Minggu, 30 Agustus 2009

Bendera Negara

Barangkali banyak yang berpendirian bahwa persoalan bendera, baik ukuran, pengibaran, lebih merupakan suatu persoalan upacara dan tidak perlu dipusingkan. Undang-undang No. 24 tahun 2009 dimaksudkan untuk menghentikan cara pandang demikian. UU No. 24 tahun 2009 mengatur tentang Bendera, Lambang Negara, Bahasa Negara dan Lagu Kebangsaan. Salah satu asas yang dikandung dalam UU No. 24 tahun 2009 adalah asas ketertiban, yang dalam Penjelasan UU diberi makna bahwa penggunaan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam Penggunaannya. Dengan demikian maka kita melihat perlunya ketertiban dalam penggunaan baik menyangkut ukuran, warna dan penggunaannya.
Tidak jarang kita lihat bahwa dalam penggunaan Bendera Negara tidak tertib. Dengan adanya UU ini maka dapat diharapkan Bendera Negara akan digunakan secara tertib. Misalnya, penggunaan representasi Bendera Negara dalam Situs Web Presiden RI, sudah tidak sesuai dengan UU ini. Demikian juga dengan penggunaan lainnya yang tidak perlu saya sebutkan satu persatu dalam pengantar tulisan ini.
Pasal 65 UU No. 24 tahun 2009 menetapkan adanya hak dan kewajiban untuk memelihara, menjaga, dan menggunakan Bendera Negara, Bahasa Indonesia, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan untuk kehormatan dan kedaulatan bangsa dan negara sesuai dengan Undang-Undang ini.
BENDERA NEGARA
UU menentukan adanya Bendera Negara Sang Merah Putih, Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih, dan bendera yang merepresentasikan Bendera Negara.
Bendera Negara Sang Merah Putih
Menurut Pasal 4 Ayat (1) Bendera Negara Sang Merah Putih berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran lebar 2/3 (dua-pertiga) dari panjang serta bagian atas berwarna merah dan bagian bawah berwarna putih yang kedua bagiannya berukuran sama. Bendera Negara dibuat dari kain yang warnanya tidak luntur (Ayat 2). Menurt Ayat (3) Pasal 4 Bendera Negara dibuat dengan ketentuan ukuran:
a. 200 cm x 300 cm untuk penggunaan di lapangan istana kepresidenan;
b. 120 cm x 180 cm untuk penggunaan di lapangan umum;
c. 100 cm x 150 cm untuk penggunaan di ruangan;
d. 36 cm x 54 cm untuk penggunaan di mobil Presiden dan Wakil Presiden;
e. 30 cm x 45 cm untuk penggunaan di mobil pejabat negara;
f. 20 cm x 30 cm untuk penggunaan di kendaraan umum;
g. 100 cm x 150 cm untuk penggunaan di kapal;
h. 100 cm x 150 cm untuk penggunaan di kereta api;
i. 30 cm x 45 cm untuk penggunaan di pesawat udara;
j. 10 cm x 15 cm untuk penggunaan di meja.
Penjelasan Pasal 4 Ayat (1) menjelaskan bahwa:
Warna merah adalah warna merah jernih yang secara digital mempunyai kadar MHB (Merah Hijau Biru) atau RGB (Red Green Blue): merah 255, hijau 0, dan biru 0. Warna merah telah lama dikenal dalam mitologi, kesusasteraan, dan sejarah Nusantara. Warna ini melambangkan keberanian.
Warna putih adalah warna putih tanpa gradasi secara digital mempunyai kadar MHB: merah 255, hijau 255, dan biru 255. Warna putih telah lama dikenal dalam mitologi, kesusasteraan, dan sejarah Nusantara. Warna ini melambangkan kesucian.
Bendera yang Merepresentasikan Bendera Negara
Pasal 4 Ayat (4) menentukan mengenai bendera yang merupakan representasi Bendera Negara, yang dapat dibuat dari bahan yang berbeda dengan bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ukuran yang berbeda dengan ukuran sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dan bentuk yang berbeda dengan bentuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Penjelasan Pasal 4 Ayat (4) berbunyi:
Yang dimaksud dengan “bahan yang berbeda” misalnya kertas, plastik, dan alumunium.
Yang dimaksud dengan ”ukuran yang berbeda” adalah besar kecilnya bendera.
Yang dimaksud dengan”bentuk yang berbeda” adalah bentuk bendera yang tidakmengikuti bentuk persegi panjang dengan ukuran lebar 2/3 (dua-pertiga) dari panjang, misalnya bentuk segitiga, bujur sangkar, trapesium, jajaran genjang, dan lingkaran.
Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih
Pasal 5 UU No. 24 tahun 2009 menentukan:
(1) Bendera Negara yang dikibarkan pada Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta disebut Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih.
(2) Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih disimpan dan dipelihara di Monumen Nasional Jakarta.
Kewajiban Mengibarkan Bendera Negara
Pasal 6 menentukan bahwa Penggunaan Bendera Negara dapat berupa pengibaran dan/atau pemasangan. Pasal 7 Ayat (1) Pengibaran dan/atau pemasangan Bendera Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dilakukan pada waktu antara matahari terbit hingga matahari terbenam. Namun Ayat (2) menentukan juga bahwa dalam keadaan tertentu pengibaran dan/atau pemasangan Bendera Negara dapat dilakukan pada malam hari. Tidak dijelaskan batasan “malam”. Dalam penggunaan ada yang disebut subuh. Apakah bendera dapat dikibarkan pada subuh? Tidak dijelaskan dalam undang-undang. Mungkin juga untuk keperluan undang-undang ini, yang disebut malam adalah antara terbenamnya matahari sampai terbitnya matahari. Keadaan-keadaan tertentu disebutkan dalam Penjelasan Pasal 7 Ayat (2) yaitu:
a. keadaan mengobarkan semangat patriotisme membela tanah air;
b. keadaan menghormati kunjungan kepala negara atau pemerintahan negara lain;
c. darurat perang;
d. perlombaan olah raga;
e. renungan suci;
f. keadaan sangat bersuka cita; atau
g. keadaan sangat berduka cita.
Mulai Pasal 7 Ayat (3) ditentukan kewajiban mengibarkan Bendera Negara, yaitu pada setiap peringatan Hari Kemerdekaan Bangsa Indonesia tanggal 17 Agustus oleh warga negara yang menguasai hak penggunaan rumah, gedung atau kantor, satuan pendidikan, transportasi umum, dan transportasi pribadi di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan di kantor perwakilan Republik Indonesia di luar negeri. Kewajiban ini ditegaskan dalam Pasal 7 Ayat (4) dimana Pemerintah Daerah memberikan Bendera Negara kepada warga Negara Indonesia yang tidak mampu.
Kewajiban mengibarkan Bendera Negara pada tanggal 17 Agustus ini hanya berlaku bagi warga Negara Indonesia. Bagi orang asing yang tinggal di Indonesia dan mempunyai hak penguasaan atas rumah, gedung, dan lain-lain tidak ada kewajiban untuk mengibarkan Bendera Negara.
Pasal 7 Ayat (5) menentukan bahwa Selain pengibaran pada setiap tanggal 17 Agustus, Bendera Negara dikibarkan pada waktu peringatan hari-hari besar nasional atau peristiwa lain. Pengaturan mengenai hal ini akan dilakukan oleh Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya berkaitan dengan kesekretariatan Negara dan dalam hal di daerah diatur oleh kepala daerah (Pasal 8).
Pasal 9 Ayat (1) mengatur mengenai kewajiban untuk mengibarkan bendera setiap hari, yaitu di:
a. istana Presiden dan Wakil Presiden;
b. gedung atau kantor lembaga negara;
c. gedung atau kantor lembaga pemerintah;
d. gedung atau kantor lembaga pemerintah nonkementerian;
e. gedung atau kantor lembaga pemerintah daerah;
f. gedung atau kantor dewan perwakilan rakyat daerah;
g. gedung atau kantor perwakilan Republik Indonesia di luar negeri;
h. gedung atau halaman satuan pendidikan;
i. gedung atau kantor swasta;
j. rumah jabatan Presiden dan Wakil Presiden;
k. rumah jabatan pimpinan lembaga negara;
l. rumah jabatan menteri;
m. rumah jabatan pimpinan lembaga pemerintahan nonkementerian;
n. rumah jabatan gubernur, bupati, walikota, dan camat;
o. gedung atau kantor atau rumah jabatan lain;
p. pos perbatasan dan pulau-pulau terluar di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
q. lingkungan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia; dan
r. taman makam pahlawan nasional.
UU menentukan penggunaan yang dapat berbeda dari ketentuan Pasal 9 Ayat (1) bagi penggunaan di lingkungan TNI dan Polri dengan berpedoman pada UU ini (Pasal 9 Ayat (2). Demikian juga penggunaan di luar negeri dapat diatur tersendiri dan dengan memperhatikan ketentuan hokum setempat (Pasal 9 Ayat (3) dan (4).
Pasal 10 lebih lanjut mengatur mengenai kewajiban memasang Bendera Negara, yaitu pada:
a. kereta api yang digunakan Presiden atau Wakil Presiden (disebelah kanan kabin masinis);
b. kapal milik Pemerintah atau kapal yang terdaftar di Indonesia pada waktu berlabuh dan berlayar (di tengah anjungan kapal); atau
c. pesawat terbang milik Pemerintah atau pesawat terbang yang terdaftar di Indonesia (di sebelah kanan ekor pesawat terbang).
UU menentukan bahwa tata cara pemasangan Bendera Negara diatur dengan Peraturan Presiden.
Penggunaan Bendera yang tidak diwajibkan
Setelah mengatur mengenai kewajiban mengibarkan atau memasang Bendera Negara dari Pasal 7-10, UU pada Pasal 11 mengatur mengenai pengibaran atau pemasangan Bendera Negara yang tidak diwajibkan. Pasal 11 berbunyi:
(1) Bendera Negara dapat dikibarkan dan/atau dipasang pada:
a. kendaraan atau mobil dinas;
b. pertemuan resmi pemerintah dan/atau organisasi;
c. perayaan agama atau adat;
d. pertandingan olahraga; dan/atau
e. perayaan atau peristiwa lain.
(2) Bendera Negara dipasang pada mobil dinas Presiden, Wakil Presiden, Ketua Majelis Permusyawatan Rakyat, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Ketua Dewan Perwakilan Daerah, Ketua Mahkamah Agung, Ketua Mahkamah Konstitusi, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan, menteri atau pejabat setingkat menteri, Gubernur Bank Indonesia, mantan Presiden, dan mantan Wakil Presiden sebagai tanda kedudukan.
(3) Bendera Negara sebagai tanda kedudukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipasang di tengah-tengah pada bagian depan mobil.
(4) Dalam hal pejabat tinggi pemerintah negara asing menggunakan mobil yang disediakan Pemerintah, Bendera Negara dipasang di sisi kiri bagian depan mobil.
Penggunaan Bendera Negara sebagai Tanda
Pasal 12
(1) Bendera Negara dapat digunakan sebagai:
a. tanda perdamaian;
b. tanda berkabung; dan/atau
c. penutup peti atau usungan jenazah.
Larangan
Setelah menguraikan soal-soal tersebut di atas, dalam Pasal 24 ditentukan mengenai larangan menyangkut Bendera Negara. Pasal 24 berbunyi:
Setiap orang dilarang:
a. merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, atau melakukan perbuatan lain dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera Negara;
b. memakai Bendera Negara untuk reklame atau iklan komersial;
c. mengibarkan Bendera Negara yang rusak, robek, luntur, kusut, atau kusam;
d. mencetak, menyulam, dan menulis huruf, angka, gambar atau tanda lain dan memasang lencana atau benda apapun pada Bendera Negara; dan
e. memakai Bendera Negara untuk langit-langit, atap, pembungkus barang, dan tutup barang yang dapat menurunkan kehormatan Bendera Negara.
Dalam Penjelasan Pasal 24 ditentukan bahwa Bendera Negara dalam ketentuan ini termasuk representasi Bendera Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4).
Sanksi Pidana
Jika perbuatan-perbuatan yang dilarang dilanggar maka terdapat sanksi pidana.sebagaimana diatur dalam Pasal 66 dan Pasal 67.
Pasal 66
Setiap orang yang merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, atau melakukan perbuatan lain dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 67
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah), setiap orang yang:
a. dengan sengaja memakai Bendera Negara untuk reklame atau iklan komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf b;
b. dengan sengaja mengibarkan Bendera Negara yang rusak, robek, luntur, kusut, atau kusam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf c;
c. mencetak, menyulam, dan menulis huruf, angka, gambar atau tanda lain dan memasang lencana atau benda apapun pada Bendera Negara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 huruf d;
d. dengan sengaja memakai Bendera Negara untuk langit-langit, atap, pembungkus barang, dan tutup barang yang dapat menurunkan kehormatan Bendera Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf e.
Pasal 66 tidak menyebutkan kata “sengaja”. Namun demikian perbuatan-perbuatan yang disebutkan dalam Pasal tersebut sudah barang tentu harus yang disengaja, karena Pasal tersebut mencantumkan bahwa perbuatan-perbuatan yang dilarang itu dilakukan dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera Negara. Hanya perlu diperhatikan, bahwa dalam pembuktian mengenai adanya maksud untuk  menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera Negara harus diperiksa secara cermat. Jika memang tidak ada maksud untuk menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera Negara, maka tentu dapat lolos dari sanksi itu.
Menarik perhatian saya bahwa dalam Pasal 67 butir c tidak ada kata sengaja atau tidak ada disebutkan mengenai maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera Negara. Hal ini berbeda dengan butir a, b, dan d. Hal ini berarti bahwa jika pada Bendera Negara ada tambahan warna atau tulisan, gambar, dan lain-lain maka hal itu dapat dikenai  pidana dengan tidak mempersoalkan apa maksud dari tambahan pada Bendera Negara tersebut. Sesuai dengan Penjelasan Pasal 24, hal ini tentu berlaku juga terhadap bendera yang merepresentasikan Bendera Negara.

LIRIK LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA

Berikut ini adalah lirik lagu Indonesia Raya sebagaimana terdapat dalam Lampiran UU No. 24 Tahun 2009

LIRIK LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
VERSI ASLI DENGAN TIGA STANZA

Stanza 1:
Indonesia Tanah Airkoe Tanah Toempah Darahkoe
Di sanalah Akoe Berdiri Djadi Pandoe Iboekoe
Indonesia Kebangsaankoe Bangsa Dan Tanah Airkoe
Marilah Kita Berseroe Indonesia Bersatoe


Hidoeplah Tanahkoe Hidoeplah Negrikoe
Bangsakoe Ra'jatkoe Sem'wanja
Bangoenlah Djiwanja Bangoenlah Badannja
Oentoek Indonesia Raja


(Reff: Diulang 2 kali, red)


Indonesia Raja Merdeka Merdeka Tanahkoe Negrikoe Jang Koetjinta
Indonesia Raja Merdeka Merdeka Hidoeplah Indonesia Raja

Stanza 2:
Indonesia Tanah Jang Moelia Tanah Kita Jang Kaja
Di sanalah Akoe Berdiri Oentoek Slama-Lamanja
Indonesia Tanah Poesaka P'saka Kita Semoeanja
Marilah Kita Mendo'a Indonesia Bahagia


Soeboerlah Tanahnja Soeboerlah Djiwanja
Bangsanja Ra'jatnja Sem'wanja
Sadarlah Hatinja Sadarlah Boedinja
Oentoek Indonesia Raja


(Reff: Diulang 2 kali, red)


Indonesia Raja Merdeka Merdeka Tanahkoe Negrikoe Jang Koetjinta
Indonesia Raja Merdeka Merdeka Hidoeplah Indonesia Raja


Stanza 3:
Indonesia Tanah Jang Seotji Tanah Kita Jang Sakti
Di sanalah Akoe Berdiri 'Njaga Iboe Sedjati
Indonesia Tanah Berseri Tanah Jang Akoe Sajangi
Marilah Kita Berdjandji Indonesia Abadi


S'lamatlah Ra'jatnja S'lamatlah Poetranja
Poelaoenja Laoetnja Sem'wanja
Madjoelah Negrinja Madjoelah Pandoenja
Oentoek Indonesia Raja


(Reff: Diulang 2 kali, red)


Indonesia Raja Merdeka Merdeka Tanahkoe Negrikoe Jang Koetjinta
Indonesia Raja Merdeka Merdeka Hidoeplah Indonesia Raja

Lambang Negara RI

Lampiran UU No. 24 tahun 2009
Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia
Warna:
Warna Merah : MHB (RGB) : merah 255, hijau 000, dan biru 000
Warna Putih : MHB (RGB) : merah 255, hijau 255, dan biru 255
Warna Kuning Emas : MHB (RGB) : merah 255, hijau 255, dan biru 000
Warna Hitam : MHB (RGB) : merah 000, hijau 000, dan biru 000
Perbandingan Ukuran:
Jarak A – B = 12
Jarak C – D = 13 ½
Jarak E – F = 16
Jarak G –H = 15 ½
Jarak I – J = 17

Rabu, 26 Agustus 2009

Kretek: Pertanyaan Indonesia di WTO

Sebagaimana kelanjutan dari posting terdahulu, yaitu Larangan terhadap Rokok Kretek di AS lanjutan Dan Larangan terhadap Rokok Kretek di AS, pemerintah Indonesia telah mengajukan melalui Komite TBT WTO, sejumlah pertanyaan kepada pemerintah Amerika Serikat mengenai larangan impor rokok kretek di Amerika Serikat, dalam komunikasi bertanggal 17 Agustus 2009 dan diedarkan 20 Agustus 2009 dalam dokumen G/TBT/W/323. (Terjemahan bebas).

Tampak ini akan menjadi perjalanan panjang. Sepertinya AS tidak mudah mengubah undang-undangnya dan kemungkinan proses penyelesaian sengketa melalu WTO dapat terjadi. Dalam daftar pertanyaannya Indonesia masih menyebut Bill pada hal aturan yang menjadi persoalan tersebut sudah merupakan undang-undang.
Dalam komunikasinya tersebut, Indonesia mengemukakan issu-issu hukum dan mengajukan pertanyaan menyangkut Pasal 907 Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act tersebut. Menurut Indonesia, Pasal 907 UU tersebut dapat dipersoalkan di bawah Perjanjian Hambatan Teknis Perdagangan, Perjanjian SPS, dan GATT 1994 dari WTO. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan adalah:


(a) Pasal 907 melarang rokok atau setiap komponennya mengandung rasa alami atau rasa buatan (selain tembakau atau mentol) atau herbal atau rempah-rempah. Mengapa mentol dipilih sebagai satu-satunya rasa, ramuan, atau rempah-rempah dikecualikan dari aturan ini.
(b) Kita mengetahui bahwa rokok kretek adalah industri penting di Indonesia. Apakah rokok kretek juga diproduksi di dalam negeri di Amerika Serikat?
(c) Pasal 907 lebih lanjut menunjukkan bahwa larangan atas rasa alami atau buatan, herbal atau rempah-rempah berlaku jika itu adalah "cita rasa" dari produk tembakau atau asap tembakau. Namun, rancangan undang-undang tidak mendefinisikan unsur-unsur yang merupakan suatu "cita rasa”. Bagaimana FDA merencanakan untuk menafsirkan konsep "cita rasa"?
(d) Rokok mengandung banyak bahan-bahan selain tembakau. Di bawah Pasal 907, bagaimana bisa membedakan bahan tertentu dari "cita rasa?
(e) Menthol adalah rasa buatan yang berasal dari mint, yang jelas merupakan herbal atau rempah-rempah. Apakah Amerika Serikat percaya bahwa rokok menthol akan berada di bawah ketentuan Pasal 907 dan akan dilarang tanpa adanya pengecualian yang diberikan RUU?
(f) Secara fisik, keduanya rokok cengkeh dan rokok mentol mengandung tembakau dengan zat tambahan bumbu herbal dengan sifat menenangkan. Penggunaan akhir keduanya baik rokok cengkeh maupun rokok mentol adalah sama, yaitu, keduanya digunakan untuk mengisap tembakau. Apakah Amerika Serikat percaya bahwa rokok kretek dan rokok mentol produk sejenis?
(g)tujuan utama dari RUU, seperti yang dinyatakan dalam pertimbangan-pertimbangan RUU, adalah untuk mengurangi insiden merokok bagi remaja. Temuan-temuan lebih lanjut menunjukkan bahwa aturan-aturan tambahan mengenai produk-produk tembakau dan pemasaran tembakau pemasaran adalah perlu untuk mencegah remaja di bawah umur untuk memperoleh rokok. Namun, bukti yang tersedia pada kami menunjukkan bahwa lebih banyak remaja merokok rokok mentol daripada kretek. Apakah Anda mengetahui data sebaliknya yang mengindikasikan rokok cengkeh digunakan oleh remaja dan kuantitas lebih besar daripada mentol?
(h) WTO mengizinkan anggota untuk mengambil tindakan-tindakan untuk melindungi kesehatan manusia, tetapi tindakan-tindakan harus didasarkan pada bukti ilmiah. apakah anda mengetahui adanya studi ilmiah yang menunjukkan bahwa rokok kretek menimbulkan risiko kesehatan lebih besar daripada rokok menthol?
(i) Beberapa rasa rokok lain yang akan dilarang oleh Pasal 907 (misalnya, cherry, strawberry, coklat) yang dibuat dan dipasarkan untuk memikat kaumremaja. Rokok kretek telah dijual selama puluhan tahun dan tidak dipasarkan untuk kaum remaja Rokok kretek dijual utamanya melalui toko-toko tembakau khusus. Apakah Anda mengetahui tentang periklanan rokok kretek yang spesifik yang dipandang dengan target atau memikat kaum remaja ?
(j) Rokok kretek selain dari rasa mentol dilarang di bawah Pasal 907. Rokok menthol akan tunduk pada studi dan regulasi oleh FDA. Mengapa perlu untuk melarang rokok rasa lain tetapi hanya perlu untuk mempelajari dan mengatur rokok menthol?

Sabtu, 22 Agustus 2009

Keterlibatan TNI dalam mengatasi Terorisme: Perlu persetujuan DPR

Sepak terjang Noor Din M Top yang disebut-sebut sebagai teroris nomor wahid rupanya membuat gatal tangan pihak-pihak yang menginginkan agar tentara dilibatkan. Kegagalan (mungkin juga sengaja digagalkannya) pihak kepolisian mengatasi teroris, seperti aksi yang baru-baru ini yang gagal di Temanggung, memicu perdebatan dimana Presiden dikesankan ngotot untuk melibatkan TNI. Tentara tampaknya diojok-ojok atau mungkin meminta-minta untuk kembali ke masa lalu untuk terlibat dalam urusan penegakan hukum. Sebagaimana dilaporkan, dalam berita yang sama, beberapa waktu sebelumnya Markas Besar TNI Angkatan Darat melalui Kepala Dinas Penerangannya, Brigjen Christian Zeboa, menegaskan institusinya memiliki kemampuan-kemampuan tempur, intelijen, dan penjinakan bahan peledak, yang sayang jika dibiarkan dalam kondisi idle seperti sekarang. Letjend (Purn) Agus Widjodjo meminta Presiden dan TNI terlebih dahulu secara rinci mempelajari Pasal 7 UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.

Saya pikir apa yang dinyatakan Agus Widjojo sudah selayaknya bahwa perlu dilihat landasan hukum bagi TNI untuk hal ini. Pasal 7 UU TNI menentukan:
(1) Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.
(2) Tugas pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan :
a. Operasi militer untuk perang.
b. Operasi militer selain perang, yaitu untuk :
1.
2.
3. mengatasi aksi terorisme;
4. ……..
Dst
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara.

Sebagaimana dinyatakan oleh Agus Widjojo, sebelum mengerahkan TNI Presiden harus memperhatikan ayat (3) Pasal 7 tersebut. Namun demikian sesungguhnya tidak cukup hanya melihat Pasal 7 tersebut. Pasal 20 UU TNI menyatakan:
(1) ….
(2) Penggunaan kekuatan TNI dalam rangka melaksanakan operasi militer selain perang, dilakukan untuk kepentingan pertahanan negara dan/atau dalam rangka mendukung kepentingan nasional sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) …………..

Pengerahan TNI dalam pemberantasan terorisme, sebagaimana diperkenankan oleh Pasal 7 ayat (2), ini adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) UU TNI.

Selanjutnya Pasal 17 UU TNI menentukan:

(1) Kewenangan dan Tanggung jawab pengerahan kekuatan TNI berada pada Presiden.
(2) Dalam hal pengerahan kekuatan TNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Melihat pada ketentuan dalam Pasal 17 kita menyaksikan bahwa diperlukan Persetujuan DPR. Tidak ditentukan dalam UU TNI kapan dan dengan cara bagaimana persetujuan DPR tersebut diberikan. Yang patut dicatat adalah bahwa ketentuan dalam Pasal 17 berlaku dalam keadaan tidak memaksa. Dalam keadaan memaksa, Pasal 18 UU TNI menentukan:
(1) Dalam keadaan memaksa untuk menghadapi ancaman militer dan/atau ancaman bersenjata, Presiden dapat langsung mengerahkan kekuatan TNI.
(2) Dalam hal pengerahan langsung kekuatan TNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam waktu 2 X 24 jam terhitung sejak dikeluarkannya keputusan pengerahan kekuatan,
Presiden harus melaporkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui pengerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Presiden harus menghentikan pengerahan kekuatan TNI tersebut.

Tinggal sekarang persoalannya adalah apakah keadaan sudah sedemikian genting sehingga TNI harus dilibatkan. Pihak kepolisian sendiri tidak menyatakan menyerah dan belum memberikan tanggapan atas kemungkinan dilibatkannya tentara ini. Jika memang keadaannya sudah sedemikian memaksa maka ketentuan dalam Pasal 18 berlaku. Jika ternyata keadaan belum memaksa maka ketentuan dalam Pasal 17 harus diindahkan.
Tambahan:
(5) Susunan dan kedudukan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, hubungan kewenangan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia di dalam menjalankan tugasnya, syarat-syarat keikutsertaan warga negara dalam usaha pertahanan dan keamanan negara, serta hal-hal yang terkait dengan pertahanan dan keamanan diatur dengan undang-undang. (Cetak miring dari penulis)

Dengan demikian dalam upaya bela Negara harus mengindahkan undang-undang TNI yang sudah mengaturnya sebagaimana disebutkan di atas, yaitu perlu persetujuan DPR. (ditambahkan 25 Agustus 2009)

Senin, 17 Agustus 2009

Bahasa Jawa di Pemprov DI Yogyakarta

Dalam situs web pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta diberitakan bahwa seluruh pegawai di seluruh lingkungan dinas di pemerintah Provinsi DIY serta kabupaten/kota akan menggunakan bahasa Jawa dalam aktifitas sehari-hari (Yogyakarta,15/8/2009 (pemda-diy.go.id). Hal ini hanya akan berlangsung tiap hari sabtu.

“ Itu khan sebenarnya sudah jauh hari lalu diterapkan khususnya di tingkat kabupaten/kota tapi beda-beda harinya. Nah, mulai besok itu diseragamkan tiap hari Sabtu semua,” ujar Sultan usai menghadiri pidato kenegaraan SBY di DPRD DIY, Jumat (14/8/2009).
Menurut Sri Sultan penggunaan bahasa Jawa dalam aktifitas sehari-hari ini merupakan bentuk penghargaan atas nilai-nilai budaya masyarakat Jawa. Apalagi sejak Indonesia belum merdeka masyarakat Jawa sudah memiliki tradisi sendiri, filosofi sendiri, cara berbusana sendiri, maupun makanan sendiri.
“ Langkah ini sebagai bentuk penghargaan nilai-nilai budaya masyarakat Jawa yang sudah lama diajarkan oleh para orang tua kita,” tuturnya.
Lebih lanjut dari berita tersebut:

Sebelumnya Kepala Biro Umum, Humas, dan Protokol Pemprop DIY Sigit Sapto Raharjo menjelaskan bahwa aturan penggunaan bahasa Jawa ini utamanya untuk komunikasi lisan. Sedang untuk komunikasi tertulis secara formal tetap menggunakan bahasa Indonesia , mengingat jika menggunakan bahasa Jawa dibutuhkan pedoman dan kaidah-kaidah yang perlu dipelajari. Sedang jika surat-surat tidak formal, bisa dimulai dengan bahasa Jawa.
”Misalnya memo kepala kepada stafnya, bisa saja menggunakan bahasa Jawa,” kata Sigit (Krn/Rsd)
Sebagaimana sebelumnya saya tulis, UU No. 24 tahun 2009 mengatur mengenai kewajiban menggunakan bahasa Indonesia. Yang diwajibkan, yang relevan dalam konteks ini, adalah untuk menggunakan bahasa Indonesia dalam layanan public di instansi pemerintahan (Pasal 30) dan komunikasi resmi dalam lingkungan kerja pemerintah dan swasta. Undang-undang tidak mendefenisikan apa yang dimaksud dengan “komunikasi resmi”.
Saya melihat apa yang dilakukan oleh Pemprov DIY tidak menyalahi UU tersebut. Pasal 42 UU No. 24 tahun 2009 tersebut berbunyi:

(1) Pemerintah daerah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra daerah agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan perkembangan zaman dan agar tetap menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia.
(2) Pengembangan, pembinaan, dan pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan oleh pemerintah daerah di bawah koordinasi lembaga kebahasaan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan, pembinaan, dan pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.


Upaya yang dilakukan Pem di DIY ini perlu mendapat apresiasi mengingat Indonesia banyak memiliki warisan budaya berupa bahasa yang perlu dikembangkan, dibina, dan dilindungi. Dalam posting saya terdahulu, saya sudah menggarisbawahi hal ini dengan mengambil contoh dari Konstitusi Spanyol. Langkah yang diambil oleh Pemerintah di DIY ini perlu ditindaklanjuti.

Hanya saja perlu diperhatikan bahwa di kemudian hari selalu terdapat kemungkinan adanya sengketa sehingga dokumentasi tertulis (seperti notulen dan memo-memo) harus tetap dibuat dalam Bahasa Indonesia jika akan dibuat sebagai alat bukti di pengadilan atau kuasi peradilan atau banding administrative.

Sabtu, 15 Agustus 2009

Insiden Lagu Kebangsaan

Insiden Lagu "Indonesia Raya" Harus Diselidiki demikian salah satu judul berita kompas.com hari yang merujuk pada insiden tanggal 14 Agustus 2009 di DPR. Pernyataan minta maaf dari Ketua DPR (yang berasal dari Partai Golkar) tidak cukup.

Saya dapat menyetujui pendapat yang dilontarkan dalam berita tersebut dengan alasan hukum. Pasal 59 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 20092TENTANG BENDERA, BAHASA, DAN LAMBANG NEGARA, SERTA LAGU KEBANGSAAN, yang diundangkan pada 9 Juli 2009 berbunyi:

Lagu Kebangsaan wajib diperdengarkan dan/atau dinyanyikan:
a. untuk menghormati Presiden dan/atau Wakil Presiden;
b. untuk menghormati Bendera Negara pada waktu pengibaran atau penurunan Bendera Negara yang diadakan dalam upacara;
c. dalam acara resmi yang diselenggarakan oleh pemerintah;
d. dalam acara pembukaan sidang paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah;
e. untuk menghormati kepala negara atau kepala pemerintahan negara sahabat dalam kunjungan resmi;
f. dalam acara atau kegiatan olahraga internasional; dan
g. dalam acara ataupun kompetisi ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni internasional yang diselenggarakan di Indonesia.

Insiden yang terjadi itu merupakan pelanggaran terhadap Pasal 59. Patut diduga bahwa DPR tidak menghormati Presiden dan Wakil Presiden. Apalagi para Anggota DPR yang sekarang banyak yang akan hengkang dari kursinya karena sudah ada hasil pemilihan umum. Ketua DPR yang sekarang malah diragukan akan duduk di DPR. Demikian juga kursi kepresidenan yang berhasil dipertahankan oleh SBY (Partai Demokrat) dan terpentalnya Bapak JK (Partai Golkar – Partai mayoritas saat ini di DPR)) dari kursi Wapres karena kalah dalam Pemilu yang lalu, memperkuat dugaan itu.

Pada tanggal 12 Agustus 2009, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan pasangan Capres Bapak Jusuf Kalla dan Wiranto serta Pasangan Ibu Megawaty dan Bapak Prabowo.

Insiden tersebut juga merupakan tindakan yang telanjang bahwa DPR tidak mentaati undang-undang yang dibuat dengan persetujuan bersama dengan Presiden. Ketidaktaatan DPR terhadap undang-undang memang suatu hal yang mengenaskan dan merupakan suatu tragedi. Jika DPR saja tidak mentaati undang-undang, bagaimana yang lain akan mentaati UU. Pentaatan terhadap UU harus dimulai dari DPR yang memberi persetujuan atasnya.

Rabu, 12 Agustus 2009

Selamat Pak SBY-Boediono

Mahkamah Konstitusi, dalam putusan yang dibuat dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi pada hari Selasa tanggal sebelas bulan Agustus tahun dua ribu sembilan, dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Rabu, tanggal dua belas bulan Agustus tahun dua ribu sembilanakhirnya menolak permohonan yang diajukan oleh Capres JK-Win dan Mega-Pro. Dengan demikian sudah tidak terbantahkan bahwa Pasangan SBY-Boediono merupakan Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Selamat kepada Pasangan SBY-Boediono, Lanjutkan…
Sekedar kesimpulan dan amar putusan dari Putusan Mahkamah Konstitusi adalah:

4. KONKLUSI
Berdasarkan seluruh fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan:
[4.1] Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan Pemohon I dan Pemohon II;
[4.2] Pemohon I dan Pemohon II memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai Pemohon dalam perkara a quo;
[4.3] Permohonan Pemohon I dan Pemohon II diajukan masih dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang;
[4.4] Eksepsi Termohon dan Pihak Terkait tidak tepat menurut hukum;
[4.5] Berbagai permasalahan yang bersifat kualitatif, yaitu kekacauan masalah penyusunan dan penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT), regrouping dan/atau pengurangan jumlah TPS, adanya kerjasama atau bantuan IFES, adanya spanduk buatan Termohon mengenai tata cara pencontrengan, beredarnya formulir ilegal model “C-1 PPWP”, dan adanya berbagai pelanggaran Pemilu baik yang bersifat administratif maupun pidana, meskipun ada yang terbukti dalam persidangan, namun tidak atau belum dapat dinilai sebagai pelanggaran Pemilu yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif, sehingga juga tidak menyebabkan Pemilu cacat hukum atau tidak sah. Meskipun demikian, untuk lebih baiknya pemilupemilu yang akan datang diperlukan langkah-langkah yang profesional baik dalam pembentukan Undang-Undang maupun pelaksanaan tugas-tugas KPU. Sejalan dengan itu, pelanggaran pidana Pemilu dan pelanggaran Pemilu lainnya yang belum ditindaklanjuti, meskipun tidak berpengaruh secara signifikan terhadap komposisi perolehan suara, dapat diproses lebih lanjut;
[4.6] Dalil-dalil Pemohon I dan Pemohon II mengenai adanya penambahan perolehan suara Pihak Terkait dan mengenai adanya pengurangan suara baik Pemohon I maupun Pemohon II tidak terbukti secara hukum;
[4.7] Jumlah perolehan suara yang didalilkan, baik oleh Pemohon I maupun oleh Pemohon II tidak beralasan hukum.

5. AMAR PUTUSAN
Dengan mengingat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316);
Mengadili,
Dalam Eksepsi:
Menyatakan Eksepsi Termohon dan Pihak Terkait tidak dapat diterima.
Dalam Pokok Perkara:
Menolak permohonan Pemohon I dan Pemohon II untuk seluruhnya.

Minggu, 09 Agustus 2009

PENGELOLAAN NAMA DOMAIN

Sebagai tindak lanjut dari UU No. 4 tahun 2008, pemerintah menyusun RPP tentang TENTANG PENYELENGGARAAN INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK. Rancangan tersebut sebanyak 73 Pasal. Saya tidak mengomentari RPP secara keseluruhan, tetapi hanya satu Bab, yaitu Bab VIII menyangkut Pengelolaan Nama Domain. Bab VIII ini terdiri dari 3 pasal yaitu pasal 64-66. Berikut ini catatan terhadap RPP tersebut:
1. Pengaturan mengenai pengelolaan nama domain merupakan sesuatu yang “nyempil” dalam RPP tersebut. Selain tiga pasal mengenai nama domain, dan sanksi aministratif dalam Pasal 67, yang lain-lain didedikasikan untuk sistem elektronik, sehingga keberadaan pengaturan mengenai nama domain menjadi tidak padu dan dapat dikatakan sesuatu hal yang aneh. Saya menyarankan agar pengaturan nama domain itu dibuat dalam sebuah PP tersendiri.
2. Status hukum nama domain. Hal ini belum diatur dalam undang-undang. Persoalan pokoknya dalam hal ini adalah apakah nama domain itu merupakan benda atau bukan. Jika ia benda, apakah tunduk pada KUHPerdata atau tunduk pada rezim hak kekayaan intellektual (merek) atau mempunyai rezim yang tersendiri. Jika bukan benda, lalu apa hak pendaftar nama domain yang didaftarkannya. “Menarik perhatian saya bahwa Pasal 64 ayat (11) RPP menggunakan istilah “pengguna” dan bukan “pendaftar”. Apakah pengguna berhak menjual, mengalihkan, menyewakan, mewariskan, atau melisesnsikan? Pada jurisdiksi yang lain, nama domain mendapat status sebagai benda dimana pendaftarnya berhak menjual, mengalihkan, menyewakan, mewariskan, atau melisesnsikan. Namun untuk saat ini, saya tidak perlu membahas lebih jauh mengenai hal ini.
3. RPP ini memberikan kewenangan yang besar kepada pemerintah dan kurang mengakomodasi pihak swasta atau masyarakat dan juga menempatkan pemerintah sebagai pesaing atau dalam keadaan bersaing bagi atau dengan kalangan swasta/masyarakat. Pasal 64 ayat (1) mendiktekan mengenai Nama Domain, yang terdiri dari Nama Domain Indonesia tingkat tertinggi (top level domain), yaitu .id, Nama Domain Indonesia tingkat dua (second level domain); dan Nama Domain Indonesia tingkatan turunan selanjutnya. Ayat (2) selanjutnya menentukan bahwa Nama-nama domain dikelola oleh Pemerintah dan/atau masyarakat yang disetujui oleh pemerintah. Ayat (3) menentukan apa yang dimaksud dengan pengelolalaan adalah meliputi aspek kebijakan, operasional, administrasi, keuangan, dan teknik. Hal ini berarti pemerintah telah mengambil alih apa yang semula merupakan porsi dari kalangan masyarakat/swasta.
4. Ada baiknya jika pemerintah hanya merumuskan kebijakan dan memberikan delegasi kepada kalangan swasta untuk mengelola nama domain.
5. Pengelola nama domain tingkat tinggi hanya untuk mengelola domain tingkat tinggi saja dan mendelegasikan pengelolaan nama doimain tingkat dua kepada pengelolanya. Selanjutnya pengelola nama domain tingkat dua menyerahkan pengelolaan domain tingkat selanjutnya kepada pengguna langsung. Saya pikir ini sesuai dengan kenyataan bahwa nama domain disusun berdasarkan hirarki. Jika pengelola nama domain tingkat tinggi, tingkat dua, dan turunannya dikelola sebagaimana RPP pasal 64 ayat (2) maka hal ini tidak lagi sesuai dengan sifat dari nama domain itu.
6. Pasal 64 ayat (7) RPP PITE sebaiknya diubah. Untuk penolakan diberikan alasan mengapa ditolak dan menyediakan prosedur keberatan atas penolakan pendaftaran. Untuk “menonaktifkan sementara” dan “menghapuskan nama domain” harus diberikan alasan menonaktifkan sementara dan menghapuskan, ada prosedur peringatan dan pemberitahuan mengapa akan dinonaktifkan atau akan dihapuskan dan disediakan prosedur keberatan untuk mempersoalkan penonaktifan dan penghapusan. Saya pikir untuk penghapusan harus ada putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap untuk penghapusannya. Saya pikir perlu dicegah kesewenang-wenangan dari pengelola nama domain.
7. Sebagai tambahan, menyangkut Pasal 66, saya pikir mengingat sistem pendaftaran nama domain yang saat ini ada menjadi aneh. Penyelesaian sengketa domain diperlukan jika sistem pendaftarannya bersifat first come first serve dan authomatic. Dengan sistem yang dijalankan oleh PANDI, sebagaimana juga oleh IDNIC dulunya, maka sistem penyelesaian sengketa hanya akan terjadi antara pendaftar atau pihak lain dengan pengelola. Saya kira pengelola nama domain sebaiknya membebaskan saja pendaftaran nama domain dan jika ada sengketa maka yang bersengketa adalah pihak yang mendaftar dengan pihak yang keberatan. Sistem penyelesaian sengketa domain yang akan dibuat tersebut hanya dapat efektif jika ada perjanjian antara pendaftar dengan pengelola domain name. Jika itu tidak ada maka, hanya undang-undang yang dapat membuat mekanisme penyelesaian sengketa.
8. Selama ini tidak ada perjanjian antara pendaftar domain dengan pengelola. Saya pikir ini perlu dibuatkan, disamping untuk membebaskan pengelola dari tuntutan di kemudian hari, juga untuk memberikan arahan bagi para pendaftar mengenai apa yang dapat dan yang tidak dapat dilakukannya.
9. Saya juga menyarankan agar pendaftaran nama domain diijinkan pada nama domain tingkat dua. Sewaktu masih dikelola oleh IDNIC, saya sudah menyampaikan usulan ini, tetapi konon alasannya adalah untuk keteraturan. Ada baiknya aspek komersial dari nama domain .id dieksploitasi sedemikian rupa sehingga manfaat yang besar berupa penerimaan dari pendaftaran pada nama domain tingkat dua. Jika ada sengketa maka hal itu diselesaikan dalam mekanisme penyelesaian sengketa yang dapat dibuatkan. Ketertututapan dalam pendaftaran nama domain boleh jadi karena ketidakpahaman pengelolalanya akan nilai komersial dari nama domain .id itu. Saya pikir potensi pemasukan yang sangat besar dari nama domain dapat dimanfaatkan sedemikian rupa.
Saya kira usulan saya sampai disini saja dulu menyangkut pengelolaan nama domain dalam RPP PITE tersebut.

Rabu, 05 Agustus 2009

Kewajiban Menggunakan Bahasa Indonesia

Pada tanggal 9 Juli 2009 diundangkan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 20092009TENTANG BENDERA, BAHASA, DAN LAMBANG NEGARA, SERTA LAGU KEBANGSAAN (LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 109, TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5035).

Undang-undang tersebut mengatur disamping soal bahasa Indonesia, juga soal bendera, lambang Negara serta lagu kebangsaan. Tulisan ini hanya menyoroti soal Bahasa Indonesia saja.

UU ini merupakan suatu yang baru yang menjadi landasan hokum mengenai hal-hal yang diatur dalam undang-undang tersebut. Pada permulaan harus diakui bahwa undang-undang ini mempunyai dua tujuan yang luhur, menjadikan bahasa Indonesia sebagai tuan rumah di negeri sendiri dan mengangkat bahasa Indonesia sebagai bahasa Internasional.

Pasal 27 menyatakan bahwa bahasa Indonesia dapat difahami sebagai bahasa resmi Negara dan sebagai bahasa persatuan. Sebagai bahasa resmi Negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan, pengantar pendidikan, komunikasi tingkat nasional, pengembangan kebudayaan nasional, transaksi dan dokumentasi niaga, serta sarana pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan bahasa media massa. Sebagai bahasa persatuan, bahasa Indonesia berfungsi sebagai jati diri bangsa, kebanggaan nasional, sarana pemersatu berbagai suku bangsa, serta sarana komunikasi antardaerah dan antarbudaya daerah.

Pada permulaan harus diperhatikan bahwa kewajiban penggunaan bahasa Indonesia tidak masuk dalam ranah jejaring social, sehingga penggunaan bahasa asing atau bahasa daerah pada jejaring social seperti facebook tidak dilarang.

Kewajiban Penggunaan Bahasa Indonesia
Pasal 26 – 39 mengatur mengenai kewajiban untuk menggunakan bahasa Indonesia dalam:
1. Peraturan perundang-undangan (Pasal 26).
Tentu ini adalah sesuatu yang umum. Namun demikian perlu diperhatikan bahwa dalam hal peraturan perundang-undangan yang menyangkut ratifikasi perjanjian internasional yang telah ada sebelum berlakunya undang-undang ini. Kita melihat bahwa dalam kebanyakan peraturan perundang-undangan menyangkut ratifikasi, teks asli selalu dilampirkan tanpa membuat atau menterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Saya piker ke depan, dalam setiap peraturan perundang-undangan mengenai ratifikasi harus sudah dilampirkan terjemahan resmi dalam bahasa Indonesia perjanjian internasional yang sudah diratifikasi tersebut.
Demikian juga dengan peraturan-peraturan lama yang masih dalam bahasa Belanda perlu segera di Indonesiakan dan disesuaikan dengan undang-undang baru ini.
2. dokumen resmi Negara (Pasal 27)
Penjelasan Pasal 27 menyatakan bahwa yang dimaksud “dokumen resmi negara” adalah antara lain surat keputusan, surat berharga, ijazah, surat keterangan, surat identitas diri, akta jual beli, surat perjanjian, putusan pengadilan;
3. pidato resmi Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara yang lain yang disampaikan di dalam atau di luar negeri (Pasal 28). Penjelasan Pasal 28 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “pidato resmi” adalah pidato yang disampaikan dalam forum resmi oleh pejabat negara atau pemerintahan, kecuali forum resmi internasional di luar negeri yang menetapkan penggunaan bahasa tertentu.
4. sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan nasional (Pasal 29 ayat (1). Ayat (2) Pasal 29 memungkinkan digunakannya bahasa asing untuk tujuan yang mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik. Ketentuan ayat (1) Pasal 29 tidak berlaku untuk satuan pendidikan asing atau satuan pendidikan khusus yang mendidik warga Negara asing.
5. Pelayanan administrasi publik di instansi pemerintahan (pasal 30).
6. Nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga Negara Indonesia (Pasal 31 ayat (1). Pasal 31 ayat (2) lebih jauh menentukan bahwa Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris. Penjelasan Pasal 31 Ayat (1) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “perjanjian” adalah termasuk perjanjian internasional, yaitu setiap perjanjian di bidang hukum public yang diatur oleh hukum internasional, dan dibuat oleh pemerintah dan negara, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain. Perjanjian internasional ditulis dalam bahasa Indonesia, bahasa negara lain, dan/atau bahasa Inggris. Khusus dalam perjanjian dengan organisasi internasional yang digunakan adalah bahasa-bahasa organisasi internasional. Penjelasan Pasal 31 Ayat (2) Dalam perjanjian bilateral, naskah perjanjian ditulis dalam bahasa Indonesia, bahasa nasional negara lain tersebut, dan/atau bahasa Inggris, dan semua naskah itu sama aslinya.
7. Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam forum yang bersifat nasional atau forum yang bersifat internasional di Indonesia. Bahasa Indonesia dapat digunakan dalam forum yang bersifat internasional di luar negeri. Penjelasan Pasal 32 ayat (2) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “bersifat nasional” adalah berskala antar daerah dan berdampak nasional. Penjelasan Pasal 32 ayat (2) menyatakan bahwa yang dimaksud “bersifat internasional” adalah berskala antarbangsa dan berdampak internasional.
8. Komunikasi Resmi dalam lingkungan kerja pemerintah dan swasta
Pasal 33 mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa dalam komunikasi resmi di lingkungan kerja pemerintah dan swasta. Bagi mereka yang masih belum mampu berbahasa Indonesia, menurut ayat (2) Pasal 33 wajib mengikuti atau diikutsertakan dalam pembelajaran untuk meraih kemampuan berbahasa Indonesia. Pengertian dari lingkungan kerja swasta, dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 33 sebagai mencakup perusahaan yang berbadan hukum Indonesia dan perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia.
9. Laporan setiap lembaga atau perseorangan kepada instansi pemerintah (Pasal 34)
10. Karya ilmiah dan publikasi karya ilmiah (Pasal 35 ayat (1) menentukan bahwa penulisan karya ilmiah dan publikasi karya ilmiah di Indonesia harus dalam bahasa Indonesia. Dikecualikan dalam hal ini adalah untuk tujuan atau bidang kajian khusus yang dapat menggunakan bahasa asing atau bahasa daerah. menentukan
11. Nama geografi di Indonesia harus dalam bahasa Indonesia. Nama geografi itu harus satu nama resmi. Tidak dilarang dalam hal ini menggunakan nama tidak resmi.
Pasal 36 ayat (3) menyebutkan beberapa hal yang harus menggunakan bahasa Indonesia, yaitu nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga Negara Indonesia atau badan hukum Indonesia. Untuk hal-hal ini dapat digunakan bahasa daerah atau bahasa asing jika memiliki nilai sejarah, budaya, adat istiadat dan/atau keagamaan.
Dengan demikian nama-nama seperti Cilandak Town Square sudah tidak dapat lagi digunakan. Senayan City, mungkin harus disebut sebagai Kota Senayan.
12. Informasi tentang Produk atau jasa
Pasal 37 mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia untuk informasi produk baik barang atau jasa baik produksi dalam negeri maupun produk asing. Undang-undang memperkenankan dilengkapinya informasi produk dalam bahasa asing atau bahasa daerah.
13. Rambu umum, penunjuk jalan, fasilitas umum, spanduk, dan alat informasi lain yang merupakan pelayanan umum wajib dalam bahasa Indonesia (Pasal 38). Bahasa Indonesia dalam hal-hal tersebut dapat disertai bahasa asing atau daerah.
14. Informasi melalui media massa harus dalam bahasa Indonesia kecuali mempunyai tujuan khusus atau sasaran khusus (Pasal 39)

Pasal 40 mementukan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan Bahasa Indonesia akan diatur dengan Peraturan Presiden.

Sanksi
Undang-undang tidak mengatur mengenai sanksi jika kewajiban-kewajiban tersebut dilanggar. Namun untuk beberapa hal tertentu dapat dilihat bahwa sanksinya akan terlihat jika ada proses hokum. Misalnya, kewajiban membuat perjanjian dalam bahasa Indonesia. Jika ternyata ada perkara kelak di pengadilan, maka jika perjanjian yang menjadi persoalan ditulis dalam bahasa asing maka mungkin tidak dianggap sah karena melanggar Pasal 1320 KUHPerdata tentang sarat sahnya perjanjian.

Tentu masih akan dilihat lebih jauh bagaimana pelaksanaan undang-undang ini nantinya.
Pasal 72 UU ini menentukan bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur antara lain soal bahasa masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan undang-undang ini. Ini akan dilihat dalam Peraturan Presiden yang akan dating yang paling lambat harus ada dua tahun setelah berlakunya undang-undang ini, yaitu tanggal 8 Juli 2011 (Lihat Pasal 73).

Rabu, 29 Juli 2009

Hak Jaksa Mengajukan PK

Dalam tulisan saya berjudul “Hak Jaksa Mengajukan PK dan Batasannya”, saya mengulas mengenai hak jaksa untuk mengajukan PK dan menyimpulkan bahwa jaksa berhak mengajukan PK sesuai Pasal 263 ayat (3) KUHAP. Dalam tulisan tersebut saya hanya menyitir mengenai Putusan MA dalam Negara v Muchtar Pakpahan, Negara v Pollycarpus, dan Negara v H. MULYAR bin SAMSI. Saya tidak menyinggung Putusan MA dalam Negara v JOKO SOEGIARTO TJANDRA (Putusan Mahkamah Agung Nomor 12PK/PIDSUS/2009 Tahun 2009) dan Negara v Syahril Sabirin (Putusan Mahkamah Agung Nomor 07PK/PIDSUS/2009 Tahun 2009), karena pada waktu menuliskan hal itu belum membaca kedua putusan MA tersebut. Setelah saya membaca kedua putusan yang terakhir, saya melihat bahwa pertimbangan hukum yang diberikan oleh MA semakin jauh dari yang ditentukan oleh KUHAP.
Pasal 263 ayat (3) KUHAP memberikan hak atau wewenang kepada Jaksa untuk mengajukan PK tetapi hal itu sangat terbatas hanya terhadap putusan yang “dalam pertimbangannya dinyatakan bahwa perbuatan yang didakwakan dinyatakan terbukti tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan”. Hal ini berarti bahwa dalam keseluruhan PK yang diajukan oleh jaksa, MA seharusnya menolak mengabulkan permintaan PK tersebut.
Dalam dua putusan terakhir yang saya sebut di atas, terdapat dissenting opinion, yang menolak untuk mengabulkan permintaan PK jaksa. Namun demikian dissenting opinion tersebut tidak membantu meluruskan dalam hal-hal apa jaksa dapat mengajukan PK. Dissenting Opinion yang ada meneguhkan pandangan bahwa KUHAP tidak mengatur PK oleh jaksa.
Pertimbangan MA dalam Negara v JOKO SOEGIARTO TJANDRA dan Negara v Syahril Sabirin sangatlah tidak masuk akal dan karena itu tidak dapat dibenarkan dalam kerangka berpikir KUHAP. MA dalam kasus-kasus itu seharusnya menolak permohonan Jaksa karena sebagaimana diatur dalam Pasal 263 ayat (3) putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang dipersoalkan "tidak ada memuat pertimbangan bahwa perbuatan yang didakwakan telah terbukti tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan." Setelah gagal menemukan landasan hukum yang jelas dalam KUHAP, MA mendasarkan diri pada pertimbangan kepentingan umum. Tidak jelas kepentingan umum yang mana yang memperbolehkan MA untuk menerima permohonan PK yang diajukan oleh jaksa dalam kedua kasus tersebut dan dalam hal apa serta sejauh mana pertimbangan kepentingan umum harus mengesampingkan bunyi undang-undang.

Pendapat Mahkamah Konstitusi
Prof. DR. Komariah E. Sapardjaja, SH , Hakim Agung, yang memberikan dissenting opinion dalam Negara v Syahril Sabirin tersebut, menyitir pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Nomor 16/PUU-VI/2008. MK juga berpandangan bahwa Jaksa tidak berwenang mengajukan PK. MK menyatakan dalam halaman 52 dari Putusannya:

: “....proses yang panjang yang telah dilalui mulai dari penyidikan, penuntutan, pemeriksaan, dan putusan peradilan di tingkat pertama, banding dan kasasi, dipandang telah memberikan kesempatan yang cukup bagi Jaksa/Penuntut Umum menggunakan kewenangan yang dimilikinya untuk membuktikan kesalahan Terdakwa. Oleh karena itu, dipandang adil jikalau pemeriksaan peninjauan kembali tersebut dibatasi hanya bagi Terpidana atau ahli warisnya karena Jaksa/Penuntut Umum dengan segala kewenangannya dalam proses peradilan dalam tingkat pertama, banding dan kasasi, dipandang telah memperoleh kesempatan yang cukup. Jikalau benar bahwa ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang limitatif tersebut dipandang tidak sesuai lagi dengan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat karena terjadinya pergeseran dalam paradigma yang dianut, maka ketentuan hukum dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP tersebutlah yang harus diubah dan disesuaikan terlebih dahulu dengan kesadaran hukum baru yang berkembang dan hidup dalam masyarakat melalui proses legilisasi “

Mahkamah Konstitusi hanya melihat pada Pasal 263 ayat (1) untuk berpendirian bahwa jaksa tidak mempunyai wewenang untuk mengajukan PK. MK terkecoh dengan pendirian bahwa jaksa tidak berwenang mengajukan PK tanpa melakukan pemeriksaan terhadap keseluruhan Pasal 263.

Jika sekiranya Pasal 263 ayat (3) KUHAP dibaca dengan teliti maka MK tidak akan membuat pertimbangan sedemikian dan MA juga tentu tidak akan menerima PK yang diajukan oleh jaksa tersebut dan tidak perlu sampai menyitir Penjelasan Pasal 49 Undang Undang nomor 5 tahun 1986 jo. Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan Penjelasan Pasal 35 huruf c Undang Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan menyangkut pengertian dari kepentingan umum untuk membenarkan PK oleh jaksa.
Saya pikir perlu ditatar agar para penegak hukum menafsirkan undang-undang secara benar dan mentaatinya.

Kamis, 23 Juli 2009

Putusan MK soal Pasal 160 KUHP

Dalam perkara yang diajukan Dr. Rizal Ramli yang meminta pembatalan Pasal 160 KUHP, Mahkamah Konstitusi (MK) mengambil kesimpulan dalam PUTUSAN Nomor 7/PUU-VII/2009 yang dibuat dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi pada hari Selasa tanggal empat belas bulan Juli tahun dua ribu sembilan, dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Rabu tanggal dua puluh dua bulan Juli tahun dua ribu sembilan, bahwa “Pasal 160 KUHP adalah conditionally constitutional dalam arti konstitusional sepanjang ditafsirkan sebagai delik materiil” (Lihat Para [4.3]). Sehubungan dengan kesimpulan MK tersebut, MK mengadili bahwa Permohonan Dr. Rizal Ramli tersebut ditolak. Dalil-dalil yang disampaikan oleh Dr. Rizal Ramli keseluruhannya ditolak oleh MK. Dalam pertimbangannya MK menyatakan:

“Bahwa meskipun pasal a quo lahir pada masa kolonial Belanda, tetapi menurut Mahkamah substansi norma yang terkandung dalam pasal a quo tetap sejalan dengan prinsip-prinsip negara yang berdasarkan hukum karena norma yang dikandung dalam pasal a quo memuat prinsip universal yang tidak mungkin dinegasikan oleh negara-negara beradab yang menjunjung tinggi hukum. Nilai hukum yang hendak dilindungi adalah memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat dari perbuatan menghasut supaya orang lain melakukan perbuatan pidana, menghasut orang supaya melakukan kekerasan terhadap penguasa umum, atau tidak menuruti perintah Undang-Undang atau perintah jabatan.”

Namun demikian MK berpendirian bahwa:

“Menurut Mahkamah, walaupun pasal a quo berasal dari warisan kolonial Belanda, namun substansinya yang bersifat universal, yakni melarang orang menghasut untuk melakukan tindak pidana, masih tetap sesuai dengan kebutuhan hukum Indonesia saat ini. Meskipun demikian, dalam penerapannya, pasal a quo harus ditafsirkan sebagai delik materiil dan bukan sebagai delik formil.” (lihat Para [3.14.1]

Hal ini tentu menimbulkan persoalan dalam praktek. Dengan menolak permohonan Dr. Rizal Ramli dalam kasus tersebut berarti bahwa Pasal 160 adalah konstitusional dan masih berlaku. Namun kesimpulan MK bahwa Pasal 160 konstitusional sepanjang ditafsirkan sebagai delik materiil merupakan sesuatu yang aneh.
Dalam perkara tersebut dihadirkan dua orang saksi ahli, yang adalah pakar dalam bidang hukum pidana, yaitu Prof. Dr. J.E. Sahetapy dan Dr. Rudy Satrio. Kedua ahli ini berbeda pandangan mengenai Pasal 160. Menurut Prof. Sahetapy, Pasal 160 adalah delik materiil (Kesimpulan butir 4 hlm. 33 putusan MK) sedangkan Dr. Rudy Satrio berpandangan bahwa Pasal 160 adalah delik formil (hlm 35 Putusan MK).

MK tidak mempertimbangkan persoalan delik formil-materiil ini secara mendalam. Jika pendapat Rudy Satrio, bahwa Pasal 160 adalah delik formil, diikuti maka Pasal 160 adalah inkonstitusional. Jika pendapat Prof. Sahetapy, bahwa Pasal 160 adalah delik materiil, yang diikuti maka, menurut MK, Pasal 160 adalah konstitusional. Tentu hal ini menjadi persoalan siapa mengikuti pandangan bahwa Pasal 160 termasuk delik formil dan siapa yang mengikuti pandangan bahwa Pasal 160 adalah delik materiil. Persoalan apakah suatu delik adalah delik formil atau materiil tidak ditentukan secara tersurat dalam KUHP. Bahwa suatu delik adalah delik formil atau materiil disimpulkan dari perumusan delik yang bersangkutan. Untuk keperluan perkara pidana, harus dibuktikan unsur-unsur delik.
Jadi MK tidak ada mengubah ketentuan dalam Pasal 160 KUHP.

Untuk keperluan penyidikan, tentu penyidik akan berpegang pada amar putusan MK yang menolak permohonan dari Dr. Rizal ramli tersebut dan hal ini mempunyai konsekwensi bahwa Pasal 160 adalah konstitusional dan masih berlaku, tanpa perlu menghiraukan putusan MK bahwa yang konstitusional adalah bahwa Pasal 160 adalah delik materiil.



Catatan: Sebelumnya, Pasal 160 KUHP juga pernah dimohonkan ke Mahkamah Konstitusi oleh Dr. R. PANJI UTOMO tetapi ditolak oleh MK dengan alasan Dr. R. PANJI UTOMO tidak mempunyai legal standing untuk memohonkan pengujian atas Pasal 160 tersebut (Lihat Putusan MK No. 6/PUU-V/2007).

Minggu, 12 Juli 2009

Farmasi Online

Dunia farmasi tidak mau ketinggalan dalam pemanfaatan teknologi informasi. Penjualan obat-obatan secara online di berbagai belahan dunia sudah dimulai pada tahun 1990-an dan berkembang sedemikian rupa. Aturan-aturan sudah diterapkan dan pedoman-pedoman mengenai pelaksanaan farmasi online sudah dibuat. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah juga mengeluarkan pedoman untuk pelaksanaan farmasi online ini. Berhubung korban berjatuhan, yang mengakibatkan perkara-perkara baik pidana maupun sipil di Amerika Serikat banyak digelar bernilai jutaan dollar. Kongres Amerika Serikat sudah mengeluarkan juga undang-undang untuk mengatur farmasi online, yang mulai berlaku pada tangga 13 April 2009 yang lalu.
Penjualan prouk-produk farmasi di Internet sudah meluas. Internet menawarkan pasar yang lebih luas, harga lebih murah, dan kemungkinan pembelian secara anonym. Ketentuan penjualan obat tergolong restriktif, penjuala produk-produk media tidak selalu perlu menjadi restriktif. Farmasi online mempunyai dampak dalam menunjukkan bahwa produk-produk farmasi merupakan barang-barang yang terjangkau dan dapat mendorong otonomi dari pasien dalam menentukan pilihan pengobatannya.

Para pebisnis di Indonesia juga tidak mau ketinggalan dengan pemanfaatan teknologi informasi dalam dunia farmasi ini. Demikianlah misalnya beberapa apotik ataupun toko obat telah menyediakan penjualan obat dan alat-alat kesehatan lainnya secara online. Bahkan ada juga apoteker yang menawarkan jasa konsultasi obat secara online. Lihat misalnya, seperti Apotik Tempo, Apotik Medicastore, Apotik Indica dan Bali Chemist. Juga pihak lain di luar negeri telah secara sengaja melakukan penjualan obat-obatan dari luar negeri ke Indonesia, seperti Rumah Farmasi.

Permasalahan-permasalahan hukum berkenaan dengan Farmasi Online
Hukum yang berlaku terhadap farmasi online akan sangat banyak menyentuh persoalan etika. Haruskah individu dihalangi hukum dari otonominya untuk secara bebas memilih cara-cara pengobatannya secara personal. Internet juga dapat mempunyai dampak positif menyangkut pemeliharaan kesehatan secara umum. Harga produk farmasi yang dapat lebih murah dapat meningkatkan ketersediaan bahkan bagi anggota masyarakat yang kurang beruntung. Internet juga dapat menjangkau daerah-daerah yang terpencil. Program pemerintah mengenai pelayanan universal yang akan membuat jangkauan Internet sampai ke desa-desa akan mendorong hal ini. Produk-produk yang ditawarkan juga dapat menjangkau orang yang mempunyai cacat tertentu yang biasanya mendapatkan kendala dalam berkomunikasi dengan apoteker. Internet juga dapat memfasilitasi pertukaran informasi diantara sesame professional, yaitu antara dokter dan apoteker dalam lingkungan yang lebih aman. Internet juga menjanjikan untuk penyebaran informasi produk-produk farmasi dan pemeliharaan kesehatan dan dapat memimpin pada manajemen pemeliharaan kesehatan. Para apoteker dapat menggunakan Internet untuk menjalankan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam standar pelayanan farmasi di apotik yaitu melakukan Promosi dan Edukasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat.
Terdapat banyak permalahan hukum menyangkut farmasi online, seperti resiko-resiko kesehatan dari obat yang salah atau obat bajakan, alergi yang mungkin dialami oleh konsumen yang tidak diketahui oleh farmasist ketika menawarkan obat secara online, interaksi dengan pengobatan lain yang sudah dilakukan oleh konsumen, formulasi obat-obatan yang mungkin berbeda dari satu Negara yang lain. Seorang apoteker dapat memberikan nasehat mengenai obat atau akibat samping dari obat, tetapi kecil kemungkinannya hal semacam itu ada dalam penjualan obat melalui Internet.
Departemen Kesehatan RI dan Badan Pengawas Obat dan Makanan, dan Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia sampai dengan saat ini belum menunjukkan posisinya mengenai farmasi online ini.

Perijinan
Khusus menyangkut perizinan, tidak begitu jelas apakah bagi apotik, apotik rakyat, dan toko obat eceran di Indonesia, apakah izin yang diberikan oleh dinas kabupaten/kota berlaku juga untuk mengadakan farmasi online. Empat apotik yang menyediakan transaksi secara elektronik tidak memberitahukan dalam situsnya bahwa izin yang dimiliki berlaku untuk di dunia maya. Apakah apotik, apotik rakyat, dan toko obat eceran disamping mendirikan usahanya di tempat tertentu juga diperkenankan untuk memperluasnya sampai menggunakan sarana Internet untuk menjangkau konsumen dan melakukan pelayanan secara langsung dan melakukan konsultasi obat secara online. Mengingat izin apotik, apotik rakyat, dan toko obat ecerean adalah untuk mendirikan apotik di suatu kabupaten/kota, apakah apotik, apotik rakyat, atau toko obat eceran di suatu kota, dengan menggunakan farmasi online, dapat secara langsung menjangkau konsumen di wilayah dimana izinnya berada?

Produk Farmasi
Produk farmasi yang beredar di Indonesia harus mempunyai surat izin edar. Salah satu apotik yang menyediakan transaksi elektronik secara tegas menyebutkan bahwa produk yang dijualnya teregristrasi di Indonesia. Terdapat satu apotik yang melakukan transaksi elektronik yang menyediakan juga produk yang terdaftar atau malah langka di Indonesia dan menjanjikan dapat menyediakan obat-obatan dari luar negeri.

Farmasi Online Luar Negeri:
Produk-produk luar negeri ditawarkan oleh salah satu penyedia jasa yang menjual produk-produk farmasi khusus produk Australia. Juga farmasi online yang didirikan di luar negeri apakah mereka dapat secara langsung menawarkan/mengedarkan menjual obat-obatan dan suplemen ke dalam negeri. Peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia mempersyaratkan bahwa agar dapat beredar di Indonesia, obat dan suplemen harus terdaftar di Indonesia dan memenuhi persyaratan pelabelan. Juga untuk keperluan periklanan produk-produk yang bersangkutan harus sudah mendapatkan izin edar di Indonesia. Dengan demikian akan menjadi persoalan apakah produk-produk yang dibuat diluar dapat ditawarkan secara langsung melalui media Internet dan dibeli melalui transaksi elektronik, dan yang pada dasarnya mengimpor obat-obatan/suplemen.
Penyedia jasa penjualan produ-produk Australia ini memang bukan Apotik. Mungkin temasuk toko obat eceran online terhadap produk luar negeri.

Ketentuan mengenai sifat dari kontrak
Pengiriman produk-produk obat merupakan tindakan kefarmasian dan harus dilakukan setelah menunukkan resep dokter. Kewajiban menunjukkan resep dokter merupakan kendala dalam pengembangan farmasi online. Penerimaan akan tandatangan elektronik dapat berdampak pada penggantian atas resep dokter yang asli. UU ITE menampung hal ini dimana dinyatakan bahwa jika suatu aturan mewajibkan harus tertulis dan asli maka hal ini dapat dipenuhi dengan hanya menunjukkan dokumen elektronik.
Privasi
UU ITE mengatur mengenai kewajiban melindungi data pribadi. Mengingat farmasi online mengumpulkan data-data pribadi dari konsumen maka para penyedia jasa farmasi online harus juga menyesuaikan praktek-praktek pengumpulan data pribadinya dengan memberitahukan hal itu kepada konsumen.

Kerahasiaan
Apoteker, sebagaimana diatur dalam Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotik, diwajibkan memberikan konseling, mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya. Dan khusus untuk penderita penyakit tertentu seperti cardiovascular, diabetes, TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus memberikan konseling secara berkelanjutan.
Mengenai konsultasi obat yang dilakukan secara online maka para penyedia jasa harus benar-benar dapat menjaga kerahasiaan dari komunikasinya karena hal ini mungkin bertentangan dengan peraturan yang berlaku di bidang farmasi. Harus dijaga intersepsi dari pihak lain terhadap konseling yang dilakukan secara online.

Kesulitan Farmasi Online:
Yang mungkin sulit dilakukan dalam Farmasi Online adalah mengenai butir 1.2.7 dari Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotik yang berbunyi:
1.2.7. Monitoring Penggunaan Obat.
Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu seperti cardiovascular, diabetes , TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya.

Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, saya piker pemerintah, dalam hal ini Menteri Kesehatan, BPOM, dan dinas-dinas kesehatan, serta Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, sesuai bidang masing-masing, perlu membuat penegasan mengenai boleh tidaknya izin apotik, apotik rakyat, dan toko obat diperluas hingga mencakup penyaluran obat melalui transaksi secara online. Penertiban juga perlu dilakukan menyangkut produk-produk farmasi yang ditawarkan di/ke Indonesia. Tentu disini perlu ditegaskan bahwa hokum yang menyangkut peredaran/periklanan produk-produk farmasi yang dijual di/ke Indonesia secara online juga tunduk pada ketentuan yang ada. Tata cara pelaksanaan farmasi online perlu diatur, yaitu menyangkut persyaratan-persyaratan yang sudah ditentukan dalam UU ITE dan kefarmasian diperlakukan secara ketat.
Dengan demikian kita dapat berharap agar ke depan apotik, apotik rakyat, dan toko obat eceran dapat menyediakan layanan farmasi online secara lebih berani dan lebih baik.

Rabu, 08 Juli 2009

Pilpres di kampungku

Sebagaimana diperkirakan, Pasangan SBY-Boediono menang telak dengan perolehan suara 270 suara di TPS 24 PPS Pondok Karya PPK Pondok Aren Tangerang. Pasangan Ibu Megawaty-Prabowo mendapatkan 75 suara dan Pasangan Bapak Jusuf Kalla-Wiranto mendapatkan 70 suara. 10 suara dinyatakan tidak sah. Suara tidak sah ini karena surat suara tidak dicontreng sama sekali (1 surat suara), ada yang mencontreng lebih dari satu kali dalam satu nomor, dan 2 surat suara dicontrengnya lebih dari satu pasangan capres. Salah satu surat suara yang dinyatakan tidak sah karena disamping mencontreng pada nomor 2, juga menuliskan “SBY, lanjutkan terus” pada bagian bawah. Jadi dianggap sah. Begitu bersemangatnya pemilih tersebut sampai suaranya dianggap tidak sah. Jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT pada TPS 24 tersebut sebanyak 668 pemilih. Menurut informasi ada 25 Orang pemilih yang menggunakan KTP.
Jadi tidak semua yang terdaftar dalam DPT memilih. Saya perhatikan nama-nama yang ada dalam DPT tidak ada yang double.
Suasana perhitungan suara cukup riuh dengan sorak-sorai dari ibu-ibu yang masih terlihat muda setiap kali dibacakan pilihan dalam surat suara. Dan pada akhir penghitungan suara, ibu-ibu itu terlihat sangat gembira dan bercakap-cakap sesama mereka dan berharap pemilihan hanya satu putaran saja. Semoga.....

Senin, 06 Juli 2009

Mahkamah Konstitusi Makin Jadi Aja

Dalam PUTUSAN Nomor 102/PUU-VII/2009 tanggal enam bulan Juli tahun dua ribu Sembilan, MK memutuskan bahwa KTP atau Paspor (bagi yang berada di luar negeri) yang masih berlaku dapat dijadikan sebagai bukti untuk memberikan suara dalam pemilu presiden, bagi mereka yang tidak terdaftar dalam DPT. Tentu ada ketentuan bahwa Pemegang KTP harus dilengkapi oleh Kartu Keluarga atau sejenisnya dan hal ini harus dilakukan di TPS di RT/RW di alamat yang disebutkan dalam KTP.
Sebelum memilih, Pemegang KTP atau Paspor harus mendaftarkan terlebih dahulu pada KPPS dan penggunaan hak memilih ini dilakukan pada 1 (satu) jam sebelum selesainya pemungutan suara di TPS atau TPS Luar Negeri setempat.

Hal lain yang menarik perhatian adalah bahwa MK membuat putusan yang bersifat self executing yaitu putusan yang tidak memerlukan peraturan perundang-undangan untuk pelaksanaannya. MK MENYATAKAN:

[3.21] Menimbang bahwa pembenahan DPT melalui pemutakhiran data akan sangat sulit dilakukan oleh KPU mengingat waktunya yang sudah sempit, sedangkan penggunaan KTP atau Paspor yang masih berlaku untuk menggunakan hak pilih bagi Warga Negara Indonesia yang tidak terdaftar dalam DPT merupakan alternatif yang paling aman untuk melindungi hak pilih setiap warga negara. Terkait dengan hal tersebut, Mahkamah memandang bahwa penggunaan KTP atau Paspor yang masih berlaku untuk memilih tidak dapat diberlakukan melalui keputusan atau peraturan KPU; sedangkan bentuk hokum Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) juga beresiko menimbulkan masalah jika ternyata nantinya dibatalkan melalui legislative review pada saat pembahasan dalam masa sidang DPR berikutnya;
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka demi keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum, Mahkamah memutuskan dalam Putusan yang bersifat self executing yang langsung dapat diterapkan oleh KPU tanpa memerlukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) guna melindungi, menjamin, dan memenuhi hak konstitusional warga negara untuk menggunakan hak pilihnya;

Lebih jauh MK menyatakan dasar hokum dari putusannya tersebut:
[3.22] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358), Mahkamah diwajibkan menggali, mengikuti, dan memahami nilainilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat;

Lalu MK menyatakan perlu untuk memerintahkan KPU:
[3.23] Menimbang bahwa sebelum memberikan Putusan tentang konstitusionalitas pasal-pasal yang dimohonkan pengujian, agar di satu pihak tidak menimbulkan kerugian hak konstitusional warga negara dan di lain pihak tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Mahkamah perlu memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mengatur lebih lanjut teknis pelaksanaan penggunaan hak pilih bagi Warga Negara Indonesia yang tidak terdaftar dalam DPT dengan pedoman sebagai berikut…….

Tentu kelak hal ini akan menjadi persoalan konstitusional apakah memang MK dapat membuat perintah kepada KPU dan apakah MK dapat membuat putusan yang bersifat self executing.

Jumat, 03 Juli 2009

Larangan terhadap Rokok Kretek di AS lanjutan

Dalam posting saya terdahulu mengenai larangan terhadap Rokok kretek di AS, Presiden Obama sudah menandatangani RUU tersebut dan sekarang menjadi undang-undang yang disebut sebagai Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act. FDA yang diberikan wewenang menyangkut pelaksanaan UU tersebut meminta komentar dari public mengenai pelaksanaan wewenangnya tersebut.

Televisi Protokol Internet

Pemerintah, dalam hal ini Depkominfo, telah selesai menyiapkan Rancangan Peraturan Menteri Kominfo Mengenai Penyelenggaraan Layanan Televisi Protokol Internet (IPTV) di Indonesia. Dalam siaran persnya dinyatakan, Pemerintah mengadakan konsultasi public hanya dalam waktu 3 hari, yaitu tanggal 16 s/d 19 Juni 2009. Berdasarkan komentar yang ada tersebut, maka dilakukan pembahasan dengan pelbagai pihak (tidak disebutkan) dan pada tanggal 1 Juli 2009 dilaporkan bahwa Rancangan Keputusan Menteri (selanjutnya disebut RPM saja), yang diharapkan dapat segera disahkan oleh Menteri Kominfo, yth. Prof. Muhammad Nuh.

Saya melihat Rancangan Keputusan Menteri tersebut agak sedikit dibuat terburu-buru. Tidak jelas target yang ditujunya. Pemilu Presiden akan diadakan tanggal 8 July 2009. Belum jelas siapa yang akan terpilih. Siapapun Presiden yang terpilih, Menteri tidak perlu terburu-buru membuat aturan yang akan mengikat dimasa mendatang.

Menyangkut materi RPM tersebut dapat diberi catatan:

Penyelenggara Televisi Protokol Internet adalah Konsorsium yang anggotanya terdiri dari sekurang-kurangnya 2 (dua) badan hukum Indonesia dan telah memiliki izin-izin yang diperlukan untuk penyelenggaraan layanan IPTV (Pasal 4 ayat (1) RPM).
Dari RPM tersebut dilihat bahwa konsorsiumlah yang memiliki izin-izin yang diperlukan untuk penyelenggaraan Layanan Televisi Protokol Internet. Izin-izin yang diperlukan itu disebutkan dalam ayat (2) Pasal 4, yaitu Izin Penyelenggaraan Jaringan Tetap Lokal, Izin Penyelenggaraan Jasa Multimedia Jasa Akses Internet (Internet Service Provider/ ISP), dan Izin Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Berlangganan. Anggota konsorsium tidak harus memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tersebut (ayat 3). Ketentuan ayat (3) ini tidak cocok dengan dengan ayat (1) karena dalam ayat (1) terdapat kata “dan” yang berarti bahwa konsorsium itu memiliki sekurang-kurangnya dua anggota dan konsorsium itu telah memiliki izin-izin yang diperlukan. Hal ini akan berbeda jika yang digunakan adalah kata “yang”. Jika sekiranya kata “yang” dipakai, maka yang dimaksudkan tentulah badan-badan hokum anggota konsorsium itu yang mempunyai izin-izin. Dengan menggunakan “dan” dalam ayat (1) maka izin-izin yang diperlukan itu milik dari konsorsium. Kalau kata “yang’ dipakai dalam ayat (1) maka ayat (3) merupakan perluasan dimana dimungkinkan anggota yang tidak punya izin menjadi anggota konsorsium dan anggota konsorsium yang tidak punya izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak boleh menjadi ketua konsorsium (ayat (5)).

Anggota-anggota suatu konsorsium tidak boleh menjadi anggota konsorsium lain (ayat 4). Salah satu anggota diangkat menjadi ketua dan ketua ini harus yang mempunyai salah satu izin yang disebut dalam ayat (2).
Pasal 5 ayat (1) menyebutkan bahwa dasar hokum pendiriaan konsorsium adalah perjanjian kerjasama yang mengikat yang dikuatkan dengan Akta Notaris. Perjanjian tersebut akan menyebutkan peran dan tanggungjawab anggota konsorsium (Pasal 5 ayat (2).
Pasal 6 RPM mengatur kepemilikan saham pihak asing dalam anggota konsorsium, tetapi tidak begitu jelas maksudnya dan relevansinya.
Penyelenggara, yang adalah konsorsium, harus mempunyai izin penyelenggaraan Televisi Protokol Internet. Mengingat bentuk konsorsium tidak ada dalam hokum Indonesia sebagia suatu bentuk usaha, maka menjadi tidak senonoh memberikan konsorsium untuk mendapatkan izin.

Cakupan Penyelenggara:
Pasal 7 RPM menentukan Layanan IPTV terbatas pada:

a. layanan penyiaran (pushed services), yaitu layanan berupa siaran televisi baik itu siaran yang diterima oleh pelanggan sesuai dengan jadwal aslinya (linier) maupun siaran yang diterima oleh pelanggan pada waktu penerimaan yang diaturnya sendiri (non-linier), serta layanan Pay per View;

b. layanan multimedia (pulled services dan interactive services), yaitu layanan yang penyalurannya diberikan berdasarkan permintaan dari pelanggan;

c. layanan transaksi elektronik;

d. layanan akses internet untuk kepentingan publik;

Dihubungkan dengan Pasal 8 dan Pasal 9 RPM tersebut, Penyelenggara Televisi Protokol Internet tidak hanya memberikan layanan televise, tetapi juga layanan multi media, layanan trasaksi elektronik, dan lasanan ISP. Ini artinya bahwa Penyelenggara yang adalah konsorsium dimungkinkan bersaing dengan anggota-anggota konsorsium.

Pasal 10 dan 12 menentukan apa yang harus dimiliki oleh Penyelenggara. Mengingat penyelenggara adalah suatu konsorsium, yang dalam hokum Indonesia, tidak tercatat sebagai suatu badan hokum ataupun badan usaha, bagaimana ia dapat “memiliki”.

Banyak hal lain yang terdapat dalam RPM tersebut yang ganjil yang tidak perlu diurai lebih jauh disini. Saya kira RPM itu perlu dipikirkan lagi untuk diperbaharui sebagaimana mestinya.
Sebaiknya dipikir lagi lebih matang agar jangan sampai membuat peraturan yang tidak mengena dan yang pada akhirnya hanya sekedar kertas yang tiada berguna.