Rabu, 13 Juli 2016

Catatan Untuk Putusan MA atas Susi Tur Andayani



P U T U S A N
No.2262 K/PID.SUS/2014
SUSI TUR ANDAYANI alias UCI;

          Kasus mengenaskan harus dialami oleh Advokat Susi Tur Andayani. Dia dijebloskan dalam penjara dengan penerapan hukum yang keliru. Tulisan ini soal penerapan hukum saja dan bukan menyangkut fakta-fakta yang terjadi sesungguhnya. 
          Dalam putusan tingkat pertama pada pengadilan TIPIKOR pada PN Jakarta Pusat, Penuntut umum mendakwa STA dalam DAKWAAN KESATU DAN KEDUA (dakwaan bersifat kumulatif) melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf c UU TIPIKOR. Majelis hakim dalam perkara tersebut tidak sependapat dengan Penuntut Umum dan menyatakan bahwa STA tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan TIPIKOR sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 huruf c UU TIPIKOR . Dengan demikian seharusnya STA bebas. Malangnya bagi STA, Majelis hakim menciptakan dakwaan dan tuntutan sendiri, membuat pembuktian sendiri , memeriksa dan mengadili sendiri serta memutuskan bahwa STA terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi secara bersama-sama dan Tindak Pidana Korupsi secara berlanjut, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a UU TIPIKOR jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 13 UU TIPIKOR jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP dan menjatuhkan pidana bagi STA  5 tahun penjara dan denda sebesar Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah), dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan.
Baik Penuntut Umum dan STA mengajukan banding, Pengadilan TIPIKOR pada PT Jakarta menguatkan putusan pengadilan TIPIKOR pada PN Jakpus. 

Terhadap putusan pengadilan banding, baik Penuntut Umum maupun STA mengajukan kasasi. Penuntut umum mempersoalkan tidak terbuktinya dakwaan menurut Pasal 12 huruf c dan mengapa Judex Facti memutus atas apa yang tidak didakwakan sedangkan STA mempersoalkan mengapa Judex Facti memutus hal yang tidak didakwa dan dituntut oleh Penuntut Umum. Menarik perhatian bahwa kasasi yang diajukan penuntut umum dikabulkan tetapi menolak kasasi dari STA. Alhasil Majelis Hakim pada MA yang dipimpin oleh Dr. Artijo Alkostar  membatalkan putusan judex facti PT yang menguatkan putusan judex facti Pengadilan TIPIKOR pada PN Jakarta Pusat. Dan mengadili sendiri bahwa STA terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama sebagaimana Pasal 12 huruf c UU TIPIKOR jo Pasal  55 ayat (1) ke – 1 KUHPidana. 

MA dalam memutus tidak mempertimbangkan unsure-unsur dari Pasal 12 c UU TIPIKOR tersebut. MA juga tidak memperhitungkan bahwa Dakwaan Kesatu dan Kedua berbeda mengenai perbuatannya. MA mengira Dakwaan Kesatu dan Kedua fakta-fakta hukumnya sama pada hal Dakwaan Kesatu adalah dalam hubungan dengan Ratu Atut dan Tubagus Wardana (Pilkada Lebak) sementara Dakwaan Kedua menyangkut Pilkada Kabupaten Lampung Selatan. MA mengira karena kedua dakwaan menurut Pasal 12 c UU TIPIKOR lalu menitikberatkan pada persoalan Terdakwa adalah advokat dan bukan hakim dan MA berpendirian bahwa Terdakwa dapat dikenakan Pasal 12 c UU TIPIKOR tersebut dalam hubungan dengan Pasal 55 ayat (1) kesatu KUHP.

Tentu Putusan ini berdampak pada perkara lain seperti Ratu Atut, Chairun Nisa, Akil Mochtar dan lain-lain, yang jika dipersoalkan maka akan ada pertentangan satu sama lain. Dalam perkara Ratu Atut, misalnya, STA adalah kawan peserta dari Terdakwa menurut Pasal 6 ayat (1) UU TIPIKOR. Sementara STA dipidana sebagai kawan peserta dari Akil Mochtar sesuai Pasal 12 c UU TIPIKOR.

Saya pikir walaupun semangat pemberantasan korupsi harus terus digelorakan tetapi tidak berarti asas-asas hukum harus dikorbankan. Putusan yang dibuat oleh Dr Artijo Alkostar saya perhatikan sangat tidak konsisten dan dalam banyak hal dibuat seenaknya saja, Boleh jadi Putusan dalam perkara STA lebih tepat disebut sebagai suatu contoh peradilan yang sesat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar