Pembicaraan mengenai revisi atas
UU KPK terus bergulir. Rasa takut akan kedahsyatan dari KPK dalam pemberantasan
korupsi sudah tidak perlu diragukan. Malangnya penggagas revisi tidak menemukan
jantung persoalan penegakan korupsi KPK. Wacana revisis menjadi sekedar revisi
tanpa mengetahui apa sebenarnya yang perlu direvisi dari UU KPK. Di bawah ini
saya menyampaikan sekurang-kurangnya 4 hal yang perlu dilakukan revisi dari UU
KPK. Uraian di bawah sudah disampaikan secara tertulis kepada Pimpinan DPR dan
Komisi III untuk ditindaklanjuti. Keempat poin yang saya sampaikan berdasar
pada gagasan pemberanttasan korupsi tanpa kupsi.
I.
Kumulasi
dalam Pasal 11
Pasal 11
Agar ketentuan dalam
Pasal 11 huruf b sepanjang menyangkut “/atau” dihapuskan. Hal ini berarti bahwa huruf a, b, c
menjadi bersifat kumulatif, artinya dalam hal suatu perbuatan hendak
diselidiki, disidik. atau dituntut maka harus memenuhi semua ketentuan dalam
huruf a, b, dan c. Jika salah satu saja tidak terpenuhi maka KPK tidak dapat
menyelidiki.
Pasal 11 berbunyi:
Dalam melaksanakan
tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi
berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana
korupsi yang :
a. melibatkan aparat
penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan
tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau
penyelenggara negara;
b. mendapat perhatian
yang meresahkan masyarakat; dan/atau
c. menyangkut
kerugian negara paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Setelah diubah ketentuan Pasal 11 huruf b menjadi berbunyi:
b. mendapat perhatian yang
meresahkan masyarakat; dan
Konsekwensi dari dihapusnya ”/atau” adalah bahwa kasus-kasus gratifikasi
seperti Pasal 5,6, dan 7 UU TIPIKOR menjadi di luar jangkauan dari KPK. Hal itu
menjadi wewenang dari Polri dan/atau kejaksaaan untuk melakukan penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan.
Dalam perkara-perkara penyuapan, seperti dalam Perkara Akil Mochtar dan
sekutu-sekutunya tidak ada dibuktikan adanya kerugian Negara. Dalam kasus
seperti Dewi Yasin Limpo atau teranyar Politisi PDIP harusnya tidak dijerat
oleh KPK.
Jadi kalau memang bukan kerugian Negara seharusnya KPK tidak perlu
menangani. Hal itu dapat ditangani Kejaksaan atau Kepolisian.
Ada suatu hal yang harus dihindarkan juga dengan tidak menempatkan KPK
sebagai penyelidik/penyidik dalam kasus-kasus gratifikasi/penyuapan. KPK harus
bebas dari pertarungan politik antar “gang” (istilah yang digunakan Menko Rizal
Ramli). KPK harus tidak ditempatkan sebagai alat untuk menjegal dan menjatuhkan
seseorang dari jabatannya atau dalam melaksanakan pekerjaannya atau menapaki
karirnya.
II.
Ketentuan dalam Pasal 12 ayat (1) huruf e diubah sebagai berikut:
Kata “memerintahkan” dalam Pasal 12 ayat (1) huruf e diganti menjadi
kata “merekomendasikan” sehingga Pasal 12 ayat (1) huruf e menjadi berbunyi: “Merekomendasikan kepada pimpinan atau
atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya”
Ketentuan Pasal 12 ayat (1) huruf e semula membuat KPK berada sebagai
lembaga tertinggi di Republik Indonesia. Penggunaan kata “memerintahkan”
menempatkan semua instansi temasuk Lembaga Kepresidenan berada di bawah KPK.
KPK dengan ketentuan yang ada sekarang dapat memerintah Presiden Republik
Indonesia, Ketua MPR, DPR, Mahkamah Agung dan lain-lain. Tentu ini harus
diubah. Kata merekomendasikan saya pikir lebih OK.
DPR tentu dapat memilih kata yang lebih sesuai dan mencerminkan bahwa
Presiden adalah penguasa tertinggi di Republik Indonesia dan KPK tidak dapat
memerintah Presiden dan juga lembaga-lembaga tinggi Negara, para menteri,
Panglima TNI, Kapolri dan lain-lain lembaga yang setara.
III Diantara Pasal 43 dan Pasal 44 ditambahkan satu
Pasal yaitu Pasal 43 A yang
berbunyi:
Pasal 43 A
(1) Penyelidikan Tindak Pidana Korupsi dilakukan atas
dasar adanya Temuan Kerugian Negara dalam Laporan Badan Pemeriksa Keungan atau
adanya Laporan Masyakat
(2) Sebelum melakukan Penyelidikan Tindak Pidana
Korupsi, KPK harus mengumumkan kepada public mengenai rencana pelaksanaan
Penyelidikan Tindak Pidana Korupsi;
(3) Pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
sekurang-kurangnya memuat:
a.
Waku
dimulainya penyelidikan;
b.
Objek yang
akan diselidiki
c.
Orang yang
diselidiki
d.
Dasar
menyelidiki sebagaimana disebut dalam ayat (1) Pasal ini.
e.
Jangka
waktu Penyelidikan
(4) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
huruf d Pasal ini adalah selama-lamanya 365 (tiga ratus enam puluh lima) hari
dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu selama-lamanya122 (seratus dua puluh
dua) hari.
Dasar pemikiran:
Pasal 5 UU KPK berbunyi:
Dalam
menjalankan tugas dan wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi berasaskan pada
:
a.
kepastian hukum;
b.
keterbukaan;
c.
akuntabilitas;
d.
kepentingan umum; dan
e. proporsionalitas.
Dengan kelima asas yang terkandung, setiap orang mengetahui bahwa akan
ada penyelidikan hukum. Bagi yang terkena penyelidikan atau potensial
diselidiki ada kesempatan untuk mempersiapkan diinya. Dengan adanya pengumuman
maka setiap orang menjadi awas termasuk misalnya dalam penggunaan sarana
telekomunikasi. Pasal 12 ayat (1) huruf a
menyatakan dalam melaksanakan tugas penyelidikan dan seterusnya dapat
melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan. Jika tidak diumumkan terlebih
dahulu maka kebebasan berkomunikasi masyarakat akan berada dalam ancaman Penjelasaan
Pasal 5 sepanjang menyangkut keterbukaan berbunyi: “keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak
masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif
tentang kinerja Komisi
Pemberantasan Korupsi dalam menjalankan tugas dan fungsinya; Pada sisi
KPK sebagai suatu lembaga yang dibanggakan dan diharapkan mampu memberantas
korupsi, hal ini akan membuka dirinya sebagai menjalankan prinsip keterbukaan.
Publik diberi kesempatan untuk mengetahui langkah yang akan dijalankannya. Mencegah
KPK untuk melakukan penyadapan sebelum adanya keputusan diadakannya
penyelidikan dan penyidikan.
Ada kalanya KPK melakukan penyadapan terlebih dahulu sebelum diadakan
penyelidikan/penyidikan. Jadi ada kalanya penyadapan dilakukan untuk
menciptakan suatu perkara korupsi. Ada juga kemungkinan penyadapan dilakukan
untuk kepentingan lain. Dengan mengumumkan terlebih dahulu bahwa akan diadakan
penyelidikan/penyidikan maka KPK terhindar dari melakukan penyalahgunaan
wewenang dan masyarakat atau pejabat yang menjadi sasaran tembak terhindar dari
kesewenang-wenangan.
Dari segi kepentingan pembuktian, dengan mengumumkan adanya penyelidikan
dapat dilacak apakah suatu alat bukti hasil penyadapan sah atau tidak.
Penyadapan dilakukan untuk menjalankan tugas penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan. Jika ditentukan dan tidak diumumkan kapan dilakukan penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan maka tidak dapat diketahui apakah penyadapan
dilakukan untuk tugas penyelidikan atau tidak. Pasal 28 ayat (1) UU No. 46
tahun 2009 berbunyi: “Semua
alat bukti yang diajukan di dalam persidangan, termasuk alat bukti yang
diperoleh dari hasil penyadapan, harus diperoleh secara sah berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan.” Jadi dengan mengumumkan kepada public kapan dimulainya
penyelidikan maka untuk keperluan pembuktian sah tidaknya alat bukti dari
penyadapan dapat dipersoalkan.
Mengenai lamanya penyelidikan, tentu DPR dapat menentukan berapa lama
penyelidikan dilakukan. Penyebutan angka 365 dan 122 dalam usulan di atas tidak
didasarkan suatu hitungan yang eksak, hanya sekedar saja. Dengan ditentukannya
jangka waktu penyelidikan, KPK tidak lagi menjadi pengintip orang bermasalah.
Ini sama seperti polisi lalu lintas yang ngumpet di balik pepohonan lalu ketika
ada pengendara yang lewat langsung disemprit dan dimongin pelanggarannya, walau
mungkin tidak ada, dan UUD (ujung-ujungnya duit). Jika jika KPK melakukan
penyelidikan dan setelah jangka waktu tertentu tidak ditemukan bukti maka objek
perkara yang diselidiki ditutup. Dengan demikian masyarakat tidak berada dalam
kegelapan dan yang lebih penting mengetahui apa yang harus dilakukan dalam hal
ada perkara korupsi.
Sebagai tambahan yang membuat pengumuman kepada public perlu dilakukan
adalah dengan merujuk pada Pasal 20 ayat (1) UU KPK yang berbunyi:
“Komisi Pemberantasan
Korupsi bertanggung jawab kepada publik atas pelaksanaan tugasnya dan
menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden
Republik Indonesia,
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia,
dan
Badan Pemeriksa Keuangan.” Jika sekiranya public tidak mengetahui apa yang akan
dikerjakan oleh KPK untuk apa juga KPK bertanggungjawab kepada public.
IV. Pasal 47 ayat (2)
dihapus atau dimodifikasi
Pasal 47 ayat (2) berbunyi:
Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur
mengenai tindakan penyitaan, tidak berlaku berdasarkan Undang-Undang ini.
Ketentuan Pasal 47 ayat (2) ini sangat berbahaya. Aturan dalam
penyitaan, kecuali membuat bukti penyitaan,
dengan demikian adalah “tidak ada aturan” (the rule is no rule).
Dengan menghapuskan ketentuan ini maka ketentuan dalam KUHAP mengenai
penyitaan dan perlakuan atas sitaan berlaku (Pasal 38 – 46 KUHAP). Dalam hal
pemeriksaan sudah cukup maka barang yang disita harus dikembalikan kepada
pemiliknya atau dari siapa barang bukti disita. Tentu ada manfaat dari segi
Negara karena barang bukti yang disita membutuhkan tempat penyimpanan maka
Negara tentu harus menyediakan tempat bagi barang-barang bukti yang disita.
Dalam praktek saya perhatikan, barang-barang bukti selain dokumen kertas
tidak jelas kemana. Terutama jika uang yang disita. Malah ada yang unik juga
bahwa jika uang yang disita maka uang itu menjadi milik dari KPK. Sebagai contoh
saya ambil dari perkara dengan terdakwa Andi Mallarangeng. Dalam putusan MA
tersebut nyata-nyata disebutkan bahwa uang yang disita dikembalikan pada
penuntut umum untuk diteruskan kepada penyidik pada KPK Ini artinya KPK menyita
uang sebagai barang bukti adalah untuk mereka miliki sendiri dan MA melegalkannya.
(Jika uang disita untuk Negara mungkin masih masuk akal. Namun demikian juga
tentu harus ada aturan mengenai memasukkan uang yang disita ke kas Negara dan
saya perhatikan, aturan mengenai pemasukan uang ke kas Negara hasil dari
perkara korupsi tidak ada. Jika uang yang disita dan hasil penjualan
barang-barang lain yang disita untuk Negara, tentu harus tercermin dalam UU
APBN atau UU Perhitungan Anggaran Negara.
Dalam beberapa kasus saya perhatikan juga bahwa uang/barang yang disita
diambangkan. Dalam putusan MA, misalnya, dinyatakan “barang bukti digunakan
dalam perkara lain tanpa menyebutkan perkara mana yang dimaksud” dan gelaplah
barang buktinya. (Mengenai perlakuan atas barang bukti ini, saya ada menulis
artikel Blog berjudul “Mainan Kecilnya KPK di blog saya…….)
Demikian juga dengan barang bukti yang disita, ada beredar informasi
bahwa KPK melelang barang-barang bukti yang disita. Saya merasa agak heran atas
dasar apa KPK melelang barang bukti. Dalam UU KPK tidak ada wewenang KPK untuk
melelang barang bukti yang disita. Demikian juga dengan putusan MA sejauh ini
saya membaca tidak memberikan wewenang kepada KPK untuk melelang barang bukti. Sepengetahuan
saya di lingkungan kementerian keuangan Negara ada badan yang khusus menangani
lelang melelang.
Saya menduga, suatu hari nanti akan ada perkara tersendiri mengenai
barang bukti yang disita KPK selama ini. Boleh jadi akan menjadi perkara korupsi
yang baru lagi.
Pemiskinan
Saya sering mendengar istilah pemiskinan koruptor. Tampaknya hal itu
dilakukan oleh KPK dengan instrument Pasal 47 ayat (2) UU KPK, yang saya
usulkan untuk dihapus atau dimodifikasi. Jika hasil pemiskinan itu ditarik ke kas
Negara “boleh jadi” tidak masalah.
Yang masalah adalah, sebagaimana saya sebutkan di atas, hasil sitaan itu
larinya kemana? Apa ke kas Negara atau menjadi milik dari orang-orang KPK.
Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa salah satu tujuan Negara sebagaimana
disebutkan dalam Alinea Ketiga Pembukaan UUD 1945 adalah untuk memajukan
kesejahteraan umum. Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 menentukan hak atas milik
sebagai HAM. Demikian juga Penjelasan mengenai asas “kepentingan umum” dalam UU KPK “adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan
umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif;” Pemiskinan tentu
bertolak belakang dengan “memajukan kesejahteraan umum”. Pemiskinan koruptor
dengan demikian bertentangan dengan dasar Negara, pelanggaran HAM dan dapat
dikatakan sebagai anti Pancasila. Dalam jangkauan yang lebih jauh, “pemiskinan”
koruptor juga anti Nawacita.
Jika sekiranya persoalan yang mengemuka adalah pengembalian uang Negara
tentu hal ini harus dilakukan dengan meningkatkan denda atau menciptakan
ketentuan penggantian kerugian Negara dalam UU TIPIKOR.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar