Kamis, 07 April 2016

PENDIDIKAN KEWARGADIGITALAN




Selama 4 tahun, 2010-2014, saya bergelut di bidang pendidikan dan menjadi kepala sekolah di sebuah SMP di Tanah Jawa Kabupaten Simalungun. Dalam mengelola sekolah saya mewajibkan penggunaan teknologi informasi bagi para siswa dalam memperkaya pengetahuan yang diajarkan oleh guru-gurunya. Pada waktu itu pengajaran belum dapat dilakukan dengan penggunaan teknologi informasi karena kendala ada pada para guru yang belum dapat menggunakan dengan baik sarana teknologi informasi. Sekolah yang saya pimpin mempunyai akses Internet penuh 24 jam.

Akses internet yang masih terbatas di Tanah Jawa tidak dapat membuat siswa-siswa berinteraksi dengan baik dengan rekan-rekannya sesama pelajar di Tanah Jawa. Hanya sekolah tersebut yang menyediakan akses internet untuk digunakan siswa di Tanah Jawa. Penggunaan oleh siswa juga terbatas hanya sekedar mencari bahan tambahan pelajaran yang diperlukan, dengar music, nonton film-film tertentu di Internet yang dapat diakses secara gratis. Tentu siswa tidak mnggunakan Internet untuk belanja secara online karena memang tidak membutuhkannya. Maklum jauh di Tanah Jawa.

Sya sering mengamati perilaku siswa-siswa dalam menggunakan Internet. Namun berhubung saya bukan seorang ahli di bidang pendidikan maka saya hanya mengamati saja dan kadang turut terlibat membantu siswa-siswi untuk menjelaskan apa yang perlu dijelaskan soal Internet dan membantu mendapatkan apa yang mereka inginkan. Terkadang kalau ada guru mata pelajaran berhalangan hadir dan saya ada waktu, saya membawa siswa-siswi ke ruang Internet dan membimbing mereka mempelajari sendiri dari Internet materi yang seharusnya diajarkan guru yang bersangkutan.

Belakangan dalam penggunaan media social dan sesuai pemberitaan terdapat banyak kasus hukum dan etika yang muncul. Saya pikir ada baik juga mengemukakan suatu mata pelajaran yang perlu dikembangkan sejak dini mengenai penggunaan teknologi informasi ini sejak di jenjang pendidikan dasar dan menengah.

Kewargadigitalan

Istilah kewargadigitalan (digital citizenship, yang digunakan disini, dapat disepadankan dengan konsep kewarganegaraan (citizenship). Pada permulaan baiklah untuk sekedar membuat acuan yang sederhana, kita melihat pada pengertian kewarganegaraan. Kewarganegaraan dapat kita artikan sebagai keadaan sebagai warga dari suatu Negara. Kewarganegaraan membawa hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Dari pengertian kewarganegaraan demikian dapat kita tarik tiga unsur. Pertama, kewarganegaraan timbul dalam suatu Negara tertentu. Negara merupakan konsep sentral dalam pengertian itu. Kedua, untuk para anggota dari Negara ini terdapat kewajiban-kewajiban yang harus dijalankan dan ketiga kewajiban-kewajiban ini diimbangi dengan adanya hak-hak.
Dalam konsep kewargadigitalan hal-hal yang disebutkan di atas juga berlaku dengan penyesuaian-penyesuaiannya.

Pokok-pokok Bahasan Pendidikan kewargadigitalan

Dr. Mike Ribble seorang Pakar yang terkemuka di AS yang mengembangkan Pendidikan Kewargadigitalan mengemukakan 9 pokok bahasan. Kesembilan pokok bahasan itu juga jika dipandang dari sudut unsure kewargadigitalan merupakan unsure yang menandakan kewargadigitalan itu sendiri. Saya sendiri melihat hal ini ada kekurangan. Sebagaimana dalam pendidikan kewarganegaraan, Negara dan kelembagaan Negara menjadi pokok bahasan yang sentral maka menurut saya hal-hal yang bersifat dasar mengenai apa yang disebut digital, online dan sebagainya harus diajarkan dan demikian juga dengan kelembagaan yang ada yang mengatur aspek-aspek teknis harus menjadi pokok bahasan tersendiri. Sehingga pokok bahasan selain Sembilan yang diuraikan di bawah ini, terdapat dua pokok bahasan yang juga harus ada yang pada waktu lain akan saya uraikan lebih lanjut. Namun untuk keperluan sekarang sudah cukup jika diuraikan 9 pokok bahasan sebagaimana dielaborasi dari Dr. Mike Ribble tersebut.

1.   Akses Digital: partisipasi elektronik secara penuh dalam masyarakat.
Pengguna teknologi harus menyadari bahwa tidak semua orang memiliki peluang yang sama ketika datang ke teknologi. Bekerja
ke arah akses digital yang sama dan mendukung akses elektronik adalah titik awal dari kewargadigitalan. Tidak adanya akses digital membuat sulit untuk tumbuh sebagai suatu masyarakat yang tumbuh menggunakan alat ini. Membantu untuk menyediakan dan memperluas akses teknologi harus menjadi tujuan dari semua warga digital. Pengguna perlu memperhatikan bahwa terdapat banyak orang mempunyi akses yang terbatas sehingga sumber day yang lain perlu untuk disediakan. Untuk menjadi warga yang produktif, kita harus berkomitmen untuk memastikan bahwa tidak ada yang ditolak untuk mempunyai akses digital.
2.   Perdagangan Digital: Jual beli barang secara elektronik.
Pengguna teknologi perlu me
nyadari bahwa bagian besar dari ekonomi pasar saat ini dilakukan secara elektronik. Pertukaran yang sah dan legal terjadi, tetapi pembeli atau penjual harus menyadari masalah yang terkait dengan itu. Ketersediaan arus utama pembelian melalui Internet  seperti mainan, pakaian, mobil, makanan, dll telah menjadi sesuatu yang biasa untuk banyak pengguna. Pada saat yang sama, jumlah yang sama barang dan jasa yang bertentangan dengan hukum atau moral di beberapa beberapa negara seperti Indonesia yang muncul ke permukaan (yang mungkin mencakup kegiatan seperti download ilegal, pornografi, dan perjudian). Pengguna perlu belajar tentang bagaimana menjadi konsumen yang efektif dalam ekonomi digital baru.
3.   Digital Komunikasi: pertukaran informasi elektronik.
Salah satu perubahan signifikan dalam revolusi digital adalah kemampuan seseorang untuk berkomunikasi dengan orang lain. Pada abad ke-19, bentuk komunikasi
sangat terbatas. Pada abad ke-21, pilihan komunikasi telah meledak untuk menawarkan berbagai macam pilihan (misalnya, e-mail, telepon selular, pesan instan, Whats Up ). Memperluas pilihan komunikasi digital telah mengubah segalanya karena orang dapat tetap selalu berkomunikasi dengan orang lain. Sekarang semua orang memiliki kesempatan untuk berkomunikasi dan berkolaborasi dengan siapa pun dari mana saja dan kapan saja. Sayangnya, banyak pengguna belum diajarkan bagaimana membuat keputusan yang tepat ketika dihadapkan dengan begitu banyak pilihan komunikasi digital yang berbeda.
4.   Digital Literacy: proses mengajar dan belajar tentang teknologi dan penggunaan teknologi.
Sekalipun sekolah telah membuat kemajuan besar di bidang teknologi infus, masih banyak yang harus dilakukan. Sebuah fokus baru harus dibuat pada teknologi apa yang harus diajarkan serta bagaimana harus digunakan. Teknologi baru menemukan cara mereka di pergunakan di tempat bekerja yang tidak digunakan di sekolah-sekolah (misalnya, Videoconferencing, ruang berbagi online seperti wiki). Selain itu, pekerja pada banyak pekerjaan yang berbeda membutuhkan informasi langsung (informasi just-in-time). Proses ini membutuhkan pencarian canggih dan keterampilan pengolahan (yaitu, literasi informasi). Peserta didik harus diajarkan bagaimana belajar dalam masyarakat digital. Dengan kata lain, peserta didik harus diajarkan untuk belajar sesuatu, kapan saja, di mana saja. Bisnis, militer, dan obat-obatan adalah contoh yang sangat baik tentang bagaimana teknologi yang digunakan berbeda di abad ke-21. Sebagaimana teknologi baru muncul, peserta didik perlu belajar bagaimana menggunakan teknologi yang cepat dan tepat. Kewargadigitalan berupaya mendidik orang dalam cara yang baru-individu-individu ini membutuhkan keterampilan literasi tingkat tinggi.
5.   Digital Etiket: standar perilaku atau prosedur elektronik perilaku
Pengguna teknologi
kerapkali melihat daerah ini sebagai salah satu masalah yang paling mendesak saat berhadapan dengan kewargadigitalan. Kita mengakui perilaku yang tidak pantas saat kita melihatnya, tapi sebelum orang menggunakan teknologi mereka tidak belajar etiket digital (yaitu, perilaku yang sesuai). Banyak orang merasa tidak nyaman berbicara dengan orang lain tentang etiket digital mereka. Seringkali aturan dan regulasi  dibuat atau akses dibekukan mengghentikan penggunaan yang tidak sesuai. Hal ini tidak cukup untuk membuat aturan dan kebijakan, kita harus mengajarkan orang untuk menjadi warga digital yang bertanggung jawab dalam masyarakat digital baru ini.

6.   Hukum Digital: tanggung jawab elektronik untuk tindakan dan perbuatan
Hukum digital berkaitan dengan etika teknologi dalam masyarakat. Penggunaan yang tidak etis memanifestasikan dirinya dalam bentuk pencurian dan / atau kejahatan. Penggunaan etis memanifestasikan dirinya dalam bentuk
ketaatan pada aturan yang ditetapkan. Pengguna perlu memahami bahwa mencuri atau menyebabkan kerusakan pada pekerjaan orang  lain, identitas, atau properti online adalah kejahatan. Ada aturan-aturan tertentu dari masyarakat yang pengguna harus menyadari dalam masyarakat etis. Undang-undang ini berlaku untuk siapa saja yang bekerja atau bermain online. Meretas  informasi pihak lain, mengunduh musik ilegal,menjiplak, menciptakan  virus atau Trojan Horses, mengirim pesan yang tidak diminta (spam), atau mencuri identitas atau property siapapun  adalah tindak pidana.

7.   Hak-hak dan kewajiban-kewajiban Digital : kebebasan-kebebasan yang  diperluas pada setiap orang di dunia digital.
Sebagaimana UUD 1945 mengatur hak-hak manusia, terdapat kumpulan hak yang diperluas pada setiap warga digital. Warga digital memiliki hak untuk privasi, kebebasan berbicara,  hak untuk mempunyai kepemilikan, hak untuk diperlakukan sesuai martabatnya sebgai warga digital, dan lain-lain. Hak-hak azasi digital harus dibenahi, dibahas, dan dipahami dalam dunia digital. Dengan hak-hak ini juga datang tanggung jawab/kewajiban-kewajiban. Pengguna harus membantu menentukan bagaimana teknologi tersebut akan digunakan dengan cara yang tepat. Dalam masyarakat digital keduanya, baik hak-hak maupun kewajiban-kewajiban harus diseimbangkan  untuk semua orang agar penggunaan teknologi digital untuk menjadi produktif.
8.   Kesehatan & Kesejahteraan digital: Kesejahteraan fisik dan psikologis di dunia teknologi digital.
Keselamatan mata, sindrom stres yang berulang, dan praktek-praktek ergonomis suara adalah isu-isu yang perlu ditangani dalam dunia teknologi baru. Di luar masalah fisik adalah dari masalah psikologis yang menjadi lebih umum seperti kecanduan internet. Pengguna perlu diajarkan bahwa ada bahaya yang melekat
pada teknologi. Kewargadigitalan termasuk budaya di mana pengguna teknologi diajarkan bagaimana melindungi diri mereka sendiri melalui pendidikan dan pelatihan.
9.   Keamanan Digital (perlindungan diri): kehati-hatian elektronik untuk menjamin keamanan.
Dalam setiap masyarakat, ada orang yang mencuri, merusak, atau mengganggu orang lain. Hal yang sama berlaku bagi masyarakat digital. Hal ini tidak cukup untuk percaya anggota lain dalam masyarakat untuk keselamatan kita sendiri. Di rumah kita sendiri, kita meletakkan kunci pintu dan alarm kebakaran untuk menyediakan beberapa tingkat perlindungan. Hal yang sama harus benar untuk keamanan digital. Kita perlu memiliki perlindungan virus, backup data, dan gelombang kontrol peralatan. Sebagai warga
digital yang bertanggung jawab, kita harus melindungi informasi kita dari kekuatan luar yang dapat menyebabkan gangguan atau bahaya.



Hargai , Didik dan lindungi (HDL)

Konsep
HDL adalah cara untuk menjelaskan serta mengajarkan tema kewargadigitalan. Setiap item meliputi tiga topik yang harus diajarkan mulai di tingkat Pendidikan Dasar (SMP) dan Pendidikan Menegah. Ketika mengajar ide-ide ini tema teratas dari setiap grup akan diajarkan sebagai salah satu HDL. Misalnya HDL pertama: Etiket, Komunikasi dan Hak / Tanggung Jawab. Hal ini akan terus diajarkan secara berulang dengan pembobotan yang meningkat. Dengan melakukan ini semua siswa akan membahas topik dan semua orang akan memahami ide dasar kewargadigitalan.




Menghargai diri sendiri/ Menghargai orang lain

- Etiket

- Akses

- Hukum

Mendidik Diri
Sendiri/ Terhubung dengan Lainnya

- Literasi

- Komunikasi

- Commerce

Melindungi Diri Sendiri / melindungi Orang Lain

-
Hak-hak Dan Kewajiban-kewajiban

- Keamanan keselamatan)

- Kesehatan dan Kesejahteraan

Penutup
Hal-hal yang saya kemukakan di atas barulah sekedar gagasan untuk dikembangkan di Indonesia. Sebagaimana sudah saya kemukakan juga di atas saya bukan ahli di bidang pendidikan dan saya juga bukan pendidik, meskipun saya pernah jadi kepala sekolah. Saya tidak mengerti bagaimana merumuskannya dalam bahasa-bahasa kurikulum. Saya pikir pihak kementerian pendidikan dan badan standardisasi pendidikan bersama dengan pakar-pakar pendidikan dapat mengembangkan kuikulum menyangkut pendidikan kewargadigitalan ini. Perilaku yang tidak pantas di dunia digital dapat dicegah dengaan adanya pendidikan kewargadigitalan Mudah-mudahan berguna.