Kamis, 16 Februari 2023

Meninjau Ulang Sharenting

 

 

Banyak orang tua suka berbagi foto dan video anak-anak mereka secara online. Gambar bayi yang baru lahir atau senyuman pertama; video dengan langkah pertama, kunjungan pertama ke Mall, pesta, perjalanan, momen keluarga; lalu mungkin memposting dengan cerita lucu, pertanyaan menarik, dan bahkan percakapan sensitive. Perilaku ini disebut sebagai sharenting atau mendokumentasikan kehidupan anak anda secara online.

Perilaku semacam ini ada di mana-mana, dan ketika orang memperhatikan bahwa postingan tentang anak-anak berkinerja baik di media sosial, seperti facebook dan instagram, menghasilkan lebih banyak suka, komentar, dan dibagikan, mereka melanjutkan perilaku ini. Tidak ada yang salah dengan itu."

Saya seorang ayah, juga seorang advokat dan saya membaca tentang privasi dan perlindungan data, terutama setelah lahirnya Undang-Undang No. 27 tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi. Sebelum mempelajari privasi lebih dalam, semua masalah ini akan tampak sangat sepele dan tidak mengganggu saya. Dimasa lalu juga saya memposting foto-foto anak saya secara bebas. Namun, belakanagan ini saya melihatnya sangat berbeda. Ketika orang tua berbagi tentang anak-anak mereka secara online, dalam hampir semua kasus yang dapat saya pikirkan, mereka melakukannya untuk diri mereka sendiri, bukan untuk kepentingan anak. Alih-alih berbagi momen berkesan dengan anak — merayakan atau memiliki momen unik orang tua-anak secara pribadi atau dengan lingkaran intim (yang akan mencerminkan hubungan kehidupan nyata), orang tua memutuskan untuk menunjukkannya kepada khalayak yang lebih luas secara online. Dan dalam membagikan momen ini secara online, mata uang media sosial berlaku: semakin manis gambar, video, atau kiriman, semakin tinggi jumlah suka dan komentar yang diterimanya. Dan itu terasa menyenangkan bagi penulis postingan.

 

Perusahaan media sosial, perusahaan raksasa yang memiliki begitu banyak pengaruh dalam budaya saat ini dan cara kita terhubung satu sama lain, adalah perusahaan yang menormalkan pembagian berlebihan dan mendapat manfaat darinya. Lebih banyak data pribadi yang diunggah oleh pengguna berarti lebih banyak keuntungan bagi mereka, karena profil periklanan lebih tepat, ada lebih banyak konsumsi iklan di platform, dan budaya "berbagi online" diumpankan untuk menjaga siklus tanpa akhir.

Tulisan ini bukan tentang seperti apa pola asuh yang baik atau berapa jumlah berbagi online yang sehat. Tetapi saya ingin menyarankan bahwa banyak orang tua yang begitu terperangkap dalam siklus "posting-dopamin" (perilaku memposting material secara online karena didorong oleh jejaring sosial itu sendiri) sehingga mereka melupakan apa yang ada di balik semua ini: mereka memberikan privasi anak-anak mereka untuk sesuatu yang sepele seperti suka.

 

Pertama, ada masalah tidak adanya atau kurangnya persetujuan, sebagaimana diatur dalam UU PDP, karena anak-anak, terutama balita, terlalu kecil untuk memahami apa yang sedang terjadi, dan bahkan ketika suatu saat mereka dapat memahami dan menyetujui, orang tua bahkan tidak berkonsultasi atau tidak meminta persetujuan terlebih dahulu. Namun sangat mungkin bahwa beberapa tahun dari sekarang anak akan sangat tidak senang mengetahui bahwa begitu banyak momen pribadi dibagikan secara online oleh orang tua. Jangan melupakan bahwa orangtua dan anak berasal dari generasi yang berbeda. Apa yang menurut orang tua diterima dan lucu, mungkin mereka anggap tidak dapat dimaafkan dan menyeramkan. Apa pun yang diunggah secara online, bahkan hanya untuk "teman", berpotensi beredar selamanya, karena hanya perlu satu tangkapan layar atau unggah ulang untuk itu.

 

Kedua, ada masalah privasi dan keamanan serius yang terlibat dalam berbagi apa pun tentang anak atau remaja secara online, termasuk penipuan identitas, mengekspos anak ke pemangsa, dan cyberbullying. Bergantung pada usia anak, dapat muncul masalah kesehatan mental dan kepercayaan dengan orang tua yang tidak dapat menghormati batasan dan keinginan intim anak.

 

Dalam pandangan saya, orang tua harus lebih sadar diri tentang siklus posting-dopamin yang dibuat oleh jejaring sosial (untuk keuntungan mereka sendiri), risiko privasi dan keamanan yang terlibat, dan kemungkinan konsekuensi dari tidak adanya persetujuan dari anak. Mereka harus mempertimbangkan pertanyaan-pertanyaan berikut: apakah masuk akal untuk mempostingnya secara online daripada merayakannya secara pribadi dengan anak saya atau secara langsung dengan teman-teman? Apakah anak saya akan mendapat manfaat dari postingan saya? Bisakah saya mempostingnya tanpa mengekspos anak saya? Beberapa tahun dari sekarang, apakah anak saya akan senang mengetahui bahwa saya memposting ini? Apakah saya akan senang mengetahui bahwa orang tua saya berbagi semua tentang saya dengan orang asing atau teman jauh?

 

Menjadi orang tua tidaklah mudah dan teknologi menghadirkan tantangan tambahan yang harus kita coba atasi. Ini adalah topik yang sangat penting dan ada banyak hal untuk dibicarakan, terutama dengan berlakunya Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi.  

Jumat, 10 Februari 2023

Lama

 Sudah lama tidak mengisinya

Senin, 20 April 2020

Paten



Entah kenapa saya terpikir untuk dan akhirnya membaca  UU No. 13 tahun 2016 tentang Paten dan saya menemukan ada kesalahan fundamental dalam  UU tersebut.


Pasal 1 angka 2 UU Paten berbunyi:
Invensi adalah ide inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi berupa produk atau proses, ataupenyempurnaan dan pengembangan produk atau proses.


Invensi, per definisi UU, adalah “ide” . Ide menurut KBBI berarti n rancangan yang tersusun di dalam pikiran; gagasan; cita-cita. Anak kalimat dalam Pasal 1 angka 2 “... yang dituangkan ...” tidak memodifikasi definisi invensi sebagai ide. Anak kalimat itu hanya menjelaskan ide yang bagaimana dari sekian banyak ide yang dapat disebut  invensi.  Gagasan mencuri karena lapar dalam situasi Covid 19 tidak dapat disebut sebagai invensi meskipun gagasan itu dituangkan dalam suatu kegiatan pemecahan masalah .  Invensi itu, per defenisi UU,  tetap pengertiannya adalah ide dan bukan produk atau proses.

Pasal 5-9 UU Paten bertentangan secara langsung dengan definisi Invensi dalam Pasal 1 angka 2 UU Paten. Ini tidak sinkron.

Inventor didefinisikan dalam Pasal 1 angka 3 UU Paten:
Inventor adalah seorang atau beberapa orang yang secara bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan Invensi.

Definisi Inventor ini menghasilkan sesuatu yang absurd. Dengan mengingat bahwa Invensi adalah ide maka Inventor adalah yang melaksanakan ide yang menghasilkan ide.  

Paten
Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi untuk jangka waktu tertentu melaksanakan sendiri invensi tersebut atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya.

Dalam pengertian Paten ini, kata inventor dan invesi dimulai tidak dengan huruf kapital sehingga meragukan apakah definisi Invensi dalam Pasal 1 angka 2 dan definisi Inventor dalam Pasal 1 angka 3 wajib berlaku dalam mengupas pengertian dari Paten.  
Arti kata invensi dalam KBBI daring adalah n penciptaan atau perancangan sesuatu yang sebelumnya tidak ada; reka cipta. Arti kata Inventor dalam KBBI Daring adalah: n orang yang mencipta atau merancang sesuatu (yang sebelumnya tidak ada); pereka cipta. Arti kata Invensi dan Invetor dalam KBBI Daring ini tidak dapat diberlakukan terhadap definisi Paten karena pada keseluruhannya tidak pas.


Senin, 16 Maret 2020

Dampak Virus Corona Pada Kontrak: Keadaan memaksa




Virus Corona sudah menyebar kemana-mana dan Indonesia sudah menyatakan keadaan itu sebagai bencana non alam nasional. Perusahaan-perusahaan sudah banyak yang mengubah cara kerjanya. Larangan berkumpul lebiih dari puluha orang. Sekolah-sekolah diliburkan, pertandingan-pertandingan olahraga dihentikan.Hal-hal tersebut di atas menghadirkan pertaanyaan di Indonesia dalam waktu-waktu ke depan tentang dampak pandemi itu sendiri, dan bahwa langkah-langkah yang diambil oleh pihak berwenang ( misalnya social distancing, lockdown, karantina, penutupan, dll.), pada kinerja kontrak dan pembebasan dari konsekuensi keterlambatan atau pelanggaran kontrak lainnya.

Dalam konteks epidemi di seluruh dunia seperti coronavirus, situasi dapat muncul, di mana para pihak yang berkontrak - yang mengacu pada force majeure - gagal melakukan kontrak atau tidak melakukan kontrak sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam kontrak. Menurut KUH Perdata Indonesia, suatu pihak dapat membebaskan dirinya dari kewajibannya untuk membayar ganti rugi yang disebabkan oleh pelanggaran kontrak, jika dapat membuktikan bahwa (i) pelanggaran kontrak terjadi sebagai akibat dari keadaan yang berada di luar kendali. , (ii) keadaan seperti itu tidak dapat diperkirakan pada saat memasuki kontrak, dan (iii), tidak dapat diharapkan secara wajar untuk menghindari keadaan seperti itu dan untuk mengurangi kerusakan yang dihasilkan.
Berdasarkan hal di atas, berbagai peristiwa 'force majeure' memenuhi syarat sebagai alasan untuk dikecualikan dari kinerja, meskipun KUHPerdata tidak memiliki definisi yang tepat dan daftar perincian peristiwa 'force majeure'.

Namun, yang relevan, menurut KUH Perdata yang berlaku, keberadaan peristiwa force majeure tidak secara otomatis menghasilkan pembebasan pihak dari konsekuensi pelanggaran kontrak. Penting juga bahwa peristiwa force majeure yang diberikan memenuhi kriteria berikut:
• ini memiliki akibat langsung pada kinerja pihak yang gagal menjalankan prestasinya
• itu terbukti tidak dapat diperkirakan pada saat penyelesaian kontrak; dan
• pada saat kejadiannya, tidak dapat diharapkan dari pihak terkait untuk mencegah konsekuensinya.

Keadaan Memaksa dalam KUHPerdata Indonesia
Ketentuan-ketentuan dalam KUHPerdata mengenai keadaan memaksa adalah:
a. Pasal 1244 KUH Perdata
“Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemaunya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya.”
b. Pasal 1245 KUH Perdata
“Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apalagi lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja si berutang beralangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatanyang terlarang.”
Ketentuan lain mengenai keadaan memaksa juga terdapat dalamPasal 1444 dan 1445 KUH Perdata, sebagai berikut :
a. Pasal 1444 KUH Perdata
  1. Jika barang tertentu yang menjadi bahan perjanjian, musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang, sedemikian hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang di luar salahnya si berutang, dan sebelum ia lalai menyerahkannya.
  2. Bahkan meskipun si berutang lalai menyerahkan sesuatu barang sedangkan ia tidak telah menanggung terhadap kejadian-kejadian yang tak terduga, perikatan hapus jika barangnya akan musnah secara yang sama di tangan si berpiutang, seandainya sudah diserahkan kepadanya.
  3. Si berutang diwajibkan membuktikan kejadian yang tak terduga, yang dimajukan itu.
  4. Dengan cara bagaimanapun sesuatu barang, yang telah dicuri, musnah atau hilang, hilangnya barang ini tidak sekali-kali membebaskan orang yang mencuri barang dari kewajibannya untuk mengganti harganya.
b.  Pasal 1445 KUH Perdata
“Jika barang yang terutang, di luar salahnya si berutang musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang, maka si berutang, jika ia mempunyai hak-hak atau tuntutan-tuntutan ganti rugi mengenai barang tersebut, diwajibkan memberikan hak-hak dan tuntutan-tuntutan tersebut kepada orang yang mengutangkan padanya.”

2. Unsur-Unsur Keadaan Memaksa 
Berdasarkan pasal-pasal KUH Perdata di atas, unusr-unsur keadaan memaksa meliputi :
  • peristiwa yang tidak terduga;
  • tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur;
  • tidak ada itikad buruk dari debitur;
  • adanya keadaan yang tidk disengaja oleh debitur;
  • keadaan itu menghalangi debitur berprestasi;
  • jika prestasi dilaksanakan maka akan terkena larangan
  • keadaan di luar kesalahan debitur;
  • debitur tidak gagal berprestasi (menyerahkan barang);
  • kejadian tersebut tidak dapat dihindari oleh siapapun (baik debitur maupun pihak lain);
  • debitur tidak terbukti melakukan kesalahan atau kelalaian.
Berdasarkan KUH Perdata dan praktek hukum, pihak yang mengajukan peristiwa force majeure harus membuktikan keberadaan keadaan tersebut.

Praktek Kontrak
Namun, para pihak mungkin telah mengatur ruang lingkup peristiwa force majeure, pemberitahuan aturan yang harus diikuti dalam acara peristiwa force majeure dan juga konsekuensi hukum dari force majeure secara khusus dan, dengan cara yang lebih rinci dibandingkan dengan aturan umum KUHPerdata. Jika kontrak yang dimaksud berisi klausul force majeure tertentu, biasanya berisi prosedur pemberitahuan, dan ketidakpatuhan terhadap prosedur tersebut dapat memiliki efek signifikan pada konsekuensi kontrak force majeure. Oleh karena itu perlu untuk meninjau kembali klausul tersebut dengan cermat mengingat situasi saat ini.

Di bawah hukum Indonesia, wabah koronavirus tidak harus memenuhi syarat sebagai peristiwa force majeure yang membebaskan suatu pihak dari konsekuensi hukum dari pelanggaran kontrak. Pertama dan terutama, para pihak harus meninjau klausul yang relevan dari kontrak mereka. Kecuali jika para pihak telah menyetujui aturan khusus untuk peristiwa force majeure dalam kontrak mereka, koeksistensi dari tiga persyaratan konseptual yang dijelaskan di atas harus diperiksa dan dievaluasi.

Dalam hal ini, aspek-aspek berikut umumnya layak dipertimbangkan, antara lain:
• dalam hal kontrak yang disepakati sebelum munculnya coronavirus pada Desember 2019, secara umum dapat dinyatakan bahwa para pihak tidak perlu mengantisipasi penyebaran virus COVID-19 di seluruh dunia, sedangkan dalam kasus kontrak yang disepakati sejak awal 2020 , keadaan ini perlu dinilai dan ditunjukkan secara individual;
• pihak yang mengajukan keadaan memaksa (force majeure) harus menunjukkan, dalam konteks spesifik kontrak, mengapa dan bagaimana persisnya wabah koronavirus memengaruhi kinerja kontrak - rujukan semata-mata pada menyebarnya virus tampaknya tidak cukup untuk mendukungnya; dan
• pihak yang meminta force majeure juga perlu menunjukkan mengapa pihaknya tidak dapat diharapkan untuk menangkal dampak wabah koronavirus terhadap kinerja kontrak tertentu - mis. mengapa dampak pandemi pada kontrak tidak dapat diobati dengan mempekerjakan pemasok lain, atau menasihati karyawan untuk bekerja dari rumah.

Penutup
Virus COVID-19 bukanlah "cek kosong" generik untuk menolak melaksanakan kontrak - akibat-akibat dari wabah harus diperiksa secara individual dalam konteks kontrak tertentu, yang melibatkan penilaian syarat-syarat spesifik kontrak dan persyaratan hukum yang dijelaskan di atas. Selain ketentuan keadaan memaksa dalam kontrak, penting bagi pihak-pihak yang berkontrak  untuk meninjau situasi dan mempersiapkan langkah-langkah yang diperlukan dengan meninjau ketentuan pemberitahuan dan penyelesaian sengketa.


Rabu, 12 Februari 2020

Link Rot


Dalam banyak kesempatan saya membaca-baca karya-karya ilmiah yan membuat rujukan pada karya pihak lain melalui suatu tautan pada situs web tertentu. Ketika tautan yang bersangkutan di klik ternyata material yang bersangkutan sudah tidak ada lagi. Mungkin karya yang dirujuk sudah dihapus dari situs web yang bersangkutan atau mungkin juga situs web yang bersangkutan sudah tidak ada lagi. Ini disebut sebagai link rot atau reference rot.


Sudah barang tentu hal ini akan menyulitkan bagi para peneliti  dan pengacara yang hendak membaca rujukan-rujukan yang disebutkan dalam suatu karya tetapi kemudian dicoba diakses ternyata  sudah tidak ada lagi.

 

Saya membaca baru-baru ini sebuah situs web yang menawarkan solusi untuk mengatasi masalah semacam ini melalui alamat perma.cc.  Rupanya solusi ini sudah lama ada. Pada halaman depan tertulis “ Perma.cc is a service that helps anyone who needs to cite to the web create links to their references that will never break. Perma.cc prevents link rot.”


Perma.cc dikembangkan dan dikelola oleh Harvard Law School Library bersama dengan perpustakaan hukum universitas di AS dan organisasi bisnis lain.


Akun
Menarik perhatian bahwa institusi-institusi pendidikan dan pengadilan dapat menggunakan perma.cc secara gratis dan juga memberikan secaara gratis kepada para penggunanya.
Untuk yang lain-lain seperti kantor-kantor hukum, penerbit, organisasi nirlaba, atau individu yang tidak terkait dengan institusi pendidikan aatau pengadilan harus berlangganan secara berbayar. Untuk yang terakhir ini, status berlangganan tidak berpengaruh terhadap keberadaan tautan yang dibuat. Ini artinya, jika anda berhenti berlangganan maka tautan yang anda buat melalui perma.cc tidak menjadi hilang.

Senin, 09 September 2019

INVENSI DAN INOVASI: Soal Insentif




Saya membaca UU terbaru,  UU No.11 tahun 2019 tentang SISTEM NASIONAL ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI, disahkan, diundangkan dan mulai berlaku tanggal 13 Agustus 2019. Menarik perhatian saya dalam UU ini adalah adanya pemberian insentif kepada badan usaha yang menghasilkan  inovasi tetapi tidak pada hasil invensi.

Pasal 38 UU 11/2019 berbunyi:
(1) Badan Usaha yang menghasilkan Invensi dan Inovasi nasional dari pemanfaatan hasil Penelitian, Pengembangan, Pengkajian, dan Penerapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 diberi insentif.
(2) Insentif sebagaimana dimaksud  pada ayat (1) diberikan dalam bentuk:
a. jaminan pembelian produk Inovasi tertentu:
dan/atau
b. jaminan pencantuman produk Inovasi dalam katalog elektronik pengadaan barang/jasa pemerintah.

Mengapa terhadap produk inovasi saja badan usaha mendapatkan insentif sementara hasil invensi tidak mendapatkan insentif? Penjelasan Pasal 38 menyatakan Cukup jelas.

Boleh jadi hal itu sebagai diskriminasi dan mungkin akan melahirkan uji materi terhadap Pasal 38 ayat (2) UU No. 11 tahun 2019 ini nantinya ke Mahkamah Konstitusi. Soal-soal diskriminasi dalam hal ini, seperti:

1. Mengapa hanya badan usaha yang mendapatkan insentif? UU tersebut juga mengakui bukan hanya badan usaha yang merupakan penyelenggara ilmu pengetahuan dan teknologi. Pasal 13 ayat (2) menyebutkan selain badan usaha ada perseorangan, kelompok, lembaga pemerintah/swasta dan perguruan tinggi.
2.    Dalam hal perseorangan yang menghasilkan inovasi, lalu menawarkan inovasinya ke badan usaha, mengapa hanya badan usahanya (sebagai penguna) yang mendapatkan insentif?   
3.    Mengapa hanya terhadap produk inovasi badan usaha mendapatkan insentif tetapi  yang menghasilkan invensi tidak?
4.    Dan lain-lain.

Apa yang salah sehingga hanya produk inovasi badan usaha mendapat insentif? Saya melihat bahwa ada kekeliruan dalam merumuskan definisi invensi. Ini sama dengan kekeliruan dalam merumuskan definisi “Produk” dalam UU Jaminan Produk Halal. Pasal 1 angka 12 UU No. 11/2019 tersebut berbunyi:

Invensi adalah ide inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan ma-salah yang spesifik di bidang Teknologi berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses.

Definisi invensi itu sama dengan yang tertuang dalam Pasal 1 angka 2 UUNo. 13 tahun 2016 tentang Paten.

Pasal 1 angka 13 UU 11/2019: Inovasi adaiah hasil pemikiran, Penelitian, Pengembangan, Pengkajian, dan/atau Penerapan yang mengandung unsur kebaruan dan telah diterapkan serta memberikan kemanfaatan,;ekonomi dan/atau sosial.

Invensi, per definisi UU, adalah “ide” sedangkan inovasi adalah “hasil”. Ide menurut KBBI berarti n rancangan yang tersusun di dalam pikiran; gagasan; cita-cita. Karena invensi, menurut UU itu, adalah ide sedangkan inovasi adalah hasil maka UU No. 11/2019 tidak menyediakan ketentuan insentif untuk invensi.  Namanya juga ide, ya tidak diberi insentif.

Dalam UU Paten ada yang tidak sinkron mengenai invensi. Per definisi (Pasal 1 angka 2) invensi adalah “ide” tetapi ketika dibaca lebih jauh dalam UU itu, invensi bukan ide tetapi “hasil”, yaitu produk/proses (Lihat antara lain Pasal 9 UU Paten). Rezim Hak Kekayaan Intelektual tidak memberi perlindungan pada ide tetapi hasil.  Namun karena definis invensi adalah ide inventor (baik menurut UU 11/2019 maupun UU 13/2016 maka dengan sendirinya produk atau proses tidak dilindungi menurut UU Paten, UU Paten melindungi ide. Ini juga perlu ditinjau ulang.

Penyusun draft UU No. 11/2019 hanya menyalin definisi invensi dari UU Paten tanpa melihat lebih jauh pada ketentuan-ketentuan lain dalam UU Paten mengenai invensi sehingga terhadap hasil invensi tidak ada insentif. Invensi itu harusnya hasil, berupa produk atau proses.Jadi memang UU 11/2019 untuk sebagian dan UU 13/2016 untuk keseluruhannya berantakan dan perlu peninjauan ulang.