Sabtu, 31 Oktober 2015

Atlas Pada Pameran Seni Rupa

Kemarin sore, 30 Oktober 2015, saya mengunjungi sebuah pameran seni rupa yang diselenggarakan Kedutaan Besar Kolombia di Pacific Palace Jakarta. Dalam pameran tersebut ditampilkan berbagai patung (sculpture). Semuanya dengan mengambil inspirasi dari perangko yang terbit di negara-negara ASEAN, seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Brunei Darussalam, filipina, Kamboja, dan Kampuchea. Ada juga burung Garuda, Lambang Negara RI di pameran tersebut, sayangnya saya kurang tahu apakah sesuai atau tidak.

Saya juga tidak tahu persis siapa pematungnya. Biasanya memang saya tidak terlalu tertarik untuk mengetahui penciptanya. Saya hanya menyukai apa yang saya lihat dan, unttuk karya semacam ini, saya tidak terlalu memusingkan yang menciptakan.

Yang paling menarik perhatian saya adalah sebuah atlas (globe) yang disediakan pada pameran itu, yang cukupbesar. Meski tidak terlalu rapi tetapi tetap saja menyolok bagi saya. Attlas tersebut tidak menyebukan nama-nama negara. Pada atlas tersebut, khusus untuk Indonesia dibuatkan warna merah putih. Bagian atas merah dan bagian bawah putih. Untuk lain-lain negara dibuat warna hijau.Yang mengganggu menurut saya adalah banyak bagian kecil dari atlas itu yang berada dalam tataran wilayah Republik Indonesia dibuat berwarna hijau. Sebagai contoh pada sebelah kiri dari Pulau Sumatera dibuat ada enam pulau kecil. Hanya satu yang dibuat berwarna putih. Lima yang lain dibuat berwarna hijau. Saya pikir suatu attlas haruslah konsisten. Jika sudah dibuat untuk Indonesia berwarna merah-putih, maka tidaklah tepat membuat warna hijau untuk pulau-pulau kecil dalam atlas sepanjang menyangkut wilayah RI. 

Dalam pikiran saya timbul pertanyaan, apakah ini disengaja untuk mengesankan bahwa pulau-pulau yang dibuat berwarna hijau di wilayah RI adalah milik negara lain. Saya memang ada mendengar kabar angin ada pulau-pulau Indonesia sudah dijual. Lima pulau yang dibuat di sebelah kiri dari Pulau Sumatera yang dibuat berwarna hijau termasuk yang saya pikir adalah Pulau Nias. Kalau pulau-pulau tersebut, yang dibuat berwarna hijau, benar milik asing, kapankah pulau-pulau tersebut menjadi milik asing? Atau adakah unsur kesengajaan untuk mengurangi wilayah Indonesia oleh pihak asing.    
   
Saya pikir keberadaan dari atlas dalam pameran tersebut perlu diberi perhattian serius. Jangan-jangan itu sekedar uji coba atau testing the water. Jika pemerintah Indonesia tidak protes, attlas yang bersangkutan digandakan dan dapat secara pelan-pelan, pulau-pulau tersebut disebutkan milik asing. Atau mungkin propaganda untuk mengurangi atau malah mungkin mengokupasi wilayah Indonesia  oleh pihak asing. 

Kamis, 29 Oktober 2015

Komentar atas RPM tentang Klasifikasi Game



KOMENTAR DAN USULAN TERHADAP RANCANGAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR      TAHUN
TENTANG KLASIFIKASI PERMAINAN INTERAKTIF ELEKTRONIK  

  
Merujuk pada Siaran Pers Tentang Uji Publik Rancangan Peraturan Menteri mengenai Klasifikasi Permainan Interaktif Elektronik dengan ini saya, Paustinus Siburian, SH., MH. Memberikan tanggapan dan masukan atas RPP tersebut dan mudah-mudahan berguna.


I.                    Defenisi Permainan Interaktif elektronik
Sewaktu saya pertama membaca judul dari Rancangan Peraturan yang terbayang adalah pemerintah hendak mengatur berbagai hal yang masuk dalam interactive game, yaitu amusement game, social gaming, waging dan gambling. Pembacaan saya terhadap interactive gaming di yurisdiksi lain adalah menyangkut keempat hal itu. Pembacaan saya terhadap defenisi dalam Pasal 1.1 keempaat macam game di lain yurisdiksi tercakup. Oleh karena itu pengertian permainan interaktif elekttronik perlu dipertegas.  Penegasan semacam ini perlu karena ada kekaburan dalam Pasal 12 dan Pasal 15 seolah-olah bahwa permainan interaktif yang tidak dapat diklasifikasi (yang meliputi gambling) hanya sekedar tidak dimasukkan dalam daftar rekomendasi bukan sesuatu yang dilarang.
Setelah saya mengunjungi situs web dari badan rating sysem sebagaimana disebut dalam siaran pers itu saya mengerti ini untuk perlindungan anak, utamanya. Saya pikir juga UU Perindungan Anak perlu dirujuk dalam RPM tersebut.
II.                  Bahasa
Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 37  UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2009 TENTANG BENDERA, BAHASA, DAN LAMBANG NEGARA, SERTA LAGU KEBANGSAAN ada kewajiban untuk menggunakan bahasa Indonesia. Mengingat permainan interaktif dapat dilakukan dalam bahasa lain, apakah aturan dalam permainan interaktif dapat dengan bahasa lain dengan syarat harus menyediakan terjemahan dalam bahasa Indonesia  
1.      Bahasa yang digunakan  tidak diatur (a) dalam permainannya sendiri (b) dalam petunjuk penggunaan. Apakah harus dalam bahasa Indonesia atau dapat dalam bahasa daerah atau bahasa asing?
2.      Pasal 7ayat (1) d, Pasal 8 ayat (1) e, Pasal 11 ayat (1) d memuat larangan soal bahasa kasar. Jika bahasa yang digunakan di luar bahasa Indonesia, bagaimana menentukan itu bahasa kasar atau bukan.

III.               Ketentuan dalam Pasal 9 huruf a dan 10 huruf a Rancangan sepanjang menyangkut narkoba, saya pikir dan saya menyarankan,  harus dinyatakan terlarang. Sudah menjadi program pemerintah bahwa narkoba sesuatu yang terlarang dan berbahaya, maka juga dalam hal game dalam permainan untuk klasifikasi yang manapun harus dilarang. Jadi ketentuan dalam  Pasal 9 huruf a dan Pasal 10 huruf a harus diperbaiki sehingga naroba tidak dapat dimasukkan sebagai dan/atau dalam konten suatu game. 

IV.               Apakah ketentuan ini berlaku juga terhadap permainan interaktif secara eletronik yang disediakan oleh pelaku usaha di luar Indonesia yang dapat diakses di Indonesia? Jika ya tentu juga harus diindikasikan dalam Rancangan Peraturan itu. Dalam Pasal 20 ayat (2) Rancangan ini memang ada diatur soal itu tetapi apakah di yurisdiksi lain ada ketentuan semacam yang akan diatur oleh Indonesia ini.

V.                   Apakah dengan mengadakan klasifikasi merupakan suatu persyaratan untuk mendapatkan izin atau malahan izin itu sendiri? Dalam hal ini perlu ditegaskan bahwa pengklasifikasian dimaksudkan sebagai salah sau syarat unuk dapat ditempatkan di pasar.

VI.               Apakah permainan yang tidak masuk dalam klasifikasi (Pasal 12) dilarang? Ketentuan dalam Rancangan ini bersifat kabur. Ketentuan dalam Pasal 15 yang berbunyi  Setiap Permainan Interaktif Elektronik yang dapat diklasifikasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 11 dimasukkan ke dalam daftar rekomendasi Permainan Interaktif Elektronik oleh pemerintah.” Ini berari bahwa yang tidak masuk klasifikasi tidak dilarang tetapi hanya tidak direkomendasikan. Saya pikir hal ini harus dibuat secara tegas untuk menghentikan pemikiran ataupun kesan bahwa Indonesia membuka pasar untuk social gaming, waging, dan/atau gambling. Disini menjadi issu, apakah rekomendasi berarti izin.

VII.             Kalau kata-kata “diklasifikasikan” dan “daftar rekomedasi” mengandung konotasi perizinan maka harus ditentukan juga jangka waktu yang dibutuhkan antara tanggal dari “penempatan dalam www.igrs.id” sampai tanggal “pemerintah memasukan dalam daftar rekomendasi” dan biaya yang diperlukan untuk hal itu. (Namun sejauh saya tahu untuk besaran biaya harus ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah).

VIII.          Pasal 13 dan 14 lebih baik digabungkan karena ada pengulangan apa yang diatur dalam Pasal 14 yang sudah diatur dalam Pasal 13.  Ayat (2) dalam Pasal 14 dapat dimasukkan dalam Pasal 13 ayat (3) dan Pasal 13 ayat (3) Draf Rancangan dibuat jadi Pasal 13 ayat (4). Pasal 14 ayat (3) dimasukan jadi Pasal 13 ayat (5).

IX.                Ketentuan mengenai privasinya sangat tidak memadai padahal justru masalah privasi-lah yang paling menonjol dalam hal permainan interaktif elekronik itu.

X.                  Jika apa yang saya sebut dalam Butir VII di atas berurusan dengan perizinan maka ketentuan mengenai Penilaian Kesesuaian dalam Pasal 16 ayat (4) harus dilakukan setelah pendafaran menurut Pasal 13 dan sebelum dimasukkan dalam daftar rekomendasi. (Mengenai Penilaian Kesesuaian harus disesuaikan dengan WTO’s Agreement on Technical Barriers to Trade, UU No.7 tahun 2014 tentang Perdagangan, dan UU No. 20 tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penlaian Kesesuaian.

XI.                Perlu juga diatur soal penyelesaian sengketa dalam hal ada transaksi keuangan dalam pasal 9 j, 10 j dan 11 ayat (1) k. Karena klaim dalam soal ini merupakan klaim dengan nilai kecil (small claim), saya pikir baik juga jika Kominfo mencipakan platform penyelesaian small claim atau meminta kepada perusahaan tertentu untuk menyiapkannya penyelesaian sengkea semacam itu.

Saya mencukupkan diri untuk menyampaikan hal-hal di atas. Saya pikir banyak hal lain yang perlu ditata dalam RPM tersebut. Saya sendiri berpendirian bahwa soal permainan interaktif elektronik membutuhkan pengaturan yang bersifat komprehensif mengingat kekhususannya dibandingan dengan transaksi elektronik lain. Soal klasifikasi hanya salah satu bagian yang sangat penting. Saya menghormati keputusan Pihak Kementrian Kominfor untuk mengatur hanya soal klasifikasi permainan interaktif elekronik.

Semoga komentar dan saran saya di atas dapat bermanfaat.

Paustinus Siburian

Kamis, 08 Oktober 2015

Dimana Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan?

Ringkasan
Boleh jadi musibah kebakaran hutan dapat dicegah jika sekiranya sudah ada Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Penyidikan yang dilakukan Polri dalam kasus perusakan hutan dapat menjadi sia-sia karena kewenangan itu ada pada Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Daripada melakukan pencitraan dengan turun tangan memadamkan api, lebih baik Presiden Jokowi segera membentuk lembaga itu sesuai Pasal 111 UU No. 18 tahun 2013. Meski terlambat tetapi itu harus.


 ===============================================================================

Pembakaran hutan  telah merusak hutan dan dengannya penderitaan yang tak tertanggungkan  menimpa masyarakat Indonesia yang ada di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Asap tebal telah merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat dan Negara. Pemerintah tampak tidak berdaya menghentikan sampai harus meminta bantuan luar negeri untuk mengatasi masalah ini. Apakah ketentuan hokum Indonesia tidak ada yang mengatur soal perusakan hutan beserta akibat-akibatnya? Saya mencoba menelisik ketentuan-ketentuan hukum di Indonesia yang berkenaan dengan masalah ini.  Saya ada menemukan Undang-undang yang judulnya sangat ok yaitu Undang-undang  No. 18 tahun 2013 tantang  PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN.
Dalam konsiderans dari Undang-undang itu disebutkan:
c. bahwa telah terjadi perusakan hutan yang disebabkan oleh pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
d. bahwa perusakan hutan, terutama berupa pembalakan liar, penambangan tanpa izin, dan perkebunan tanpa izin telah menimbulkan kerugian negara, kerusakan kehidupan sosial budaya dan lingkungan hidup, serta meningkatkan pemanasan global yang telah menjadi isu nasional, regional, dan internasional;
e. bahwa perusakan hutan sudah menjadi kejahatan yang berdampak luar biasa, terorganisasi, dan lintas negara yang dilakukan dengan modus operandi yang canggih, telah mengancam kelangsungan kehidupan masyarakat sehingga dalam rangka pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan yang efektif dan pemberian efek jera diperlukan landasan hukum yang kuat dan yang mampu menjamin efektivitas penegakan hukum;

Dalam undang-undang itu diatur secara detail mengenai pencegahan dan pemberantasan hokum, substansinya sangat baik, tersusun dengan rapi. Secara detail diatur mengenai hal-hal apa yang dilarang, sanksi, baik administrasi maupun pidana, yang keras, baik bagi pelaku, penadah, pemodal,  maupun bagi pejabat yang terlibat dalam melakukan kegiatan pengrusakan hutan serta hokum acara yang dipercepat. Malangnya dalam undang-undang itu pembakaran hutan tidak disebutkan sama sekali.

Dalam Pasal 1 butir 3 Perusakan hutan didefenisikan sebagai “proses, cara, atau perbuatan merusak hutan melalui kegiatan pembalakan liar, penggunaan kawasan hutan tanpa izin atau penggunaan izin yang bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian izin di dalam kawasan hutan yang telah ditetapkan, yang telah ditunjuk, ataupun yang sedang diproses penetapannya oleh Pemerintah” Saya tidak tahu mengapa soal pembakaran hutan tidak disebutkan secara eksplisit dalam undang-undang itu. Apakah memang tidak terpikirkan adanya musibah seperti yang terjadi belakangan ini ataukah memang dianggap sudah memadai pengaturan seperti dalam undang-undang itu. Memang dengan membaca butir d konsiderans undang-undang itu dapat disimpulkan bahwa perusakan hutan karena pembakaran hutan dapat dicakup. Dalam butir d tersebut disebutkan “bahwa perusakan hutan, terutama berupa ,………” Penggunaan kata ‘terutama’ dalam konsideras itu menandakan bahwa kerusakan itu bukanlah daftar tertutup. Ada penyebablain kerusakan hutan selaiin yang disebut dalam konsiderans. Namun demikian tidak disebutkannya secara jelas dapat berdampak bahwa perusakan yang dilakukan dengan cara pembakaran hutan tidak dapat dipidana mengingat ketentuan dalam KUHP yang menyatakan tiada pidana tanpa diatur dalam undang-undang.


Yang penting juga bahwa Pasal 54 dan Pasal 111 ayat (1) undang-undang itu berisi perintah kepada Presiden untuk membentuk Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Lembaga itu sudah harus terbentuk selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sejak diundangkannya undang-undang itu. Undang-undang itu diundangkan pada tanggal 6 Agustus 2013. Ini artinya bahwa selambat-lambatnya tanggal 6 Agustus 2015 Lembaga itu sudah harus terbentuk. Namun demikian sejauh ini belum ada terbentuk Lembaga dimaksud. Kita melihat bahwa Presiden turun tangan secara langsung memadamkan kebakaran hutan. Lembaga  itu akan terdiri dari unsur Kementerian Kehutanan, unsur Kepolisian Republik Indonesia,  unsur Kejaksaan Republik Indonesia; dan unsur lain yang terkait.

Dalam Pasal 56 ditentukan apa yang menjadi tugas dari lembaga itu, yaitu:
a. melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana perusakan hutan;
b. melaksanakan administrasi penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara perusakan hutan;
c. melaksanakan kampanye anti perusakan hutan;
d. membangun dan mengembangkan sistem informasi pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan yang terintegrasi;
e. memberdayakan masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan;
f. melakukan kerja sama dan koordinasi antar lembaga penegak hukum dalam pemberantasan perusakan hutan;
g. mengumumkan hasil pelaksanaan tugas dan kewenangannya secara berkala kepada masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
h. memberi izin penggunaan terhadap barang bukti kayu temuan hasil operasi pemberantasan perusakan hutan yang berasal dari luar kawasan hutan konservasi untuk kepentingan sosial.

Pasal 57 Dalam melaksanakan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan, lembaga melaporkan hasil kerjanya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia paling sedikit 6 (enam) bulan sekali.

Menarik perhatian bahwa soal perusakan hutan karena pembakaran hutan ini penyelidikan dan penyidikannyaa dilakukan oleh Polri. Padahal sesuai dengan ketentuan undang-undang No. 18 tahun 2013 itu, tugas penyelidikan dan penyidikan tindak pidana perusakan hutan dilakukan oleh Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan hutan. Hal ini tentu masih akan menyisakan persoalan. Salah-salah dapat diajukan Pra-Peradilan atas kasus-kasus perusakan hutan ini.

Dengan keprihatinan yang sangat tinggi saat ini karena pembakaran hutan yang berdampak musibah yang tak terkirakan, yang semestinya dapat dicegah jika dengan segera, tanpa harus menunggu 2 tahun dari tanggal diundangkannya undang-undang ini, dibentuknya Lembaga Pencegahan dan Pemberantasam Perusakan Hutan. Sudah dua tahun lembaga itu tak kunjung ada. Sesungguhnya, kita tidak perlu melihat Presiden Jokowi harus berlelah-lelah turun tangan memadamkan api yang memang tidak kunjung padam. Terlepas dari soal tindakan Presiden turun tangan langsung memadamkan api itu dianggap sebagai pencitraan.