Minggu, 27 Maret 2016

Menuju DKI 1 (2017-2022)



UU No. 27 tahun2007 tentang TENTANG PEMERINTAHAN PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA
Pasal 11
(1) Pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih.
(2) Dalam hal tidak ada pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang memperoleh suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diadakan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur putaran kedua yang diikuti oleh pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama.
(3) Penyelenggaraan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan menurut persyaratan dan tata cara yang diatur dalam peraturan perundangundangan.

Ketentuan-ketentuan tersebut mempersyaratkan adanya dua atau  lebih pasangan calon dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Calon tunggal Pasangan calon Gub/wagub DKI tidak diperbolehkan. Upaya-upaya yang dilakukan Gubernur Basuki yang dikesankan menghalangi kandidat lain untuk maju dalam Pilgub DKI tidak diperkenankan. Yang maju dalam pilgub harus lebih dari satu pasangan calon. Saya pikir Gubernur Basuki harus menghentikan upaya-upayanya mengubur calon-calon lain yang akan bermunculan sebagai pesaingnya dalam perebutan kursi Gubernur/Wakil Gubernur DKI Jakarta.

Survey-survey yang dilakukan oleh penyedia jasa survey menunjukkan elektabilitas Gubernur Basuki yang sangat tinggi melampaui para kandidat yang digadang-gadang untuk maju bersaing dengan Gubernur Basuki dalam memikat hati pemilih Jakarta. Survey adalah survey dan ketentuan hukum yang mempersyaratkan adanya sekurang-kurangnya dua pasangan calon, Survey-survey tidak harus dianggap sebagai harga mati yang membuat para kandidat menjadi ciut hati dan juga tidak menjadi patokan bagi partai-partai untuk tidak memajukan calon.


Prestasi Gubernur Basuki tentu sesuatu yang patut dipuji dan setiap orang di Jakarta dan daerah-daerah lain di Indonesia dan terutama yang berbatasan dengan DKI menikmati hasil kerja Gubernur Basuki. Biaya transportasi umum yang relative terjangkau, fasilitas kesehatan, prema-preman Jakarta yang dihabisi, dan terakhir soal Kalijodo, terlepas dari pelanggaran hukumnya, adalah antara lain hal-hal yang memikat yang sudah diperbuat oleh Gubernur Basuki. Penerapan e-budgeting, terungkapnya persekongkolan untuk menilep anggaran sampai puluhan trilyun dengn dalil biaya sosialisasi peraturan-peratran Jakarta merupakan nilai tersendiri yang layak dibanggakan.

Bahwa Gubernur Basuki banyak kelemahan itu sudah pasti. Bukankah pepatah lama bilang tak ada gading yang tak retak. Cara bicaranya yang kasar dan tidak pantas memang banyak jadi sorotan. Untuk memimpin Jakarta saya kira hal itu dapat dimaklumi dan malahan dalam batas tertentu sesuatu yang wajib dilakukannya. Kalau tidak kasar, Gubernur Basuki tentu akan membiarkan dirinya diremehkan oleh lawan-lawan politiknya dan lawan-lawan politiknya harus berpikir ulang menghantam Gubernur Basuki karena takut dikasari. Namun demikian kasus sumber waras sudah merupakan suatu bom waktu bagi Gubernur Basuki. Dalam masa-masa persiapan Pilgub sampai dengan hari H pilgub merupakan titik kritis. Masih banyak waktu untuk membongkar kasus sumber waras.

Dalam Pilgub DKI saya meragukan apakah Pasangan Calon Basuki-Heru akan mampu mendapat lebih dari 50 % suara pemilih DKI. Andaipun Pasangan tersebut yg akan maju melalui jalur perseorangan dapat mengumpulkan dukungan sebagaimana yang dipersyaratkan, saya ragu mereka akan mendapatkan lebih dari 50 % suara pemilih DKI. Sentimen keagamaan tentu akan menonjol. Partai-partai berbasis Islam tentu akan menggunakan hal ini sebagai senjata untuk menghantam Gubernur Basuki Mayoritas Pemilih DKI adalah muslim. Seberapa jauh partai-partai berbasis Islam mampu mengungkit sentiment agama masih harus dibuktikan. Tentu akan banyak serangan kepada mereka yang mengedepankan soal isssu primordial. Partai-partai nasionalis tentu tidak akan mengangkat issu agama. Partai-partai Islam tidak dapat disalahkan, sebagai menyoal sara , jika mereka mengungkit sentiment agama karena basis mereka memang agama. Hanya dalam menjalankan pemerinthan sehari-hari dapat disalahkan soal sara. Dalam hal pertarungan untuk mendapatkan yang diinginkan, hal ini tidak masalah.

Gubernur Basuki duduk di kursi Gubernur bukanlah karena suara pemilih di Jakarta diberikan padanya. Para pemilih dalam Pilgub 2012 memandang pada Joko Widodo dan tidak seorangpun pada masa itu memperkirakan Joko Widodo menggunakan posisinya sebagai Gubernur menjdi batu loncatan untuk menjadi Presiden RI. Andai pemilih Jakarta tahu bahwa Joko Widodo memperalat mereka maka tidak ada tempat bagi Basuki untuk memduduki jabatan Gubernur DKI.  Undang-undang menentukan Wakil Gubernur menjadi Gubernur dlam hal Gubernur berhalangan tetap bukanlah sesuatu hal yang perlu ditawar. Dalam kerangka itulah Gubernur Basuki ada di singgasana DKI 1.

Para pemilih DKI, sekali lagi, tidak memberikan suara agar Basuki jadi Gubernur. Tetapi sudah terjadi dan para pemilih ke depan akan mempertimbangkan lebih masak apakah akan memilih Basuki untuk mengisi jabatan Gubernur 2017-2022.

Siapapun Gubernur Jakarta berikutnya, yang pasti bukan Gubernur Basuki, harus meningkatkan standar pemerintahan yang sudah dibangun oleh Gubernur Basuki. 

Senin, 14 Maret 2016

TNI DI KALIJODO: PERBUATAN MELAWAN HUKUM OLEH PENGUASA

Dalam menertibkan Kalijodo, Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama telah juga meminta bantuan dari Tentara Nasional Indonesia (dalam hal ini pihak KODAM JAYA) disamping, tentu, dari pihak Kepolisian Negara RI. Demi ketertiban, tentu tidak banyak yang mempersoalkan dan memang, sepertinya, demikian seharusnya. Namun Wakil Ketua DPR, Fadli Zon, mengecam tindakan dari Gubernur Basuki dan menyatakan bahwa TNI bukan untuk urusan gusur menggusur. DPR juga, saya mendengar, akan memanggil Gubernur Basuki untuk menanyakan berbagai hal dan termasuk, saya pikir, pelibatan pasukan TNI dalam urusan Kalijodo tersebut. Teranyar adalah pernyataan dari Dr. Ratna Sarumpaet di salah satu diskusi yang menyatakn bahwa TNI, dan Polri serta KPK sudah dibeli oleh GubernurBasuki.  Saya tidak mengomentari soal “dibelinya”  karena tidak tepat juga menyatakan demikian. Saya menjadi tertarik untuk menulis soal pengerahan pasukan TNI ini. Apakah tindakan Gubernur Basuki melibatkan TNI berada di jalur yang sah sesuai ketentuan-ketentuan dalam hukum Indonesia? Lebih jauh, apakah pengerahan pasukan TNI di Kalijodo sesuai atau tidak dengan hukum Indonesia.  Soal Polri dilibatkan, itu sudah seharusnya sebagai alat keamanan.

Tulisan ini, sebagaimana disebut di atas menyoal sah tidaknya pengerahan Pasukan TNI dalam penertiban Kalijodo. Pihak Kodam Jaya menilai tindakannya benar karena salah satu tugas dari TNI adalah membantu pemerintah daerah sesuai UU No. 34 tahun 2004.  Pernyataan Pihak Kodan Jaya semacam ini tentu membenarkan tindakan TNI yang mau dilibatkan dalam penertiban/penggusuran di  Kalijodo.    

TNI sebagai Alat Pertahanan Negara

Guna menentukan sah tidaknya pengerahan pasukan TNI di Kalijodo adalah memulai dengan menyatakan bahwa TNI adalah alat pertahanan Negara. Dalam konsiderans UU TNI disebutkan:

c. bahwa Tentara Nasional Indonesia sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia, bertugas melaksanakan kebijakan pertahanan negara untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah, dan melindungi keselamatan bangsa, menjalankan operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang, serta ikut secara aktif dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan internasional;

d. bahwa Tentara Nasional Indonesia dibangun dan dikembangkan secara profesional sesuai kepentingan politik negara, mengacu pada nilai dan prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan ketentuan hukum internasional yang sudah diratifikasi, dengan dukungan anggaran belanja negara yang dikelola secara transparan dan akuntabel;

Dari konsiderans butir c UU TNI tersebut jelas apa yang diharapkan dari TNI. Konsiderans butir d jelas bagaimana TNI itu dibangun dan dikembangkan sesuai kepentingan politik Negara dan apa yang menjadi acuannya.

Sehubungan dengan apa yang diharapkan untuk TNI, TNI diberi peran menurut Pasal 5 UU TNI yaitu “sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara.” Pengertian kebijakan dan keputusan politik Negara tentu mengacu pada konsiderans butir c dan d di atas.

Fungsi TNI ditentukan dalam Pasal 6 yang berbunyi:
(1)   TNI, sebagai alat pertahanan negara, berfungsi sebagai :
a.   penangkal terhadap setiap bentuk ancaman militer dan ancaman bersenjata dari luar dan dalam negeri terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa;
b.   penindak terhadap setiap bentuk ancaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; dan
c.    pemulih terhadap kondisi keamanan negara yang terganggu akibat kekacauan keamanan
(2)   Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), TNI merupakan komponen utama sistem pertahanan negara.

Melihat pada fungsinya, sebagai penangkal dan penindak untuk setiap bentuk ancaman militer dan ancamaan bersanjata dari dalam dan luar negeri terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa, TNI tidak didesain untuk masuk dalam ranah penegakan hak dari Pemrov DKI atau pemerintah pada umumnya.

Yang dijadikan sebagai pembenaran untuk keterlibatan TNI, sebagaimana disebut di awal tulisan ini adalah ketentuan UU yang menyatakan TNI membantu pemerintahan di daerah. Ketentuan seperti itu memang benar-benar ada tetapi dalam konteks apa tugas membantu pemerintahan di daerah yang disebut dalam UU TNI itu tidak diungkapkan.  Ketentuan itu diatur dalam Pasal 7 ayat (2) b angka 9. Namun demikian untuk memahami tugas membantu pemerintahan di daerah harus dibaca keseluruhan pasal 7 sebagaimana juga pasal-pasal lain.

Pasal 7 UU TNI dalam bagian yang relevan berbunyi:
(1)    Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.
(2)    Tugas pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan :
a.   operasi militer untuk perang;
b.   operasi militer selain perang, yaitu untuk :
        ................
        9.   membantu tugas pemerintahan di daerah;
          ....................
   (3)    Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan    berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara.

Tugas membantu pemerintahan di daerah harus dipahami dalam konteks Pasal 7 ayat (1) yaitu dalam menjalankan tugas pokok TNI untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Pembukaan Pasal 7 ayat (2) jelas merujuk pada Pasal 7 ayat (1) dan tidak pada yang lain. Jadi tugas membantu pemerintahan di daerah, yang merupakan salah satu dari operasi militer selain perang adalah dalam rangka menjalankan tugas pokok TNI yang disebut dalam Pasal 7 ayat (1).

Lebih jauh dalam Pasal 20 ayat (2) UU TNI ditentukan:

Penggunaan kekuatan TNI dalam rangka melaksanakan operasi militer selain perang, dilakukan untuk kepentingan pertahanan negara dan/atau dalam rangka mendukung kepentingan nasional sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dalam Penjelasan Pasal 10 ayat (3) huruf c UU Pertahanan dijelaskan mengenai operasi militer sebagai berikut:
“Operasi militer pada dasarnya, terdiri atas operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang. Operasi militer meliputi kegiatan terencana yang dilaksanakan oleh satuan militer dengan sasaran, waktu, tempat, dan dukungan logistik yang telah ditetapkan sebelumnya melalui perencanaan terinci.
Operasi militer selain perang, antara lain berupa bantuan kemanusiaan (civic mission), perbantuan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat, bantuan kepada pemerintahan sipil, pengamanan pelayaran/penerbangan, bantuan pencarian dan pertolongan (Search And Resque), bantuan pengungsian, dan penanggulangan korban bencana alam.
Operasi militer selain perang dilakukan berdasarkan permintaan dan/atau peraturan perundang-undangan.”

Dalam kerangka penertiban kalijodo, menjadi persoalan apakah penertiban kalijodo memenuhi syarat yang ditentukan dalam Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (2) UU TNI. Apakah keadaan di Kalijodo membuat kedaulatan Negara tidak tegak atau apakah keadaan di Kalijodo mengancam atau mengganggu keutuhan bangsa dan Negara? Suatu lokalisasi seperti Kalijodo tidak mengancam tetapi justru penutupannya yang potensial mengancam.   
Dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf b angka 9 disebutkan:

"Yang dimaksud dengan membantu tugas pemerintah di daerah adalah membantu pelaksanaan fungsi pemerintah dalam kondisi dan situasi yang memerlukan sarana, alat dan kemampuan TNI untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi, antara lain membantu mengatasi akibat bencana alam, merehabilitasi infra struktur, serta mengatasi masalah akibat pemogokan dan konflik komunal."


Saya tidak melihat adanya kepentingan pertahanan dan atau kepentingan nasional dalam penertiban Kalijodo. Saya lebih melihatnya sebagai upaya pencitraan oleh Gubernur Basuki dalam rangka pencalonan kembali sebagai Gubernur DKI Jakarta dalam Pemilihan Gubernur DKI 2017 yang akan datang.


Pengerahan Pasukan TNI dalam Operasi Militer

Pasal 7 ayat (3) UU TNI, sebagaimana sudah dikutip, menyatakan bahwa operasi militer itu, termasuk dalam hal ini membantu pemerintah di daerah, dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan politik Negara. Kebijakan dan Keputusan Politik Negara diambil oleh Presiden setelah mendapat nasehat dari Dewan Pertahanan Nasional. (Catatan: Sebagaimana sudah saya tulis sebelum ini, Dewan Pertahanan Nasional belum ada tetapi yang ada adalah Dewan Ketahanan Nasional). Pasal 17 UU TNI mengatur bahwa “Kewenangan dan tanggung jawab pengerahan kekuatan TNI berada pada Presiden” dan sesuai Ayat 2 Pasal 17, Presiden harus mendapat persetujuan dari DPR. Pasal 18 tidak relevan dalam Kasus Kalijodo, karena tidak diambil dalam keadaan memaksa. Penggunaan kekuatan TNI sebagaimana dimaksud di atas menjadi tanggungjawab dari Panglima TNI.

Penegasan dalam Penjeasan Pasal 14 ayat (1) UU No 3 tahun 2002 menjadikan jelas bahwa  Kewenangan pengerahan kekuatan Tentara Nasional Indonesia dalam rangka operasi militer hanya ada pada Presiden.” Penggunaan kata “hanya” dalam Penjelasan Pasal 14 ayat (1) UU Pertahanan tersebut menunjukkan bahwa tidak ada tandingan bagi Presiden dan Presiden tidak dapat mendelegasikan kewenangan untuk mengerahkan kekuatan TNI kepada pihak manapun, bahkan kepada Panglima TNI sekalipun.

Sebagaimana juga dikutip di atas dari Penjelasan Pasal 10 ayat (3) huruf c, operasi militer selain perang diadakan atas permintaan atau perundang-undangan. Yang mengajukan permintaan tentu harus memahami untuk hal-hal apa saja TNI dapat turun tangan. Jadi Gubernur Basuki, misalnya, harus memahami bahwa  Operasi militer meliputi kegiatan terencana yang dilaksanakan oleh satuan militer dengan sasaran, waktu, tempat, dan dukungan logistik yang telah ditetapkan sebelumnya melalui perencanaan terinci.” Yang mengajukan permintaan juga harus mengetahui dengan pasti bahwa operasi militer selain perang yang akan dilakukan ada atau tidak dalam kebijakan pertahanan.
Pembiayaan

Pasal 66 UU TNI menentukan bahwa pembiayaan TNI diambil dari anggaran pertahanan yang berasal dari APBN. Termasuk dalam hal ini adalah biaya untuk operasi militer baik untuk perang maupun selain perang. Pasal 67 ayat (2)  menyatakan “Dalam hal pemenuhan dukungan anggaran operasi militer yang bersifat mendesak, Panglima mengajukan anggaran kepada Menteri Pertahanan untuk dibiayai dari anggaran kontijensi yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.”
Pasal 67 ayat (3) lebih lanjut menyatakan “Dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dimintakan persetujuan oleh Menteri Pertahanan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

Dari ketentuan-ketentuan mengenai pembiayaan dapat dipertanyakan apakah operasi militer untuk membantu pemerintah di daerah dalam kerangka penertiban Kalijodo berasal dari APBN apa bukan. Jika dikaitkan dengan soal pengerahan kekuatan TNI yang harus mendapat persetujuan DPR, menjadi soal mengenai pembiayaannya. Tudingan dari Ratna Sarumpaet, saya pikir, dapat ditempatkan dalam hubungan pembiayaan operasi militer selain perang tersebut, yang harus dari Anggaran Pertahanan yang berasal dari APBN dan dalam hal mendesak berasal dari dana kontijensi APBN yang harus mendapat persetujuan DPR.

Pandangan Ke Depan
Saya melihat bahwa tindakan pengerahan kekuatan TNI dalam penertiban Kalijodo termasuk suatu hal yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum oleh penguasa (Gubernur Basuki).

Ke depan perlu pemahaman mendalam mengenai pertahanan dan penggunaan kekuatan TNI. Pelibatan TNI  seperti di Kalijodo tidak perlu terulang kembali Bukankah sewaktu gang Dolly di Surabaya dihabisi, Walikota Risma  tidak melibatkan TNI?

Kementerian Pertahanan dan TNI perlu melakukan sosialisasi mengenai Undang-Undang Pertahanan dan Undang-Undang TNI lebih gencar lagi agar tidak terjadi perbuatan melawan hukum di kemudian hari.   

Kamis, 10 Maret 2016

Ke Arah Pembentukan Dewan Pertahanan Nasional



Biasanya Indonesia sangat suka pembentukan komisi, dewan, atau badan yang sudah ditentukan dalam undang-undang. Malah dalam hal belum diatur dalam undang-undang, terdapat desakan untuk membentuk dewan, komisi atau badan entah dewan, komisi, atau badan apa, yang penting salah satu dari ketiganya. Kita dapat melihat, sebagai contoh, adanya desakan untuk mengatur dalam undang-undang adanya dewan pengawas Komisi Pemberntasan Korupsi, yang entah untuk urusan apa diperlukan dewan itu.

Sekalipun ada demam dewan, komisi, atau badan di Indonesia, sudah 14 tahun suatu dewan yang diamanatkan oleh undang-undang belum juga dibentuk. Dewan itu adalah Dewan Pertahanan Nasional yang diamanatkan oleh UU No. 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Sebagaimana diketahui UU No. 3 tahun 2002 ini menggantikan UU No. 20 tahun 1982 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 1 tahun 1988. UU No. 20 tahun 1982 mengatur juga adanya Dewan Pertahanan Keamanan Nasional. Mengingat adanya pemisahan fungsi pertahanan dan keamanan, TNI dan POLRI, demikian juga Dewan Pertahanan Keamanan Nasional dalam UU No. 3 tahun 2002 dirampingkan menjadi Dewan Pertahanan Nasional saja.

Sebagai mana disebut di atas, untuk saat ini, Dewan Pertahanan Nasional belum dibentuk. Yang ada adalah Dewan Ketahanan Nasional yang dibentuk dalam kerangka Pasal 35 ayat (3) dan (4) UU No. 20 tahun 1982/UU No 1 tahun 1988. Saya mengatakan “dalam kerangka” karena dalam UU No 20 tahun 1982 tersebut yang ada adalah Dewan Pertahanan Keamanan Nasional, dan bukan Dewan Ketahanan Nasional. Saya tidak tahu mengapa Presiden BJ Habibie, pada masa lalu menggunakan Dewan Ketahanan Nasional dan bukan Dewan Pertahanan Keamanan Nasional dalam KEPUTUSANPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 101 TAHUN 1999 TENTANG DEWAN KETAHANAN NASIONAL DAN SEKRETARIAT JENDERAL DEWAN KETAHANAN NASIONAL. Dalam konsiedrans menimbang disebutkan “a. bahwa peran Dewan Pertahanan Keamanan Nasional perlu disesuaikan dengan perkembangan obyektif perumusan kebijaksanaan dan strategi nasional dalam rangka pembinaan ketahanan nasional . b. bahwa dipandang perlu untuk mengubah nomenklatur, tugas dan fungsi Dewan Pertahanan Keamanan menjadi Dewan Ketahanan Nasional; c. bahwa dengan berubahnya Dewan Pertahanan Keamanan Nasional menjadi Dewan Ketahanan Nasional, dipandang perlu untuk menyesuaikan nomenklatur, tugas dan fungsi Sekretariat Jenderal Dewan Pertahanan Keamanan Nasional menjadi Sekretariat Jenderal Dewan Ketahanan Nasional;” Dalam konsiderans mengingat Keppres tersebut rujukan adalah pada UU No. 20 tahun1982/UU N0.1 tahun 1988.

Dewan Ketahanan Nasionl ini, untuk saat ini, dapat bertahan semata-mata atas kekuatan Aturan Peralihan UU No. 3 tahun 2002 dan tidak adanya peninjauan ulang mengenai kesesuaian Keppres No. 101 tahun 1999 terhadap UU No. 3 tahun 2002. Aturan Peralihan UU No. 3 tahun 2002 berbunyi:

Pasal 26
Pada saat berlakunya Undang-undang ini, semua peraturan pelaksanaan tentang pertahanan negara yang sudah ada dinyatakan tetap berlaku selama peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan Undang-undang ini belum dikeluarkan dan sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan Undang-undang ini.
Pasal 27
Organisasi atau badan yang merupakan unsur penyelenggaraan pertahanan negara yang sudah ada tetap berlaku sampai dengan diubah atau diganti dengan organisasi atau badan baru berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang ini.

Fungsi dan Tugas Dewan Pertahanan Nasional
Dalam Psal 13 ayat (1) UU No 3 tahun 2002 ditentukan bahwa “Presiden berwenang dan bertangungjawab atas pengelolaan system pertahanan Negara”. Pasal 13 ayat (2) menentukan “Dalam pengelolaan sistem pertahanan negara, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Presiden menetapkan kebijakan umum pertahanan negara yang menjadi acuan bagi perencanaan, penyelenggaraan, dan pengawasan sistem pertahanan negara.” Pasal 15 ayat (1) menentukan bahwa untuk menetapkan kebijaksanaan umum itu, Presiden dibantu oleh Dewan Pertahanan Nasional. Jika Pasal 15 ayat (1) menentukan Dewan Pertahanan Nasional untuk membantu Presiden menetapkan kebijakan umum pertahahan Negara, Pasal 15 ayat (2) menambah fungsi kepenasehatam Dewan Pertahanan Nasional sehingga juga mengenai pengerahan segenap komponen pertahanan Negara.  Pasal 15 ayat (3) lebih jauh menentukan “Dalam rangka melaksanakan fungsinya, Dewan Pertahanan Nasional mempunyai tugas :
a.       Menelaah, menilai, dan menyusun kebijakan terpadu pertahanan negara agar departemen pemerintah, lembaga pemerintah nondepartemen, dan masyarakat beserta Tentara Nasional Indonesia dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawab masing-masing dalam mendukung penyelenggaraan pertahanan negara.
b.      Menelaah, menilai, dan menyusun kebijakan terpadu pengerahan komponen pertahanan negara dalam rangka mobilisasi dan demobilisasi.
c.       Menelaah dan menilai resiko dari kebijakan yang akan ditetapkan.”

Dalam hubungan fungsi dan tugas Dewan Pertahanan Nasional ini menjadi pertanyaan, apakah kebijakan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama melibatkan TNI untuk penggusuran lokalisasi Kalijodo sah atau tidak.

Organisasi

Dewan Pertahanan nasional dipimpin oleh Presiden RI (Pasal 15 ayat (4) dengan anggota tetap, Wakil Presiden, Menteri Lur Negeri, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertahanan, dan Panglima TNI (Pasal 15 ayat (6) , dan anggota tidak tetap, yang terdiri atas pejabat pemerintah dan nonpemerintah yang dianggap perlu sesuai dengan masalah yang dihadapi (Pasal 15 ayat (6))..

Menjadi suatu soal tentu adalah mengapa Presiden yang memimpin Dewan ini. Dewan ini mempunyai fungsi sebagai penasehat Presiden. dalam menetapkan kebijakan umum pertahanan dan pengerahan segenap komponen pertahanan Negara. Apakah Presiden yang adalah ketua dewan penasehat memberikan nasehat kepada Presiden. Saya kurang memahami segi administratif, sehingga mungkin saya keliru dalam memahami makna Presiden memimpin Dewan Pertahanan Nasional. Sekedar perbandingan, Psal 35 UU No No. 20 tahhun 1982/UU No. 1 tahun 1988 tidak menyatakan Presiden memimpin Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional, tetapi Keppres No. 101 tahun 1999 menentukan juga bahwa Dewan Ketahanan Nasional dipimpin oleh Presiden. Hal ini terjadi dengan Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional menurut Keppres No. 51 tahun 1991 tentang PERUBAHAN KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 51 TAHUN 1970 TENTANG DEWAN PERTAHANAN KEMANAN NASIONAL, yang menyebut Presiden RI sebagai Ketua Dewan.

Menyangkut anggota Dewan Pertahanan Nasional ini memang ada suatu yang mengganjal bagi para pejabat tinggi yang ada mengingat menurut UU No.  3 tahun 2002 ini anggota tetap terbatas hanya pada Wakil Presiden, Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertahanan dan Panglima TNI. Susunan Organisasi Dewan Ketahanan Nasional inti saat ini sesuai Pasal 7 ayat (1)  Keppres No. 101 tahun 1999 adalah:
(1)          Susunan organisasi Wantannas terdiri dari:
a.             Ketua Dewan: Presiden Republik Indonesia;
b.             Sekretaris Dewan: Sekretaris Jenderal Wantannas merangkap anggota;
c.              Anggota Dewan:
1.             Wakil Presiden Republik Indonesia;
2.             Menteri Negara Koordinator Bidang Politik dan Keamanan;
3.             Menteri Negara Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri;
4.             Menteri Negara Koordinator Bidang Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan Aparatur Negara;
5.             Menteri Negara Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan;
6.             Menteri Negara Sekretaris Negara;
7.             Menteri Dalam Negeri;
8.             Menteri Luar Negeri;
9.             Menteri Pertahanan Keamana
10.         Menteri Penerangan;
11.         Menteri Kehakiman;
12.         Panglima ABRI;
13.         Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara.

Dalam situs web Dewan Ketahanan Nasional disebutkan anggota inti sesuai Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 1999,  adalah Wakil Presiden, Sesjen Wantannas selaku Sekretaris merangkap anggota sidang, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Menteri Sekretaris Negara; Menteri Dalam Negeri; Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan, Menteri Komunikasi dan Informatika, Menteri Hukum dan HAM, Panglima Tentara Nasional Indonesia, Kepala Kepolisian RI, Kepala Badan Intelijen Negara. 

Jika harus diubah jadi Dewan Pertahanan Nasional sesuai UU No. 3 tahun 2002, tentu Menteri-menteri lain, selain Menlu, Mendagri, Menhan, Kapolri, dan Kepala BIN serta Sesjen Wantannas atau Dewan Pertahanan Nasional bukanlah anggota tetap. Memang dapat saja mereka diangkat sebagai anggota tetapi bukan anggota tetap. Boleh jadi hal ini menjadi factor mengapa Dewan Pertahanan Nasional tidak pernah dibentuk.

Sebagaimanasaya tulis di bog ini mengenai Dewan Ketahanan Nasional, ada masalah juga mengingat banyak pejabat, di Sekretariat termasuk Sesjen Dewan Ketahanan Nasional, adalah prajurit aktif TNI. Menurut Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU No.34 tahun 2004 tidak sah. Maka tetap perlu dibentuk Dewan Pertahanan Nasional karena, bagaimanapun, Dewan Ketahanan Nasional sangat rapuh landasan hukumnya.