Senin, 25 Mei 2009

TV Berbayar - Aturan yang sia-sia

Dalam siaran persnya pada tanggal 24 Mei 2009, Depkominfo akan memulai sosialisasi pada Juni 2009 ke daerah-daerah mengenai penyelenggaraan televise berlangganan. Siaran Pers tersebut antara lain berbunyi:


“Menanggapi keluhan tersebut, Departemen Kominfo pada dasarnya tetap mengacu pada UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi serta UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan juga pada PP No. 52 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Berlangganan, dimana secara jelas kedua regulasi tersebut mensaratkan adanya kewajiban bagi setiap lembaga penyiaran berlangganan untuk sebelum menyediakan layanannya harus sudah memiliki IPP (Izin Penyelenggaraan Penyiaran). Sehingga seandainya ada penyelenggara televisi berbayar yang tidak memiliki izin wajib tidak ditertibkan, hal tersebut akan sangat menimbulkan adanya unequal treatment dalam penyelenggaraan lembaga penyiaran berlangganan. Hal ini menuntut adanya sosialisasi mulai bulan Juni 2009 di sejumlah daerah. Seandainya pun dalam waktu dekat ini Departemen Kominfo akan melakukan sosialisasi dan kemudian langsung penindakan, ini bukan berarti karena adanya keluhan APMI tersebut karena keluhan APMI pun juga akan perlu dicek validitas informasinya di lapangan dengan data yang dimiliki sendiri oleh Departemen Kominfo, tetapi semata-mata untuk menegakkan aturan yang berlaku secara tegas, karena ada tidak ada keluhan dan jika ditemu kenali adanya pelanggaran, maka kewajiban Departemen Kominfo untuk melakukan penegakan hukum.”


Setelah pelanggaran-pelanggaran ditemukan barulah dilakukan sosialisasi. Pelanggaran-pelanggaran tersebut malah dilaporkan oleh APMI (Assosiasi Penyelenggara Multimedia Indonesia). Ini memang kelemahan mendasar dalam hukum Indonesia. Bikin aturan tetapi tidak disosialisasikan terlebih dahulu. Setelah ada pelanggaran baru mulai sosialisasi. Jadi tidak ada keseriusan dalam menangani persoalan-persoalan yang sesungguhnya sudah diatur sedemikian rupa.

Pesan: Hari Komunikasi Dunia

Dalam pesan untuk memperingati hari komunikasi dunia, Bapa Suci Benedictus XVI menyampaikan pesan yang, antara lain, berbunyi:

“Those who are active in the production and dissemination of new media content, therefore, should strive to respect the dignity and worth of the human person. If the new technologies are to serve the good of individuals and of society, all users will avoid the sharing of words and images that are degrading of human beings, that promote hatred and intolerance, that debase the goodness and intimacy of human sexuality or that exploit the weak and vulnerable.”
Lebih jauh Bapa Suci menyatakan:
“The new technologies have also opened the way for dialogue between people from different countries, cultures and religions. The new digital arena, the so-called cyberspace, allows them to encounter and to know each other’s traditions and values. Such encounters, if they are to be fruitful, require honest and appropriate forms of expression together with attentive and respectful listening. The dialogue must be rooted in a genuine and mutual searching for truth if it is to realize its potential to promote growth in understanding and tolerance. Life is not just a succession of events or experiences: it is a search for the true, the good and the beautiful. It is to this end that we make our choices; it is for this that we exercise our freedom; it is in this - in truth, in goodness, and in beauty - that we find happiness and joy. We must not allow ourselves to be deceived by those who see us merely as consumers in a market of undifferentiated possibilities, where choice itself becomes the good, novelty usurps beauty, and subjective experience displaces truth.” (Cetak miring dari penulis pesan)

Sabtu, 23 Mei 2009

Gugatan Pencemaran Nama Baik

Dalam posting saya terdahulu, saya sudah menyampaikan putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan Pasal 27 ayat (3) UU ITE konstitusional. Putusan ini tentu akan membawa babak baru dimana kemungkinan ancaman bagi para blogger semakin tinggi. Gugatan-gugatan perbuatan melawan hokum karena pencemaran nama baik atau gugatan pidana akan muncul. Kekhawatiran para pemohon dalam perkara tersebut tampak akan segera menjadi kenyataan.
Persoalan semacam ini sudah bukan barang baru. Di Amerika Serikat terdapat ratusan gugatan mulai dari pencemaran nama baik sampai dengan pelanggaran hak cipta. The Wall Street Journal dalam laporannya baru-baru ini menyampaikan bahwa tahun 2007 saja terdapat 102 gugatan terhadap para bloggers. Akan semakin banyak gugatan lagi muncul seiring dengan makin banyaknya bloggers.
Meskipun sejauh ini gugatan pencemaran nama baik belum muncul di pengadilan-pengailan tetapi patut diduga akan muncul cepat atau lambat. Oleh karena itu para blogger harus lebih berhati-hati dengan apa yang disampaikannya melalui blog-blog atau media online lainnya.

Kamis, 21 Mei 2009

Bahasa Resmi

Saya membaca-baca konstitusi Spanyol dan melihat adanya hal yang menarik, yang, saya pikir, perlu dipertimbangkan untuk ditransfer ke dalam UUD 1945. Yang saya maksud adalah soal bahasa. Dalam Pasal 3 Konstitusi Spanyol ditentukan bahwa Bahasa Castilian merupakan bahasa resmi spanyol dan semua orang Spanyol wajib mengetahui dan berhak menggunakannya (ayat 1). Selanjutnya dalam ayat 2 ditentukan bahwa bahasa Spanyol yang lain harus menjadi bahasa resmi dalam wilayah otonom yang bersangkutan sesuai dengan undang-undangnya. Ayat 3 menyatakan bahwa kekayaan modalitas linguistic yang berbeda merupakan warisan budaya yang harus secara khusus dihormati dan dilindungi.


Indonesia dengan keanekaragaman budayanya, mempunyai berbagai bahasa daerah yang khas yang perlu dihormati dan dihargai. Sayangnya, bahasa-bahasa daerah tersebut kurang mendapat tempat. Hanya Bahasa Indonesia yang selama ini digunakan sebagai bahasa resmi. Bahasa-bahasa daerah yang banyak penggunanya, seperti bahasa Jawa, Padang, dan Batak tidak mendapat tempat dalam pemerintahan di Indonesia. Bahasa-bahasa daerah tersebut merupakan warisan budaya yang wajib dihormati dan dilindungi. Saya piker tidak ada salahnya jika di provinsi dan kabupaten/kota di pulau jawa menggunakan Bahasa Jawa, bersama dengan bahasa Indonesia, sebagai bahasa resmi. Jawa Barat dan Banten dapat menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa resmi bersama dengan bahasa Indonesia. Untuk Sumatera Barat Bahasa Padang. Dan lain sebagainya.

Pasal 18 B UUD 1945 menyatakan:

(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undangundang.

(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.


Jika Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus dan bersifat istimewa dan kesatuan-kesatuan masyarakat hokum adapt beserta hak-hak tradisionalnya, mengapa pula Negara tidak mengakui dan menghormati bahasa-bahasa daerah.
Hal ini tidaklah mengurangi makna dari sumpah pemuda, yang salah satunya berbunyi “berbahasa satu, bahasa Indonesia”. Oleh karena itu ada baiknya jika Pasal 36 UUD 1945 diamandemen. Saya menyusun draft untuk amandemen pasal 36 UUD 1945 sebagai berikut:

1.Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Negara. Setiap warga Negara Indonesia wajib mengetahuinya secara baik dan benar dan berhak menggunakannya;
2. Bahasa bahasa daerah yang lain dapat juga menjadi bahasa resmi, bersama dengan Bahasa Indonesia, di provinsi atau kabupaten/kota, sejauh ditentukan dalam undang-undang pembentukan provinsi atau kabupaten/kota yang bersangkutan;
3.Bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa daerah merupakan warisan budaya yang harus dihormati dan dilindungi.

Senin, 18 Mei 2009

Bersatulah Advokat



Dalam Surat edaran MA No. 052/KMA/V/2009 tertanggal 1 Mei 2009 Perihal Sikap Mahkamah Agung Terhadap Organisasi advokat, MA menyatakan:
1. Urusan perselisihan antara organisasi Advokat adalah urusan internal mereka. Pengadilan tidak dalam posisi untuk mengakui atau tidak mengakui suatu organisasi. Perselisihan mereka harus diselesaikan sendiri oleh profesi Advokat atau apabila mengalami jalan buntu maka dapat diselesaikan melalui jalur hukum.
2. Di dalam Undang-undang Advokat (Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003) disebutkan bahwa organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai ketentuan Undang-undang ini. Hal ini berarti bahwa hanya boleh ada satu organisasi Advokat, terlepas dari bagaimana cara terbentuknya organisasi tersebut yang tidak diatur di dalam Undang-undang yang bersangkutan.
Di dalam kenyataan sekarang ini, ada tiga organisasi yang menyatakan diri sebagai satu-satunya organisasi advokat yang sah, yang menurut Mahkamah Agung harus diselesaikan menurut tata cara yang disebut butir satu di atas.
Selama penyelesaian masalah tersebut belum ada, Mahkamah Agung meminta kepada para Ketua Pengadilan Tinggi untuk tidak terlibat secara langsung atau tidak langsung terhadap adanya perselisihan tersebut yang berarti Ketua Pengadilan Tinggi tidak mengambil sumpah Advokat baru sebagaimana yang d}tentukan dalam pasal 4 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003, karena akan melanggar pasal 28 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003.
3. Walaupun demikian, Advokat yang telah diambil sumpahnya sesuai dengan pasal 4 tersebut di atas, tidak bisa dihalangi untuk beracara di Pengadilan, terlepas dari organisasi manapun ia berasal. Apabila ada Advokat yang diambil sumpahnya menyimpang dari ketentuan pasal 4 tersebut (bukan oleh Ketua Pengadilan Tinggi), maka sumpahnya dianggap tidak sah, sehingga yang bersangkutan tidak dibenarkan beracara di Pengadilan.
4. Para Ketua Pengadilan Tinggi diminta untuk mendorong para Advokat terse but untuk bersatu, karena tidak bersatunya mereka akan menyulitkan dirinya sendiri dan juga Pengadilan.

Terlepas dari soal setuju tidaknya dengan MA menyangkut butir 3, maka yang diperlukan adalah persatuan di kalangan advokat. Sebagaimana dinyatakan ole MA, tidak bersatunya para advokat akan menyulitkan para advokat sendiri. Para calon advokat tentu akan dirugikan karena adanya perselisihan di antara organisasi-organisasi.

Minggu, 17 Mei 2009

Mahkamah Konstitusi, Internet, dan Pasal 27 ayat 3 UU ITE

Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sudah dua kali mendapat ujian. Dalam dua kasus tersebut Mahkamah Konstitusi, PUTUSAN Nomor 50/PUU-VI/2008Dan Putusan Nomor 2/PUU-VII/2009, menolak permohonan pemohon bahwa Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (1) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Terdapat beberapa pertimbangan Mahkamah Konstitusi yang menarik perhatian dan merupakan sikap yang akan menjadi pegangan dalam kerangka pemikiran mengenai dunia maya, internet, dan sifat dari Pasal 27 ayat (3) UU ITE tersebut. Pertimbangan MK yang saya kutipkan di bawah saya bagi berdasarkan topiknya dan tidak berurutan sebagaimana dibuat oleh MK. Kutipan diambil dari PUTUSAN Nomor 50/PUU-VI/2008.

1) Hakekat dunia maya

[3.16.1]

Bahwa terhadap pertanyaan hukum pertama, Mahkamah berpendapat bahwa dunia siber adalah sebuah konstruksi maya yang diciptakan oleh computer yang di dalamnya berisi data-data abstrak yang berfungsi sebagai berikut: (1) aktualisasi diri; (2) wadah bertukar gagasan; dan (3) sarana penguatan prinsip demokrasi. Manusia dapat masuk ke dalam sistem data dan jaringan Komputer tersebut kemudian mendapatkan suatu perasaan bahwa mereka benar-benar telah memasuki suatu ruang yang tidak memiliki keterikatan sama sekali dengan realitas-realitas fisik. Oleh karena itu aktivitas-aktivitas di dunia siber mempunyai karakter, yaitu: (1) mudah, (2) penyebarannya sangat cepat dan meluas yang dapat diakses oleh siapapun dan dimanapun, dan (3) dapat bersifat destruktif dari pemuatan materi penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dengan menggunakan media elektronik sangat Iuar biasa karena memiliki corak viktimisasi yang tidak terbatas. Dengan memahami hakekat dunia siber beserta karakternya, maka diperlukan pengaturan tersendiri untuk mengakomodasi perkembangan dan konvergensi teknologi informasi, yang dapat digunakan sebagai sarana dalam melakukan kejahatan;

2) Perbedaan antara Dunia Maya dan Dunia Nyata

[3.16.1]
Bahwa terhadap pertanyaan hukum kedua dan ketiga, menurut Mahkamah, pembeda utama antara interaksi di dunia nyata (real/physical world) dan dunia maya (cyberspace) hanyalah dari sudut media yang digunakan, maka seluruh interaksi dan aktivitas melalui internet akan memiliki dampak bagi kehidupan manusia dalam dunia nyata, misalnya melalui transfer data, melalui distribusi dan/atau transmisi dan/atau dapat diaksesnya informasi dan dokumentasi elektronik juga dapat menimbulkan dampak negatif yang sangat ekstrim dan masif di dunia nyata;

Fungsi Internet

[3.16.5]
Menurut Mahkamah, perkembangan teknologi informasi seperti internet dan sejenisnya, hanya merupakan alat bantu untuk mempermudah kehidupan manusia yang hidup dan saling berpengaruh dalam dunia nyata guna mencapai kesejahteraan umat manusia, sehingga fokus akhir dari pengaturan dan pembatasan hukum in casu undang-undang a quo adalah untuk menjaga ketertiban hukum dalam lalu lintas interaksi manusia pada media siber yang secara langsung atau tidak langsung berakibat dalam dunia nyata. Tindak pidana yang terjadi dengan menggunakan sarana dunia maya menyebabkan korban menderita untuk waktu yang lama dan dampak yang luas karena tidak adanya batas ruang dan rentang waktu. Setiap orang dapat membuka fitur-fitur yang dimuat di dalamnya kapanpun dan dimanapun, sehingga justru korban dari tindak pidana di dunia maya-lah yang mengalami efek dalam jangka panjang, bukan pelakunya. Berdasarkan pandangan
terhadap nilai hukum di atas, maka dalil Pemohon tidak beralasan;

Kebebasan Pers

[3.16.8] Bahwa dengan demikian, kemerdekaan pers tidak bisa dilaksanakan hanya demi kepentingan dan selera atau hanya milik insan pers, tetapi adalah milik seluruh rakyat Indonesia. Oleh karenanya, setiap orang termasuk insan pers tunduk dan harus menundukkan diri pada prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Dengan kata lain, praktik kemerdekaan pers tidak dapat berjalan tanpa menghormati baik proses demokrasi maupun tanpa mengindahkan aspek keadilan dan penegakan supremasi hukum. Dapat pula dikatakan bahwa di dalam implementasi kemerdekaan pers harus didasarkan pada prinsip kedaulatan rakyat, prinsip keadilan, dan supremasi hukum. Kemerdekaan pers tidak dapat dilepaskan dari tiga unsur a quo, yaitu demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum;
[3.16.9] Bahwa dalam konteks gagasan demokrasi, kemerdekaan pers harus memberi warna dan makna sebagai sarana yang membuka ruang perbedaan pendapat dan menjadi tempat menyampaikan kritik dan informasi. Ruang bagi perbedaan pendapat a quo hanya ada apabila kemerdekaan pers tidak dibelenggu, namun dengan tetap tunduk pada hukum dan kode etik jurnalistik.
Dengan kata lain, kemerdekaan pers dan demokrasi merupakan dua hal yang saling membutuhkan bahkan saling menghidupi. Kemerdekaan pers tidak boleh disalahgunakan dengan mengatasnamakan kepentingan umum untuk menciderai demokrasi, privasi, harga diri, dan kehormatan anggota masyarakat;

Pasal 27 ayat (3): Penghinaan/Pencemaran nama Baik

[3.16.1]

Bahwa menurut Mahkamah, penghinaan yang diatur dalam KUHP (penghinaan off line) tidak dapat menjangkau delik penghinaan dan pencemaran nama baik yang dilakukan di dunia siber (penghinaan on line) karena ada unsur “di muka umum”.
Dapatkah perkataan unsur “diketahui umum”, “di muka umum”, dan “disiarkan” dalam Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) KUHP mencakup ekspresi dunia maya? Memasukkan dunia maya ke dalam pengertian “diketahui umum”, “di muka umum”, dan “disiarkan” sebagaimana dalam KUHP, secara harfiah kurang memadai, sehingga diperlukan rumusan khusus yang bersifat ekstensif yaitu kata “mendistribusikan” dan/atau “mentransmisikan” dan/atau “membuat dapat diakses”. Rumusan Pasal a quo telah cukup jelas memberikan pengertian “mendistribusikan” sebagai “penyalinan” sebagaimana keterangan Ahli Pemohon Andika Triwidada. Pengertian mentransmisikan adalah interaksi sekejap antara pihak pengirim dan penerima dan interaksi tersebut merupakan bagian dari distribusi. Begitu juga dengan batasan “membuat dapat diakses” dapat berupa memberikan akses terhadap muatan secara langsung dan memberikan akses berupa alamat tautan, sebagaimana pendapat Ahli dari Pemohon. Dengan demikian, terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal a quo memperlihatkan adanya ketidakjelasan ukuran dan makna, tumpang tindih yang berarti mengandung ketidakpastian hukum, adalah tidak tepat menurut hukum;
[3.16.2] Bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal a quo seperti pedang bermata dua, selain dimaksudkan melindungi kehormatan dan nama baik seseorang, Pasal a quo dapat pula memenjarakan orang yang tidak bersalah, dapat menimbulkan diskriminasi, ketakutan dengan ancaman pidana penjara dan/atau denda yang sangat berat, dan ketidakadilan bagi pengguna teknologi informasi. Menurut Mahkamah, meskipun setiap orang mempunyai hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi, tetapi tidak menghilangkan hak negara untuk mengatur agar kebebasan untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi tidak melanggar hak-hak orang lain untuk mendapatkan perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan nama baiknya yang juga dijamin oleh konstitusi. Kewenangan negara untuk mengatur dapat dibenarkan, bahkan menjadi tanggung jawab negara, terutama Pemerintah, antara lain dengan menuangkannya dalam Undang-Undang [vide Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945] untuk menciptakan situasi yang lebih kondusif bagi terpenuhinya hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan nama baik seseorang. Rumusan Pasal a quo hanya membatasi terhadap siapa saja yang “dengan sengaja” dan “tanpa hak” untuk mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik;
Bahwa unsur dengan sengaja dan tanpa hak merupakan satu kesatuan yang dalam tataran penerapan hukum harus dapat dibuktikan oleh penegak hukum. Unsur “dengan sengaja” dan “tanpa hak” berarti pelaku “menghendaki” dan “mengetahui” secara sadar bahwa tindakannya dilakukan tanpa hak. Dengan kata lain, pelaku secara sadar menghendaki dan mengetahui bahwa perbuatan “mendistribusikan” dan/atau “mentransmisikan” dan/atau “membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik” adalah memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Adapun unsur tanpa hak merupakan unsur melawan hukum. Pencantuman unsur tanpa hak dimaksudkan untuk mencegah orang melakukan perbuatan mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik;
Bahwa sejalan dengan ketentuan Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945 tersebut di atas, Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 membebankan kewajiban kepada Pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia. Undang-Undang sebagai produk politik dan hukum yang dihasilkan melalui mekanisme demokrasi harus mendidik masyarakat ke arah yang sejalan dengan Undang-Undang Dasar. Ketentuan dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE tersebut sangat sejalan dengan ketentuan Pasal 28G ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 yakni perlindungan kehormatan dan martabat manusia, pembebasan dari perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat manusia, serta bersesuaian dengan ketentuan Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 yaitu pendidikan terhadap masyarakat yang meningkatkan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia;

Bahwa perbuatan menghina atau mencemarkan nama baik orang lain, adalah tindakan yang bertentangan dengan perlindungan kehormatan dan martabat manusia, tindakan semacam itu merendahkan derajat dan martabat manusia. Manusia yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia takkan melakukan penghinaan dan pencemaran nama baik terhadap sesamanya;
Bahwa salah satu perbedaan antara komunikasi di dunia nyata dengan dunia maya (cyberspace) adalah media yang digunakan, sehingga setiap komunikasi dan aktivitas melalui internet akan memiliki dampak bagi kehidupan manusia dalam dunia nyata, misalnya melalui transfer data, melalui distribusi dan/atau transmisi dan/atau dapat diaksesnya informasi dan dokumentasi elektronik juga dapat menimbulkan dampak negatif yang sangat ekstrim dan masif di dunia nyata. Oleh karena itu, meskipun berat ringannya sanksi adalah wewenang pembentuk undang-undang, namun menurut Mahkamah, konsep pemidanaan dalam UU ITE merupakan delik yang dikualifikasi sebagai penghinaan atau pencemaran nama baik sehingga konsepnya akan mengacu kepada KUHP namun ancaman pidanaannya lebih berat. Perbedaan ancaman pidana antara KUHP dengan UU ITE adalah wajar karena distribusi dan penyebaran informasi melalui media elektronik relatif lebih cepat, berjangkauan luas, dan memiliki dampak yang masif. Bahwa pembatasan-pembatasan yang dilakukan oleh Negara tidak dalam rangka mengurangi hak-hak dasar untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi, melainkan untuk memberikan jaminan kepada orang lain untuk menikmati kebebasan dirinya dari ancaman serangan terhadap kehormatan dirinya, keluarganya, serta merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan yang dapat menyebabkan dirinya tidak dapat hidup secara layak sebagai manusia yang dimuliakan oleh Sang Pencipta;

[3.17] Menimbang bahwa baik DPR maupun Ahli yang diajukan Pemerintah telah menerangkan di depan persidangan Mahkamah bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak mengatur norma hukum pidana baru, melainkan hanya mempertegas berlakunya norma hukum pidana penghinaan dalam KUHP ke dalam Undang-Undang baru karena ada unsur tambahan yang khusus yaitu adanya perkembangan di bidang elektronik atau siber dengan karakteristik yang sangat khusus. Oleh karena itu, penafsiran norma yang termuat dalam Pasal 27 ayat (3) UU a quo mengenai penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, tidak bias dilepaskan dari norma hukum pidana yang termuat dalam Bab XVI tentang Penghinaan yang termuat dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP, sehingga konstitusionalitas Pasal 27 ayat (3) UU ITE harus dikaitkan dengan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP;
[3.17.1] Bahwa terlepas dari pertimbangan Mahkamah yang telah diuraikan dalam paragraf terdahulu, keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP sebagai genus delict yang mensyaratkan adanya pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut, harus juga diperlakukan terhadap perbuatan yang dilarang dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, sehingga Pasal a quo juga harus ditafsirkan sebagai delik yang mensyaratkan pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut di depan Pengadilan;