Rabu, 10 Februari 2016

Memberantas Korupsi Tanpa Korupsi



Pembicaraan mengenai revisi atas UU KPK terus bergulir. Rasa takut akan kedahsyatan dari KPK dalam pemberantasan korupsi sudah tidak perlu diragukan. Malangnya penggagas revisi tidak menemukan jantung persoalan penegakan korupsi KPK. Wacana revisis menjadi sekedar revisi tanpa mengetahui apa sebenarnya yang perlu direvisi dari UU KPK. Di bawah ini saya menyampaikan sekurang-kurangnya 4 hal yang perlu dilakukan revisi dari UU KPK. Uraian di bawah sudah disampaikan secara tertulis kepada Pimpinan DPR dan Komisi III untuk ditindaklanjuti. Keempat poin yang saya sampaikan berdasar pada gagasan pemberanttasan korupsi tanpa kupsi.


I.            Kumulasi dalam Pasal 11
Pasal 11
Agar ketentuan dalam Pasal 11 huruf b sepanjang menyangkut /atau” dihapuskan. Hal ini berarti bahwa huruf a, b, c menjadi bersifat kumulatif, artinya dalam hal suatu perbuatan hendak diselidiki, disidik. atau dituntut maka harus memenuhi semua ketentuan dalam huruf a, b, dan c. Jika salah satu saja tidak terpenuhi maka KPK tidak dapat menyelidiki.
Pasal 11 berbunyi:
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang :
a. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;
b. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
c. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Setelah diubah ketentuan Pasal 11 huruf b menjadi berbunyi:
b. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan
Konsekwensi dari dihapusnya ”/atau” adalah bahwa kasus-kasus gratifikasi seperti Pasal 5,6, dan 7 UU TIPIKOR menjadi di luar jangkauan dari KPK. Hal itu menjadi wewenang dari Polri dan/atau kejaksaaan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.
Dalam perkara-perkara penyuapan, seperti dalam Perkara Akil Mochtar dan sekutu-sekutunya tidak ada dibuktikan adanya kerugian Negara. Dalam kasus seperti Dewi Yasin Limpo atau teranyar Politisi PDIP harusnya tidak dijerat oleh KPK.
Jadi kalau memang bukan kerugian Negara seharusnya KPK tidak perlu menangani. Hal itu dapat ditangani Kejaksaan atau Kepolisian.
Ada suatu hal yang harus dihindarkan juga dengan tidak menempatkan KPK sebagai penyelidik/penyidik dalam kasus-kasus gratifikasi/penyuapan. KPK harus bebas dari pertarungan politik antar “gang” (istilah yang digunakan Menko Rizal Ramli). KPK harus tidak ditempatkan sebagai alat untuk menjegal dan menjatuhkan seseorang dari jabatannya atau dalam melaksanakan pekerjaannya atau menapaki karirnya.

II.          Ketentuan dalam Pasal 12 ayat (1) huruf e diubah sebagai berikut:


Kata “memerintahkan” dalam Pasal 12 ayat (1) huruf e diganti menjadi kata “merekomendasikan” sehingga Pasal 12 ayat (1) huruf e menjadi berbunyi: “Merekomendasikan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya”

Ketentuan Pasal 12 ayat (1) huruf e semula membuat KPK berada sebagai lembaga tertinggi di Republik Indonesia. Penggunaan kata “memerintahkan” menempatkan semua instansi temasuk Lembaga Kepresidenan berada di bawah KPK. KPK dengan ketentuan yang ada sekarang dapat memerintah Presiden Republik Indonesia, Ketua MPR, DPR, Mahkamah Agung dan lain-lain. Tentu ini harus diubah. Kata merekomendasikan saya pikir lebih OK.

DPR tentu dapat memilih kata yang lebih sesuai dan mencerminkan bahwa Presiden adalah penguasa tertinggi di Republik Indonesia dan KPK tidak dapat memerintah Presiden dan juga lembaga-lembaga tinggi Negara, para menteri, Panglima TNI, Kapolri dan lain-lain lembaga yang setara.

III Diantara Pasal 43 dan Pasal 44 ditambahkan satu Pasal yaitu Pasal 43 A yang berbunyi:
Pasal 43 A
(1)  Penyelidikan Tindak Pidana Korupsi dilakukan atas dasar adanya Temuan Kerugian Negara dalam Laporan Badan Pemeriksa Keungan atau adanya Laporan Masyakat
(2)  Sebelum melakukan Penyelidikan Tindak Pidana Korupsi, KPK harus mengumumkan kepada public mengenai rencana pelaksanaan Penyelidikan Tindak Pidana Korupsi;
(3)  Pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya memuat:
a.    Waku dimulainya penyelidikan;
b.   Objek yang akan diselidiki
c.    Orang yang diselidiki
d.   Dasar menyelidiki sebagaimana disebut dalam ayat (1) Pasal ini.
e.    Jangka waktu Penyelidikan
(4)  Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf d Pasal ini adalah selama-lamanya 365 (tiga ratus enam puluh lima) hari dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu selama-lamanya122 (seratus dua puluh dua) hari.   

Dasar pemikiran:
Pasal 5 UU KPK berbunyi:
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi berasaskan pada :
a. kepastian hukum;
b. keterbukaan;
c. akuntabilitas;
d. kepentingan umum; dan
e. proporsionalitas.
Dengan kelima asas yang terkandung, setiap orang mengetahui bahwa akan ada penyelidikan hukum. Bagi yang terkena penyelidikan atau potensial diselidiki ada kesempatan untuk mempersiapkan diinya. Dengan adanya pengumuman maka setiap orang menjadi awas termasuk misalnya dalam penggunaan sarana telekomunikasi. Pasal 12 ayat (1) huruf a  menyatakan dalam melaksanakan tugas penyelidikan dan seterusnya dapat melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan. Jika tidak diumumkan terlebih dahulu maka kebebasan berkomunikasi masyarakat akan berada dalam ancaman Penjelasaan Pasal 5 sepanjang menyangkut keterbukaan berbunyi: “keterbukaan adalah  asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kinerja Komisi

Pemberantasan Korupsi dalam menjalankan tugas dan fungsinya; Pada sisi KPK sebagai suatu lembaga yang dibanggakan dan diharapkan mampu memberantas korupsi, hal ini akan membuka dirinya sebagai menjalankan prinsip keterbukaan. Publik diberi kesempatan untuk mengetahui langkah yang akan dijalankannya. Mencegah KPK untuk melakukan penyadapan sebelum adanya keputusan diadakannya penyelidikan dan penyidikan.
Ada kalanya KPK melakukan penyadapan terlebih dahulu sebelum diadakan penyelidikan/penyidikan. Jadi ada kalanya penyadapan dilakukan untuk menciptakan suatu perkara korupsi. Ada juga kemungkinan penyadapan dilakukan untuk kepentingan lain. Dengan mengumumkan terlebih dahulu bahwa akan diadakan penyelidikan/penyidikan maka KPK terhindar dari melakukan penyalahgunaan wewenang dan masyarakat atau pejabat yang menjadi sasaran tembak terhindar dari kesewenang-wenangan.
Dari segi kepentingan pembuktian, dengan mengumumkan adanya penyelidikan dapat dilacak apakah suatu alat bukti hasil penyadapan sah atau tidak. Penyadapan dilakukan untuk menjalankan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Jika ditentukan dan tidak diumumkan kapan dilakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan maka tidak dapat diketahui apakah penyadapan dilakukan untuk tugas penyelidikan atau tidak. Pasal 28 ayat (1) UU No. 46 tahun 2009 berbunyi: Semua alat bukti yang diajukan di dalam persidangan, termasuk alat bukti yang diperoleh dari hasil penyadapan, harus diperoleh secara sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Jadi dengan mengumumkan kepada public kapan dimulainya penyelidikan maka untuk keperluan pembuktian sah tidaknya alat bukti dari penyadapan dapat dipersoalkan.
Mengenai lamanya penyelidikan, tentu DPR dapat menentukan berapa lama penyelidikan dilakukan. Penyebutan angka 365 dan 122 dalam usulan di atas tidak didasarkan suatu hitungan yang eksak, hanya sekedar saja. Dengan ditentukannya jangka waktu penyelidikan, KPK tidak lagi menjadi pengintip orang bermasalah. Ini sama seperti polisi lalu lintas yang ngumpet di balik pepohonan lalu ketika ada pengendara yang lewat langsung disemprit dan dimongin pelanggarannya, walau mungkin tidak ada, dan UUD (ujung-ujungnya duit). Jika jika KPK melakukan penyelidikan dan setelah jangka waktu tertentu tidak ditemukan bukti maka objek perkara yang diselidiki ditutup. Dengan demikian masyarakat tidak berada dalam kegelapan dan yang lebih penting mengetahui apa yang harus dilakukan dalam hal ada perkara korupsi.
Sebagai tambahan yang membuat pengumuman kepada public perlu dilakukan adalah dengan merujuk pada Pasal 20 ayat (1) UU KPK yang berbunyi:
“Komisi Pemberantasan Korupsi bertanggung jawab kepada publik atas pelaksanaan tugasnya dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden
Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan.” Jika sekiranya public tidak mengetahui apa yang akan dikerjakan oleh KPK untuk apa juga KPK bertanggungjawab kepada public.



IV. Pasal 47 ayat (2) dihapus atau dimodifikasi

Pasal 47 ayat (2) berbunyi:

Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur mengenai tindakan penyitaan, tidak berlaku berdasarkan Undang-Undang ini.

Ketentuan Pasal 47 ayat (2) ini sangat berbahaya. Aturan dalam penyitaan, kecuali membuat bukti penyitaan,  dengan demikian adalah “tidak ada aturan” (the rule is no rule).

Dengan menghapuskan ketentuan ini maka ketentuan dalam KUHAP mengenai penyitaan dan perlakuan atas sitaan berlaku (Pasal 38 – 46 KUHAP). Dalam hal pemeriksaan sudah cukup maka barang yang disita harus dikembalikan kepada pemiliknya atau dari siapa barang bukti disita. Tentu ada manfaat dari segi Negara karena barang bukti yang disita membutuhkan tempat penyimpanan maka Negara tentu harus menyediakan tempat bagi barang-barang bukti yang disita.

Dalam praktek saya perhatikan, barang-barang bukti selain dokumen kertas tidak jelas kemana. Terutama jika uang yang disita. Malah ada yang unik juga bahwa jika uang yang disita maka uang itu menjadi milik dari KPK. Sebagai contoh saya ambil dari perkara dengan terdakwa Andi Mallarangeng. Dalam putusan MA tersebut nyata-nyata disebutkan bahwa uang yang disita dikembalikan pada penuntut umum untuk diteruskan kepada penyidik pada KPK Ini artinya KPK menyita uang sebagai barang bukti adalah untuk mereka miliki sendiri dan MA melegalkannya. (Jika uang disita untuk Negara mungkin masih masuk akal. Namun demikian juga tentu harus ada aturan mengenai memasukkan uang yang disita ke kas Negara dan saya perhatikan, aturan mengenai pemasukan uang ke kas Negara hasil dari perkara korupsi tidak ada. Jika uang yang disita dan hasil penjualan barang-barang lain yang disita untuk Negara, tentu harus tercermin dalam UU APBN atau UU Perhitungan Anggaran Negara.  Dalam beberapa kasus saya perhatikan juga bahwa uang/barang yang disita diambangkan. Dalam putusan MA, misalnya, dinyatakan “barang bukti digunakan dalam perkara lain tanpa menyebutkan perkara mana yang dimaksud” dan gelaplah barang buktinya. (Mengenai perlakuan atas barang bukti ini, saya ada menulis artikel Blog berjudul “Mainan Kecilnya KPK di blog saya…….)

Demikian juga dengan barang bukti yang disita, ada beredar informasi bahwa KPK melelang barang-barang bukti yang disita. Saya merasa agak heran atas dasar apa KPK melelang barang bukti. Dalam UU KPK tidak ada wewenang KPK untuk melelang barang bukti yang disita. Demikian juga dengan putusan MA sejauh ini saya membaca tidak memberikan wewenang kepada KPK untuk melelang barang bukti. Sepengetahuan saya di lingkungan kementerian keuangan Negara ada badan yang khusus menangani lelang melelang.

Saya menduga, suatu hari nanti akan ada perkara tersendiri mengenai barang bukti yang disita KPK selama ini. Boleh jadi akan menjadi perkara korupsi yang baru lagi.

Pemiskinan
Saya sering mendengar istilah pemiskinan koruptor. Tampaknya hal itu dilakukan oleh KPK dengan instrument Pasal 47 ayat (2) UU KPK, yang saya usulkan untuk dihapus atau dimodifikasi. Jika hasil pemiskinan itu ditarik ke kas Negara “boleh jadi” tidak masalah. Yang masalah adalah, sebagaimana saya sebutkan di atas, hasil sitaan itu larinya kemana? Apa ke kas Negara atau menjadi milik dari orang-orang KPK.

Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa salah satu tujuan Negara sebagaimana disebutkan dalam Alinea Ketiga Pembukaan UUD 1945 adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 menentukan hak atas milik sebagai HAM. Demikian juga Penjelasan mengenai asas  “kepentingan umum” dalam UU KPK  “adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif;” Pemiskinan tentu bertolak belakang dengan “memajukan kesejahteraan umum”. Pemiskinan koruptor dengan demikian bertentangan dengan dasar Negara, pelanggaran HAM dan dapat dikatakan sebagai anti Pancasila. Dalam jangkauan yang lebih jauh, “pemiskinan” koruptor juga anti Nawacita.

Jika sekiranya persoalan yang mengemuka adalah pengembalian uang Negara tentu hal ini harus dilakukan dengan meningkatkan denda atau menciptakan ketentuan penggantian kerugian Negara  dalam UU TIPIKOR.