LP Cipinang, dan Rutan Pondok Bambu."


Penangguhan penahanan dimintakan oleh tersangka atau kuasanya. Kalau diajukan penangguhan, itu berarti yang mengajukan beranggapan bahwa penahanan sah adanya.

Lalu disini menjadi menarik bahwa disatu sisi kuasa mempersoalkan kesahan dari penahanan, maka mengajukan pra - peradilan, dan pada saat yang bersamaan mengakui kesahan penahanan, dengan mengajukan penangguhan penahanan. Ini suatu kontradiksi yang menjurus pada kesesatan. Kalau mengajukan pra-peradilan tentu tidak pada tempatnya mengajukan penangguhan penahanan. Kalau pengadilan sudah memutus bahwa penahanan sah, tentu boleh mengajukan penangguhan penahanan. Kalau mengajukan pra-peradilan, tersangka harus menunggu sampai adanya putusan pengadilan tersebut. Kalau penangguhan yang terlebih dahulu diajukan, maka pra-peradilan tidak lagi dapat diajukan.


Namun dalam praktek, tampak hal ini suatu yang lumrah terjadi.

Minggu, 23 Januari 2011

Instruksi Presiden

Presiden mengeluarkan instruksi mengenai kasus Bank Century dan kasus Gayus. Kedua instruksi ini dikeluarkan pada saat kondisi hukum Indonesia sangat mengenaskan. Dua instruksi untuk dua kasus yang berbeda tetapi yang mempunyai dampak hukum.

Kedua instruksi ini sesungguhnya telah menunjukkan keseriusan pemerintah untuk penanganan yang cepat atas kedua kasus yang menarik perhatian masyarakat luas tersebut. Untuk kasus Bank Century, kita lihat bahwa Presiden telah dengan sungguh-sungguh memperhatikan rekomendasi dari Panitia Angket, yang, meskipun kredibilitas dan legalitasnya diragukan itu. Presiden melihat kenyataan di masyarakat bahwa rekomendasi Panitia Angket perlu mendapatkan tindak lanjut dan Presiden meminta penuntasannya.

Hanya saja menjadi pertanyaan adalah instruksi ke enam, apa hubungan antara kasus Bank Century dengan depoonering Bibit-Chandra? Presiden mendukung rencana kejaksaan untuk depoonering tersebut. Meskipun mencederai hukum, toh kita patut menyambut baik instruksi presiden dalam hal ini, menyangkut berlarut-larutnya kasus Bibit-Chandra yang sedikit aneh itu.

Demikian juga dengan kasus Gayus, apa yang diinstruksikan Presiden sungguh melegakan. Ini dapat berarti bahwa hukum akan tegak dan ke-149 perusahaan yang diduga terlibat akan mendapatkan titik terang. Betapa pajak selama ini seharusnya menjadi sumber utama biaya pembangunan menjadi tidak jelas tergerus permainan mafia-mafia-an. Mudah-mudahan langkah ini dapat dimaksimalkan agar penegakan hukum semakin mantap. Kasus Gayus bagaimanapun juga sudah membuka mata dan pikiran kita semua betapa selama ini sumber pembiayaan pembangunan raib ditelan kolusi antara pengusaha dan birokrat dan penegak hukum.

Hanya saja perlu mendapat catatan mengenai butir Kelima, yang berbunyi:

"guna meningkatkan efektivitas penegakan hukum, Presiden berpendapat, pembuktian terbalik dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku di negara kita."

Apakah peraturan perundang-undangan kita sudah menganut asas pembuktian terbalik ini? Itikad baik Presiden untuk penuntasan kasus Gayus ini mungkin akan terbentur dengan issu penerapan pembuktian terbalik ini. Peraturan perundang-undangan belum sepenuhnya menganutnya. Tentu, dengan tidak mengurangi rasa hormat kita, instruksi Presiden tidak dapat begitu saja melampaui undang-undang. Jika memang pembuktian terbalik belum diterima, Presiden tidak dapat begitu saja memberlakukakannya untuk kasus ini.

Mudah-mudahan dengan instruksi Presiden ini, penanganan kasus-kasus besar tersebut dapat berjalan sesuai yang diharapkan dan kasus-kasus lain, yang boleh jadi lebih besar, segera dapat dituntaskan juga.

Sabtu, 15 Januari 2011

Soal Pembatalan Pasal 184 Ayat (4) UU 27 tahun 2009



Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 23-26/PUU-VIII/2010, yang diputuskan pada tanggal 6 Januari 2011 dan dibacakan tanggal 12 Januari 2011, sungguh menarik untuk disimak. Berbagai pihak memandang Putusan MK ini sebagai jalan masuk untuk melakukuan pemakzulan Presiden dan Wakil Presiden. Sebagaimana diberitakan, Para Anggota Dewan dari fraksi-fraksi tertentu sudah menandatangani usulan untuk mengajukan hak menyatakan pendapat mengenai kasus Bank century. Namun demikian, jika dibaca dengan baik dan dipahami dalam konteks hukum tata Negara, Putusan MK hanya suatu jalan untuk melakukan perubahan undang-undang.  Amar Putusan MK berbunyi:

5. AMAR PUTUSAN,
Mengadili,
Menyatakan:
�� Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
�� Pasal 184 ayat (4) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
�� Pasal 184 ayat (4) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
�� Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;

Amar putusan MK tersebut, sesuai dengan kewenangan MK, tidak berbicara apa-apa mengenai kuorum pasca putusan, karena hal itu memang bukan kewenangan MK. Dengan adanya Putusan MK tersebut, terdapat kekosongan hukum mengenai kuorum pengambilan keputusan mengenai hak DPR untuk menyatakan pendapat. MK tidak menentukan, dalam amar putusannya, bagaimana kuorum untuk pengambilan keputusan mengenai hal menyatakkan pendapat di DPR.  Namun dalam pertimbangannya dalam Para 3.18, MK menyatakan:

Menimbang bahwa dengan tidak berlakunya ketentuan Pasal 184 ayat (4) UU 27/2009 berdasarkan putusan Mahkamah ini, ketentuan persyaratan pengambilan keputusan mengenai “usul” penggunaan hak menyatakan pendapat berlaku ketentuan mayoritas sederhana”.

Mengingat MK menyatakan hal itu dalam pertimbangan sebelum sampai putusan, artinya bukan amar putusan MK, maka hal itu bukanlah suatu hal yang mengikat. MK bukanlah suatu badan pencipta aturan yang dapat menentukan apa yang harus dijalankan oleh DPR dalam menyikapi Putusan MK berjenaan dngan pembatalan Pasal 184 ayat (4) itu. Bahwa MK berwenang membatalkan ketentuan Pasal 184 ayat (4) tidak berarti MK juga berwenang menentukan apa yang menjadi ketentuan pengganti untuk kuorum dalam hal hak menyatakan pendapat. MK memang berusaha menutupi ‘cacat wewenang’ dalam dirinya, yang hanya mempunyai wewenang untuk menyatakan suatu UU atau ketentuan dalam UU bertentangan dengan UUD 1945 dan menyatakan suatu UU atau ketentuan dalam UU tidak mempunyai kekuatan hukum, dengan menyembunyikan dalam pertimbangan hukumnya apa yang dikehendakinya menjadi norma yang menurut MK sebagai pengganti dari norma yang dibatalkan dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum. Ini  hanya sekedar ‘kenakalan’ MK untuk mensiasati ketidakberwenangannya untuk menentukan norma yang seharusnya ada dan yang sepenuhnya merupakan wewenang pembuat undang-undang. Pembuat UU-lah yang harus bekerja kembali untuk mengatur hal-hal yang sudah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum oleh MK.

Pembatalan Pasal 184 ayat (4) berarti tidak ada lagi ayat (4) dalam Pasal 184 UU No. 27 tahun 2009. Pertimbangan MK yang menyebutkan “ketentuan persyaratan pengambilan keputusan mengenai “usul” penggunaan hak menyatakan pendapat berlaku ketentuan mayoritas sederhana tidak serta merupakan pengganti ketentuan Pasal 184 ayat (4). Pertimbangan MK tersebut bukan suatu norma yang harus ditaati (bukan suatu imperativa) tetapi suatu ‘statement’ yang dapat dipertimbangkan oleh Pembuat UU untuk mengganti ketentuan lama.  

Lalu apa yang perlu dilakukan? Pemberitaan di Media Massa sudah menyebutkan adanya usulan mengenai hak menyatakan pendapat ini pasca Putusan MK tersebut.  Ini tentu sangat berlebihan. DPR seharusnya mengadakan hak inisiatif untuk mengajukan RUU perubahan atas Pasal 184 ayat (4) yang dibatalkan oleh MK tersebut. Perubahan dalam hal ini berarti mengisi kekosongan hukum mengenai kuorum pengambilan keputusan menyangkut hak menyatakan pendapat. Tentu DPR dapat mengambil pertimbangan MK mengenai mayoritas sederhana sebagai bahan untuk penyusunan RUU inisiatif tersebut. Tentu menjadi pertanyaan juga bagi para Anggota DPR mengenai apa yang dimaksud dengan “mayoritas sederhana”. Apakah yang dimaksudkan 50 + 1 atau 2/3 hal ini bergantung pada pembuat undang-undang. UU No. 27 tahun 2009 tidak mendefenisikan “mayoritas sederhana” dan dengan demikian akan menjadi perdebatan tersendiri apa yang dimaksudkan dengan “mayoritas sederhana itu” DPR perlu menyikapi hal ini dan menuangkannya dalam RUU inisiatif.

Para Anggota Dewan yang sungguh bernafsu itu perlu menahan diri untuk tidak mempertontonkan ke-lebay-annya, dalam menyikapi Putusan MK tersebut. Sekali lagi, MK tidak berwenang mengatur apa yang menjadi pengganti dari Pasal 184 Ayat (4) yang dinyatakannya tidak mempunyai kekuatan hukum. Jika Para Anggota Dewan tertentu mengajukan usul hak menyatakan pendapat, aturan mana yang akan dituruti dalam pengambilan keputusan. Putusan MK, yang membatalkan Pasal 184 Ayat (4), justru menutup kemungkinan untuk menggunakan hak menyatakan pendapat sampai adanya aturan baru yang dibuat oleh pembuat UU menyangkut kuorum pengambilan keputusan mengenai hak menyatakan pendapat tersebut.

Pansus Bank Century yang sia-sia itu perlu menjadi pelajaran agar Para Anggota Dewan, yang tidak memahami aturan itu, agar tidak menghambur-hamburkan energy dan uang rakyat untuk kepentingan publikasi dirinya masing-masing dalam bentuk sinetron politik yang konyol itu.