Rabu, 24 Juni 2009

Internet Governance

Dalam minggu ini, Internet Corporation for Assigned Names and Numbers (ICANN) mengadakan pertemuan ke 35 di Sydney Australia. Diantara topic yang menjadi perhatian adalah usulan dari Komisi Masyarakat Eropa, yang dituangkan dalam sebuah komunikasi berjudul Internet governance: the next steps.
Cukup menarik perhatian saya mengenai apa pengertian dari Internet Governance ini. Hasil-hasil dari Pertemuan ICANN tersebut akan dituliskan setelah selesainya pertemuan tersebut.
Para 34 dari TUNIS AGENDA FOR THE INFORMATION SOCIETY menyatakan:
“A working definition of Internet governance is the development and application by governments, the private sector and civil society, in their respective roles, of shared principles, norms, rules, decision-making procedures, and programmes that shape the evolution and use of the Internet.” Dari defenisi yang disebutkan di atas, dapat ditarik tiga hal yang dilakukan dalam Internet Governance ini, yaitu standardisasi teknis, pengalokasian dan pemberian sumberdaya, dan formulasi kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan penyelesaian sengketa.
Standardisasi teknis
Hal pertama adalah standardisasi teknis. Hal ini berkaitan dengan bagaimana keputusan-keputusan dibuat berkenaan dengan protocol-protokol dasar jaringan, aplikasi-aplikasi perangkat lunak, dan standar format data yang membuat internet bekerja dengan baik. Organisasi-organisasi yang melaksanakan fungsi ini mendefenisikan, mengembangkan, dan mencapai consensus mengenai spesifikasi teknis. Spesifikasi-spesifikasi kemudian dipublikasikan sebagai suatu cara untuk pengkkordinasiaan pembuatan peralatan, desain software, dan ketentuan-ketentuan pelayanan yang akan memastikan kesesuaian dan keberoperasian teknis. Standardisasi teknis dari Internet telah dilakukan terutama oleh para pelaku dari kalangan swasta.
Dalam Internet Governance, kerapkali terdapat hubungan yang sangat erat antara factor-fator teknis dan kebijakan. Pilihan-pilihan kebijakan dapat dibatasi oleh arsitektur teknis atau harus memberhatikan kelayakan teknis. Pada sisi llain, kadangkala terdapat tekanan yang diberikan kepada para pengembang standar teknis untuk merefleksikan keputusan-keputusan mengenai kebijakan dalam pengembangan standar-standar.
Pengalokasian dan Pemberian Sumberdaya
Hal kedua adalah pengalokasian dan pemberian sumberdaya. Ketika penggunaan sumberdaya global, seperti space untuk alamat IP, spectrum radio atau nomor kode Negara, harus eksklusif, penggunaan harus dikoordinasikan atau diadministrasikan oleh suatu organisasi atau beberapa mekanisme yang lain. Otoritas pemberian mengalokasika space sumberdaya dan memberikan bagian darinya kepada pengguna yang spesifik. Mereka juga mengembangkan kebijakan-kebijakan prosedur-prosedur atau aturan-aturan untuk membimbing keputusan-keputusan mengenai pengalokasian dan pemberian. Fungsi ini merupakan sumber awal dari perselisihan mengenai Internet Governance, dimana perselisihan mengenai pemberian Domain Name Tingkat Tinggi membawa pada pembentukan Internet Corporation for Assigned Names and Numbers (ICANN).
Pemberian sumberdaya bukanlah hal yang sama dengan standardisasi teknis. Standar teknis dapat menciptakan sumberdaya virtual yang mewajibkan pemberian yang eksklusif ketika dibuat beroperasi (contohnya standar-standar teknis protocol IP menciptakan space alamat dan Protokol DNS mendefenisikan space domain name. Namun demikian, mendefenisikan dan mencapai consensus mengenai standar adalah fungsi yang sama sekali berbeda dari pengalokasian dan pemberian selanjutnya atas sumber daya. Beberapa organisasi mengkombinasikan kedua fungsi itu, seperti IEEE Ethernet group, ITU; sementara yang lain, seperti ICANN, IETF, North American Numbering Council, tidak melakukannya. Persoalan mengenai otoritas dibelakang organisasi-organisasi atau mekanisme-mekanisme adalah perlu dalam pengalokasian sumber daya. Siapa yangpaling bertanggungjawab untuk pengambilan keputusan, baik dalam pengertian hokum maupun politik, menjadi perlu dan kerapkali entitas yang mempunyai otoritas yang legitimate dapat mempengaruhi bagaimana sumberdaya diberikan. Dalam hal sumber daya langka, control atas institusi menjadi perlu bagi pelaku yang berkenaan.
Formulasi Kebijakan, Pelaksanaan dan Penyelesaian Sengketa
Hal ketiga adalah pembuatan kebijakan. Hal ini merujuk pada formulasi kebijakan, pelaksanaan dan pemantauan, dan penyelesaian sengketa. Ia mencakup pengembangan norma-norma, aturan-aturan dan prosedur-prosedur yang mengatur tingkah laku dari manusia dan organisasi, sebagai kebalikan dari struktur dan operasi dari teknologi. Meskipun Internet sendiri adalah semata-mata saluran untuk berkomunikasi dan oleh karenanya kebijakan bersifat netral, banyak issu kebijakan public timbul baik sebagai konsekwensi dari penggunaannya oleh pertumbuhan dalam penggunaan dalam koneks internasional atau karena Negara-negara dan actor bukan Negara ingin merespons pada masalah-masalah nasional maupun internasional dengan mengatur system teknologi itu sendiri.
Prinsip-prinsip dalam Internet Governance
Dalam komunikasi yang disampaikan oleh Komisi Eropa tersebut diatas disebutkan bahwa Prinsip-prinsip dasar yang menjadi kerangka dasar dalam Internet Governance adalah perlunya keamanan dan stabilitas dari Internet secara global, penghargaan terhadap hak asasi manusia, kebebasan berekspresi, privasi, perlindungan atas data-data pribadi, dan memajukan keragaman bahasa dan kebudayaan. Sebagai tambahan atas prinsip-prinsip tersebut Komisi Eropa tersebut menambahkan prinsip-prinsip yang harus ada, antara lain adalah Kepemimpinan dari sector swasta dalam menjalankan operasi Internet sehari-hari perlu tetap dipelihara tetapi badan-badan swasta yang bertanggungjawab untuk mengkoordinasikan sumber daya Internet Global perlu diakui oleh komunitas internasional untuk tindakan-tindakan mereka. Peranan pemerintah harus difokuskan terutama pada hal-hal fundamental menyangkut kebijakan public dan tidak terlibat dalam pengoperasian sehari-hari.

Senin, 22 Juni 2009

AUDIT HUKUM ATAS SITUS WEB

Seiring dengan perkembangan yang demikian pesat dalam menyelenggarakan bisnis di Internet adalah baik jika pada permulaan menyadari sifat global dari Internet yang melampaui batas-batas negara. Suatu situs yang dijalankan di Indonesia dapat diakses di seluruh dunia dan akan membuat mungkin tuntutan hukum bagi siapapun. Sehubungan dengan hal itu bagi para penyelenggara jasa Internet, para tukang Internet dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya memperhatikan masalah-masalah hukum yang mungkin akan timbul sehubungan dengan penyediaan jasa Internet.


Indonesia sudah mengundangkan beberapa undang-undang yang berkaitan dengan internet. Sebutlah UU Hak Cipta dan UU ITE. Keberadaan dari kedua undang-undang ini membuat perlu melakukan audit hukum atas situs web. Kedua undang-undang itu memberikan sanksi hukum yang ketat atas pelanggaran-pelanggaran terhadap larangan yang diatur dalam undang-undang tersebut.


Banyak masalah hukum yang timbul dengan adanya web site. Sangatlah bijaksana jika memperhatikan masalah-masalah hukum sebelum timbul masalah yang tidak menyenangkan dikemudian hari. Pepatah lama mengatakan lebih baik mencegah daripada mengobati. Untuk itu perlu dilakukan pemeriksaan atas situs sebelum dilaunch secara publik. Atau jika hendak membeli suatu situs, maka jasa dari konsultan hukum sangat diperlukan dalam melakukan due diligence. Jika ternyata ada masalah sangat baik jika diselesaikan terlebih dahulu untuk melakukan perubahan dimana perlu sehingga situs web yang bersangkutan benar-benar aman.


Tulisan ini dimaksudkan membicarakan beberapa issu yang perlu diperhatikan dalam melakukan audit atas suatu situs web sebelum mulai dilaunch. Untuk keperluan due-diligence, tulisan ini dapat menjadi kerangka dasar.


Domain Name
Hal pertama yang harus diperhatikan adalah domain name. Apakah Anda berhak atas domain name yang akan Anda gunakan? Banyak sengketa yang muncul sehubungan dengan domain name dan hal yang paling aman adalah bertanya kepada penasehat hukum yang bergerak di bidang hak kekayaan intellektual apakah domain name yang akan digunakan sudah didaftarkan oleh pihak lain sebagai merek. Jika ternyata aman maka sebaiknya juga domain name yang digunakan didaftarkan sebagai merek. Di beberapa negara seperti Amerika Serikat domain name sudah dapat didaftarkan sebagai merek.


Pencipta Situs
Beberapa pertanyaan yang perlu diajukan dalam hal ini adalah sekitar siapakah pencipta situs Anda. Apakah Anda sendiri yang menciptakannya ataukah pegawai Anda atau oleh pihak ketiga, penyedia jasa disain web? Jika yang pertama tentu tidak terlalu soal. Jika yang kedua dan ketiga maka perlu memperhatikan ketentuan dalam pasal 8 Undang-Undang Hak Cipta dan perjanjian tertulis yang mengatur mengenai hak cipta apakah hak cipta beralih kepada Anda atau Anda hanya mendapatkan lisensi menggunakan material yang diciptakan oleh disainer.


Jika Anda adalah seorang disainer situs web yang menciptakan situs web untuk klien Anda, perlulah dipersoalkan bagaimana status dari perjanjian disain web. Hak apakah yang Anda miliki atas situs web yang Anda ciptakan untuk klien Anda itu?

Isi dari Situs Web

Apakah isi dari situs web yang bersangkutan? Jika Anda sendiri pencipta dari situs itu dan tidak ada material yang dimiliki oleh pihak lain, maka tidak menjadi persoalan. Namun jika ada material pihak lain seperti gambar, grafis, foto, material tertulis, musik, film dan lain-lainnya yang diciptakan oleh pihak lain diperlukan suatu kesepakatan mengenai hak untuk menggunakan material tersebut.


Keadaan tersebut berbeda jika pihak lain yang menciptakan situs web tersebut. Dalam hal ini masalah-masalah yang harus diselesaikan adalah:
Apakah pihak lain tersebut adalah pegawai yang bekerja untuk Anda? Undang-Undang Hak Cipta telah melahirkan beberapa issu yang berkenaan dengan masalah ini. Membuat jelas soal ini akan membuat jernih mengenai hak apa yang Anda miliki atas material yang diciptakan oleh pihak lain tersebut dalam situs web tersebut.
Jika penciptanya bukan pegawai apakah sudah dibuatkan suatu perjanjian yang menyatakan bahwa semua hak dialihkan kepada anda?

Apakah dalam situs terdapat material yang ditempatkan oleh pihak ketiga yang tidak dilisensikan? Banyak situs yang menyediakan “chat rooms”atau suatu tempat bagi pihak ketiga untuk menempatkan pesannya. Apakah pemilik situs menyediakan suatu mekanisme yang ditempatkan dalam situs melalui mana hak atas suatu material ditentukan atau diserahkan kepada pemilik situs. Apakah ada suatu tata cara penggunaan yang dapat dilihat dalam monitor yang harus dibaca dan disetujui oleh pengunjung sehingga pengunjung dapat menempatkan pesannya. Tidak semua situs mempunyai ketentuan yang sama mengenai hal ini. Detik.com, misalnya, mensyaratkan pengunjung untuk memberikan informasinya dan menyetujui term of use sebelum mulai dapat menempatkan pesan disitusnya. Hukumonline.com mempunyai ketentuan yang lebih longgar. Anda hanya perlu mengisikan nama dan alamat e-mail anda bahkan jika sekiranyapun anda menggunakan nama samaran dan e-mail anda itu hanya e-mail-emailan.
Apakah Anda sudah mendaftarkan situs itu sebagai hak cipta pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual? Undang-Undang Hak Cipta memang tidak mewajibkan pendaftaran hak cipta, tetapi sangatlah baik jika mendaftarkannya untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.


Apakah Anda sudah mendapatkan ijin untuk menciptakan link dengan situs lain. Masalah yang sesungguhnya mendera adalah masalah deep linking. Deep linking merupakan suatu praktek dimana dari suatu situs dibuat link ke situs lain tanpa melalui halaman utama (home page). Linking sendiri merupakan suatu hal yang vital bagi struktur dari Internet. Sangat jarang suatu website tidak membuat link ke situs lainnya. Link membuat web dapat ditata sedemikian rupa sehingga memudahkan pengguna Internet untuk menemukan apa yang dicarinya. Banyak situs yang mewajibkan pihak-pihak yang ingin menciptakan link ke situsnya untuk mendapatkan ijin terlebih dahulu. Dengan menggunakan deep linking terhadap suatu situs, pengguna diijinkan untuk memasuki suatu situs dengan membypass home page yang kerapkali berisi iklan, syarat-syarat dan kondisi dan informasi yang berguna untuk penggunaan situs itu.


Siapa yang menciptakan META tag dan kata kunci? Apakah Anda sudah pasti mengenai masalah yang potensial muncul sehubungan dengan metatag? Masalah seperti ini telah muncul ke permukaan sehubungan dengan perluasan jangkauan hukum merek ke dunia maya.


Apakah Anda sudah membuat suatu pernyataan (Disclaimer) yang cukup jelas bagi para pengunjung ke situs web.

Hak
Masalah selanjutnya yang perlu diperhatikan dalam hal penggunaan adalah hak apa yang anda miliki untuk menggunakan material yang diciptakan oleh pihak lain. Terdapat beberapa pertanyaan yang harus dimajukan.
1. Jika Anda sudah mendapatkan hak melalui suatu perjanjian tertulis yang sah dan menandatangani perjanjian sesuai dengan Pasal 8 UU Hak Cipta, barangkali Anda akan memiliki semua hak meliputi hak untuk menempatkan material dalam situs web. Bagaimanapun perjanjian semacam ini perlu diperiksa oleh penasehat hukum yang handal karena memang UU Hak Cipta memberikan pengertian dan syarat yang samar-samar mengenai hal ini.
2. Jika Anda memiliki perjanjian yang lain maka perjanjian itu juga harus diperiksa untuk menentukan apakah hak-hak itu juga meliputi hak atas situs web. Hak-hak semacam ini disebut electronic right. Dalam hal ini yang perlu dipertanyakan adalah apakah hak itu hak atas web site ataukah hak itu merujuk pada penggunaannya untuk format elektronik seperti CD-ROM atau DVD. Apakah dalam hak itu termasuk hak untuk mensublisensikan hak ke situs yang lain atau hak untuk menempatkan material dimanapun yang dimaui.
3. Representasi dan jaminan apa yang diberikan oleh licensor atas lisensi tersebut? Apakah ada janji yang dibuat dimana licensor benar-benar memiliki hak atas semua hak yang diberikan kepada Anda?

Material Yang Ditempatkan
1. Apakah Anda potensial untuk bertanggungjawab atas pelanggaran hak cipta atau merek atau penghinaan atau privacy? Masalahnya disini adalah tingkatan pengawasan atas material yang digunakan dalam situs. Kontrol yang lebih besar akan membuat Anda bertindak sebagai seorang publiser dan dengan demikian mengemban tanggungjawab hukum yang lebih besar. Semakin kecil pengawasan yang Anda lakukan semakin sedikit tanggungjawab anda atas material yang potensial membebankan tanggungjawab hukum.
2. Apakah Anda menyediakan suatu pernyataan yang akurat atau menyediakan software yang dapat mengenyahkan setiap material yang tidak sesuai dengan situs Anda. Situs hukumonline.com, misalnya, menyediakan suatu software, dimana jika terdapat kata-kata yang kasar untuk ditempatkan akan disingkirkan sehingga tidak akan masuk dalam situsnya.
3. Apakah dalam situs terdapat material yang digunakan untuk tujuan komersial yang mungkin melanggar bidang hukum lain, seperti hukum anti persaingan tidak sehat? Apakah situs tersebut menerima iklan dari pihak lain dan apakah iklan tersebut sudah memenuhi persyaratan yang ditentukan untuk itu? Apakah ada perjanjian dengan pihak pengiklan yang mencakup masalah-masalah hukum yang timbul?
4. Jika situs Anda menyediakan data base, apakah sudah dilakukan suatu langkah yang perlu untuk melindunginya berdasarkan hukum hak cipta? Memang Undang-Undang Hak Cipta Indonesia sampai dengan saat ini masih belum mengaturnya secara akurat. Berdasarkan WIPO COPYRIGHT TREATY, perlindungan atas database ini dilindungi dengan hukum hak cipta. Kita masih harus menunggu bagaimana pembuat undang-undang mengatur masalah ini.

Operasional dari Situs
1. Apakah Anda memiliki suatu kontrak online dalam situs anda yang mengikat secara hukum. Apakah Anda juga mempunyai persyaratan untuk pelayanan di luar kontrak secara online? Apakah seorang pengunjung harus memberikan persetujuan secara affirmatif terlebih dahulu tentang semua pernyataan mengenai isi dari situs yang terdapat dalam situs anda sebelum mulai membaca situs Anda?
2. Apakah anda menyediakan suatu fasilitas yang dapat melakukan komunikasi secara interaktif diantara para pengguna situs anda seperti chat rooms? Kebijakan apa yang disediakan untuk itu? Apakah pengguna/pengunjung harus memberikan persetujuan secara affirmatif terhadap kebijakan itu sebelum menempatkan pesannya?
3. Apakah ada kebijakan mengenai privacy dan apa isinya?
Penutup
Beberapa masalah menyangkut suatu situs yang disebutkan di atas hanyalah bagian terkecil dari keseluruhan masalah. Tiap-tiap situs harus diaudit berdasarkan sifat dari situs yang bersangkutan, apakah hanya untuk menempatkan informasi pribadi, untuk bisnis, pendidikan dan lain-lainnya. Tulisan ini sudah barang tentu tidak mengkover semua masalah yang mungkin akan timbul.

Bagi para penasehat hukum perlu melakukan eksplorasi lebih jauh beberapa issu hukum yang disebutkan di atas dalam memberikan pelayanan kepada klien. Sudah barang tentu pemilik situs membutuhkan penasehat hukum yang handal untuk memberikan nasehat hukum mengenai resiko yang mungkin akan timbul dari penciptaan suatu situs. Memang tidak semua resiko dapat diperkirakan sebelumnya, apalagi soal Internet yang masih sesuatu hal yang baru dan belum ada ketentuan yang bersifat universal. Tetapi paling tidak para pemilik situs web perlu mempertimbangkan untuk melakukan audit hukum atas situs webnya guna menghindari resiko hukum yang mungkin timbul.

Jumat, 19 Juni 2009

Debat Capres: Perlu pemandu debat yang hadal

Sewaktu memberikan tanggapan balik atas pandangan para Capres atas posisi yang diambil Ibu Megawaty dalam debat Capres mengenai perlindungan atas Tenaga Kerja Indonesia, beliau menyatakan "Semua ngikut saya". Dua Capres lain memang mantan menteri pada masa pemerintahan Ibu Mega.
Kata "semua" dimaksudkan kepada kedua Capres lain, dan bukan semua pemilih yang akan memberikan suara dalam pengambilan keputusan dalam pengadilan rakyat tanggal 8 Juli 2009 yang akan datang.
Sebagaimana dicela oleh berbagai surat kabar yang saya baca hari ini, debat Capres tersebut tidak menimbulkan perdebatan. Yang ada hanya sekedar "saling mengamini" dan tidak ada kejutan yang menyenangkan. Pemandu debatnya, sungguh berhasil sebagai entertainer tetapi gagal sebagai pemandu debat. Pada penghujung debat beliau menyatakan bahwa debat berlangsung secara elegan dan bermartabat. Sayangnya esensi debat bukan semata-mata pada kesantunan yang ditunjukkan tetapi pada kandungan debat itu sendiri.
Saya melihat pemandu debat yang bersangkutan gagal sebagai pemandu debat. Sebaiknya, untuk putaran debat berikutya dicarikan pemandu debat yang lebih baik.

Collecting Society menggugat YouTube

French independent labels collecting society SPPF dilaporkan telah mendattarkan gugatan melawan YouTube karena dugaan pelanggaran hak cipta. Dalam sebuah pernyataan SPP menyatakan bahwa lebih dari 100 video musik yang telah dicabut dari You Tube tahun 2008, muncul lagi dalam berbagai bentuk dalam YouTube. Dalam pemberitaan disebutkan bahwa SPPF mengklaim kerugian sebesar €10 juta.
Akankah Collecting Society, mewakili para anggotanya, di Indonesia mengajukan klaim serupa atas pelanggaran hak cipta atas video musik di YouTube?

Rabu, 17 Juni 2009

Aturan-aturan yang potensial menghambat perdagangan


European Commission melaporkan aturan-aturan yang potensial menghambat perdagangan yang dikeluarkan mitra dagangnya dari Negara-negara G20. Indonesia adalah salah satu Negara yang dilaporkan sebagai membuat aturan yang potensial menghambat perdagangan dengan Eropa.

Aturan-aturan yang dikeluarkan oleh Indonesia, yang menurut laporan tersebut potensial menghambat perdagangan dengan Eropa, adalah menyangkut Aturan perbatasan, aturan internal, dan pembatasan ekspor. Deskripsi dari aturan-aturan Indonesia, sebagaimana disebut dalam laporan tertanggal 12 June 2009 tersebut, adalah sbb:

1.Aturan Perbatasan,
• A regulation which entered into force on 15 December 2008 imposed burdensome requirements on imports on over 500 products. Imports are subject to licenses, must undergo pre-shipment inspection and can only enter the country through six seaports and international airports. Sectors affected: clothing/textiles, electronics, toys, footwear and food/beverages. It became effective for clothing and textiles on 1 January 2009 and for other products on 1 February 2009. The economic impact for EU exporters is up to EUR 630 million19. However, importers with a priority lane status (including biggest European companies) are exempted from these requirements, which reduces its impact.

• Ministry of Trade Decree 8/2009 (08/M-DAG/PER/2009) requires that 200 iron and steel products can only be imported by licensed importers and that all shipments must undergo a pre-shipment inspection. The requirement for pre-shipment inspection was postponed until 30 April 2009. Other requirements imposed by the Decree (import licenses) will apply nevertheless. The application of the Decree has been further delayed since the Minister of Trade is still considering which user industries should be excluded. No firm date for application has been set.

• From August - September 2008 the Indonesian food and drug regulatory agency started to vigorously enforce the requirement that all foodstuffs must be approved and registered. It is reported that it can take 6 to 9 months to register a product. BPOM seems to recognise to a certain extent the long delays in registration and has committed itself to reducing the time to 3 months (the legal requirement is 45 days).

• Ministry of Health Decree 1010/2008 restricts the scope of imported drugs that can be registered and provided that drugs which are currently importedmust be manufactured locally within 5 years. The Decree was adopted and became effective on 3 November 2008. Contrary to previous commitments to ensure that existing foreign importers (so called PBF companies) could continue to register their products, the Ministry of Health has back tracked to its original position so that drugs can only be imported if they fulfil a need and are not manufactured locally and imported drugs can only be registered by companies having manufacturing facilities in Indonesia. EU exports of pharmaceuticals to Indonesia amounted to EUR 145 million in 2007..

• Ministry of Finance Decree 19/2009 raises import tariffs on some products that are competing with locally manufactured products. This includes products such as milk, animal or vegetable oils, fruit juices, coffee and tea, chemicals, silver, steel, electronic products (machines, TVs etc.), manufactured products are as follows: packaged juices (10 to 15%), instant coffee (5 to 10 %), iron wire (7,5 to 10%), wire nails (0 to 7,5%) and electrical and non-electrical milling machines (0 to 7,5%). At the same time certain tariffs are reduced, mainly on input products needed for local manufacturing (e.g. dairy products and base chemicals). The Decree was adopted on 13 February 2009.

• The Ministry of Trade decided to prolong an import ban on sugar. Imports were to be allowed from 1 January 2009, but the import ban was prolonged until the end of April. In 2008, the Ministry of Trade only allowed imports of sugar during 3 months after previously promising to keep imports open for 6 months. The ban mainly affects the EU food and beverage manufacturing industry established in Indonesia as they need reliable access to high quality sugar for their manufacturing processes.

2.Aturan Internal


• In November 2008 the Ministry of Communications published a draft Decree on its web-site (for public consultation) that imposes a minimum 30% local content requirement on telecom equipment acquired by local operators. The Decree has still not been adopted and our latest information indicates that the Indonesian government might be re-considering the local content requirement.

• Ministry of Industry is proposing, through two decrees, to introduce mandatory standards and certification for a number of iron and steel products23. The requirements apply to both imported and domestically manufactured products. The two draft decrees have been notified under the WTO TBT Agreement24. It is not clear when they would be enacted. EU exports of iron and steel25 in Indonesia in 2007 amounted to about EUR 261 million.

• Potential local content requirement for public procurement of goods. Presidential instruction No. 2/2009 which entered into force on 9th February 2009, which stipulates that all state administration should "optimize" the use of domestic goods and services and give price preferences for domestic goods and providers, according to Guidance for Increasing the Use of Domestic Goods and Services set by the Ministry of Industry. This is a list of 470 products in 21 sectors. A national team has been set up, consisting of key ministers, which has the power to formulate policies and strategies to intensify the use of domestic goods. The President has also launched an "I Love Indonesia" campaign to promote domestic products. There have been rumours that the Ministry for Industry would be planning to introduce a local product requirement of 25 % to all retailers in Indonesia.

• Increased costs and delays for European tyre exports to Indonesia. Ministry of Industry / Indonesian National Standards Agency (SNI) has begun to require onsite nspections of tyre manufacturing plants in Europe for allowing tyre exports om these factories to Indonesia.

• Mandatory standard, certification and marking requirements for refined crystal sugar. Entered into force on 13 March 2009.

3.Pembatasan Ekspor

• A new mining law adopted on 16 Dec 2008 requires that minerals and coal must be processed before export. The Government has 1 year to put into place the necessary implementing regulations to give effect to the provisions of the law.

• Obligation for exporters of certain products (palm oil, minerals, also coal, coffee, cocoa and rubber) to obtain letters of credit from local banks for export transactions exceeding US$ 1million. In addition, exporters will be barred from receiving payment from foreign customers through overseas bank accounts. Companies with existing long-term contracts have been granted postponement until end of August 2009.

Minggu, 14 Juni 2009

Larangan terhadap Rokok Kretek di AS

Kongres Amerika Serikat menyetujui Rancangan Undang-undang dan menyerahkannya kepada Presiden Obama untuk ditandatangani, yang akan disebut sebagai Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act' . Obama sendiri pada waktu masih menjadi Senator mendukung RUU ini. Dilaporkan oleh Yahoo News bahwa Obama akan secepatnya menandatangani RUU ini menjadi Undang-undang.
RUU ini akan melarang perdagangan rokok kretek di Amerika Serikat. Larangan ini belum berlaku bagi rokok mentol, kecuali FDA memutuskan kemudian bahwa rokok mentol ini membahayakan kesehatan. Jadi RUU ini dipandang sebagai bersifat diskriminatif. Sebagaimana disebutkan oleh Jakarta Globe, Indonesia sendiri akan mengalami kerugian yang sangat besar karena larangan ini.
Dutabesar Indonesia untuk Amerika Serikat, Sudjadnan Parnohadiningrat, sebagaimana dilaporkan oleh Blomberg, sudah menyampaikan keberatannya kepada Pemimpin Majoritas senat AS, dan mengancam akan mengusung persoalan ini ke WTO. Mari Pangestu, dalam berita yang sama menyatakan, bahwa aturan yang akan ditetapkan Amerika Serikat ini akan melukai petani tembakau di Indonesia dan akan melanggar aturan WTO.Sementara Wydiastuti Soerojo, Kepala Pengawasan Tembakau pada Assosiasi Kesehatan Masyarakat menyatakan bahwa larangan tembakau lebih merupakan persoalan politik daripada bisnis.
Dasar dari larangan tersebut adalah menyaangkut alasan kesehatan. Sesuai dengan Perjanjian SPS WTO, suatu larangan atas kesehatan harus didasarkan pada bukti ilmiah. Tidak jelas apakah rokok kretek membahayakan sedangkan rokok mentol tidak. Industri rokok di Amerika Serikat, sebagaimana dilaporkan oleh Blomberg mendukung RUU ini. Patut diduga bahwa target dari RUU tersebut adalah rokok buatan luar AS, terutama rokok kretek Indonesia.

Kamis, 11 Juni 2009

Klaim kedaulatan wilayah

Perselisihan Indonesia dengan Malaysia menyangkut Ambalat merupakan suatu hal yang perlu diselesaikan dengan segera dan jika perlu tidak diselesaikan dengan “diplomasi ditambah cara-cara lain”. Dalam sengketa wilayah sedemikian, Mahkamah Internasional telah memberikan pertimbangan yang perlu diperhatikan dalam kasus-kasus sedemikian.
Dalam mengenai kedaulatan atas pulau Ligitan dan Sipadan, Mahkamah Internasional memutuskan bahwa kedaulatan atas Ligitan dan Sipadan ada pada Malaysia. Hal ini didasarkan atas penguasaan yang berkelanjutan atas kedua pulau itu. Malaysia tidak memenangkan perkara itu karena adanya undang-undang atau traktat yang menyebutkan bahwa kedua pulau itu berada di bawah kedaulatan Malaysia.
Beberapa pandangan dari Mahkamah dalam kasus tersebut di atas yang perlu mendapatkan perhatian dalam mempertahankan kedaulatan atas wilayah-wilayah Indonesia oleh Indonesia adalah sebagi berikut (terjemahan seadanya):

134. Mahkamah pertama-tama mengingatkan pernyataan dari Permanent Court of International Justice dalam kasus Legal Status of Eastern Greenland (Denmark v. Norway): “suatu klaim atas kedaulatan yang tidak didasarkan pada undang-undang atau hak khusus seperti traktat penyerahan wilayah tetapi semata-mata atas pamer kekuasaan secara berkelanjutan, meliputi dua unsur yang masing-masing harus ditunjukkan ada: maksud dan kehendak untuk bertindak sebagai yang berdaulat, dan beberapa pelaksanaan dan pertunjukan yang actual dari kekuasaan sedemikian.
Keadaan-keadaan lain yang harus diperhatikan oleh setiap majelis yang harus memproses suatu klaim atas kedaulatan atas wilayah tertentu, adalah sejauh mana kedaulatan juga ditunjukkan oleh Kekuasaan lain.”
Permanent Court melanjutkan:
“Adalah tidak mungkin membaca rekaman-rekaman putusan-putusan dalam kasus-kasus mengenai kedaulatan wilayah tanpa memperhatikan bahwa dalam banyak kasus majelis telah puas dengan sangat sedikit cara pelaksanaan yang actual dari hak-hak kedaulatan, dengan ketentuan bahwa Negara lain tidak dapat membuat klaim yang lebih kuat. Hal ini secara khusus benar dalam kasus klaim atas kedaulatan atas wilayah-wilayah yang berpenduduk sedikit atau Negara-negara yang tidak kuat.” (P. C.I. J., Series AIB, No. 53, pp. 45-46.)
Secara khusus dalam kasus atas pulau-pulau yang sangat kecil yang ditidak dihuni atau tidak secara permanent dihuni –seperti Ligitan dan Sipadan, yang kepentingan ekonomisnya kecil (sekurang-kurangnya sampai baru-baru ini)- effectivities akan tentu secara umum langka.
140. Terakhir, Indonesia menyatakan bahwa perairan disekeliling Ligitan dan Sipadan telah secara tradisional digunakan oleh nelayan-nelayan Indonesia. Mahkamah melihat, bagaimanapun, aktivitas-aktivitas oleh orang pribadi tidak dapat dilihat sebagai effectivities jika mereka tidak berlangsung atas dasar regulasi resmi atau di bawah wewenang pemerintahan.

147. Mahkamah melihat bahwa pembangunan dan pengoperasian mercu suar dan alat-alat Bantu navigasi tidak secara normal dipertimbangkan sebagai manifestasi-manifestasi dari Kewenangan Negara (Minquiers and Erechos, Judgement, ICJ Reports 1953, p. 71). Mahkamah, bagaimanapun, mengingatkan bahwa dalam putusannya mengenai Maritime Delimitation and Territorial Questions between Qatar and Bahrain (Qatar v Bahrain) ia menyatakan sebagai berikut:
“Tipe-tipe tertentu dari aktivitas-aktivitas yang disitir oleh Bahrain seperti pengeboran sumber air mancur akan, diambil oleh mereka sendiri, dipertimbangkan konstrversial sebagai perbuatan-perbuatan yang menunjukkan suatu titre de souverain. Pembangunan alat-alat Bantu navigasi, pada sisi lain, dapat secara relevan dalam kasus pulau-pulau yang sangat kecil. Dalam kasus sekarang ini, dengan memperhatikan ukuran dari Qit'at Jaradah, aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh Bahrain pada pulau tersebut harus dipertimbangkan cukup untuk mendukung klaim Bahrain bahwa ia mempunyai kedaulatan atas pulau itu.” Judgment, Merits, I.C.J. Reports 2001, pp. 99-100, para. 197.)
Mahkamah berpandangan bahwa pertimbangan-pertimbangan yang sama berlaku untuk kasus saat ini.

Pendapat dari Mahkamah tersebut menunjukkan hal-hal yang diperlukan untuk mempertahankan kedaulatan atas wilayah yang diklaim oleh pihak lain sebagai wilayahnya. Pertama, jika ada undang-undang atau traktat yang menetapkan bahwa wilayah tersebut berada di bawah kedaulatan Negara tertentu maka hal itu dapat dijadikan landasan. Kedua, jika tidak ada undang-undang atau traktat maka penguasaan yang efektif harus ditunjukkan. Penguasaan yang efektif atas wilayah-wilayah, sebagaimana dinyatakan oleh Mahkamah harus berada di bawah wewenang pemerintah. Tindakan dari orang-perorangan tidak dapat dikedepankan sebagai penguasaan yang efektif.
Oleh karena itulah pemerintah kita seyogyanya menentukan wilayah hukumnya dan menunjukkan penguasaan yang efektif atas pulau-pulau yang merupakan bagian dari Indonesia.

Selasa, 09 Juni 2009

Bahaya mengangguri situs web

Saya tadi menggoogle informasi soal e-government di Indonesia. Saya lalu menemukan situs yang menarik, http://www.egovindonesia.com. Dalam situs web tersebut saya membaca-baca banyak artikel soal e-gov. Salah satunya adalah dari Pak Budi Rahardjo, salah seorang pemuka di bidang TI di Indonesia. Lalu saya mencoba sebuah kolom pada bagian kanan “Sekilas eGov Beta dirilis”. Bunyinya:
Dear pengunjung,
“eGovIndonesia.Com merilis fitur baru, yaitu Sekilas eGov (sekilas.egovindonesia.com). Sekilas eGov merupakan koleksi berita dari berbagai situs egovernment di Indonesia. Konsepnya seperti dzone.com.”
Ketika saya mengklik pada hyperlink tersebut, yang muncul adalah iklan situs porno serta hyperlink ke situs dimana material pornografi tersebut ditempatkan. (terakhir dikunjungi tanggal 9 Juni 2009 pukul 11.04 WIB). Tapi itu hanya pada halaman satu saja. Halaman-halaman selanjutnya, informasi yang disediakan memang sesuai dengan peruntukannya, yaitu informasi tentang e-gov Indonesia.
Saya menduga, pengelola situs tersebut tidak sengaja menjadikan situsnya untuk menampung material dan hyperlink ke situs pornografi. Memang saya membaca di bagian bawah ada pengumuman tertanggal 1-5-2009 bahwa situs akan aktif kembali setelah vakum lama. Pengumuman sebelumnya adalah 20-11-2007. Jadi kemungkinan memang pengelola situs ini tidak mengontrol material yang ditempatkan oleh pihak ketiga disitus webnya.
Mengingat cyberlaw Indonesia makin ketat, saya kira pengelola situs web, terutama yang mengijinkan pihak ketiga/pengguna/pengunjung untuk menempatkan materialnya sendiri, harus tidak membiarkan situs webnya tanpa control. Pihak ketiga dapat menempatkan material apa saja, yang boleh jadi melanggar hokum dan merugikan pihak lain. Saya membaca Terms of Use dari situs web tersebut hanya meminta membuat account dan menyediakan hyperlink soal usia pengunjung. Tidak ada ketentuan lain. Salah-salah dapat diajukan tuntutan hukum atau kena perkara pidana.
Soal Terms of Use lihat disini.

Minggu, 07 Juni 2009

Siaran Pers Depkominfo

Depkominfo mengeluarkan Siaran Pers No. 126/PIH/KOMINFO/6/2009 tentang Aturan Hukum Untuk Mencegah Kecemasan, Trauma dan Ketakutan Dalam Berkomunikasi Secara Elektronik. Membaca Siaran Pers tersebut terasa aneh mengingat berbagai hal yang saya lihat kurang mengena dari Siaran Pers tersebut. Penulis ini memberikan catatan sebagai berikut:

1. Tugas menafsirkan
Dalam butir 3 Siaran Persnya, Depkominfo memberikan penafsiran atas istilah “tanpa hak” dalam Pasal 27 ayat (3) dengan mengambil rujukan pada UU Perlindungan Konsumen. Lalu Depkominfo menyimpulkan “Oleh karena itu, unsur “tanpa hak” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE menjadi tidak terpenuhi, sehingga Pasal 27 ayat (3) tersebut tidak bisa diterapkan untuk kasus ini. Dengan kata lain, tindakan Ibu Prita bukan merupakan penghinaan kecuali jika ternyata dalam pembuktian di persidangan ditemukan motif lain yang beritikad tidak baik.”
Tidak jelas mengapa Depkominfo harus duduk di kursi hakim untuk memberikan penafsiran semacam ini. Akan menjadi tidak menyenangkan jika pengadilan berpendirian lain. Depkominfo seharusnya tidak memberikan penafsiran atas fakta dan hokum atas kasus yang sudah berada di pengadilan.

2. Sebagaimana dicatat oleh Depkominfo dalam butir 9 Siaran Persnya, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Pasal 27 ayat (3) tidak berdiri sendiri. Pasal 27 ayat (3) UU ITE harus dikaitkan dengan Pasal 310 dan 311 KUHP. Karena itu jika ada perkara pidana menyangkut penghinaan atau pencemaran nama baik dengan sandaran Pasal 27 ayat (3) maka hal itu merupakan delik aduan.
Pasal 311 memungkinkan adanya pembuktian akan kebenaran dari apa yang dituliskan. Karena itu jika ada perkara pidana menyangkut penghinaan atau pencemaran nama baik dengan sandaran Pasal 27 ayat (3) maka hal itu merupakan delik aduan.
Ada tidaknya penghinaan atau pencemaran nama baik masih harus dibuktikan di pengadilan. Saya menempatkan pendapat Mahkamah Konstitusi tersebut disini.
Mahkamah Konstitusi berpendapat:

“3.17.1] Bahwa terlepas dari pertimbangan Mahkamah yang telah diuraikan dalam paragraf terdahulu, keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP sebagai genus delict yang mensyaratkan adanya pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut, harus juga diperlakukan terhadap perbuatan yang dilarang dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, sehingga Pasal a quo juga harus ditafsirkan sebagai delik yang mensyaratkan pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut di depan Pengadilan;”

3. Intersepsi
Butir 5 dan 6 Siaran Pers Depkominfo sungguh sangat menyesatkan. Rujukan pada Pasal 53 UU ITE dan Pasal 40 dan 42 UU Telekomunikasi tidak memadai. Pasal 31 UU ITE, sebagai salah satu pasal di bawah Bab VII mengenai Perbuatan yang dilarang,menyatakan:

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain.

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan.
(3) Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan
berdasarkan undang-undang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Merujuk pada ketentuan tersebut, Pasal 53 UU ITE dan Pasal 40 dan 42 UU Telekomunikasi tidak mengena. Dengan berlakunya UU ITE, sebagaimana dijelaskan dalam butir 9 Siaran Pers, Pasal 31 ayat (3) UU ITE sudah berlaku dan ketentuan dalam UU Telekomunikasi sudah tidak relevan dalam kaitan dengan penggunaan sarana TI. Dalam UU Telekomunikasi cukup jelas ditentukan keperluannya, yaitu untuk “proses peradilan pidana”. Pasal 31 ayat (3) UU ITE menyebutkan “untuk keperluan penegakan hukum”. Penegakan hukum tidak selalu perlu sama dengan proses peradilan pidana. Dalam UU Telekomunikasi jelas siapa yang dapat melakukan perekaman informasi, yaitu penyelenggara jasa telekomunikasi. Dalam Pasal 31 ayat (3) UU ITE tidak disebutkan secara jelas siapa yang dapat melakukan intersepsi. Hal ini berarti bahwa siapa saja dapat melakukan intersepsi “atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya” (termasuk KPK dan PPNS) yang ditetapkan berdasarkan undang-undang. Mungkin pihak kepolisian meminta jasa dari pakar telematika untuk melakukan intersepsi. Pakar yang bersangkutan mungkin melakukan perilaku yang menyimpang dari apa yang diminta oleh Pihak Kepolisian. Pasal 42 ayat (2) UU Telekomunikasi juga menyatakan “serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas: a. permintaan tertulis Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu; b. permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang-undang yang berlaku”. Ini artinya penyelenggara jasa telekomunikasi tidak wajib memberikan informasi atas permintaan Jaksa Agung dan Kapolri atau penyidik. Pasal 31 ayat (3) UU ITE justru melenceng jauh dari UU Telekomunikasi dan dengan demikian UU ITE justru sangat mencemaskan dan perlu dilakukan koreksi. Terjadilah yang terjadi. Saya piker, penegak hokum akan mengabaikan UU Telekomunikasi dengan berlakunya Pasal 31 ayat (3) UU ITE.
Pasal 31 ayat (4) UU ITE menyebutkan bahwa ketentuan mengenai tata cara intersepsi diatur lebih lanjut dengan PP. Pasal 31 ayat (4) tersebut tidak menunda pemberlakuan Pasal 31 ayat (3) sampai dengan adanya PP. PP hanya mengatur ketentuan lebih lanjut. Tentu kita dapat berharap pemerintah segera mengeluarkan PP yang mengatur tata cara intersepsi ini secara lebih detail dan bergigi. Dengan demikian intersepsi mungkin sudah dilakukan saat ini atas nama penegakan hukum. Siapa tahu?
Pernyataan Depkominfo:
“Dengan demikian, tidak perlu dan tidak ada alasan sedikitpun bagi masyarakat untuk merasa cemas, trauma dan takut menggunakan layanan telekomunikasi dan dalam berkomunikasi secara elektronik bagi kepentingan aktivitas masing-masing masyarakat.”
Dalam kaitan dengan intersepsi, pernyataan tersebut sungguh menyesatkan, sebagaimana sudah diuraikan di atas. Ada baiknya Depkominfo menarik Siaran Persnya yang, saya duga, sangat menyesatkan dan tidak mendidik tersebut.

Ketentuan dan Persyaratan dalam situs web

Persoalan mengenai pencemaran nama baik melalui penggunaan sarana TI yang belakangan ini menarik perhatian berbagai kalangan mengusik lebih jauh apa yang menjadi kekhawatiran masyarakat. Penggunaan Pasal 27 ayat (3) UU ITE telah dianggap sesuatu hal yang mengkhawatirkan, meskipun Mahkamah Konstitusi berpendirian bahwa Pasal tersebut konstitusional. Kasus Ibu Prita mengancam pihak yang langsung menempatkan pesan atau yang mentransmisikan pesan. Kasus tersebut belum mengusik penyedia jasa dimana material yang diduga mencemarkan nama baik tersebut ditempatkan. Apakah penyedia jasa yang menyediakan jasanya untuk tempat masyarakat melakukan transaksi atau sekedar menempatkan pesan dapat dikenakan pertanggungjawaban hukum? Pasal 38 UU ITE menyatakan:
(1) Setiap Orang dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau menggunakan Teknologi Informasi yang menimbulkan kerugian.
(2) Masyarakat dapat mengajukan gugatan secara perwakilan terhadap pihak yang menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau menggunakan Teknologi Informasi yang berakibat merugikan masyarakat, sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Membaca ketentuan dalam Pasal 38 UU ITE tersebut, penyedia jasa potensial untuk menghadapi tuntutan hukum jika sekiranya material yang ditempatkan dalam situs web penyedia jasa dianggap menimbulkan kerugian. UU tidak menyebutkan kerugian apa yang dimaksudkan, apakah hanya kerugian material dan/atau kerugian immaterial. UU tidak menyebutkan hal-hal apa yang harus dilakukan dalam upaya membebaskan diri dari tuntutan yang mungkin timbul dalam menyelenggarakan system elektronik dan/atau menggunakan teknologi informasi. Namun demikian perlu diupayakan agar penyedia jasa tidak menghadapi tuntutan hukum. Salah satu cara yang mungkin ampuh adalah dengan membuat aturan mengenai penggunaan situs web.

1. Aturan Penggunaan
Salah satu cara yang mungkin adalah dengan membuat ketentuan-ketentuan dan persyaratan-persyaratan penggunaan (terms and conditions of use atau legal notice, atau disclaimer), selanjutnya dalam tulisan ini disebut sebagai aturan, dalam situs web. Ketentuan-ketentuan dan persyaratan-persyaratan yang diterapkan dalam penggunaan suatu situs web oleh pihak lain didesain untuk membatasi tanggungjawab hukum atau meningkatnya tuntutan-tuntutan hukum.
Ketentuan-ketentuan dan persyaratan-persyaratan yang digunakan dalam situs web berbeda tergantung pada tujuan situs web yang bersangkutan. Ketentuan-ketentuan dan persyaratan-persyaratan untuk suatu situs web yang melakukan transaksi-transaksi tertentu berbeda dengan ketentuan-ketentuan untuk penyedia layanan informasi. Resiko-resiko yang mungkin timbul sangat beragam tergantung fungsi, isi, transaksi, dan sifat bisnis yang masuk atau difasilitasi dalam situs web.
Jika pengunjung situs web diijinkan untuk memasukkan material ke dalam situs web, pemilik situs web potensial untuk bertanggungjawab atas setiap materi yang mereka tempatkan dalam situs web. Pertanggungjawaban hokum dapat imbul karena adanya pelanggaran hak cipta, merek, atau pencemaran nama baik.
Aturan situs web dapat membatasi pengunjung yang menggunakan situs web menurut tempat tinggal, tujuan, atau kontribusi mereka pada situs web. Aturan situs web memang tidak dapat mengesampingkan atau membatasi pertanggungjawaban hokum yang timbul dari pengoperasian atau fungsi dari situs web dalam segala hal. Peraturan peundang-undangan dapat memberikan berbagai ketentuan yang harus dimasukkan dalam aturan situs web.

2. Pemberitahuan kepada Para pengguna

Aturan harus disusun dan dimasukkan dalam situs web menurut cara yang membuta pengunjung secara hokum terikat. Pengunjung harus diberitahukan secara patut agar terikat dengan aturan. Jika aturan tidak dibuat secara efektif dan ketentuan-ketentuannya tidak dapat dijalankan, maka resiko hokum semakin meningkat. Mekanisme yang digunakan untuk secara hukum mengikat pengguna atas aturan bergantung pada pentingnya aturan dalam bisnis. Terdapat tiga mekanisme yang umum dalam hal ini.

(a) Pemberitahuan adanya aturan

Pemberitahuan (Notice) dapat diterapkan jika situs web tidak dimaksudkan untuk melakukan transaksi tertentu. Untuk situs web yang berisi informasi semata cukup dengan memberikan aturan tanpa melakukan pemberitahuan atasnya. Biasanya aturan yang bersangkutan diletakkan di bagian bawah dari situs web yang berisi link kemana aturan berada. Terdapat cara lain, misalnya dengn membuat layer pop-up yang berisi pemberitahuan adanya aturan. Bagi situs web yang mengijinkan pengunjung untuk menempatkan material pemberitahuan adanya aturan dapat dilakukan dengan membuat pemberitahuan pada bagian atas dari situs web. Pemilik situs web harus memberitahukan adanya aturan dan memberikan kesempatan untuk menerima atau menolaknya.
Dalam hal aturan dimasukkan dengan metode ini, pemilik situs web harus memastikan bahwa aturan ditampilkan sedemikian rupa sehingga dapat diharapkan pengguna memperhatikan dan menyetujui aturan yang bersangkutan. Metode semacam ini biasanya digunakan untuk aturan penggunaan atau kebijakan mengenai privasi.

(b) Clickwrap agreement

Mekanisme di atas sangat tidak tepat untuk digunakan dalam hal situs web dimaksudkan untuk melakukan transaksi secara elektronik atau mengijinkan pengguna untuk menempatkan informasi dalam situs web. Cara yang digunakan untuk transaksi elektronik ataumengijinkan pihak lain untuk menempatkan material dalam situs web adalah menggunakan perjanjian klik (Clickwrap Agreement dan tandatangan digital (digital signature).
Perjanjian Klik dimaksudkan bahwa pengujung situs web membaca aturan dan menyetujuinya. Perjanjian Klik merupakan suatu sitem yang dimaksudkan mencegah pengunjung melakukan tindakan dalam situs web sebelum mereka menyetujui aturan penggunaan situs web. Aturan penggunaan secara umum disediakan berbentuk link atau layar pop-up dalam jendela baru dan adanya tombol yang diklik sebagai tanda persetujuan atas aturan. Jika pengguna tidak menyetujui aturan, situs web harus didesain sedemikian rupa sehingga pengunjung tidak dapat memproses lebih jauh.
Secara umum Perjanjian Klik digunakan untuk penerimaan aturan dalam hal adanya pembelian secara online, update terhadap software atau pendaftaran untuk mendapatkan akses atau hak-hak lainnya.

(c) Tandatangan digital

Tujuan dari tandatangan digital sama dengan Perjanjian Klik. Ia mencegah pengunjung untuk melakukan tindakan-tindakan dalam situs web sampai mereka menyetujui aturan. Perbedaan antara tandatangan digital dengan Perjanjian Klik adalah bahwa pada tandatangan digital, pengguna memberikan tandatangan digitalnya untuk menandakan penerimaannya atas aturan dan tidak dengan mengklik tombol untuk melakukan persetujuan. Jika pengguna tidak menyetujui aturan mereka tidak dapat memproses lebih lanjut.

3. Pengelolaan resiko hukum dengan aturan

Untuk meminimalisir resiko tuntutan hukum, aturan untuk situs web harus secara jelas menyatakan persyaratan melalui mana pengguna/pengunjung diperbolehkan menggunakan situs web, Beberapa ketentuan yang dapat dimasukkan dalam aturan untuk keperluan ini mencakup antara lain:

a. kualitas dari material dalam situs web;
b. ketersediaan barang atau jasa yang ditawarkan kepada pengunjung/pengguna kepada orang-orang tertentu atau dari wilayah tertentu atau berkaitan dengan saran untuk memasuki situs web lain;
c. Sebutkan bagaimana perubahan-perubahan dalam aturan diberitahukan kepada pengguna.
d. Nyatakan bahwa informasi dalam situs web hanya untuk keperluan informasi saja atau bersifat umum dan tidak dimaksudkan sebagai nasehat professional. Pengguna harus mencari saran professional dalam hubungan dengan keadaan-keadaan yang khusus untuk masalah mereka.
e. Menyebutkan hak pemilik/pegelola situs web untuk mereproduksi atau membuang material yang ditempatkan dalam situs web.
f. Bahwa pemilik situs web tidak bertanggungjawab kepada para pengunjung lain atas informasi yang ditempatkan pihak ketiga dalam situs web.
g. Dalam hal pengguna dapat menempatkan material maka harus disebutkan bahwa pemilik situs web/karyawan tidak bertanggngjawab atas setiap kerugian yang mungkin timbul sehubungan dengan penempatan material tersebut.
h. Bahwa pemilik situs web tidak bertanggungjawab untuk tindakan-tindakan pengunjung/pengguna situs web (Misalnya memasukkan virus).
i. Menginformasikan pengguna bahwa pengguna harus memberikan persetujuannya atas aturan dengan mengklik atau membubuhkan tandatangan digital.

Jumat, 05 Juni 2009

Persetujuan Tindakan Kedokteran

Kasus Ibu Prita Mulyasari sungguh menarik perhatian. Saya membaca suara pembaca yang ditempatkan di DetikNews oleh Ibu Prita. Kalimat terakhir dari paragraph 5 surat tersebut berbunyi:

“Saya kaget tapi dr H terus memberikan instruksi ke suster perawat supaya diberikan berbagai macam suntikan yang saya tidak tahu dan tanpa izin pasien atau keluarga pasien.”

Saya jadi ingat soal Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran (EDITOR : Adriyati Rafly dan Budi Sampurna tahun 2006) yang dikeluarkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia.

Dalam bagian MENGAPA PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN ATAU KEDOKTERAN GIGI PENTING? Dinyatakan:

“Dengan mengingat bahwa ilmu kedokteran atau kedokteran gigi bukanlah ilmu pasti, maka keberhasilan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi bukan pula suatu kepastian, melainkan dipengaruhi oleh banyak faktor yang dapat berbeda-beda dari satu kasus ke kasus lainnya. Sebagai masyarakat yang beragama, perlu juga disadari bahwa keberhasilan tersebut ditentukan oleh izin Tuhan Yang Maha Esa.
Dewasa ini pasien mempunyai pengetahuan yang semakin luas tentang bidang kedokteran, serta lebih ingin terlibat dalam pembuatan keputusan perawatan terhadap diri mereka. Karena alasan tersebut, persetujuan yang diperoleh dengan baik dapat memfasilitasi keinginan pasien tersebut, serta menjamin bahwa hubungan antara dokter dan pasien adalah berdasarkan keyakinan dan kepercayaan.
Jadi, proses persetujuan tindakan kedokteran merupakan manifestasi dari terpeliharanya hubungan saling menghormati dan komunikatif antara dokter dengan pasien, yang bersama-sama menentukan pilihan tindakan yang terbaik bagi pasien demi mencapai tujuan pelayanan kedokteran yang disepakati.”

Membaca suara Ibu Prita tersebut di atas timbul dugaan hubungan saling menghormati dan komunikatif antara dokter dengan pasien tidak tercapai.

Lebih jauh Manual menyebutkan:
“persetujuan tindakan kedokteran adalah pernyataan sepihak pasien atau yang sah mewakilinya yang isinya berupa persetujuan atas rencana tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang diajukan oleh dokter atau dokter gigi, setelah menerima informasi yang cukup untuk dapat membuat persetujuan atau penolakan.
Suatu persetujuan dianggap sah apabila:
a. Pasien telah diberi penjelasan/ informasi
b. Pasien atau yang sah mewakilinya dalam keadaan cakap (kompeten) untuk memberikan keputusan/persetujuan.
c. Persetujuan harus diberikan secara sukarela.

Dari pengertian persetujuan tindakan kedokteran tersebut dan dihubungkan dengan suara Ibu Prita, tampaknya persetujuan Ibu Prita terhadap tindakan terhadapnya tidak sah karena Pasien belum diberi penjelasan/informasi.”

Informasi apa yang harus diberikan kepada pasien dan seberapa banyak informasi yang dibutuhkan pasien agar mereka mampu membuat persetujuan yang sah?
Menurut Pasal 45 UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, sebagaimana dikutip dalam manual tersebut, menentukan tentang batasan minimal informasi yang diberikan pada pasien:
a. Diagnosis dan tata cara tindakan medis
b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan
c. Alternatif tindakan lain dan risikonya
d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan
e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan

Konsil Kedokteran Indonesia mengelaborasi lebih jauh sehingga memberikan 12 kunci informasi yang sebaiknya diberikan kepada pasien:
a. Diagnosis dan prognosis secara rinci dan juga prognosis apabila tidak diobati
b. Ketidakpastian tentang diagnosis (diagnosis kerja dan diagnosis banding) termasuk pilihan pemeriksaan lanjutan sebelum dilakukan pengobatan
c. Pilihan pengobatan atau penatalaksanaan terhadap kondisi kesehatannya, termasuk pilihan untuk tidak diobati
d. Tujuan dari rencana pemeriksaan atau pengobatan; rincian dari prosedur atau pengobatan yang dilaksanakan, termasuk tindakan subsider seperti penanganan nyeri, bagaimana pasien seharusnya mempersiapkan diri, rincian apa yang akan dialami pasien selama dan sesudah tindakan, termasuk efek samping yang biasa terjadi dan yang serius
e. Untuk setiap pilihan tindakan, diperlukan keterangan tentang kelebihan/keuntungan dan tingkat kemungkinan keberhasilannya, dan diskusi tentang kemungkinan risiko yang serius atau sering terjadi, dan perubahan gaya hidup sebagai akibat dari tindakan tersebut
f. Nyatakan bila rencana pengobatan tersebut adalah upaya yang masih eksperimental
g. Bagaimana dan kapan kondisi pasien dan akibat sampingannya akan dimonitor atau dinilai kembali
h. Nama dokter yang bertanggungjawab secara keseluruhan untuk pengobatan tersebut, serta bila mungkin nama-nama anggota tim lainnya
i. Bila melibatkan dokter yang sedang mengikuti pelatihan atau pendidikan, maka sebaiknya dijelaskan peranannya di dalam rangkaian tindakan yang akan dilakukan
j. Mengingatkan kembali bahwa pasien dapat mengubah pendapatnya setiap waktu. Bila hal itu dilakukan maka pasien bertanggungjawab penuh atas konsekuensi pembatalan tersebut.
k. Mengingatkan bahwa pasien berhak memperoleh pendapat kedua dari dokter lain
l. Bila memungkinkan, juga diberitahu tentang perincian biaya.

Apakah akibatnya jika dokter yang melakukan tindakan tidak memperoleh persetujuan tindakan kedokteran? Dalam manual disebutkan akibat-akibat yang mungkin timbul bagi dokter yang bersangkutan:
1. Hukum Pidana
Menyentuh atau melakukan tindakan terhadap pasien tanpa persetujuan dapat dikategorikan sebagai “penyerangan” (assault). Hal tersebut dapat menjadi alasan pasien untuk mengadukan dokter ke penyidik polisi, meskipun kasus semacam ini sangat jarang terjadi.
2. Hukum Perdata
Untuk mengajukan tuntutan atau klaim ganti rugi terhadap dokter, maka pasien harus dapat menunjukkan bahwa dia tidak diperingatkan sebelumnya mengenai hasil akhir tertentu dari tindakan dimaksud - padahal apabila dia telah diperingatkan sebelumnya maka dia tentu tidak akan mau menjalaninya, atau menunjukkan bahwa dokter telah melakukan tindakan tanpa persetujuan (perbuatan melanggar hukum).
3. Pendisiplinan oleh MKDKI
Bila MKDKI menerima pengaduan tentang seorang dokter atau dokter gigi yang melakukan hal tersebut, maka MKDKI akan menyidangkannya dan dapat memberikan sanksi disiplin kedokteran, yang dapat berupa teguran hingga rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi.

Dengan membaca bagian-bagian tertentu dari Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran tersebut, agak aneh bahwa Menteri Kesehatan RI membawa persoalannya kepada persoalan rumah sakit. UU Praktek kedokteran sudah mengaturnya dan juga dalam manual sudah disebutkan hak pasien untuk mendapatkannya.

Rabu, 03 Juni 2009

Pencemaran Nama Baik

Tampaknya Kasus Ibu Prita Mulyasari merupakan kasus pertama yang disidangkan setelah Putusan Mahlamah Konstitusi dalam perkara permohonan pembatalan Pasal 27 ayat (3) UU ITE. UU ITE berlaku pada 21 April 2008.
Perkara pencemaran nama baik akan segera bermunculan. Mahlamah Konstitusi sudah membuat putusan yang membantu munculnya perkara-perkara pencemaran nama baik melalui pemnafaatan internet. Saya menempatkan pendapat Mahkamah Konstitusi mengenai keberlakuan dari hukum di dunia maya disini.
Hal semacam itu tidak hanya terjadi di Indonesia. Di Amerika Serikat perkara-perkara pidana juga melonjak tajam mengenai pencemaran nama baik ini. (lihat disini).
Mengingat sudah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi, saya pikir ke depan perkara-perkara pencemaran nama baik melalui internet akan semakin banyak dan masyarakat akan menjadi akrab dengannya.
Putusan pengadilan dalam perkara yang menimpa Ibu Prita Mulyasari diharapkan menjadi Landmark decision di Indonesia. Semoga penanganan atas perkara ini dijalankan dengan benar.

Selasa, 02 Juni 2009

Presiden SBY dan Mie Instant


Salah satu lagu untuk kampanye Presiden SBY yang ditayangkan di televise adalah lagu untuk iklan produk mie instant. Lirik lagunya sudah diubah sedemikian rupa sehingga kata untuk mie instant yang bersangkutan dalam syair lagu asli menjadi SBY.
Patut disayangkan bahwa SBY diiidentikkan dengan salah satu mie instant. Mie instant adalah makanan cepat saji, enak tetapi tidak mengenyangkan. Apakah SBY identik dengan mie instant tersebut?
Saya pikir orang-orang di sekitar Pak SBY, terutama tim suksesnya, tidak menginginkan capresnya adalah capres cepat saji. Rakyat Indonesia juga pasti tidak suka presidennya nanti adalah presiden cepat saji. Tim sukses Presiden SBY tampaknya harus mencari lagu tema lainnya dan sedapat mungkin tidak lagi menggunakan dan menayangkan sebagai iklan menuju pilpres 8 Juli 2009 mendatang. Perlu lebih kreatif.

Senin, 01 Juni 2009

Kampanye Pilpres

Besok (2 Juni 2009) kampanye pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dimulai. Deklarasi kampanye damai ditunda menjadi tanggal 10 Juni 2009. Komentator di harian Kompas menyesalkan pengunduran deklarasi kampanye damai tersebut. Sesungguhnya deklarasi tersebut tidak perlu mengingat tidak ada calon Presiden dan Wakil Presiden yang menginginkan tidak adanya kedamaian dalam kampanye. Semua ingin kampanye berjalan secara damai. Yang diinginkan justru Pasca Pemilihan diharapkan semua berada dalam kedamaian. Yang kalah menerima kekalahannya dan yang menang menjalankan mandate rakyat untuk membawa Negara Republik Indonesia kepada cita-cita mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
Mulai besok, seluruh Indonesia akan dibanjiri iklan-iklan capres dan cawapres. Akan ramai dan seru tentunya.