Senin, 30 November 2009

Demi Hukum dan Keadilan

Menarik juga perkembangan terakhir mengenai gonjang-ganjing kasus Bibit-Chandra. JAMPIDSUS Marwan Efendi memastikan bahwa kejaksaan negeri Jakarta Selatan akan mengeluarkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP) untuk kasus Bibit-Chandra. Menurut Jampidsus, sebagaimana dikutip DetikNews (30/11/09), sebenarnya hasil penyidikan kasus Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah menunjukkan terpenuhinya unsur penyalahgunaan wewenang yang disangkakan. Namun ada karena dua hal, yaitu secara yuridis Bibit -Chandra dinilai tidak tahu dampak perbuatannya dan secara sosiologis untuk memenuhi rasa keadilan di masyarakat, proses hukum dihentikan.


Setelah keluar SKPP dan terbit Kepres pengaktifan,Bibit-Chandra akan kembali ke KPK.

Belum jelas apa kelanjutan dari kasus ini. Polri belum menunjukkan sikap apakah akan mengajukan proses pra-peradilan atas penerbitan SKPP terebut. Namun saya tadi mendengar dalam Program Suara Anda di Metrotv bahwa Rekan Advokat Eggy Sudjana akan mengajukan gugatan Pra Peradilan jika kejaksaan mengeluarkan SKPP dalam kasus Bibit-Chandra.

Patut dicatat alasan yuridis dan sosiologis SKPP ini sangat mungkin digunakan untuk kasus lain. Para Pejabat yang cukup bukti menyalahgunakan kekuasaan dapat berdalih bahwa mereka tidak mengetahui dampak perbuatannya, meskipun mungkin secara sosiologis tidak dapat dibenarkan. Demikian juga kasus-kasus lain yang secara sosiologis sesuai dengan rasa keadilan di masyarakat, dapat dikeluarkan SKPP.

Jika benar kabar burung yang beredar di masyarakat bahwa Sri Mulyani dan Boediono telah menyalahgunakan kekuasaan dalam kasus bail-out Bank Century, keduanya dapat berkilah bahwa mereka tidak mengetahui dampak perbuatannya.Jika dalam kasus Bibit-Chandra alasan sosiologis mengemuka, maka sangat mungkin dalam kasus Bank Century alasan politis yang mengemuka. Dan meskipun mungkin kelak unsur-unsur pidana cukup untuk mengajukan Sri Mulyani dan Boediono ke pengadilan, dengan alasan yuridis dan politis perkaranya dapat dihentikan.

Minggu, 29 November 2009

Pengakuan Dosa secara Online

Masa Adven sudah tiba. Dalam masa-masa ini biasanya umat katolik mengakukan dosa agar dapat menyambut kelahiran Jesus Kritus dengan hati bersih dan sudah diampuni. Sebagaimana dinyatakan dalam Katekismus Katolik:

Dosa adalah terutama penghinaan terhadap Allah dan pemutusan persekutuan dengan Dia. Serentak pula ia merugikan persekutuan dengan Gereja. Karena itu, pertobatan mendatangkan secara serentak pengampunan Allah dan perdamaian dengan Gereja.

Biasanya umat antri untuk mengaku dosa di gereja. Mengingat banyaknya umat yang mau mengaku dosa, maka terkadang ada keengganan untuk berantri-ria menanti giliran untuk mengaku dosa. Terkadang ada juga perasaan risih untuk pergi mengaku dosa. Apalagi kalau antri dan duduk berdampingan dengan umat lain yang juga ingin mengaku dosa. Terkadang terasa seperti pesakitan yang hendak diadili di hadapan hakim. Dalam banyak hal umat juga tidak sempat untuk pergi ke gereja untuk mengaku dosa kepada Pastor. Hal ini membuat kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pengampunan dari Tuhan.

Kemajuan teknologi informasi tampaknya dapat mengatasi hal-hal semacam itu.

Internet tidak hanya digunakan kaum awam. Para rahib juga memanfaatkan internet dalam kehidupan sehari-harinya, tidak hanya dalam pekerjaannya tetapi juga dalam berinteraksi dengan masyarakat pada umumnya, dan para jemaat pada khususnya. Kita sebut saja mereka sebagai pastor gaul atau pastor online. Demikianlah kita tidak jarang melihat para pastor muncul di mailing list maupun dalam jejaring social seperti facebook dan lain-lain. Tidak jarang pula Pastor menggunakan status teman-teman di facebook sebagai material kotbahnya.

Fasilitas yang disediakan oleh para penyedia jasa komunikasi dengan pemanfaatan internet, mulai dari sarana e-mail, list-serve, chatting, dan yang sudah makin sempurna dengan adanya cam 2 cam. Hal ini dimanfaatkan oleh para Pastor untuk menjalin interaksi yang lebih intens dengan para jemaat.

Bapa Suci (Alm) Johannes Paulus II dalam pesannya berjudul "Internet: A New Forum for Proclaiming the Gospel" pada Hari Komunikasi Dunia tahun 2002, menyatakan antara lain:

For the Church the new world of cyberspace is a summons to the great adventure of using its potential to proclaim the Gospel message. This challenge is at the heart of what it means at the beginning of the millennium to follow the Lord's command to "put out into the deep”: Duc in altum! (Lk 5:4).

Menjadi pertanyaan, dapatkah para pastor ini memanfaatkan sarana-sarana yang disediakan oleh teknologi informasi untuk menjalankan pekerjaan rohaninya, yaitu melangsungkan perayaan sacramental bersama dengan jemaat. Dari sudut jemaat, dapatkah menggunakan sarana teknologi informasi ini untuk mendapatkan pengampunan dari Allah dan perdamaian dengan gereja? Pertanyaan ini juga membawa kita untuk mengisi konsep pertemanan yang dikedepankan oleh situs jejaring social, seperti facebook. Dalam hal ini menarik untuk mengutip apa yang dikatakan oleh Bapa Suci Benediktus XVI dalam pesan pada Hari Komunikasi Dunia 2009 berjudul, "New Technologies, New Relationships. Promoting a Culture of Respect, Dialogue and Friendship."
Friendship is a great human good, but it would be emptied of its ultimate value if it were to be understood as an end in itself. Friends should support and encourage each other in developing their gifts and talents and in putting them at the service of the human community. In this context, it is gratifying to note the emergence of new digital networks that seek to promote human solidarity, peace and justice, human rights and respect for human life and the good of creation.

Diantara sakramen-sakramen yang ada, hanya sakramen pengakuan dosa yang tampaknya mungkin dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi. Sakramen-sakramen yang lain, seperti ekaristi, perkawinan dan penguatan memerlukan interaksi fisik yang nyata.

Seorang Pastor ketika sedang online tentu dapat juga memberikan pelayanan sacramental dalam hal teman, seperti di facebook, memohonkan untuk mengaku dosa. Fasilitas chat seperti Yahoo Messenger, MSN, facebook tentu akan sangat membantu jemaat untuk pengakuan dosa.

Dalam Katekismus Katolik dinyatakan:

1448. Kendati susunan dan upacara Sakramen ini mengalami berbagai perubahan dalam peredaran sejarah, namun ada kerangka dasar yang sama. Ia mencakup dua unsur yang sama-sama hakiki: di satu pihak kegiatan manusia yang bertobat di bawah kuasa Roh Kudus, yaitu penyesalan, pengakuan, dan penitensi; di lain pihak kegiatan Allah oleh pelayanan Gereja. Di samping itu Gereja, yang memberi pengampunan dosa oleh Uskup dan imam-imamnya atas nama Yesus Kristus dan yang menentukan jenis dan cara penitensi, berdoa untuk pendosa dan menjalankan penitensi bersama dengannya. Dengan demikian pendosa disembuhkan dan diterima kembali ke dalam persekutuan Gereja.

Hal ini berarti bahwa tidak tertutup kemungkinan untuk menggunakan sarana-sarana komunikasi yang ada untuk pelaksanaan upacara Sakramen Pengakuan Dosa ini, dalam hal ini sarana online.

Sangat mungkin menjadi persoalan mengingat dalam Katekismus dinyatakan:

1450. Pertobatan mendorong pendosa untuk menerima segala sesuatu dengan rela hati: di dalam hatinya ada penyesalan, di mulutnya ada pengakuan, dalam tindakannya ada kerendahan hati yang mendalam atau penitensi yang menghasilkan buah" (Catech. R. 2,5,21)

Kata-kata “dimulutnya ada pengakuan” (dalam bahasa Inggris “confess with lips”) tentu membuat semata-mata chatting tidak memungkinkan. Tentu pastor harus memastikan bahwa orang yang mengaku dosa mengucakan pengakuannya dengan bibirnya. Sarana chatting dengan menggunakan cam tentu akan sangat membantu.

Penutup

Saya melihat tidak ada salahnya untuk menggunakan sarana teknologi informasi ini untuk melakukan upacara pengakuan dosa. Tentu ada persoalan lain yang mungkin menganga seperti soal keamanan dan kerahasiaan dari pengakuan dosa dengan sarana teknologi informasi. UU No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik telah mengatur masalah ini. Tinggal pelaksanaan dan keinginan untuk menggunakannya.

Rabu, 25 November 2009

UJI Materiil MK atas UU KPK

Antasari yang tidak takut kehilangan jabatan dan merasa dirinya tidak bersalah tidak mempersoalkan keberadaan dari Pasal 32 ayat (1) huruf c UU No. 30 tahun 2002 dan juga tidak memanipulasi massa untuk mempertahankan jabatannya.. Tentu kita dapat berharap manipulasi terhadap massa karena ketakutan kehilangan jabatan ini tidak akan terulang di masa yang akan datang.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Saya tadi membaca sekilas PUTUSAN NOMOR 133/PUU-VII/2009 mengenai pengujian Pasal 32 ayat (1) huruf C UU No.30 tahun 2002 yang hari ini dibacakan oleh Mahkamah Konstitusi. Putusan tersebut cukup menarik. Amar Putusan:

· Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
· Menyatakan Pasal 32 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250) adalah bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional), kecuali harus dimaknai “pimpinan KPK berhenti atau diberhentikan secara tetap setelah dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;”
· Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;
· Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.


Pada point kedua tersebut MK melakukan amandemen terhadap UU. MK berpendirian Pasal 32 ayat (1) huruf c UU No. 30 tahun 2002 bertentangan dengan UUD. Namun untuk mencegah kekosongan hukum MK memberikan pemaknaan sendiri. Ini berarti MK melakukan perubahan terhadap UU. Pertimbangan MK mengenai hal ini:

[3.21] Menimbang bahwa meskipun dalil-dalil para Pemohon beralasan hukum namun keberadaan Pasal a quo tidak dapat secara serta-merta dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena hal demikian dapat menimbulkan kekosongan hukum. Oleh karena itu, menurut Mahkamah Pasal 32 ayat (1) huruf c UU 30/2002 yang berbunyi, “Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi berhenti atau diberhentikan karena: … c. menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan;” harus dinyatakan inkonstitusional kecuali dimaknai “pimpinan KPK berhenti
atau diberhentikan secara tetap setelah dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.


UU MK dan UU Susduk No. 27 tahun 2009 memang tidak mengatur mengenai konsekwensi dari pembatalan suatu UU. Demikianlah, MK memberikan jalan keluar, yaitu dengan membuat putusan konstitusional bersyarat untuk mencegah kekosongan hukum, yang memberikan kewenangan untuk mengamandemen suatu undang-undang. Saya pikir pembuat UU perlu mempertimbangkan dengan baik untuk mebuat aturan menyangkut konsekwensi-konsekwensi dari pembatalan hukum, yaitu apa yang harus dilakukan untuk mengisi kekosongan jika sekiranya MK membatalkan suatu ayat, pasal, atau apapun dalam suatu UU. Berapa lama sesudah putusan MK peraturan pengganti ditetapkan. Berhubung MK bukanlah lebaga pembuat UU maka ketentuan yang ditetapkan oleh MK untuk mengisi kekosongan hukum bukanlah sesuatu yang final.

Tentu akan menjadi persoalan kelak, jika sekiranya Antasari kelak tidak terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan padanya, apakah Antasari dapat kembali ke KPK. Memang Putusan MK berlaku prospektif, sementara Antasari sudah diberhentikan sesudah dinyatakan terdakwa. Jadi Antasari tidak dapat menikmati buah dari putusan MK ini.

Hal lain yang menjadi perhatian juga bahwa dari putusan ini dapat ditarik bahwa ketakutan untuk diberhentikan dari jabatan pimpinan KPK merupakan pemicu gonjang-ganjing kasus rekayasa yang diberitakan secara luas dan menyedot perhatian massa. Presiden, Kejaksaan, dan Polri harus tunduk pada rasa takut kehilangan jabatan ini yang mendapatkan manifestasinya dalam amarah massa . Kasus yang menurut Polri dan Kejaksaan dapat diajukan ke pengadilanpun harus menguap. Tentu ini merupakan diskriminasi juga. Jika sekiranya suatu perkara harus dihentikan karena kepercayaan kepada kejaksaan dan Polri tidak ada, lalu bagaimana dengan kasus-kasus yang lainnya yang juga disidik dan dituntut oleh lembaga yang tidak dipercaya tersebut.

Antasari yang tidak takut kehilangan jabatan dan merasa dirinya tidak bersalah tidak mempersoalkan keberadaan dari Pasal 32 ayat (1) huruf c UU No. 30 tahun 2002 dan juga tidak memanipulasi massa untuk mempertahankan jabatannya. Tentu ketika hendak memangku jabatan orang harus melihat aturan yang akan berlaku padanya. Orang sudah harus siap dengan konsekwensi-konsekwensi yang mungkin timbul dalam perjalanan menjalankan jabatan.

Tentu kita dapat berharap manipulasi terhadap massa karena ketakutan kehilangan jabatan dan untuk menutupi rasa bersalah ini tidak akan terulang di masa yang akan datang.

Selasa, 24 November 2009

Kasus Bank Century dan Kasus Bibit-Chandra: Langkah Selanjutnya

Mengenai kasus Bank Century, Presiden hendak mengatakan biarlah Menteri Keuangan menjelaskan dan mengklarifikasi setelah mempelajari hasil investigasi BPK. Jika DPR tetap menggunakan hak angketnya maka pada saat yang bersamaan Presiden akan melakukan dua langkah yang tegas. Menyangkut kasus Bibit-Chandra Presiden menawarkan dua solusi dan opsi, yaitu proses ke pengadilan jalan terus atau tidak membawa kasusnya ke pengadilan. Opsi kedua perlu dijalankan apabila jalan pertama lebih banyak mudaratnya. Yang manapun yang hendak dipilih, Presiden mengembalikannya kepada Polri dan Kejaksaan. Jadi Presiden sama sekali tidak mengindahkan rekomendasi Tim 8.


========================================================================



Presiden RI Susilo Bamabng Yudhoyono pada akhirnya memberikan pernyataan sikap dan penjelasannya atas dua kasus besar yang menyedot perhatian selama ini, yaitu kasus Bank Century dan Kasus Bibit-Chandra melalui sebuah pidato tanpa teks yang cerdas pada tanggal 23 Noveber 2009.  Pada awal pidatonya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan bahwa beliau "menyampaikan penjelasan kepada seluruh rakyat Indonesia menyangkut dua isu penting yang berkaitan dengan penegakan hukum dan keadilan di negeri kita". (Transkrip Pidato Presiden ini disediakan oleh Kompas  (disini dan disini ) Lebih jauh dikatakan oleh Presiden “Oleh karena itu, selaku Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, malam ini saya pandang perlu untuk menjelaskan duduk persoalan serta sikap pandangan dan solusi yang perlu ditempuh terhadap kedua permasalahan tersebut.” Dari kutipan-kutipan tersebut jelas bahwa apa yang dinyatakan oleh beliau bukanlah suatu yang bersifat tegas terhadap kedua kasus itu. Solusi-solusi yang ditawarkan oleh beliau adalah "solusi yang perlu ditempuh" dan bukan solusi yang harus ditempuh.

Menarik untuk dicermati bahwa penjelasan Presiden ini tidak banyak berbicara mengenai rekomendasi Tim 8. Dan sebagaimana saya akan tunjukkan di bawah, rekomendasi Tim 8 sama sekali tidak dianggap oleh Presiden.

Kasus Bank Century


Menyangkut Kasus Bank Century beliau menyatakan:

"Dengan telah saya terimanya hasil pemeriksaan investigasi BPK atas kasus Bank Century sore tadi, pemerintah akan segera mempelajarinya dan pada saatnya nanti saya akan meminta Saudari Menteri Keuangan dengan jajarannya bersama-sama dengan pihak Bank Indonesia untuk memberikan penjelasan dan klarifikasinya. Saya sungguh ingin keterbukaan dan akuntabilitas dapat kita tegakkan bersama. Saya juga ingin semua desas-desus, kebohongan, dan fitnah dapat disingkirkan dengan cara menghadirkan fakta dan kebenaran yang sesungguhnya.


Terhadap pemikiran dan usulan sejumlah anggota DPR RI untuk menggunakan hak angket terhadap Bank Century, saya menyambut dengan baik agar perkara ini mendapatkan kejelasan serta sekaligus untuk mengetahui apakah ada tindakan-tindakan yang keliru dan tidak tepat. Bersamaan dengan penggunaan hak angket oleh DPR RI tersebut, saya juga akan melakukan sejumlah langkah tindakan internal pemerintah, berangkat dari hasil dan temuan pemeriksaan investigasi BPK tersebut.


Dan, yang tidak kalah pentingnya adalah percepatan proses hukum bagi para pengelola Bank Century dan segera dapat dikembalikannya dana penyertaan modal yang berjumlah Rp 6,7 triliun itu kepada negara. Saya telah menginstruksikan Jaksa Agung dan Kapolri untuk melaksanakan tugas penting ini."

Pernyataan Presiden mengenai kasus Bank Century ini dapat dibaca sebagai menyatakan bahwa kalau DPR mau menggunakan hak angketnya terserah saja, Presiden tidak mendukung tetapi juga tidak menentang penggunaan hak angket oleh DPR. Bersamaan dengan berjalannya angket, Presiden akan mengambil dua langkah, yaitu langkah  internal dan langkah percepatan proses hukum bagi para pengelola Bank Century dan pengembalian dana penyertaan modal yang berjumlah Rp 6,7 Trilyun kepada Negara. Namun perlu dicatat bahwa kedua langkah ini akan diambil jika DPR mengguunakan hak angketnya. Kalau DPR tidak menggunakan hak angketnya, maka kedua langkah Presiden tidak akan berjalan.  Jadi langkah yang akan diambil Presiden ini hendak engibangi angket yang dilaksanakan DPR. Sebelum DPR menggunakan hak angketnya, pemerintah akan mempelajari hasil investigasi BPK dan menugaskan Menteri Keuangan untuk menjelaskan dan mengklarifikasi.


Kasus Bibit-Chandra

Menyangkut kasus Bibit-Chandra belia menyatakan:

Dalam kaitan ini, saudara-saudara, sesungguhnya jika kita ingin mengakhiri silang pendapat mengenai apakah Saudara Chandra Hamzah dan Saudara Bibit Samad Rianto salah atau tidak salah, maka forum atau majelis yang tepat adalah pengadilan.



Semula saya memiliki pendirian seperti itu dengan catatan proses penyelidikan dan penuntutan mendapat kepercayaan publik yang kuat. Dan tentu saja, proses penyidikan dan penuntutan itu fair, objektif, disertai bukti-bukti yang kuat.

Pernyataan Presiden tersebut menunjukkan keinginan yang kuat dari Presiden agar persoalan hukum diselesaikan sesuai proses hukum. Beliau lebih percaya pada penyelesaian pada proses hukum dan beliau ingin menjunjung tinggi proses hukum. Namun kenyataan proses hukum dan keadaan masyarakat telah memaksa beliau untuk menyampaikan solusi lain. Lebih jauh beliau menyatakan:

"Dalam perkembangannya, justru yang muncul adalah ketidakpercayaan yang besar kepada pihak Polri dan Kejaksaan Agung sehingga telah masuk ke ranah sosial dan bahkan ranah kehidupan masyarakat yang lebih besar. Oleh karena itu, faktor yang saya pertimbangkan bukan hanya proses penegakan hukum itu sendiri, tapi juga faktor-faktor lain seperti pendapat umum, keutuhan masyarakat kita, asas manfaat, serta kemungkinan berbedanya secara hakiki antara hukum dengan keadilan."

Presiden telah dipaksa untuk menawarkan solusi dan opsi alternatif karena adanya faktor-faktor non hukum yang lebih menonjol. Ini tentu mengenaskan. Presiden mengakui bahwa disamping faktor non hukum yang dipertimbangkannya ada permasalahan pada ketiga lembaga penegak hukum, polri, kejaksaan, dan KPK yang "tentu tidak boleh kita biarkan dan harus kita koreksi, kita tertibkan, dan kita perbaiki."

Solusi dan opsi yang diajukan Presiden dalam hal Kasus Bibit-handra tidak dibawa ke pengadilan? Presiden menyatakan:
"Oleh karena itu, solusi dan opsi lain yang lebih baik yang dapat ditempuh adalah pihak kepolisian dan kejaksaan tidak membawa kasus ini ke pengadilan dengan tetap mempertimbangkan asas keadilan, namun perlu segera dilakukan tindakan-tindakan korektif dan perbaikan terhadap ketiga lembaga penting itu, yaitu Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK."

Presiden tidak menyatakan menghentikan proses hukum terhadap kasus ini, tetapi agar tidak membawa kasusnya ke pengadilan dengan tetap mempertimbangkan asas keadilan, sebagai salah satu alternatif. Jadi proses-proses untuk tidak membawa kasus ini ke pengadilan dapat terus dijalankan. Hal ini sudah pula ditegaskan oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Marwan Efendi, sebagaimana dikutip oleh Kompas . Hal ini menunjukkan bahwa penyidikan yang dilakukan oleh Polri sudah selesai dan unsur-unsur pidananya memenuhi. Kejaksaan juga melihat bahwa perbuatannya sudah cukup bukti tetapi masih harus melihat pertanggungjawaban pidananya.

Ini berarti bahwa menurut Presiden ada dua opsi, yaitu proses peradilan dan tidak dibawa ke pengadilan. Presiden tidak menutup kemungkinan proses di pengadilan tetap berjalan. Ini dapat disimpulkan dari kata-kata beliau "...., solusi dan opsi lain yang lebih baik yang dapat ditempuh..." sebagaimana dikutip di atas. Kata "dapat" yang digunakan oleh beliau tidak menutup kemungkinan proses ke pengadilan jalan terus. Ini dapat kita tarik dari pidato Presiden dimana beliau menyatakan "Saya tidak boleh dan tidak akan memasuki wilayah ini karena penghentian penyidikan berada di wilayah lembaga penyidik atau Polri, penghentian tuntutan merupakan kewenangan lembaga penuntut atau kejaksaan, serta pengenyampingan perkara melalui pelaksanaan asas oportunitas merupakan kewenangan Jaksa Agung." Jadi Presiden mepersilahkan Polri dan Kejaksaan untuk memutuskan apakah akan menghentikan atau akan jalan terus ke pengadilan.

Menarik perhatian juga bahwa Presiden tidak hanya menyatakan perlu melakukan tindakan korektif dan perbaikan di Polri dan Kejaksaan, tetapi juga di KPK. Salah satu sangkaan dalam kasus Bibit-Chandra ini adalah adanya penyalahgunaan wewenang berupa penandatangan pembatalan Cekal yang hanya dilakukan dua orang dimana seharusnya diambil secara kolegial oleh komisioner KPK. Saya menduga bahwa Presiden sesungguhnya berpendirian bahwa memang ada penyalahgunaan tetapi beliau harus mengalah kepada faktor-faktor non hukum, sebagaimana disebutkan di atas dan mengembalikan persoalan kepada Polri dan Kejaksaan untuk memutuskan soal itu.  .

Pandangan Ke Depan

Banyak yang bingung mendengar Pidato Presiden. Presiden menggunakan bahasa yang seolah-olah tidak menyinggung persoalan tetapi sesungguhnya memang sikap Presiden cukup jelas, sebagaimana sudah saya uraikan di atas. Tinggal sekarang bagaimana memilih pilihan-pilihan yang tersedia. Mengenai kasus Bank Century, Presiden hendak mengatakan biarlah Menteri Keuangan menjelaskan dan mengklarifikasi setelah mempelajari hasil investigasi BPK. Jika DPR tetap menggunakan hak angketnya maka pada saat yang bersamaan Presiden akan melakukan dua langkah yang tegas. Menyangkut kasus Bibit-Chandra Presiden menawarkan dua solusi dan opsi, yaitu proses ke pengadilan jalan terus atau tidak membawa kasusnya ke pengadilan. Opsi kedua perlu dijalankan apabila jalan  pertama lebih banyak mudaratnya. Yang manapun yang hendak dipilih, Presiden mengembalikannya kepada Polri dan Kejaksaan. Jadi Presiden sama sekali tidak mengindahkan rekomendasi Tim 8.

Saya melihat sebaiknya jangan memaksa Presiden untuk mengambil langkah atas perangkap yang dibuat untuk mencelakakan. Presiden dengan caranya yang cerdas telah membalikkan persoalannya kembali ke masyarakat dan mempersilahkan penegak hukum untuk bekerja sebagaimana mestinya. Perangkap yang dibuat dapat dihindari dengan cara yang layak dan tidak terpikirkan oleh lawan-lawan politiknya.

Jumat, 13 November 2009

Hak Angket


DPR periode berjalan tidak dapat menggunakan hak angketnya atas pelaksanaan undang-undang dan/atau kebijakan oleh Pemerintah pada periode yang sudah berlalu. Fungsi Pengawasan DPR adalah mengawasi pemerintahan yang sedang berjalan, tidak pemerintahan yang sudah tidak ada.  Andaikanlah Pasangan Capres Ibu Mega dan Bapak Prabowo atau Bapak Jusuf Kalla dan Wiranto yang menang dalam Pilpres yang lalu, apakah Pemerintah di bawah Ibu Mega dan Bapak Prabowo atau Jusuf Kalla dan Wiranto diselidiki atas pelaksanaan kebijakan oleh Pemerintahan SBY-JKmenyangkut kasus Bank Century?


---------------------------------------------------------------------------------------------------------



Belakangan ini marak persoalan adanya kasus Bank Century. Kasus ini menyangkut pencairan dana sebesar Rp 6,7 Trilyun untuk menyelamatkan Bank Century. Kasus ini terjadi pada masa pemerintahan SBY-JK dan sudah final, artinya dananya sudah dikucurkan. Kebijakan pemerintahan SBY-JK untuk mengucurkan dana sebesar Rp 6,7 T tersebut kini dipersoalkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)  dan DPR berniat untuk menggunakan haknya, yang dijamin oleh UUD 1945, yaitu Hak Angket. Tulisan ini mencoba menjernihkan persoalan hukum yang membelit masalah tersebut, yaitu menyangkut boleh tidaknya digunakan hak angket untuk mengungkap kasus itu.

Dalam pemberitaan-pemberitaan di mass media sudah santer bahwa para anggota DPR sudah menandatangani pengajuan hak angket tersebut. Bahkan menurut rencana, usulan hak angket ini akan dibawakan dalam rapat Badan Musyawarah (BAMUS) DPR.

Pengertian Hak Angket


Hak Angket diatur dalam Pasal 20A ayat (2) UUD 1945:
(2) Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain UndangUndang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.


Ketentuan tersebut dielaborasi lebih lanjut dalam UU No. 27 tahun 2009 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 123; TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5043).


Pasal 77 ayat (3) UU No. 27 tahun 2009 menentukan bahwa hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Dari defenisi undang-undang tersebut hak angket adalah hak untuk melakukan penyelidikan. Penyelidikan sendiri tidak didefenisikan. Apakah penyelidikan dalam pengertian dari UU No. 27 tahun 2009 sama dengan pengertian penyelidikan dalam KUHAP? Tidak ada kejelasan. Pasal 179 dan Pasal 180 UU No. 27 tahun 2009 menentukan:

Pasal 179

Panitia angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 ayat (2), dalam melakukan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (3), selain meminta keterangan dari Pemerintah, dapat juga meminta keterangan dari saksi, pakar, organisasi profesi, dan/atau pihak terkait lainnya.

Pasal 180

(1) Dalam melaksanakan tugasnya, panitia angket dapat memanggil warga negara Indonesia dan/atau orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia untuk memberikan keterangan.

(2) Warga negara Indonesia dan/atau orang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi panggilan panitia angket.

Pelaksanaan angket, jika disetujui dilakukan oleh Panitia Angket. Yang dilakukan oleh Panitia Angket adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 dan Pasal 180 ayat (1) dan (2) tersebut.
Jadi yang dimaksud dengan penyelidikan adalah meminta keterangan dari pemerintah, saksi, pakar, organisasi profesi dan/atau pihak terkait lainnya. Untuk mendapatkan keterangan itu DPR panitia angket dapat memanggil Warga Negara Indonesia dan/atau orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.

Apa yang diselidiki? Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 77 ayat (3) UU No. 27 tahun 2009, yang diselidiki adalah pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Jadi yang diselidiki itu pelaksanaan, dan bukan kebijakan atau undang-undang. Disini terdapat perbedaan dengan hak interpelasi. Dalam hak interpelasi, yang dilakukan adalah meminta keterangan mengenai kebijakan. Dalam hak angket, menyelidiki pelaksanaan undang-undang dan atau kebijakan. Disini kita dapat melihat bahwa sesungguhnya, sebelum hak angket dilakukan, dapat dilakukan terlebih dahulu hak interpelasi untuk menilai kebijakan.

Menyangkut pelaksanaan undang-undang dan/atau kebijakan ini terdapat dua persyaratan. Pertama, pelaksanaan undang-undang dan/atau kebijakan itu “berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”. Kasus Bank Century tentu memenuhi persyaratan dalam hal ini. Kedua adalah pelaksanaan undang-undang dan/atau kebijakan harus ada dugaan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan. Jadi harus ada dugaan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dalam melaksanakan UU dan/atau kebijakan itu.

Persoalan yang sangat penting menjadi perhatian dari defenisi hak angket itu adalah siapa pemerintah atau pemerintah yang mana yang dimaksudkan. Penjelasan Pasal 77 ayat (3) hanya menyatakan "Pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah dapat berupa kebijakan yang dilaksanakan sendiri oleh Presiden, Wakil Presiden, menteri negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian." Pengertian hak angket tersebut tidak menyebutkan mengenai rentang waktu pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah. Tentu menjadi pertanyaan, untuk periode pemerintah mana saja DPR dapat menggunakan hak angketnya. Apakah pemerintah yang sedang berjalan atau terhadap semua pemerintah yang pernah ada? Pertanyaan ini tentu dapat dianggap tidak valid karena DPR adalah satu kesatuan. DPR yang dulu dan yang sekarang adalah sama, yang beda adalah para anggotanya yang berganti dari masa ke masa. Namun dari sudut lain, pertanyaan ini perlu menjadi perhatian. Apakah DPR periode sekarang dapat mengajukan hak angket untuk pelaksanaan UU dan/atau kebijakan yang dilakukan oleh pemerintahan Pak Harto atau Pak Habibie atau Gus Dura atau Ibu Mega? Sebagimana diketahui kasus Bank Century terjadi pada masa pemerintahan Presiden SBY-JK. Apakah pemerintahan SBY-Boediono harus diselidiki untuk pelaksanaan kebijakan pada masa Presiden SBY-JK.

Jika sekiranya Bapak Soesilo Bambang Yudhoyono dan Boediono tidak terpilih dalam Pemilihan Presiden yang lalu, maka DPR tidak akan menggunakan hak angketnya atas kasus Bank Century karena pelaksanaan undang-undang dan/atau kebijakan pengucuran dana itu terjadi pada masa Presiden 2004-2009. Andaikanlah Pasangan Capres Ibu Mega dan Bapak Prabowo atau Bapak Jusuf Kalla dan Wiranto yang menang dalam Pilpres yang lalu, apakah Pemerintah di bawah Ibu Mega dan Bapak Prabowo atau Jusuf Kalla dan Wiranto diselidiki atas pelaksanaan kebijakan oleh Pemerintahan SBY-JK? Ini tentu suatu hal yang tidak benar.

Fakta bahwa Presiden masih tetap orang yang sama, tidaklah menunjukkan bahwa pemerintahannya secara otomatis bertanggungjawab atas pelaksanaan yang dilakukan pada pemerintahan SBY-JK. Saat ini Bapak Boediono, yang diduga berperan besar dalam pengucuran dana itu, adalah wakil Presiden sedangikan pengucuran dana itu terjadi pada masa beliau menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia. Demikian juga fakta bahwa Menteri Keuangan Ibu Sri Mulyani masih tetap menjabat Menteri Keuangan, tidak menjadikannya sama dengan Menteri Keuangan pada masa pemerintahan SBY JK.

Muara dari Hak Angket

Hak Angket tentu tidak akan berarti apa-apa jika tidak ada tindak lanjutnya. Penyelidikan tidak berguna jika tidak ditentukan untuk apa hasil penyelidikan dipergunakan.


Pasal 181 UU No. 27 tahun 2009 menentukan bahwa (1) Panitia angket melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada rapat paripurna DPR paling lama 60 (enam puluh) hari sejak dibentuknya panitia angket dan (2) Rapat paripurna DPR mengambil keputusan terhadap laporan panitia angket. Apabila Rapat Paripurna DPR memutuskan Pelaksanaan UU dan/atau kebijakan melanggar peraturan perundang-undangan, maka DPR dapat menggunakan hak menyatakan pendapat, sedangkan apabila tidak bertentangan maka usul hak angket dinyatakan selesai dan materi angket tidak dapat diajukan kembali.

Sekarang kita mengandaikan bahwa Rapat Paripurna DPR memutuskan bahwa pelaksanaan UU dan/atau kebijakan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan maka DPR dapat menggunakan hak untuk menyatakan pendapat. Hak menyatakan pendapat ini diusulkan oleh paling sedikit 25 orang anggota DPR. DPR memutuskan apakah menerima atau menolak hak menyatakan pendapat. Kalau menerima usul menyatakan pendapat, maka akan dibentuk Panitia Khusus, yang akan bekerja selama 60 hari dan Rapat Paripurna DPR menerima Laporan Panitia Khusus. Dalam hal rapat Paripurna DPR memutuskan menerima Laporan Panitia Khusus yang menyatakan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, ataupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, DPR menyampaikan keputusan tentang hak menyatakan pendapat kepada Mahkamah Konstitusi.

Pasal 188 UU No. 27 tahun 2009 selanjutnya menentukan bahwa dalam hal pendapat DPR mengenai adanya perbuatan-perbuatan Presiden dan/atau Wakil Presiden yang melakukan pelanggaran hokum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, ataupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, DPR menyelenggarakan rapat paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR.

Jadi disini, dihubungkan dengan usulan hak angket kasus Bank Century, kita melihat bahwa muara dari hak angket adalah pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden, sebagaimana diatur dalam Pasal 7B ayat (1) UUD 1945. Jadi Presiden SBY-Boediono harus bertanggungjawab dan dapat berujung pada pemberhentiannya atas pelaksanaan UU dan/atau kebijakan yang bertentangan dengan perundang-undangan pada masa pemerintahan SBY-JK. Perlu diperhatikan bahwa Presiden SBY dan Wakil Presiden Boediono dilantik dan mengucapkan sumpah selaku Presiden dan Wakil Presidenpada tanggal 20 Oktober 2009. Ini menandakan bahwa masa pemerintahan sekarang adalah masa pemerintahan yang berbeda dari masa Pemerintahan SBY-JK.


Penutup
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa usulan hak angket oleh sejumlah anggota DPR sungguh tidak tepat dilakukan untuk pelaksanaan UU dan/atau kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah yang sudah berlalu. DPR tidak dapat melakukannya karena tugasnya adalah melakukan pengawasan terhadap pemerintahan yang sedang berjalan.

Tentu ada mekanisme hukum yang tersedia untuk melakukan pemrosesan terhadap kasus Bank Century itu, yaitu melalui proses hukum di Komisi Pemberantasan Korupsi. Proses politik melalui hak angket tidak akan menyelesaikan persoalan dan malahan dapat membuat pemrosesan atas kasus tersebut menjadi sirna. Jika ternyata Laporan Panitia Angket nantinya menyatakan tidak terbukti adanya pelanggaran hukum dalam pengucuran dana ke Bank century, maka hal ini akan menjadi kendala bagi proses hukum. Maka persoalan hukum sebaiknya diselesaikan secara hukum dan tidak melalui saluran-saluran poltik.

Rabu, 04 November 2009

MK: Quo Vadis?

Kemarin kita disuguhkan suatu proses hukum yang sangat spektakuler. Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar persidangan yang membuka rekaman-rekaman yang diduga sebagai suatu upaya menjegal pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Rekaman tersebut merupakan hasil sadapan KPK. Mayarakat menyambut gembira peristiwa tersebut. Antusiasisme masyarakat, disamping mengingat upaya pengkriminalisasian petinggi KPK,  juga karena dalam rekaman RI 1 disebut-sebut.

Tindakan MK ini patut mendapat catatan khusus. Persidangan yang membuka rekaman-rekaman penyadapan itu adalah dalam permohonan pengujian Pasal 32 ayat (1) butir c UU No. 30 tahun 2002  terhadap  Pasal 28D ayat (1) , Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, dalam perkara dengan nomor registrasi 133/PUU-VII/2009 . Dalam perkara tersebut yang dimohonkan adalah agar MK menyatakan Pasal 32 ayat (1) butir (c) UU KPK bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28J ayat (2) dan menyatakan bahwa Pasal 32 ayat (1) butir (c) UU KPK tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya.

Ketua MK Moh. Mahfud MD menjelaskan pada persidangan mengenai landasan hukum untuk mendengarkan perekaman dalam persidangan:
 "Setelah Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH), Mahkamah berdasarkan pada undang-undang yakni Pasal 17 UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, UU No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, maka diperbolehkan untuk mendengarkan rekaman penyadapan KPK dalam persidangan."

Penjelasan yang disampaikan oleh Ketua MK tersebut menyimpan problematika tersendiri. Pertama, apakah MK merupakan pelaksana UU No. 14 tahun 2008? Kedua, pakah rekaman-rekaman yang bersangkutan termasuk dalam pengertian informasi publik sebagaimana dimaksud dalam UU tersebut? Pengertian informasi publik adalah: informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik.

Menyangkut relevansi. Ketua MK tidak menjelaskan apa relevansi dari rekaman-rekaman tersebut dengan pokok perkara yang tengah ditanganinya. Apakah rekaman-rekaman tersebut relevan untuk dipertimbangkan oleh MK dalam memutuskan apakah Pasal 32 ayat (1) butir c UU No. 30 tahun 2000 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) , Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945? Apakah rekaman tersebut memberikan atau tidak dukungan terhadap soal kebertentangan pasal 32 ayat (1) butir c UU No. 30 tahun 2002 itu?

Persoalan lain adalah apakah status dari rekaman-rekaman tersebut dalam perkara yang bersangkutan. Secara gamblang tentu kita berpikir bahwa rekaman-rekaman tersebut dapat dilihat sebagai alat bukti. Mengenai alat bukti ini tentu masih dapat dipersoalkan juga. Pertama adalah menyangkut kesahannya. Pasal 36 ayat (2) UU No. 23 tahun 2003 menentukan bahwa alat bukti perolehannya harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Sebagaimana sudah saya tulis sebelum ini, Komunikasi yang Aman: Soal Penyadapan, dengan mengutip Ketua Plt KPK, rekaman-rekaman tersebut adalah merupakan hasil penyelidikan kasus korupsi sistem komunikasi radio terpadu (SKRT) di Dephut dengan tersangka Anggoro Widjojo. Rekaman-rekaman itu sah tentu untuk kasus yang bersangkutan tetapi tidak untuk dibuka di MK dan sudah barang tentu hal itu bukan informasi publik dalam pengertian dari UU No. 14 tahun 2008. Menurut Pasal 36 ayat (3) UU MK, jika suatu alat bukti perolehannya tidakdapat dipertanggungjawabkan secara hukum maka tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah. Memang dalam Pasal 36 ayat (4) UU MK, MK yang menentukan sah tidaknya suatu alat bukti. Pasal 37 lebih jauh menentukan "Mahkamah Konstitusi menilai alat-alat bukti yang diajukan ke persidangan dengan memperhatikan persesuaian antara alat bukti yang satu dengan alat bukti yang lain." Tentulah rekaman-rekaman itu akan menjadi aneh sendiri diantara alat bukti-alat bukti yang ada.

Mengingat hal-hal tersebut, sesungguhnya tidak ada alasan yang cukup bagi MK untuk menghadirkan dan mendengarkan rekaman-rekaman tersebut dalam persidangan pengujian undang-undang. Sulit untuk memahami langkah yang ditempuh oleh MK ini. Tampak seperti penyalahgunaan wewenang (abuse of power). Kalau demikian, mau kemanakah anda MK?

Catatan Tambahan:
Pada tanggal 29 Oktober 2009 telah diundangkan UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. UU ini berlaku pada tanggal diundangkan. Pasal 62 dari UU ini berbunyi:


Pada saat Undang-Undang ini berlaku, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Salah satu dasar hukum MK untuk membuka rekaman penyadapan itu adalah  UU No. 4 tahun 2004, yang ternyata sudah dicabut dan tidak berlaku mulai tanggal 29 Oktober 2009. Jadi MK sudah tidak dapat menggunakan UU No. 4 tahun 2004 sebagai dasar hukum untuk tindakannya tersebut.