Hari ini, 20 Oktober 2016, saya
melihat banyak evaluasi yang dilakukan terhadap pemerintahan Presiden Joko
Widodo. Beberapa Menteri saya lihat hadir di layar televisi, seperti Ibu Susi
Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan, ada juga Menteri Pertanian. Bahkan Presiden Joko Widodo juga diwawancarai
oleh salah seorang presenter di televisi swasta. Tindakan untuk melakukan
evaluasi ini tentu banyak manfaatnya, setidaknya untuk melihat seberapa yang
sudah dicapai dan seberapa yang belum dicapai untuk perbaikan pada tahun-tahun
ke depan.
Evaluasi ini merebak sehubungan
dengan masa pemerintahan Presiden Joko Widodo yang sudah menginjak usia 2 tahun
pada hari ini. Saya senang ada Menteri Susi di Televisi, menyempatkan diri
untuk mengemukakan pandangannya. Keteguhan Menteri Susi Pudjiastuti menarik
perhatian saya juga. Buat apa kita berada disatu tempat jika tidak dapat
memberikan kontribusi kepada Negara, begitu kira-kira disampaikan Menteri
Susi tersebut. Hal ini dipertanyakan
mengingat sikapnya yang menolak kapal penangkap ikan asing di Indonesia
sementara ada desakan agar diijinkan kapal penangkap ikan asing di Indonesia.
Ibu Susi mengancam mundur jika kapal asing tersebut diijinkan di Indonesia. Ini
tentu ada baiknya dan kapal penangkap ikan kita harus menjadi tuan rumah di
negerinya sendiri.
Di lain kesempatan Menteri
Pertanian bergabung dalam pembicaraan impor beras. Saya kira issu ini memang
sangat menonjol mengingat Indonesia sebagai Negara agraris harus mengimpor
beras. Terlepas dari soal siapa yang salah, bagaimanapun juga kebijakan di
bidang pertanian adalah yang pokok. Swasembada pangan tidak tercapai itu intinya.
Apakah swasembada pangan, terutama beras, tidak tercapai karena adanya pihak
yang lebih suka mengimpor (beras)? Kalau ini yang terjadi maka tentu harus dicari
soalnya diimpor berasnya. Mengapa impor lebih menarik sambil mencelakai program
swasembada pangan? Apakah ada kaitan dengan bea masuk beras yang, saya dengar, 0 %. Lalu mengapa bea masuk harus ada di titik
0? Ada apa dengan produksi beras di Negara lain seperti Kamboja dan Vietnam.
Apa yang terjadi dengan produksi beras disana? Apakah ada subsidi diberikan
pemerintah atau pihak lain disana hingga harganya masih dapat terjangkau ketika
dipasarkan di Indonesia?
Persoalan kelautan dan perikanan
serta pertanian harus menjadi yang pokok dalam pemerintahaan Presiden Joko
Widodo. Presiden tentu harus memperhatikan keseluruhan hal pada waktu yang
bersamaan.
Baiklah ada evaluasi. Jika di
sekolah-sekolah dilakukan evaluasi, tujuannya adalah untuk menilai perkembangan
dari siswa dan apakah siswa layak untuk mendapatkan materi pelajaran yang lebih
tinggi. Evaluasi pemerintahan Joko Widodo yang dilakukan oleh berbagai pihak
saya kira adalah sesuatu yang sia-sia, selain persoalan berbagi sumber daya.
Sistem ketatanegaraan kita tidak mengenal evaluasi pemerintahan tahunan. DPR
berfungsi mengawasi tetapi tidak mengevaluasi. Yang dapat mengevaluasi
pemerintahan adalah Presiden (dan Wakil Presiden). Merekalah yang menilai
apakah , misalnya, seorang menteri layak untuk melanjutkan pengabdiannya atau
tidak, itu bergantung hasil evaluasi Presiden (dan Wakil Presiden).
Dua tahun pemerintahan Presiden
Joko Widodo. Prestasi tertingginya adalah berhasil mempertahankan kekuasaannya
sebagai ‘yang berdaulat’ meskipun tsunami politik meluluhlantakkannya. Karena
berhasil mempertahankan kekuasaannya maka segala sesuatunya harus mengacu
kesana. Bahwa swasembada pangan belum terealisir itu adalah satu soal dan bersama
dengan soal-soal lain tentu harus dijawab pada pemilihan Presiden 2019 yang
akan datang.