Selasa, 01 September 2009

Soal Lambang Negara

Mungkin, karena nasionalisme, ada di Facebook yang menggunakan foto Lambang Negara sebagai foto profilnya. Tidak jarang kita lihat bahwa dalam penggunaan lambang Negara tidak tertib. Misalnya, Lambang Negara yang terdapat di DPR tidak sesuai dengan UU No. 24 tahun 2009 menyangkut, setidak-tidaknya, warna. Demikian juga dengan penggunaan sebagai cap atau kop surat, yang mungkin untuk keperluan estetis tidak sesuai dengan undang-undang ini. Misalnya dengan menggunakan warna yang keseluruhannya warna keemasan, tentu jika diperhatikan lampiran UU maka hal itu tidak sesuai  

UU No. 24 tahun 2009 dimaksudkan untuk menghentikan praktek-praktek yang tidak tertib dalam penggunaan lambang Negara tersebut. Sebelum berlakunya UU ini, mengenai Lambang Negara diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 tentang Lambang Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1958 tentang Penggunaan Lambang Negara. Dengan adanya UU ini maka dapat diharapkan lambang Negara akan digunakan secara tertib. Salah satu asas yang dikandung dalam UU No. 24 tahun 2009 adalah asas ketertiban, yang dalam Penjelasan UU diberi makna bahwa penggunaan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam Penggunaannya. Dengan demikian maka kita melihat perlunya ketertiban dalam penggunaan baik menyangkut ukuran, warna dan komponen-komponen serta bahan pembuatan lambang Negara dimaksud..

LAMBANG NEGARA

Pasal 1 butir 2 menentukan bahwa  Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Lambang Negara adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Lambang Negara merupakan satu diantara empat hal yang disebut sebagai jati diri bangsa dan identitas Negara Kesatuan RI. Dalam Penjelasan Umum UU dinyatakan bahwa:

Keempat simbol tersebut menjadi cerminan kedaulatan negara di dalam tata pergaulan dengan negara-negara lain dan menjadi cerminan kemandirian dan eksistensi negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.” Dikatakan lebih lanjut bahwa lambang Negara “bukan hanya sekadar merupakan pengakuan atas Indonesia sebagai bangsa dan negara, melainkan menjadi simbol atau lambang negara yang dihormati dan dibanggakan warga negara Indonesia.

Dalam Penjelasan Pasal 46 disebutkan mengenai asal usul dari lambang Negara dan apa maksudnya. Garuda, sebagai contoh, disebutkan “menggambarkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar dan negara yang kuat.” Semoga demikian adanya.

Bab IV UU No. 29 tahun 2009 tersebut mengatur mengenai Lambang Negara. Pasal 46-49 mengatur mengenai uraian Lambang Negara dan Pasal 50 memberikan contoh Lambang Negara, yang menunjuk pada Lampiran UU tersebut yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari UU itu. Terdapat perbedaan mengenai lambang-lambang dalam perisai dalam Pasal 48 ayat (2) UU No. 24 tahun 2009 dengan yang diatur dalam PP No. 43 tahun 1958. Pada PP No. 43 tahun 58, pohon beringin merupakan dasar kebangsaan tetapi dalam UU No. 24 tahun 2009 pohon beringin merupakan lambang persatuan. Tidak ada penjelasan mengapa terjadi perubahan yang signifikan dalam hal ini. Menurut PP No. 43 tahun 1958 tersebut, pohon beringin adalah tempat berlindung.

Penggunaan Yang Wajib

Bagaimanakah penggunaannya? Pasal 51menentukan bahwa Lambang Negara wajib digunakan di:
a. dalam gedung, kantor, atau ruang kelas satuan pendidikan;
b. luar gedung atau kantor;
c. lembaran negara, tambahan lembaran negara, berita negara, dan tambahan berita negara;
d. paspor, ijazah, dan dokumen resmi yang diterbitkan pemerintah;
e. uang logam dan uang kertas; atau
f. materai.

Pasal 53
(1) Penggunaan Lambang Negara di dalam gedung, kantor atau ruang kelas satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a dipasang pada:
a. gedung dan/atau kantor Presiden dan Wakil Presiden;
b. gedung dan/atau kantor lembaga negara;
c. gedung dan/atau kantor instansi pemerintah; dan
d. gedung dan/atau kantor lainnya.

(2) Penggunaan Lambang Negara di luar gedung atau kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf b pada:
a. istana Presiden dan Wakil Presiden;
b. rumah jabatan Presiden dan Wakil Presiden;
c. gedung atau kantor dan rumah jabatan kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri; dan
d. rumah jabatan gubernur, bupati, walikota, dan camat.

(3) Penggunaan Lambang Negara di dalam gedung atau kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a dan di luar gedung atau kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf b diletakkan pada tempat tertentu.

(4) Penggunaan Lambang Negara pada lembaran negara, tambahan lembaran negara, berita negara, dan tambahan  berita negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf c diletakkan di bagian tengah atas halaman pertama dokumen.

(5) Penggunaan Lambang Negara pada paspor, ijazah, dan dokumen resmi yang diterbitkan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf d diletakkan di bagian tengah halaman dokumen.

Pasal 55
(1) Dalam hal Lambang Negara ditempatkan bersama-sama dengan Bendera Negara, gambar Presiden dan/atau gambar Wakil Presiden, penggunaannya diatur dengan ketentuan:
a. Lambang Negara ditempatkan di sebelah kiri dan lebih tinggi daripada Bendera Negara; dan
b. gambar resmi Presiden dan/atau gambar Wakil Presiden ditempatkan sejajar dan dipasang lebih rendah daripada Lambang Negara.
(2) Dalam hal Bendera Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dipasang di dinding, Lambang Negara diletakkan di tengah atas antara gambar resmi Presiden dan/atau gambar Wakil Presiden.

Penggunaan yang tidak wajib

Pasal 52 menentukan bahwa Lambang Negara dapat digunakan:
a. sebagai cap atau kop surat jabatan;
b. sebagai cap dinas untuk kantor;
c. pada kertas bermaterai;
d. pada surat dan lencana gelar pahlawan, tanda jasa, dan tanda kehormatan;
e. sebagai lencana atau atribut pejabat negara, pejabat pemerintah atau warga negara Indonesia yang sedang mengemban tugas negara di luar negeri;
f. dalam penyelenggaraan peristiwa resmi;
g. dalam buku dan majalah yang diterbitkan oleh Pemerintah;
h. dalam buku kumpulan undang-undang; dan/atau
i. di rumah warga negara Indonesia.

Pasal 54
(1) Lambang Negara sebagai cap atau kop surat jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf a digunakan oleh:
a. Presiden dan Wakil Presiden;
b. Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Dewan Perwakilan Rakyat;
d. Dewan Perwakilan Daerah;
e. Mahkamah Agung dan badan peradilan;
f. Badan Pemeriksa Keuangan;
g. menteri dan pejabat setingkat menteri;
h. kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai duta besar luar biasa dan berkuasa penuh, konsul jenderal, konsul, dan kuasa usaha tetap, konsul jenderal kehormatan, dan konsul kehormatan;
i. gubernur, bupati atau walikota;
j. notaris; dan
k. pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh undang-undang.

(2) Penggunaan Lambang Negara sebagai cap dinas untuk kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf b digunakan untuk kantor:
a. Presiden dan Wakil Presiden;
b. Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Dewan Perwakilan Rakyat;
d. Dewan Perwakilan Daerah;
e. Mahkamah Agung dan badan peradilan;
f. Badan Pemeriksa Keuangan;
g. menteri dan pejabat setingkat menteri;
h. kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai duta besar luar biasa dan berkuasa penuh, konsul jenderal, konsul, dan kuasa usaha tetap, konsul jenderal kehormatan, dan konsul kehormatan;
i. gubernur, bupati atau walikota;
j. notaris; dan
k. pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh undang-undang.

(3) Lambang Negara sebagai lencana atau atribut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf e dipasang pada pakaian di dada sebelah kiri.
(4) Lambang Negara yang digunakan dalam penyelenggaraan peristiwa resmi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf f dipasang pada gapura dan/atau bangunan lain yang pantas.

Fisik Lambang Negara

Pasal 56 berbunyi:
(1) Ukuran Lambang Negara disesuaikan dengan ukuran ruangan dan tempat sebagaimana tercantum dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
(2) Lambang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dibuat dari bahan yang kuat.

Dalam Penjelasan Pasal 56 Ayat (2) dijelaskan apa yang dimaksud dengan dibuat dari bahan yang kuat, yaitu bahwa Lambang Negara harus dibuat dari bahan cor semen, metal, campuran besi atau campuran bahan lain yang liat dan kuat, sehingga bentuk Lambang Negara terlihat kokoh dan kuat, dapat digunakan untuk waktu yang lama, tidak mudah patah, hancur ataupun tidak cepat rusak.

Dengan melihat Pasal 56 ayat (2) ini menjadi terasa aneh. Bagaimanakah membuat Lambang Negara dengan bahan-bahan sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Pasal 56 ayat (2) jika Lambang Negara itu akan ditempatkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 butir c – f.  Pembacaan saya terhadap Pasal 56 ayat (2) dan Penjelasannya, yang dimaksudkan adalah Lambang Negara dengan tiga dimensi. Sementara untuk butir c – f tidak mungkin dilekatkan Lambang Negara tiga dimensi. Demikian juga untuk ketentuan Pasal 52 butir a – e, g, dan h.
Pembuat UU No. 24 tahun 2009 tampaknya tidak menyadari bahwa masing-masing penggunaan membawa konsekwensi. Dengan membuat ketentuan seperti Pasal 56 ayat (2), maka seolah-olah lambang Negara dapat ditempatkan di atas kertas dan logam. Hal ini merupakan ketidakakuratan dalam menyusun draft undang-undang.

Pasal 51 butir c – f dan Pasal 52 butir a – e, g, dan h menunjukkan bahwa Lambang Negara dapat berupa gambar atau lukisan. Namun akan menimbulkan persoalan, mengingat, Pasal 50 sudah menentukan mengenai warna Lambang Negara. Bagaimana menempatkan aturan mengenai warna ketika Lambang Negara digunakan untuk uang logam? Bagaimana menempatkannya dalam uang kertas? Apakah semua uang kertas harus ditarik untuk menyesuaikan diri dengan UU No. 24 tahun 2009 dan dibuatkan yang baru? Demikian juga dalam hal “cap” sepertinya hampir tidak mungkin untuk membuat cap dengan warna-warna sebagaimana dimaksudkan dalam UU No. 24 tahun 2009 tersebut.

Saya kira jika hendak akurat, ketentuan tentang Lambang Negara ini harus membuat ketentuan seperti mengenai Bendera Negara. Pasal 4 ayat (4) menentukan adanya bendera sebagai representasi dari Bendera Negara. Ini artinya disamping bendera persegi panjang yang terbuat dari kain yang tidak mudah luntur (Bendera Negara), UU memungkinkan penyimpangan darinya dengan memperkenankan bendera yang merepresentasikan Bendera Negara. Dalam kaitan dengan Lambang Negara, maka UU seharusnya membuat ketentuan mengenai lambang yang merepresentasikan Lambang Negara, sehingga untuk keperluan penempatan di atas kertas, seperti diatur dalam  Pasal 51 butir c – f dan Pasal 52 butir a – d, g, dan h atau untuk atribut dan lencana (Pasal 52 butir e) tidak akan inkonsisten dengan Pasal 56 ayat (2).

Lalu bagaimana soal ini diatasi. Tampak tidak ada jalan keluar. Namun ada sedikit godaan bahwa ketetuan dalam PP No. 66 tahun 1951 berlaku. Hal ini tampak mungkin. Pasal 72 (Ketentuan Peralihan) UU No. 24 tahun 2009 menentukan:
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan Undang-Undang ini.

Hal ini berarti bahwa akan ada “peraturan baru berdasarkan Undang-undang ini”. Namun jika diperhatikan ketentuan-ketentuan mengenai Lambang Negara, tidak ada satu pasalpun yang menyebutkan pengaturan lebih lanjut dengan peraturan yang lebih rendah dari undang-undang. Ketentuan mengenai Lambang Negara sudah relative lengkap dan sudah menampung apa yang diatur dalam PP No. 66 tahun 1951. Namun PP tersebut jelas sudah bertentangan dengan UU No. 24 tahun 2009 terutama menyangkut warna. Soal warna sebagaimana diatur dalam UU adalah wajib dan ada larangan untuk menggunakan warna selain yang disebutkan dalam undang-undang dan atas pelanggarannya ada sanksi.

Dengan demikian PP No. 66 tahun 1951 dan PP No. 43 tahun 1958 sudah tidak berlaku karena bertentangan dengan UU ini.

Larangan

Pasal 57 menentukan larangan mengenai Lambang Negara. Pasal 57 berbunyi:
Setiap orang dilarang:
a. mencoret, menulisi, menggambari, atau membuat rusak Lambang Negara dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Lambang Negara;
b. menggunakan Lambang Negara yang rusak dan tidak sesuai dengan bentuk, warna, dan perbandingan ukuran;
c. membuat lambang untuk perseorangan, partai politik, perkumpulan, organisasi dan/atau perusahaan yang sama atau menyerupai Lambang Negara; dan
d. menggunakan Lambang Negara untuk keperluan selain yang diatur dalam Undang-Undang ini.

Sanksi Pidana
Sanksi pidana menyangkut Lambang Negara diformulasikan terhadap perbuatan yang disengaja dan tidak disengaja. Juga perlu diperhatikan bahwa ada tidaknya maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Lambang Negara akan tergantung tidak selalu merupakan factor dalam pemidanaan. Pasal 68, misalnya menentukan secara tegas diperlukannya pembuktian adanya maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Lambang Negara. Pasal 68 berbunyi:
Setiap orang yang mencoret, menulisi, menggambari, atau membuat rusak Lambang Negara dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Lambang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Jika sekiranya tidak ada maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Lambang Negara, maka tampak akan lolos dari sanksi berdasarkan Pasal 68 ini. Jadi jika sekiranya, tanpa sengaja, ada yang menabrak suatu gapura yang ada Lambang Negara dan Lambang Negara itu menjadi rusak, maka kemungkinan akan lolos dari sanksi Pasal 68.
Ketentuan dalam Pasal 69 mengatur adanya unsure kesengajaan. Pasal 69 berbunyi:
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah), setiap orang yang:
  1. dengan sengaja menggunakan Lambang Negara yang rusak dan tidak sesuai dengan bentuk, warna, dan perbandingan ukuran;
  2. membuat lambang untuk perseorangan, partai politik, perkumpulan, organisasi dan/atau perusahaan yang sama atau menyerupai Lambang Negara; atau
  3. dengan sengaja menggunakan Lambang Negara untuk keperluan selain yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Butir a
Dengan sengaja tanpa maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Lambang Negara dikenakan pidana juga. Tapi perlu diperhatikan bahwa terdapat kata “dan” yang berarti keduanya harus terjadi, menggunakan Lambang Negara yang rusak dan tidak sesuai dengan bentuk, warna dan ukuran. Ini berarti bahwa tidak dapat dipidana jika hanya sekedar menggunakan Lambang Negara yang tidak sesuai bentuk, warna, dan perbandingan ukuran.
Jika ditinjau dengan melihat pada persoalan fisik Lambang Negara sebagaimana ditinjau di atas, seolah-olah penggunaan warna menjadi tidak masalah. Membaca adanya “dan” dalam butir a ini maka mau tidak mau memang kita berpikir bahwa persoalan warna, bentuk, dan ukuran menjadi tidak penting. Lain soalnya jika yang digunakan kata “atau” maka tentu soal bentuk, warna, dan ukuran menjadi relevan.
Butir b
Membuat lambang dalam hal ini, patut diduga, berarti menjadikan Lambang Negara sebagai lambang untuk perseorangan, partai politik, perkumpulan, organisasi dan/atau perusahaan. Pengertian membuat dalam butir b tersebut bukan berarti memproduksi Lambang untuk  perseorangan, partai politik, perkumpulan, organisasi dan/atau perusahaan. Hal ini juga sudah diatur dalam UU Merek. Jadi seseorang, seperti di facebook menggunakan Lambang Negara sebagai foto profilnya sudah merupakan pidana.
Butir c

Dalam batas-batas tertentu tertentu ia sudah termasuk dalam butir b. Namun pasti ada hal lain. Notaris, misalnya, tidak boleh menggunakan lambang Negara pada kartu nama atau map kantornya. Jika ada notaries yang melakukannya, maka kemungkinan akan dapat diajukan pidana.

Penutup
Berdasarkan pembacaan di atas, saya melihat bahwa aturan-aturan mengenai Lambang Negara dalam UU No. 24 tahun 2009 tidak disusun dengan baik. Saya kira kelak akan banyak persoalan mengenai hal itu dan barangkali aka nada banyak perkara yang muncul mengenai hal ini. Semoga tidak sih…..

1 komentar:

  1. Bagus artikelnya... Saya setuju agar penggunaan Lambang Negara harus lebih ditertibkan, tidak asal pakai... Memang, peraturan perundang-undangan kita itu terkesan terburu-buru disusun dan disahkan, akibatnya disana-sini bolong2...
    Okey, salam kenal...

    BalasHapus