Rabu, 25 November 2009

UJI Materiil MK atas UU KPK

Antasari yang tidak takut kehilangan jabatan dan merasa dirinya tidak bersalah tidak mempersoalkan keberadaan dari Pasal 32 ayat (1) huruf c UU No. 30 tahun 2002 dan juga tidak memanipulasi massa untuk mempertahankan jabatannya.. Tentu kita dapat berharap manipulasi terhadap massa karena ketakutan kehilangan jabatan ini tidak akan terulang di masa yang akan datang.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Saya tadi membaca sekilas PUTUSAN NOMOR 133/PUU-VII/2009 mengenai pengujian Pasal 32 ayat (1) huruf C UU No.30 tahun 2002 yang hari ini dibacakan oleh Mahkamah Konstitusi. Putusan tersebut cukup menarik. Amar Putusan:

· Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
· Menyatakan Pasal 32 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250) adalah bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional), kecuali harus dimaknai “pimpinan KPK berhenti atau diberhentikan secara tetap setelah dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;”
· Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;
· Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.


Pada point kedua tersebut MK melakukan amandemen terhadap UU. MK berpendirian Pasal 32 ayat (1) huruf c UU No. 30 tahun 2002 bertentangan dengan UUD. Namun untuk mencegah kekosongan hukum MK memberikan pemaknaan sendiri. Ini berarti MK melakukan perubahan terhadap UU. Pertimbangan MK mengenai hal ini:

[3.21] Menimbang bahwa meskipun dalil-dalil para Pemohon beralasan hukum namun keberadaan Pasal a quo tidak dapat secara serta-merta dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena hal demikian dapat menimbulkan kekosongan hukum. Oleh karena itu, menurut Mahkamah Pasal 32 ayat (1) huruf c UU 30/2002 yang berbunyi, “Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi berhenti atau diberhentikan karena: … c. menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan;” harus dinyatakan inkonstitusional kecuali dimaknai “pimpinan KPK berhenti
atau diberhentikan secara tetap setelah dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.


UU MK dan UU Susduk No. 27 tahun 2009 memang tidak mengatur mengenai konsekwensi dari pembatalan suatu UU. Demikianlah, MK memberikan jalan keluar, yaitu dengan membuat putusan konstitusional bersyarat untuk mencegah kekosongan hukum, yang memberikan kewenangan untuk mengamandemen suatu undang-undang. Saya pikir pembuat UU perlu mempertimbangkan dengan baik untuk mebuat aturan menyangkut konsekwensi-konsekwensi dari pembatalan hukum, yaitu apa yang harus dilakukan untuk mengisi kekosongan jika sekiranya MK membatalkan suatu ayat, pasal, atau apapun dalam suatu UU. Berapa lama sesudah putusan MK peraturan pengganti ditetapkan. Berhubung MK bukanlah lebaga pembuat UU maka ketentuan yang ditetapkan oleh MK untuk mengisi kekosongan hukum bukanlah sesuatu yang final.

Tentu akan menjadi persoalan kelak, jika sekiranya Antasari kelak tidak terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan padanya, apakah Antasari dapat kembali ke KPK. Memang Putusan MK berlaku prospektif, sementara Antasari sudah diberhentikan sesudah dinyatakan terdakwa. Jadi Antasari tidak dapat menikmati buah dari putusan MK ini.

Hal lain yang menjadi perhatian juga bahwa dari putusan ini dapat ditarik bahwa ketakutan untuk diberhentikan dari jabatan pimpinan KPK merupakan pemicu gonjang-ganjing kasus rekayasa yang diberitakan secara luas dan menyedot perhatian massa. Presiden, Kejaksaan, dan Polri harus tunduk pada rasa takut kehilangan jabatan ini yang mendapatkan manifestasinya dalam amarah massa . Kasus yang menurut Polri dan Kejaksaan dapat diajukan ke pengadilanpun harus menguap. Tentu ini merupakan diskriminasi juga. Jika sekiranya suatu perkara harus dihentikan karena kepercayaan kepada kejaksaan dan Polri tidak ada, lalu bagaimana dengan kasus-kasus yang lainnya yang juga disidik dan dituntut oleh lembaga yang tidak dipercaya tersebut.

Antasari yang tidak takut kehilangan jabatan dan merasa dirinya tidak bersalah tidak mempersoalkan keberadaan dari Pasal 32 ayat (1) huruf c UU No. 30 tahun 2002 dan juga tidak memanipulasi massa untuk mempertahankan jabatannya. Tentu ketika hendak memangku jabatan orang harus melihat aturan yang akan berlaku padanya. Orang sudah harus siap dengan konsekwensi-konsekwensi yang mungkin timbul dalam perjalanan menjalankan jabatan.

Tentu kita dapat berharap manipulasi terhadap massa karena ketakutan kehilangan jabatan dan untuk menutupi rasa bersalah ini tidak akan terulang di masa yang akan datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar