Senin, 18 Januari 2016

Pencabutan Hak Untuk Dipilih: MA melanggar HAM

Dalam berbagai putusan MA dalam perkara korupsi./TPPU, terdakwa, disamping dikenai pidana pokok juga diberikan pidana tambahan seperti pencabutan hak untuk dipilih untuk mengisi jabatan publik dan hak untuk menduduki jabatan partai. Sejauh ini, sudah terdapat 9 orang yang dicabut haknya untuk dipilih. Dalam putusan teranyar,  Majelis Kasasi menyatakan bahwa alasan pencabutan hak Bupati Karawang nonaktif, Ade Swara dan istrinya, Nurlatifah adalah “Masyarakat harus dilindungi dari keserakahan para Pejabat Negara yang seharusnya mengayomi dan melayani rakyat,” Sayangnya putusan dalam perkara tersebut belum diunggah di situs web MA. Untuk melihat bagaimana MA sampai pada pencabutan hak politik, Putusan No. 1195 K/Pid.Sus/2014 (Luthfi Hasan Ishaaq) dapat dijadikan sebagai bahan analisa. Dalam putusan tersebut, halaman 127, dapat dibaca dalil Penuntut Umum pada KPK yang dibenarkan oleh Mahkamah Agung.:
 “……karena penjatuhan pidana tambahan berupa pencabutan hak Terdakwa untuk dipilih sebagai wakil rakyat dan hak untuk menjabat sebagai pengurus suatu partai politik sangatlah dimungkinkan berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 10 huruf b angka 1 KUHPidana. Hal ini dimaksudkan agar seseorang yang telah di vonis bersalah melakukan tindak pidana Korupsi dan tindak pidana Pencucian Uang tidak lagi diberi kesempatan untuk memegang jabatan publik yang rentan terhadap perbuatan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), sehingga dengan penjatuhan pidana tambahan dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku tindak pidana Korupsi dan tindak pidana Pencucian Uang. Ada beberapa contoh kasus di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di mana pelaku yang telah di vonis bersalah melakukan tindak pidana Korupsi, namun setelah ke luar dari penjara, tetap memegang jabatan publik seperti menjadi Bupati dan sebagainya. Hal ini sungguh sangat mencederai rasa keadilan masyarakat ;

Dasar dari Pencabutan hak untuk dipilih, sebagaimana didalilkan Penuntut Umum pada KPK, adalah Pasal 18 ayat (1) huruf d UU TIPIKOR. Sebelum memberikan pembenaran untuk dalil Penuntut umum dalam perkara tersebut, Mahkamah Agung tidak terlebih dahulu memeriksa dan menganalisa Pasal 18 ayat (1) huruf d tersebut. Apa betul “pencabutan hak,,,,sangat dimungkinkan”?

Pasal 18 ayat (1) huruf d UU TIPIKOR tersebut berbunyi:
(1) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah :
…….
d. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.

Apakah hak untuk dipilih dan /atau menduduki jabatan public atau jabatan dalam partai termasuk dalam hak-hak tertentu? Jika masuk, apakah memang hak-hak untuk dipilih dalam pemilihan umum atau hak untuk menduduki jabatan public atau jabatan dalam partai sesuatu “yang telah atau dapat diberikan pemerintah”? Penjelasan Pasal 18 ayat (1) huruf d menyatakan cukup jelas. Namun sesungguhnya tidak jelas.

Hak-hak untuk menduduki jabatan public adalah hak hak asasi manusia yang disebutkan dalam UUD 1945 dan dielaborasi lebih lanjut dalam undang-undang. Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.” Hak Asasi tersebut dielaborasi dan dijamin lebih lanjut dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia(“UU HAM”) yang berbunyi: (1) Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan perantaraan wakil yang dipilihnya dengan bebas, menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundangundangan. (3) Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan. Dalam Pasal 1 angka 1 UU HAM, HAM didefenisikan sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Hak asasi manusia dengan demikian hak dasar yang dimiliki manusia sejak manusia itu dilahirkan.

Dengan melihat ketentuan tersebut, hak untuk dipilih dalam jabatan public bukanlah hak yang diberikan pemerintah tetapi merupakan hak asasi manusia. Dengan demikian hak untuk dipilih dalam jabatan publik tidak termasuk dalam lingkup dari Pasal 18 ayat (1) huruf d UU TIPIKOR. MA tidak mempunyai wewenang untuk mencabut hak asasi terpidana.
Dalam BAB VI UU HAM ditentukan:
PEMBATASAN DAN LARANGAN
Pasal 73
Hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.
Pasal 74
Tidak satu ketentuanpun dalam Undang-undang ini boleh diartikan bahwa Pemerintah, partai, golongan atau pihak manapun dibenarkan mengurangi, merusak, atau menghapuskan hak asasi manusia atau kebebasan dasar yang diatur dalam Undang-undang ini.

Tujuan Tidak Menghalalkan Cara

Sesungguhnyalah tujuan yang hendak dicapai oleh MA sangatlah luhur. Masyarakat harus dilindungi dari ” keserakahan para Pejabat Negara yang seharusnya mengayomi dan melayani rakyat.” Sayangnya, meskipun tujuan itu dapat dibenarkan tetapi MA tidak berwenang mencabut hak politik tersebut. Pertama, ia tidak masuk dalam rumusan Pasal 18 ayat (1) huruf d dan kedua, HAM hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan UU dan ia tidak dapat dicabut. Dengan demikian tindakan MA mencabut hak-hak terpidana tersebut adalah merupakan pelanggaran HAM berat.

2 komentar: