Selasa, 15 Desember 2015

KEPUTUSAN FIKTIF NEGATIF MKD: TIDAK ADA PELANGGARAN KODE ETIK BERAT





Cukup menarik perhatian saya perkara kode etik yang kini ditangani oleh Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat (MKD). Perkara kode etik ini dilaporkan oleh Menteri energy dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said. Ketua DPR Setya Novanto dilaporkan karena ada dugaan melakukan pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden dalam meminta saham PT. Freeport Indonesia.(FI) Menteri ESDM sendiri sudah menegaskan sewaktu persidangan di MKD bahwa dirinya tidak pernah membuat pernyataan bahwa SN mencatut nama Presiden dan Wapres. Demikian juga Maroef Syamsudin Presiden Direktur FI tidak menyebutkan bahwa SN ada mencatut nama Presiden dan Wapres dalam meminta saham FI. Langkah Presiden Direktur FI untu melarang penyerahan bukti rekaman asli kepada MKD sudah merupakan pertanda bahwa laporan Menteri ESDM tidak dapat dipertanggungjawabkan. SN sendiri sudah diperiksa dalam sidang tertutup dan menyatakan rekaman tersebut tidak sah dan tidak bersedia menanggapi mengenai isi rekaman. MENKO POLHUKHAM Luhut Binsar Panjaitan juga diperiksa dalam perkara ini karena namanya ada disebut sampai 66 kali dalam rekaman yang menurut SN tidak sah. Satu saksi kunci yaitu Reza Khalid yang ikut dalam pertemuan yang direkam itu sudah dipanggl dua kali tetapi tidak hadir dalam persidangan MKD. Saya tidak melihat ada sesuatu yang berharga untuk disampaikan oleh Reza Chalid mengingat Presiden Direktur FI melarang rekaman asli diserahkan ke MKD dan SN sudah menyatakan rekaman tidak sah dan tidak menanggapi apapun soal isi rekaman.
Keputusan Fiktif Negatif MKD
Dalam hukum administrasi Negara ada dikenal keputusan fiktif negative. Keputusan fiktif negative berarti keputusan yang tidak pernah dibuat tetapi harus dianggap dibuat (fiktif)  yang isinya berupa penolakan (negative). Misalnya, seseorang mengajukan permohonan untuk mendapatkan Izin mendirikan bangunan. Jika untuk jangka waktu tertentu, yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang relevan atau dalam jangka waktu 90 hari jika tidak ditentukan waktunya,  tidak ada keputusan, apakah menolak atau memberikan,  maka pejabat yang berwenang menangani soal IMB dianggap sudah mengeluarkan keputusan yang berisi penolakan untuk memberikan izin.
Dalam konteks perkara yang sekarang bergulir di MKD dimana SN diduga melakukan pelanggaran berat yang dapat berujung pada pemberhentian. Banyak suara beredar yang menuntut pemberhentian SN karena melakukan pelanggaran berat. Apakah benar SN sudah melakukan pelanggaran berat atau apakah ada dugaan bahwa SN melakukan pelanggaran berat. Dari semula  MKD sudah membuat putusan fiktif negative bahwa SN tidak melakukan pelanggaran berat atau bahwa dugaan pelanggaran Berat yang dilakukan SN tidak ada.  Dasar untuk membuat kesimpulan ini dapat ditarik dari ketentuan dalam UU No. 17 tahun 2014 jo peraturan DPR  No. 2 tahun 2015.
Pasal 148 dan 149 UU No. 17 tahun 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH berbunyi
 Pasal 148
(1) Dalam hal Mahkamah Kehormatan Dewan menangani kasus pelanggaran kode etik yang bersifat berat dan berdampak pada sanksi pemberhentian, Mahkamah Kehormatan Dewan harus membentuk panel sidang pelanggaran kode etik anggota DPR.

(2) Panel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas 3 (tiga) orang anggota Mahkamah Kehormatan Dewan dan 4 (empat) orang dari unsur masyarakat.
(3) Putusan panel sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada rapat paripurna untuk mendapat persetujuan terhadap pemberhentian tetap anggota DPR.

Pasal 149
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan Mahkamah Kehormatan Dewan, tata cara pengenaan sanksi, tata cara pembentukan panel, dan tata cara sidang pelanggaran kode etik DPR diatur dalam peraturan DPR.

Ketentuan lebih lanjut dalam Pasal 148 dan 149 UU No. 17 tahun 2014 diatur dalam Pasal 39-54  PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA  NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG TATA BERACARA MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA 
Pasal 39 Peraturan DPR no 2 tahun 2015 berbunyi: 

(1) Dalam hal MKD menangani kasus pelanggaran Kode Etik yang bersifat berat dan berdampak pada sanksi pemberhentian, MKD harus membentuk Panel yang bersifat ad hoc.
(2) Putusan Panel disampaikan kepada MKD untuk dilaporkan dalam rapat paripurna DPR untuk mendapat persetujuan terhadap pemberhentian tetap anggota DPR.
Dari ketentuan-ketentuan tersebut dapat dilihat bahwa jika perkara SN adalah pelanggaran Kode Etik yang bersifat berat dan berdampak pada sanksi pemberhentian maka MKD seharusnya membentuk Panel untuk menangani perkara itu. Baik Pasal 148 ayat (1) UU No 1 tahun 2014 maupun Pasal 39 ayat (1) Peraturan DPR No 2 tahun 2015 menggunakan kata “MKD harus….” Hal ini berarti suatu kewajiban yang tidak dapat dilanggar. Pada kenyataannya kita melihat MKD sama sekali tidak membentuk Panel. MKD bersidang dengan pimpinan merangkap anggota yang jumlahnya 17 orang. Hal ini berarti bahwa MKD sudah membuat putusan yang bersifat fiktif negative yang isinya SN tidak melakukan pelanggaran Kode Etik berat dan berdampak sanksi pemberhentian. MKD tidak melakukan pelanggaran terhadap Pasal 148 UU No 17 tahun 2014 jo Pasal 39 PerDPR No 2 tahun 2015 tersebut dengan tidak membentuk Panel. MKD hanya membuat keputusan yang bersifat fiktif negative bahwa MKD memutuskan, dengan tidak membuat keputusan,  bahwa SN tidak melakukan pelanggaran Kode Etik berat dan berdampak pada sanksi pemberhentian.
 .  

Sabtu, 12 Desember 2015

Prostitusi Online dan Tindak Pidana Perdagangan Orang



Kembali dunia selebrity diguncang badai prostitusi. Sebagaimana diberitakan artis yang diduga  Nikita Mirzani (NM) dan Puty Revita (PR) telah ditangkap bersama dengan orang yang diduga sebagai mucikari yang diduga melakukan  tindak pidana perdagangan orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UU No 21 tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang. Terlepas dari soal moral yang menganga, pada permulaan harus ditekankan bahwa tindakan polisi dalam kasus ini tidak mengena dengan Pasal 2 UU tersebut.

Saya melihat kasus yang menimpa Nikita Mirzani dan Puty Revita tersebut lebih sebagai suatu kreativitas dan kontribusi dari pihak Kepolisian untuk meredakan ketegangan di bidang politik sehubungan dengan kasus-kasus Pelindo II, “Papa Minta Saham”, dan pelbagai issu yang melanda republic ini belakangan ini.  Kasus yang diduga sebagai prostitusi yang melibatkan artis dengan bayaran fantastis tentu sangat menarik perhatian dan jagad politik Indonesia terlihat seperti cerah meski kabut tebal masih bergelayut.

Pasal 2 UU No 21 tahun 2007 berbunyi:
(1) Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Unsur-unsur:
1.   Setiap orang
2.   Melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang
3.   Seseorang
4.   dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain
5.   untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut
6.   di wilayah negara Republik Indonesia

Dengan melihat sepintas terhadap ketentuan Pasal 2 tersebut, kasus yang menimpa NM, PR, dan dua orang yang diduga sebagai mucikari sudah termasuk dalam tindak pidana perdagangan orang. Hal ini terutama karena dalam Pasal 2 tersebut terdapat kata-kata “………atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, ….” Dengan kata-kata tersebut maka jadilah suatu pelacuran yang termasuk dalam tindak pidana perdagangan orang. Namun tampaknya ada yang dilupakan yaitu bahwa perbuatan-perbuatan tersebut harus “untuk  tujuan mengeksploitasi orang tersebut”. Apa yang dimasud dengan mengeksploitasi? Pasal 1 butir 7 menyatakan:

“7. Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil.”

Kata kerja mengesplotasi adalah melakukan apa yang disebutkan dalam Pasal 1 butir 7 tersebut. Melihat pada ketentuan dalam Pasal 1 butir 7 dengan adanya kata “pelacuran” maka main jelaslah bahwa TPPO itu meliputi pelacuran. Undang-undang tersebut tidak mendefenisikan apa yang dimasud dengan “pelacuran”. Namum Pasal 1 butir 8 ada mendefenisikan Eksploitasi sesual sebagai “8. segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan”.

Dengan melihat kepada Pasal 1 butir 7 dan 8 kita menemukan adanya kata “korban”. Hal ini berarti bahwa tindak pidana perdagangan orang, termasuk karena pelacuran” tersebut haruslah mensyaratkan adanya “korban”.

Apa yang dimaksud dengan korban? Pasal 1 butir 3 menyatakan:
“3. Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial, yang diakibatkan tindak pidana perdagangan orang.”

Setelah melihat pada apa yang diuraikan tersebut timbul pertanyaan, apakah NM dan PR termasuk dalam kategori “korban” perdagangan orang? Mengalami kenikmatan seks dan mendapatkan banyak uang, yang konon 50 -120 jt per 3 jam, tidaklah mengakibatkan penderitaan bagi artis yang bersangkutan. Malah banyak  diberitakan di mass media mengenai gaya hidup mewah dari Nikita Mirzani. Adapun gaya hidup PR belum banyak tercium karena tampaknya PR masih termasuk “skuter” atau “selebriti kurang terkenal”. Namun tidak ada suatu pemberitaanpun yang saya baca menunjukkan bahwa NM dan PR mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial, yang diakibatkan ulah dari orang yang diduga sebagai  mucikari tersebut. Dengan demikian sulit untuk menjerat sang mucikari telah melakukan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Demikian juga dengan selebriti NM dan PR tentu tidak dapat dikenakan Pasal 2 UU TPPO tersebut.

Pasal 1 butir 2 UU No 21 tahun 2007 tersebut menyatakan bahwa “Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam Undang-Undang ini.” Sebagaimana tinjauan di atas menunjukkan bahwa unsure “tujuan mengeksploitasi orang tersebut” sulit dipenuhi maka TPPO tersebut kemungkinan tidak akan terpenuhi. Tentu pihakkepolisian mempunyai dalil sendiri yang tampaknya tidak akan mengena dan jika tidak berhati-hati dapat menjadi senjata makan tuan. Baik orang yang diduga sebagai mucikari maupun artis NM dan PR, bukan tidak mungkin mengajukan tuntutan hukum pada pihak kepolisian.

Rabu, 09 Desember 2015

Apa yang dimarahkan?

Terkejut juga saya tadi melihat di televisi ekspresi kemarahan yang terpancar di wajah Presiden Joko Widodo. Sebagaimana dikutip Kompas:
"Saya tidak apa-apa dikatakan Presiden gila! Presiden sarap, Presiden koppig, tidak apa-apa. Akan tetapi, kalau sudah menyangkut wibawa, mencatut, meminta saham 11 persen, itu yang saya tidak mau. Tidak bisa. Ini masalah kepatutan, kepantasan, moralitas. Itu masalah wibawa negara," 

Demikian juga dengan Waki Presiden Jusuf Kalla menyampaikan kemarahannya. Namun lebih maju dari Presiden, Wakil Presiden meminta Setya Novanto untuk mengundurkan diri. 

Saya pikir masalah Setya Novanto perlu ditangani dengan hati-hati dan kepala dingin. Proses suah berjalan di Mahkamah Kehormatan DPR. Terlepas dari soal cacat hukum dari proses di MKD yang kemungkinan besar membatalkan kasus tersebut tetapi sebaiknya ditunggu saja hasilnya. Memang bagi yang masih dapat berpikir sehat, proses di MKD yang dari semula memang ngawur, sudah pasti menguntungkan Setya Novanto. Tinggal soal kepiawaian dalam memainkan pasal-pasal dan ayat-ayat saja yang akan dilihat ke depan. 

Melihat sikap keras dari Presiden dan Wakil Presiden, Langkah Kejaksaan Agung yang sungguh proaktif dalam mengadakan penyelidikan dan rencana Presiden dan Wakill Presiden mengadu ke Polisi saya jadi bertanya dalam hati, apa betul Presiden dan Wakil Presiden menginginkan atau ada upaya untuk mendapatkan saham dari PT Freeport Indonesia dan menjadi sangat marah karena masalah itu jadi terbuka dan berpotensi gagal? Saya tidak yakin ini soal KIH - KMP dan juga tidak dengan issu-issu lain yang terdapat dalam transkrip yang dibuatkan oleh Maroef Syamsudin tersebut. Hanya Presiden dan Wakil Presiden yang tahu apa dasar kemarahan yang diumbar secara berlebihan tersebut. 

Senin, 30 November 2015

Soal KPK: Langkah Keliru DPR



Saya memperhatikan DPR seperti hendak melemahkan KPK dengan berupaya mengubah UU KPK dan juga berupaya menghambat pengangkatan komisioner KPK.  Saya melihat ini suatu kesalahan berpikir dari para anggota Dewan dimana para Anggota Dewan menempatkan dirinya ke tempat yang sangat rendah.   Tindakan-tindakan KPK yang sedemikian rupa yang mengancam kerja dari para pejabat termasuk para anggota Dewan sesungguhnyalah tidak dapat dibebankan pada KPK itu sendiri. Dewan berpikir, seolah-olah kalau KPK dilemahkan dengan mengebiri kewenangan yang diberikan undang-undang dan menghambat pengangkatan komisioner KPK, dapat menyelesaikan persoalan. 

Ini cara berpikir yang menyesatkan. Justru kalau saya perhatikan dengan baik, masalahnya bukan di KPK saja tetapi juga dengan  pengadilan (Pengadilan Tipikor dari tingkat  PN sampai Mahkamah Agung). KPK tidak dapat bertindak sedemikian rupa jika pengadilan tidak membenarkan tindakan-tindakan KPK. Pembacaan saya terhadap putusan-putusan pengadilan dalam perkara korupsi menunjukkan adanya, patut diduga,  ketidakberanian dari pengadilan untuk memberikan teguran kepada KPK dan seolah-olah pengadilan sebagai tuuang stempel bagi tindakan-tindakan KPK. KPK seolah-olah sudah menjadi lembaga yang berdiri sebagai suatu rezim hokum sendiri dan pengadilan menempatkan diri sebagai bagian darinya. Hal ini dapat dilihat dalam putusan-putusan dimana meskipun bukti-bukti sangat lemah pengadilan secara heroic menjatuhkan pemidanaan. Bahkan ada perkara dimana penuntut umum gagal membuktikan terpenuhinya unsure-unsur pasal yang didakwakan, tetapi pengadilan dengan cara yang heroic menciptakan sendiri pasal yang berada di luar yang didakwakan oleh penuntut umum, hingga terdakwa dipidana.  Demikian juga Mahkamah Agung telah secara jauh menjatuhkan pidana yang lebih berat dan denda yang lebih besar tanpa mempunyai landasan hokum.  Dalam hal barang-barang bukti, baik berupa barang maupun uang dengan nilai milyard-an rupiah, yang disita oleh KPK yang tidak selalu diajukan sebagai bukti di pengadlian dan barang-barang bukti itu kemudian diambangkan atau diserahkan kepada KPK.  Masyarakat mengira bahwa barang-barang yang disita untuk Negara tetapi tidak. (Saya ada menulis perlakuan terhadap barang bukti berjudul “Mainan Kecilnya KPK”).
Baik Dewan maupun partai-partai mempunyai lembagai penelitian yang semestinya dapat diberdayakan untuk terlebih dahulu melakukan penelitian dan membuat saran-saran sebelum Dewan atau anggota-anggotanya bertindak mengajukan perubahan UU. Putusan-putusan pengadilan dalam perkara korupsi memang perlu dievaluasi. Jika memang putusan dibuat dengan menyalahi aturan maka harus dibuatkan jalan keluar. Hukum Indonesia memang menyediakan sarana untuk evaluasi terhadap putusan-putusan dalam perkara pidana yang telah mempunyai kekuatan hokum tetap, termasuk yang sudah diajukan PK.
 Jika perkara-perkara korupsi ditangani dengan baik, saya pikir KPK juga akan runtuh sendiri tanpa DPR perlu mengubah UU KPK.  Dalam perkara di pengadilan, misalnya, dengan menerapkan prinsip “de omnibus dubitandum”  atau “segala sesuatunya harus dipertanyakan “  KPK akan kelabakan sendiri, dan, jika KPK tidak berhati-hati, semua komisioner KPK, yang sekarang maupun yang sebelum-sebelumnya,  bisa dituntut karena melakukan tindak pidana Korupsi. Jadi, dapat terjadi,  akan  ada semacam arus balik.
Menyangkut UU KPK memang, sebagaimana dengan semua UU, ada hal yang harus selalu dimuat, yaitu evaluasi terhadap UU. Saya belum pernah membaca ada UU yang memuat ketentuan mengenai  kapan evaluasi terhadap pelaksanaan UU dilakukan, apakah UU perlu diubah, diperbaiki, atau malah dicabut dengan menggantikan yang baru.   Pada jurisdiksi lain, ketentuan mengenai evaluasi terhadap UU lazim dimuat dalam UU yang bersangkutan.  Ke depan sya pikir, dalam setiap UU perlu dibuat ketentuan khusus mengenai evaluasi terhadap UU yang bersangkutan.