Minggu, 09 Agustus 2009

PENGELOLAAN NAMA DOMAIN

Sebagai tindak lanjut dari UU No. 4 tahun 2008, pemerintah menyusun RPP tentang TENTANG PENYELENGGARAAN INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK. Rancangan tersebut sebanyak 73 Pasal. Saya tidak mengomentari RPP secara keseluruhan, tetapi hanya satu Bab, yaitu Bab VIII menyangkut Pengelolaan Nama Domain. Bab VIII ini terdiri dari 3 pasal yaitu pasal 64-66. Berikut ini catatan terhadap RPP tersebut:
1. Pengaturan mengenai pengelolaan nama domain merupakan sesuatu yang “nyempil” dalam RPP tersebut. Selain tiga pasal mengenai nama domain, dan sanksi aministratif dalam Pasal 67, yang lain-lain didedikasikan untuk sistem elektronik, sehingga keberadaan pengaturan mengenai nama domain menjadi tidak padu dan dapat dikatakan sesuatu hal yang aneh. Saya menyarankan agar pengaturan nama domain itu dibuat dalam sebuah PP tersendiri.
2. Status hukum nama domain. Hal ini belum diatur dalam undang-undang. Persoalan pokoknya dalam hal ini adalah apakah nama domain itu merupakan benda atau bukan. Jika ia benda, apakah tunduk pada KUHPerdata atau tunduk pada rezim hak kekayaan intellektual (merek) atau mempunyai rezim yang tersendiri. Jika bukan benda, lalu apa hak pendaftar nama domain yang didaftarkannya. “Menarik perhatian saya bahwa Pasal 64 ayat (11) RPP menggunakan istilah “pengguna” dan bukan “pendaftar”. Apakah pengguna berhak menjual, mengalihkan, menyewakan, mewariskan, atau melisesnsikan? Pada jurisdiksi yang lain, nama domain mendapat status sebagai benda dimana pendaftarnya berhak menjual, mengalihkan, menyewakan, mewariskan, atau melisesnsikan. Namun untuk saat ini, saya tidak perlu membahas lebih jauh mengenai hal ini.
3. RPP ini memberikan kewenangan yang besar kepada pemerintah dan kurang mengakomodasi pihak swasta atau masyarakat dan juga menempatkan pemerintah sebagai pesaing atau dalam keadaan bersaing bagi atau dengan kalangan swasta/masyarakat. Pasal 64 ayat (1) mendiktekan mengenai Nama Domain, yang terdiri dari Nama Domain Indonesia tingkat tertinggi (top level domain), yaitu .id, Nama Domain Indonesia tingkat dua (second level domain); dan Nama Domain Indonesia tingkatan turunan selanjutnya. Ayat (2) selanjutnya menentukan bahwa Nama-nama domain dikelola oleh Pemerintah dan/atau masyarakat yang disetujui oleh pemerintah. Ayat (3) menentukan apa yang dimaksud dengan pengelolalaan adalah meliputi aspek kebijakan, operasional, administrasi, keuangan, dan teknik. Hal ini berarti pemerintah telah mengambil alih apa yang semula merupakan porsi dari kalangan masyarakat/swasta.
4. Ada baiknya jika pemerintah hanya merumuskan kebijakan dan memberikan delegasi kepada kalangan swasta untuk mengelola nama domain.
5. Pengelola nama domain tingkat tinggi hanya untuk mengelola domain tingkat tinggi saja dan mendelegasikan pengelolaan nama doimain tingkat dua kepada pengelolanya. Selanjutnya pengelola nama domain tingkat dua menyerahkan pengelolaan domain tingkat selanjutnya kepada pengguna langsung. Saya pikir ini sesuai dengan kenyataan bahwa nama domain disusun berdasarkan hirarki. Jika pengelola nama domain tingkat tinggi, tingkat dua, dan turunannya dikelola sebagaimana RPP pasal 64 ayat (2) maka hal ini tidak lagi sesuai dengan sifat dari nama domain itu.
6. Pasal 64 ayat (7) RPP PITE sebaiknya diubah. Untuk penolakan diberikan alasan mengapa ditolak dan menyediakan prosedur keberatan atas penolakan pendaftaran. Untuk “menonaktifkan sementara” dan “menghapuskan nama domain” harus diberikan alasan menonaktifkan sementara dan menghapuskan, ada prosedur peringatan dan pemberitahuan mengapa akan dinonaktifkan atau akan dihapuskan dan disediakan prosedur keberatan untuk mempersoalkan penonaktifan dan penghapusan. Saya pikir untuk penghapusan harus ada putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap untuk penghapusannya. Saya pikir perlu dicegah kesewenang-wenangan dari pengelola nama domain.
7. Sebagai tambahan, menyangkut Pasal 66, saya pikir mengingat sistem pendaftaran nama domain yang saat ini ada menjadi aneh. Penyelesaian sengketa domain diperlukan jika sistem pendaftarannya bersifat first come first serve dan authomatic. Dengan sistem yang dijalankan oleh PANDI, sebagaimana juga oleh IDNIC dulunya, maka sistem penyelesaian sengketa hanya akan terjadi antara pendaftar atau pihak lain dengan pengelola. Saya kira pengelola nama domain sebaiknya membebaskan saja pendaftaran nama domain dan jika ada sengketa maka yang bersengketa adalah pihak yang mendaftar dengan pihak yang keberatan. Sistem penyelesaian sengketa domain yang akan dibuat tersebut hanya dapat efektif jika ada perjanjian antara pendaftar dengan pengelola domain name. Jika itu tidak ada maka, hanya undang-undang yang dapat membuat mekanisme penyelesaian sengketa.
8. Selama ini tidak ada perjanjian antara pendaftar domain dengan pengelola. Saya pikir ini perlu dibuatkan, disamping untuk membebaskan pengelola dari tuntutan di kemudian hari, juga untuk memberikan arahan bagi para pendaftar mengenai apa yang dapat dan yang tidak dapat dilakukannya.
9. Saya juga menyarankan agar pendaftaran nama domain diijinkan pada nama domain tingkat dua. Sewaktu masih dikelola oleh IDNIC, saya sudah menyampaikan usulan ini, tetapi konon alasannya adalah untuk keteraturan. Ada baiknya aspek komersial dari nama domain .id dieksploitasi sedemikian rupa sehingga manfaat yang besar berupa penerimaan dari pendaftaran pada nama domain tingkat dua. Jika ada sengketa maka hal itu diselesaikan dalam mekanisme penyelesaian sengketa yang dapat dibuatkan. Ketertututapan dalam pendaftaran nama domain boleh jadi karena ketidakpahaman pengelolalanya akan nilai komersial dari nama domain .id itu. Saya pikir potensi pemasukan yang sangat besar dari nama domain dapat dimanfaatkan sedemikian rupa.
Saya kira usulan saya sampai disini saja dulu menyangkut pengelolaan nama domain dalam RPP PITE tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar