Dalam
menertibkan Kalijodo, Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama telah juga meminta
bantuan dari Tentara Nasional Indonesia (dalam hal ini pihak KODAM JAYA)
disamping, tentu, dari pihak Kepolisian Negara RI. Demi ketertiban, tentu tidak
banyak yang mempersoalkan dan memang, sepertinya, demikian seharusnya. Namun
Wakil Ketua DPR, Fadli Zon, mengecam tindakan dari Gubernur Basuki dan
menyatakan bahwa TNI bukan untuk urusan gusur menggusur. DPR juga, saya
mendengar, akan memanggil Gubernur Basuki untuk menanyakan berbagai hal dan
termasuk, saya pikir, pelibatan pasukan TNI dalam urusan Kalijodo tersebut.
Teranyar adalah pernyataan dari Dr. Ratna Sarumpaet di salah satu diskusi yang
menyatakn bahwa TNI, dan Polri serta KPK sudah dibeli oleh GubernurBasuki. Saya tidak mengomentari soal
“dibelinya” karena tidak tepat juga
menyatakan demikian. Saya menjadi tertarik untuk menulis soal pengerahan
pasukan TNI ini. Apakah tindakan Gubernur Basuki melibatkan TNI berada di jalur
yang sah sesuai ketentuan-ketentuan dalam hukum Indonesia? Lebih jauh, apakah
pengerahan pasukan TNI di Kalijodo sesuai atau tidak dengan hukum Indonesia. Soal Polri dilibatkan, itu sudah seharusnya sebagai alat keamanan.
Tulisan
ini, sebagaimana disebut di atas menyoal sah tidaknya pengerahan Pasukan TNI
dalam penertiban Kalijodo. Pihak Kodam Jaya menilai tindakannya benar karena salah satu tugas dari TNI adalah
membantu pemerintah daerah sesuai UU No. 34 tahun 2004. Pernyataan Pihak Kodan Jaya semacam ini
tentu membenarkan tindakan TNI yang mau
dilibatkan dalam penertiban/penggusuran di Kalijodo.
TNI
sebagai Alat Pertahanan Negara
Guna
menentukan sah tidaknya pengerahan pasukan TNI di Kalijodo adalah memulai dengan menyatakan bahwa TNI adalah alat pertahanan Negara. Dalam
konsiderans UU TNI disebutkan:
c. bahwa Tentara
Nasional Indonesia sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
bertugas melaksanakan kebijakan pertahanan negara untuk menegakkan kedaulatan
negara, mempertahankan keutuhan wilayah, dan melindungi keselamatan bangsa,
menjalankan operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang,
serta ikut secara aktif dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan
internasional;
d. bahwa Tentara
Nasional Indonesia dibangun dan dikembangkan secara profesional sesuai
kepentingan politik negara, mengacu pada nilai dan prinsip demokrasi, supremasi
sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan ketentuan hukum
internasional yang sudah diratifikasi, dengan dukungan anggaran belanja negara
yang dikelola secara transparan dan akuntabel;
Dari
konsiderans butir c UU TNI tersebut jelas apa yang diharapkan dari TNI.
Konsiderans butir d jelas bagaimana TNI itu dibangun dan dikembangkan sesuai
kepentingan politik Negara dan apa yang menjadi acuannya.
Sehubungan
dengan apa yang diharapkan untuk TNI, TNI diberi peran menurut Pasal 5 UU TNI
yaitu “sebagai alat negara di bidang
pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan
politik negara.” Pengertian kebijakan
dan keputusan politik Negara tentu mengacu pada konsiderans butir c dan d
di atas.
Fungsi
TNI ditentukan dalam Pasal 6 yang berbunyi:
(1)
TNI, sebagai alat
pertahanan negara, berfungsi sebagai :
a. penangkal terhadap setiap bentuk
ancaman militer dan ancaman bersenjata dari luar dan dalam negeri terhadap
kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa;
b. penindak terhadap setiap bentuk ancaman
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; dan
c. pemulih terhadap kondisi keamanan
negara yang terganggu akibat kekacauan keamanan
(2) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), TNI merupakan komponen utama sistem pertahanan negara.
Melihat
pada fungsinya, sebagai penangkal dan penindak untuk setiap bentuk ancaman
militer dan ancamaan bersanjata dari dalam dan luar negeri terhadap kedaulatan,
keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa, TNI tidak didesain untuk masuk dalam
ranah penegakan hak dari Pemrov DKI atau pemerintah pada umumnya.
Yang
dijadikan sebagai pembenaran untuk keterlibatan TNI, sebagaimana disebut di awal
tulisan ini adalah ketentuan UU yang menyatakan TNI membantu pemerintahan di daerah.
Ketentuan seperti itu memang benar-benar ada tetapi dalam konteks apa tugas
membantu pemerintahan di daerah yang disebut dalam UU TNI itu tidak diungkapkan. Ketentuan itu diatur dalam Pasal 7 ayat (2) b
angka 9. Namun demikian untuk memahami tugas membantu pemerintahan di daerah
harus dibaca keseluruhan pasal 7 sebagaimana juga pasal-pasal lain.
Pasal
7 UU TNI dalam bagian yang relevan berbunyi:
(1) Tugas pokok TNI adalah menegakkan
kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.
(2) Tugas pokok sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan :
a. operasi militer untuk perang;
b. operasi militer selain perang, yaitu
untuk :
................
9. membantu tugas pemerintahan di daerah;
....................
(3)
Ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik
negara.
Tugas
membantu pemerintahan di daerah harus dipahami dalam konteks Pasal 7 ayat (1)
yaitu dalam menjalankan tugas pokok TNI untuk
menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh
tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan
negara. Pembukaan Pasal 7 ayat (2) jelas merujuk pada Pasal 7 ayat (1) dan
tidak pada yang lain. Jadi tugas membantu pemerintahan di daerah, yang merupakan
salah satu dari operasi militer selain perang adalah dalam rangka menjalankan
tugas pokok TNI yang disebut dalam Pasal 7 ayat (1).
Lebih
jauh dalam Pasal 20 ayat (2) UU TNI ditentukan:
Penggunaan kekuatan
TNI dalam rangka melaksanakan operasi militer selain perang, dilakukan untuk
kepentingan pertahanan negara dan/atau dalam rangka mendukung kepentingan
nasional sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam
Penjelasan Pasal 10 ayat (3) huruf c UU Pertahanan dijelaskan mengenai operasi militer
sebagai berikut:
“Operasi militer pada dasarnya,
terdiri atas operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang.
Operasi militer meliputi kegiatan terencana yang dilaksanakan oleh satuan
militer dengan sasaran, waktu, tempat, dan dukungan logistik yang telah
ditetapkan sebelumnya melalui perencanaan terinci.
Operasi militer selain perang, antara
lain berupa bantuan kemanusiaan (civic mission), perbantuan kepada Kepolisian
Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban
masyarakat, bantuan kepada pemerintahan sipil, pengamanan pelayaran/penerbangan,
bantuan pencarian dan pertolongan (Search And Resque), bantuan pengungsian, dan
penanggulangan korban bencana alam.
Operasi militer selain perang
dilakukan berdasarkan permintaan dan/atau peraturan perundang-undangan.”
Dalam
kerangka penertiban kalijodo, menjadi persoalan apakah penertiban kalijodo
memenuhi syarat yang ditentukan dalam Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (2) UU
TNI. Apakah keadaan di Kalijodo membuat kedaulatan Negara tidak tegak atau
apakah keadaan di Kalijodo mengancam atau mengganggu keutuhan bangsa dan
Negara? Suatu lokalisasi seperti Kalijodo tidak mengancam tetapi justru
penutupannya yang potensial mengancam.
Dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf b angka 9 disebutkan:
"Yang dimaksud dengan membantu tugas pemerintah di daerah adalah membantu pelaksanaan fungsi pemerintah dalam kondisi dan situasi yang memerlukan sarana, alat dan kemampuan TNI untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi, antara lain membantu mengatasi akibat bencana alam, merehabilitasi infra struktur, serta mengatasi masalah akibat pemogokan dan konflik komunal."
Saya
tidak melihat adanya kepentingan pertahanan dan atau kepentingan nasional dalam
penertiban Kalijodo. Saya lebih melihatnya sebagai upaya pencitraan oleh
Gubernur Basuki dalam rangka pencalonan kembali sebagai Gubernur DKI Jakarta
dalam Pemilihan Gubernur DKI 2017 yang akan datang.
Pengerahan Pasukan TNI dalam Operasi
Militer
Pasal 7 ayat (3) UU TNI, sebagaimana
sudah dikutip, menyatakan bahwa operasi militer itu, termasuk dalam hal ini
membantu pemerintah di daerah, dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan politik
Negara. Kebijakan dan Keputusan Politik Negara diambil oleh Presiden setelah
mendapat nasehat dari Dewan Pertahanan Nasional. (Catatan: Sebagaimana sudah
saya tulis sebelum ini, Dewan Pertahanan Nasional belum ada tetapi yang ada
adalah Dewan Ketahanan Nasional). Pasal 17 UU TNI mengatur bahwa “Kewenangan
dan tanggung jawab pengerahan kekuatan TNI berada pada Presiden” dan sesuai
Ayat 2 Pasal 17, Presiden harus mendapat persetujuan dari DPR. Pasal 18 tidak
relevan dalam Kasus Kalijodo, karena tidak diambil dalam keadaan memaksa.
Penggunaan kekuatan TNI sebagaimana dimaksud di atas menjadi tanggungjawab dari
Panglima TNI.
Penegasan dalam Penjeasan Pasal 14 ayat
(1) UU No 3 tahun 2002 menjadikan jelas bahwa “Kewenangan pengerahan
kekuatan Tentara Nasional Indonesia dalam rangka operasi militer hanya ada pada
Presiden.” Penggunaan kata “hanya” dalam Penjelasan Pasal 14
ayat (1) UU Pertahanan tersebut menunjukkan bahwa tidak ada tandingan bagi
Presiden dan Presiden tidak dapat mendelegasikan kewenangan untuk mengerahkan
kekuatan TNI kepada pihak manapun, bahkan kepada Panglima TNI sekalipun.
Sebagaimana juga dikutip di atas dari
Penjelasan Pasal 10 ayat (3) huruf c, operasi militer selain perang diadakan
atas permintaan atau perundang-undangan. Yang mengajukan permintaan tentu harus
memahami untuk hal-hal apa saja TNI dapat turun tangan. Jadi Gubernur Basuki,
misalnya, harus memahami bahwa “Operasi militer meliputi kegiatan terencana yang
dilaksanakan oleh satuan militer dengan sasaran, waktu, tempat, dan dukungan
logistik yang telah ditetapkan sebelumnya melalui perencanaan terinci.” Yang mengajukan
permintaan juga harus mengetahui dengan pasti bahwa operasi militer selain
perang yang akan dilakukan ada atau tidak dalam kebijakan pertahanan.
Pembiayaan
Pasal 66 UU TNI menentukan bahwa
pembiayaan TNI diambil dari anggaran pertahanan yang berasal dari APBN.
Termasuk dalam hal ini adalah biaya untuk operasi militer baik untuk perang
maupun selain perang. Pasal 67 ayat (2)
menyatakan “Dalam hal pemenuhan
dukungan anggaran operasi militer yang bersifat mendesak, Panglima mengajukan
anggaran kepada Menteri Pertahanan untuk dibiayai dari anggaran kontijensi yang
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.”
Pasal 67 ayat (3) lebih lanjut
menyatakan “Dukungan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dimintakan persetujuan oleh Menteri Pertahanan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat.”
Dari ketentuan-ketentuan mengenai
pembiayaan dapat dipertanyakan apakah operasi militer untuk membantu pemerintah
di daerah dalam kerangka penertiban Kalijodo berasal dari APBN apa bukan. Jika
dikaitkan dengan soal pengerahan kekuatan TNI yang harus mendapat persetujuan
DPR, menjadi soal mengenai pembiayaannya. Tudingan dari Ratna Sarumpaet, saya
pikir, dapat ditempatkan dalam hubungan pembiayaan operasi militer selain
perang tersebut, yang harus dari Anggaran Pertahanan yang berasal dari APBN dan
dalam hal mendesak berasal dari dana kontijensi APBN yang harus mendapat
persetujuan DPR.
Pandangan Ke Depan
Saya melihat bahwa tindakan pengerahan
kekuatan TNI dalam penertiban Kalijodo termasuk suatu hal yang dapat
dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum oleh penguasa (Gubernur Basuki).
Ke depan perlu pemahaman mendalam
mengenai pertahanan dan penggunaan kekuatan TNI. Pelibatan TNI seperti di Kalijodo tidak perlu terulang
kembali Bukankah sewaktu gang Dolly di Surabaya dihabisi, Walikota Risma tidak melibatkan TNI?
Kementerian Pertahanan dan TNI perlu
melakukan sosialisasi mengenai Undang-Undang Pertahanan dan Undang-Undang TNI
lebih gencar lagi agar tidak terjadi perbuatan melawan hukum di kemudian hari.