Jumat, 25 Februari 2011

Pemerintah, FIFA, dan PSSI

Abstrak: Intervensi pemerintah dalam pemilihan pengurus PSSI harus dipahami sebagai upaya pemerintah untuk menegakkan KODE ETIK FIFA dalam kapasitasnya selaku pembina olah raga. Pemerintah justru menyelamatkan PSSI dan persepakbolaan nasional. Jika PSSI sudah menegakkan aturan-aturan FIFA maka campur tangan pemerintah tidak diperlukan lagi.
---------------------------------------------------------------------------------

Waktu-waktu belakangan sering dipertentangkan antara FIFA dan Pemerintah. PSSI mengklaim bahwa Pemerintah tidak dapat mengintervensi PSSI. PSSI mengira dan selalu mengkampanyekan bahwa tindakan-tindakannya menyangkut pemilihan pengurus PSSI menundukkan diri pada Peraturan FIFA dan bahwa PSSI hanya tunduk pada FIFA. Pemerintah tidak boleh mengintervensi. Intervensi pemerintah, dalam pandangan ini merupakan dosa yang karenanya keanggotaan PSSI dapat ditangguhkan oleh FIFA. Ancaman adanya sanksi dari FIFA ini tentu akan merugikan Indonesia. Sebagai rujukan terhadap ancaman ini disampaikan adanya Statuta FIFA, FIFA Standard Electoral Code, dan Statuta PSSI. Rujukan kepada aturan FIFA ini membuat seolah-olah pemerintah tidak berarti apa-apa. Rasa hormat kepada pemerintah juga sama sekali tidak ditunjukkan oleh PSSI.

Pemerintah disisi lain mengklaim bahwa selama masih ada huruf 'I' pada PSSI maka pemerintah berwenang mengintervensinya. Hal ini sesuai dengan wewenang pemerintah sebagai pembina sebagaimana diatur dalam UU No. 3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional. Pemerintah memang gencar mencampuri urusan pergantian pimpinan PSSI. Pemerintah, bahkan oleh Ketua Banding PSSI dalam hal verifikasi calon Ketua Umum PSSI, memberikan ancaman sehingga Komisi Banding mengeluarkan putusan yang relative aneh.

Kedua argumen tersebut benar adanya. Pihak yang bersikukuh dengan aturan FIFA benar mengenai adanya aturan FIFA yang harus dilaksanakan. Namun aturan yang disampaikan sudah dipelintir sedemikian rupa sehingga telah dijadikan senjata untuk melumpuhkan keinginan pihak lain yang ingin mengisi kursi Ketua Umum PSSI. Disisi lain, PSSI juga telah tidak mengindahkan aturan lain yang dikeluarkan oleh FIFA. Jika aturan FIFA dijalankan secara utuh, sesungguhnya pemerintah juga tidak perlu mencampuri urusan PSSI. Pada kenyataannya ada aturan lain yang tidak dijalankan oleh PSSI dalam pemilihan Ketua Umum PSSI ini. Aturan itu adalah yang terdapat dalam Kode Etik FIFA. Berhubung ketentuan ini tidak dijalankan bersama ketentuan yang lain, pemerintah dapat memasukinya sesuai dengan fungsi dan wewenangnya sesuai dengan UU Sistem Keolahragaan Nasional.

Sekarang kita mencoba melihat pada ketentuan mengenai Kode Etik FIFA yang harus ditaati oleh para pejabat PSSI dalam menjalankan pekerjaannya dan juga menjadi persyaratan yang harus dituruti jika hendak melakukan pemilihan pengurus PSSI.
Kode Etik FIFA edisi 2009 disahkan pada 31 Mei 2009 dan mulai berlaku pada 1 September 2009 (Pasal 21). Kode Etik ini berlaku untuk perbuatan mulai 1 September 2009 dan fakta-fakta yang sebelumnya terjadi sejauh jika penggunaan Kode Etik ini lebih menguntungkan bagi yang dikenainya. Kode etik ini berlaku untuk setiap orang yang bertanggungjawab untuk hal-hal teknis, medis, dan administrasi FIFA. Termasuk dalam hal ini adalah pejabat-pejabat anggota FIFA, termasuk pengurus PSSI (Pasal 1).

Kewajiban pengurus ditentukan dalam Pasal 3 yang menentukan:
1. Para pejabat diharapkan untuk menyadari pentingnya fungsi dan kewajiban dan tanggung jawab secara bersamaan. Perilaku mereka harus merefleksikan fakta bahwa mereka mendukung dan menindaklanjuti prinsip-prinsip dan tujuan-tujuan FIFA, konfederasi, asosiasi, liga dan klub dalam segala hal dan menahan diri dari hal-hal yang dapat berbahaya bagi maksud dan tujuan-tujuan.
Mereka harus menghormati pentingnya persekutuan mereka kepada FIFA, konfederasi, asosiasi, liga dan klub dan mewakili mereka secara jujur, layak, sopan dan dengan integritas.
2. Pejabat harus menunjukkan komitmen untuk suatu sikap etika saat melakukan tugas mereka. Mereka harus berjanji untuk berperilaku secara bermartabat. Mereka harus
bersikap dan bertindak dengan kredibilitas dan integritas yang utuh.
3. Pejabat tidak dapat menyalahgunakan posisi mereka sebagai bagian dari fungsi mereka dengan cara apapun, khususnya untuk memanfaatkan fungsi mereka untuk kepentingan atau keuntungan pribadi.

Persyaratan menjadi pengurus suatu assosiasi sendiri ditentukan dalam Pasal 4. Ditentukan bahwa ‘hanya orang-orang yang menunjukkan tingkat etika dan integritas yang tinggi dan berjanji untuk mentaati ketentuan Kode Etik ini tanpa reservasi yang berhak untuk melayani sebagai pejabat’. Ini berarti seorang pengurus apakah dia ketua umum atau pengurus lain dari PSSI harus menunjukkan etika dan integritas yang tinggi. Hal ini perlu menjadi pertanyaan bagi para calon pengurus PSSI apakah mereka mempunyai etika dan integritas tinggi. Apakah seorang mantan narapidana harus menganggap dirinya masih mempunyai integritas tinggi? Selanjutnya mereka harus berjanji tanpa reservasi bahwa mereka akan menundukkan diri pada Kode Etik. Ayat (2) dari Pasal 4 melanjutkan bahwa Orang-orang dengan catatan kriminal tidak memenuhi syarat jika pelanggaran tersebut tidak sesuai dengan kemampuan mereka untuk melaksanakan tugas mereka. Apakah Nurdin Halid masih merasa dirinya memenuhi persyaratan untuk menjadi pengurus PSSI. Apalagi menjadi Ketua Umumnya? Ayat (3) Pasal 4 lebih menyengat lagi dengan menyatakan bahwa orang yang tidak memenuhi ketentuan dalam Kode Etik tidak layak lagi menjadi pengurus.

Hal lain yang patut dicatat dari Kode Etik adalah kewajiban membuka soal kemungkinan adanya konflik kepentingan yang akan berkaitan dengan pelaksanaan fungsinya jika terpilih. Jadi sebelum dipilih atau ditunjuk, para calon harus mengungkapkan hal ini. Dalam pencalonan untuk menjadi Ketua umum PSSI, hal ini tidak menjadi perhatian. Panitia seleksi lebih banyak berkutat dengan soal lamanya seseorang menjadi pengurus PSSI. Adanya konflik kepentingan sama sekali tidak dibuka. PSSI sendiri memang tidak mengumumkan tata cara pemilihan secara terbuka dalam situs webnya. Baik Statuta dan ketentuan-ketentuan yang dibuat untuk pemilihan Ketua Umum tidak dibuka sehingga masyarakat hanya meraba-raba peraturan mana yang harus diturut dalam pemilihan ini. Tidak jelas apakah dalam peraturan-peraturan yang dirujuk dalam melakukan seleksi calon pemimpin PSSI ini ada dimasukkan ketentuan mengenai konflik kepentingan ini.

Kembali kepada persoalan yang disebutkan di atas, apakah memang pemerintah tidak dapat mencampuri urusan PSSI. Pemerintah tentu dapat melakukannya sesuai dengan fungsi dan wewenangnya sesuai UU.
Apakah dengan merujuk pada ketentuan dalam Statuta FIFA dan FIFA Standard Electoral Code, PSSI tidak perlu menaruh rasa hormat kepada pemerintah. Kode Etik FIFA mengatur bagaimana pengurus assosiasi bersikap kepada pemerintah dan organisasi lain. Pasal 6 Kode etik menentukan:

Dalam berurusan dengan institusi pemerintah, organisasi nasional dan internasional, assosiasi dan kelompok2, pejabat harus, sebagai tambahan untuk mentaati ketentuan dasar dalam Pasal 3, tetap netral secara politik, sesuai dengan prinsip-prinsip dan tujuan-tujuan FIFA, Konfederasi-konfederasi, assosiasi-assosiasi, liga, klub, dan secara umum bertindak menurut cara yang sesuai dengan fungsi dan integritasnya.

Pengurus PSSI harus tetap netral secara politik. Pengurus PSSI tidak dapat menyampaikan secara terbuka keterkaitannya dengan suatu partai politik tertentu. Dalam kasus yang saat ini terjadi di Indonesia, Ketua Umum yang ada saat ini secara jelas menunjukkan afiliasinya dengan salah satu partai politik dan memang yang bersangkutan adalah pengurus partai politik yang bersangkutan. Dari sudut pandang ini, calon ketua umum yang ada saat ini, Nurdin Halid harusnya tidak memenuhi syarat lagi untuk maju sebagai ketua umum PSSI mengingat beliau adalah salah satu pengurus Parati Golkar dan sesuai dengan Pasal 4 ayat (4) Kode Etik memang tidak lagi memenuhi persyaratan menjadi Ketua Umum PSSI.

Meskipun banyak elemen masyarakat menolak Nurdin Halid untuk jadi ketua umum PSSI tetapi hal ini tidak dihiraukan. Ketentuan-ketentuan dalam melakukan pemilihan yang tidak transparan dan adanya calon ketua umum yang sesuai dengan kode etik tidak lagi memenuhi syarat sungguh akan menempatkan PSSI dalam bahaya. Mengingat Ketua Umum, yang adalah calon Ketua Umum, saat ini adalah pengurus partai yang masih mempunyai kekuatan politik yang sangat diperhitungkan maka tidak ada elemen yang dapat membebaskan PSSI dari kehancuran. Satu-satunya yang mungkin menyelamatkan PSSI hanya pemerintah. Dalam hal inilah dapat kita memahami dan harus mendorong pemerintah untuk melakukan intervensi terhadap PSSI. Sebagai Pembina olahraga tentu pemerintah berkepentingan untuk menyelamatkan PSSI dari keterpurukan yang semakin dalam yang dapat persepakbolaan tidak dapat maju. Kegagalan demi kegagalan yang dialami oleh Tim Nasional Sepakbola Indonesia sudah menunjukkan kegagalan dari Ketua Umum yang ada sekarang. Maka tidak ada salahnya melakukan intervensi dalam pemilihan pengurus PSSI saat ini. Tentu jika PSSI sudah menjalankan aturan-aturan FIFA secara benar maka campur tangan pemerintah tidak dapat dibenarkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar