Minggu, 17 Mei 2009

Mahkamah Konstitusi, Internet, dan Pasal 27 ayat 3 UU ITE

Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sudah dua kali mendapat ujian. Dalam dua kasus tersebut Mahkamah Konstitusi, PUTUSAN Nomor 50/PUU-VI/2008Dan Putusan Nomor 2/PUU-VII/2009, menolak permohonan pemohon bahwa Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (1) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Terdapat beberapa pertimbangan Mahkamah Konstitusi yang menarik perhatian dan merupakan sikap yang akan menjadi pegangan dalam kerangka pemikiran mengenai dunia maya, internet, dan sifat dari Pasal 27 ayat (3) UU ITE tersebut. Pertimbangan MK yang saya kutipkan di bawah saya bagi berdasarkan topiknya dan tidak berurutan sebagaimana dibuat oleh MK. Kutipan diambil dari PUTUSAN Nomor 50/PUU-VI/2008.

1) Hakekat dunia maya

[3.16.1]

Bahwa terhadap pertanyaan hukum pertama, Mahkamah berpendapat bahwa dunia siber adalah sebuah konstruksi maya yang diciptakan oleh computer yang di dalamnya berisi data-data abstrak yang berfungsi sebagai berikut: (1) aktualisasi diri; (2) wadah bertukar gagasan; dan (3) sarana penguatan prinsip demokrasi. Manusia dapat masuk ke dalam sistem data dan jaringan Komputer tersebut kemudian mendapatkan suatu perasaan bahwa mereka benar-benar telah memasuki suatu ruang yang tidak memiliki keterikatan sama sekali dengan realitas-realitas fisik. Oleh karena itu aktivitas-aktivitas di dunia siber mempunyai karakter, yaitu: (1) mudah, (2) penyebarannya sangat cepat dan meluas yang dapat diakses oleh siapapun dan dimanapun, dan (3) dapat bersifat destruktif dari pemuatan materi penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dengan menggunakan media elektronik sangat Iuar biasa karena memiliki corak viktimisasi yang tidak terbatas. Dengan memahami hakekat dunia siber beserta karakternya, maka diperlukan pengaturan tersendiri untuk mengakomodasi perkembangan dan konvergensi teknologi informasi, yang dapat digunakan sebagai sarana dalam melakukan kejahatan;

2) Perbedaan antara Dunia Maya dan Dunia Nyata

[3.16.1]
Bahwa terhadap pertanyaan hukum kedua dan ketiga, menurut Mahkamah, pembeda utama antara interaksi di dunia nyata (real/physical world) dan dunia maya (cyberspace) hanyalah dari sudut media yang digunakan, maka seluruh interaksi dan aktivitas melalui internet akan memiliki dampak bagi kehidupan manusia dalam dunia nyata, misalnya melalui transfer data, melalui distribusi dan/atau transmisi dan/atau dapat diaksesnya informasi dan dokumentasi elektronik juga dapat menimbulkan dampak negatif yang sangat ekstrim dan masif di dunia nyata;

Fungsi Internet

[3.16.5]
Menurut Mahkamah, perkembangan teknologi informasi seperti internet dan sejenisnya, hanya merupakan alat bantu untuk mempermudah kehidupan manusia yang hidup dan saling berpengaruh dalam dunia nyata guna mencapai kesejahteraan umat manusia, sehingga fokus akhir dari pengaturan dan pembatasan hukum in casu undang-undang a quo adalah untuk menjaga ketertiban hukum dalam lalu lintas interaksi manusia pada media siber yang secara langsung atau tidak langsung berakibat dalam dunia nyata. Tindak pidana yang terjadi dengan menggunakan sarana dunia maya menyebabkan korban menderita untuk waktu yang lama dan dampak yang luas karena tidak adanya batas ruang dan rentang waktu. Setiap orang dapat membuka fitur-fitur yang dimuat di dalamnya kapanpun dan dimanapun, sehingga justru korban dari tindak pidana di dunia maya-lah yang mengalami efek dalam jangka panjang, bukan pelakunya. Berdasarkan pandangan
terhadap nilai hukum di atas, maka dalil Pemohon tidak beralasan;

Kebebasan Pers

[3.16.8] Bahwa dengan demikian, kemerdekaan pers tidak bisa dilaksanakan hanya demi kepentingan dan selera atau hanya milik insan pers, tetapi adalah milik seluruh rakyat Indonesia. Oleh karenanya, setiap orang termasuk insan pers tunduk dan harus menundukkan diri pada prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Dengan kata lain, praktik kemerdekaan pers tidak dapat berjalan tanpa menghormati baik proses demokrasi maupun tanpa mengindahkan aspek keadilan dan penegakan supremasi hukum. Dapat pula dikatakan bahwa di dalam implementasi kemerdekaan pers harus didasarkan pada prinsip kedaulatan rakyat, prinsip keadilan, dan supremasi hukum. Kemerdekaan pers tidak dapat dilepaskan dari tiga unsur a quo, yaitu demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum;
[3.16.9] Bahwa dalam konteks gagasan demokrasi, kemerdekaan pers harus memberi warna dan makna sebagai sarana yang membuka ruang perbedaan pendapat dan menjadi tempat menyampaikan kritik dan informasi. Ruang bagi perbedaan pendapat a quo hanya ada apabila kemerdekaan pers tidak dibelenggu, namun dengan tetap tunduk pada hukum dan kode etik jurnalistik.
Dengan kata lain, kemerdekaan pers dan demokrasi merupakan dua hal yang saling membutuhkan bahkan saling menghidupi. Kemerdekaan pers tidak boleh disalahgunakan dengan mengatasnamakan kepentingan umum untuk menciderai demokrasi, privasi, harga diri, dan kehormatan anggota masyarakat;

Pasal 27 ayat (3): Penghinaan/Pencemaran nama Baik

[3.16.1]

Bahwa menurut Mahkamah, penghinaan yang diatur dalam KUHP (penghinaan off line) tidak dapat menjangkau delik penghinaan dan pencemaran nama baik yang dilakukan di dunia siber (penghinaan on line) karena ada unsur “di muka umum”.
Dapatkah perkataan unsur “diketahui umum”, “di muka umum”, dan “disiarkan” dalam Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) KUHP mencakup ekspresi dunia maya? Memasukkan dunia maya ke dalam pengertian “diketahui umum”, “di muka umum”, dan “disiarkan” sebagaimana dalam KUHP, secara harfiah kurang memadai, sehingga diperlukan rumusan khusus yang bersifat ekstensif yaitu kata “mendistribusikan” dan/atau “mentransmisikan” dan/atau “membuat dapat diakses”. Rumusan Pasal a quo telah cukup jelas memberikan pengertian “mendistribusikan” sebagai “penyalinan” sebagaimana keterangan Ahli Pemohon Andika Triwidada. Pengertian mentransmisikan adalah interaksi sekejap antara pihak pengirim dan penerima dan interaksi tersebut merupakan bagian dari distribusi. Begitu juga dengan batasan “membuat dapat diakses” dapat berupa memberikan akses terhadap muatan secara langsung dan memberikan akses berupa alamat tautan, sebagaimana pendapat Ahli dari Pemohon. Dengan demikian, terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal a quo memperlihatkan adanya ketidakjelasan ukuran dan makna, tumpang tindih yang berarti mengandung ketidakpastian hukum, adalah tidak tepat menurut hukum;
[3.16.2] Bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal a quo seperti pedang bermata dua, selain dimaksudkan melindungi kehormatan dan nama baik seseorang, Pasal a quo dapat pula memenjarakan orang yang tidak bersalah, dapat menimbulkan diskriminasi, ketakutan dengan ancaman pidana penjara dan/atau denda yang sangat berat, dan ketidakadilan bagi pengguna teknologi informasi. Menurut Mahkamah, meskipun setiap orang mempunyai hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi, tetapi tidak menghilangkan hak negara untuk mengatur agar kebebasan untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi tidak melanggar hak-hak orang lain untuk mendapatkan perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan nama baiknya yang juga dijamin oleh konstitusi. Kewenangan negara untuk mengatur dapat dibenarkan, bahkan menjadi tanggung jawab negara, terutama Pemerintah, antara lain dengan menuangkannya dalam Undang-Undang [vide Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945] untuk menciptakan situasi yang lebih kondusif bagi terpenuhinya hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan nama baik seseorang. Rumusan Pasal a quo hanya membatasi terhadap siapa saja yang “dengan sengaja” dan “tanpa hak” untuk mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik;
Bahwa unsur dengan sengaja dan tanpa hak merupakan satu kesatuan yang dalam tataran penerapan hukum harus dapat dibuktikan oleh penegak hukum. Unsur “dengan sengaja” dan “tanpa hak” berarti pelaku “menghendaki” dan “mengetahui” secara sadar bahwa tindakannya dilakukan tanpa hak. Dengan kata lain, pelaku secara sadar menghendaki dan mengetahui bahwa perbuatan “mendistribusikan” dan/atau “mentransmisikan” dan/atau “membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik” adalah memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Adapun unsur tanpa hak merupakan unsur melawan hukum. Pencantuman unsur tanpa hak dimaksudkan untuk mencegah orang melakukan perbuatan mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik;
Bahwa sejalan dengan ketentuan Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945 tersebut di atas, Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 membebankan kewajiban kepada Pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia. Undang-Undang sebagai produk politik dan hukum yang dihasilkan melalui mekanisme demokrasi harus mendidik masyarakat ke arah yang sejalan dengan Undang-Undang Dasar. Ketentuan dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE tersebut sangat sejalan dengan ketentuan Pasal 28G ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 yakni perlindungan kehormatan dan martabat manusia, pembebasan dari perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat manusia, serta bersesuaian dengan ketentuan Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 yaitu pendidikan terhadap masyarakat yang meningkatkan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia;

Bahwa perbuatan menghina atau mencemarkan nama baik orang lain, adalah tindakan yang bertentangan dengan perlindungan kehormatan dan martabat manusia, tindakan semacam itu merendahkan derajat dan martabat manusia. Manusia yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia takkan melakukan penghinaan dan pencemaran nama baik terhadap sesamanya;
Bahwa salah satu perbedaan antara komunikasi di dunia nyata dengan dunia maya (cyberspace) adalah media yang digunakan, sehingga setiap komunikasi dan aktivitas melalui internet akan memiliki dampak bagi kehidupan manusia dalam dunia nyata, misalnya melalui transfer data, melalui distribusi dan/atau transmisi dan/atau dapat diaksesnya informasi dan dokumentasi elektronik juga dapat menimbulkan dampak negatif yang sangat ekstrim dan masif di dunia nyata. Oleh karena itu, meskipun berat ringannya sanksi adalah wewenang pembentuk undang-undang, namun menurut Mahkamah, konsep pemidanaan dalam UU ITE merupakan delik yang dikualifikasi sebagai penghinaan atau pencemaran nama baik sehingga konsepnya akan mengacu kepada KUHP namun ancaman pidanaannya lebih berat. Perbedaan ancaman pidana antara KUHP dengan UU ITE adalah wajar karena distribusi dan penyebaran informasi melalui media elektronik relatif lebih cepat, berjangkauan luas, dan memiliki dampak yang masif. Bahwa pembatasan-pembatasan yang dilakukan oleh Negara tidak dalam rangka mengurangi hak-hak dasar untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi, melainkan untuk memberikan jaminan kepada orang lain untuk menikmati kebebasan dirinya dari ancaman serangan terhadap kehormatan dirinya, keluarganya, serta merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan yang dapat menyebabkan dirinya tidak dapat hidup secara layak sebagai manusia yang dimuliakan oleh Sang Pencipta;

[3.17] Menimbang bahwa baik DPR maupun Ahli yang diajukan Pemerintah telah menerangkan di depan persidangan Mahkamah bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak mengatur norma hukum pidana baru, melainkan hanya mempertegas berlakunya norma hukum pidana penghinaan dalam KUHP ke dalam Undang-Undang baru karena ada unsur tambahan yang khusus yaitu adanya perkembangan di bidang elektronik atau siber dengan karakteristik yang sangat khusus. Oleh karena itu, penafsiran norma yang termuat dalam Pasal 27 ayat (3) UU a quo mengenai penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, tidak bias dilepaskan dari norma hukum pidana yang termuat dalam Bab XVI tentang Penghinaan yang termuat dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP, sehingga konstitusionalitas Pasal 27 ayat (3) UU ITE harus dikaitkan dengan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP;
[3.17.1] Bahwa terlepas dari pertimbangan Mahkamah yang telah diuraikan dalam paragraf terdahulu, keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP sebagai genus delict yang mensyaratkan adanya pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut, harus juga diperlakukan terhadap perbuatan yang dilarang dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, sehingga Pasal a quo juga harus ditafsirkan sebagai delik yang mensyaratkan pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut di depan Pengadilan;

Tidak ada komentar:

Posting Komentar