Saya memperhatikan DPR seperti
hendak melemahkan KPK dengan berupaya mengubah UU KPK dan juga berupaya
menghambat pengangkatan komisioner KPK.
Saya melihat ini suatu kesalahan berpikir dari para anggota Dewan dimana
para Anggota Dewan menempatkan dirinya ke tempat yang sangat rendah. Tindakan-tindakan KPK yang sedemikian rupa
yang mengancam kerja dari para pejabat termasuk para anggota Dewan
sesungguhnyalah tidak dapat dibebankan pada KPK itu sendiri. Dewan berpikir,
seolah-olah kalau KPK dilemahkan dengan mengebiri kewenangan yang diberikan
undang-undang dan menghambat pengangkatan komisioner KPK, dapat menyelesaikan
persoalan.
Ini cara berpikir yang menyesatkan. Justru kalau saya perhatikan
dengan baik, masalahnya bukan di KPK saja tetapi juga dengan pengadilan (Pengadilan Tipikor dari tingkat PN sampai Mahkamah Agung). KPK tidak dapat
bertindak sedemikian rupa jika pengadilan tidak membenarkan tindakan-tindakan
KPK. Pembacaan saya terhadap putusan-putusan pengadilan dalam perkara korupsi
menunjukkan adanya, patut diduga, ketidakberanian
dari pengadilan untuk memberikan teguran kepada KPK dan seolah-olah pengadilan
sebagai tuuang stempel bagi tindakan-tindakan KPK. KPK seolah-olah sudah
menjadi lembaga yang berdiri sebagai suatu rezim hokum sendiri dan pengadilan
menempatkan diri sebagai bagian darinya. Hal ini dapat dilihat dalam putusan-putusan
dimana meskipun bukti-bukti sangat lemah pengadilan secara heroic menjatuhkan
pemidanaan. Bahkan ada perkara dimana penuntut umum gagal membuktikan
terpenuhinya unsure-unsur pasal yang didakwakan, tetapi pengadilan dengan cara
yang heroic menciptakan sendiri pasal yang berada di luar yang didakwakan oleh
penuntut umum, hingga terdakwa dipidana. Demikian juga Mahkamah Agung telah secara jauh
menjatuhkan pidana yang lebih berat dan denda yang lebih besar tanpa mempunyai
landasan hokum. Dalam hal barang-barang
bukti, baik berupa barang maupun uang dengan nilai milyard-an rupiah, yang
disita oleh KPK yang tidak selalu diajukan sebagai bukti di pengadlian dan
barang-barang bukti itu kemudian diambangkan atau diserahkan kepada KPK. Masyarakat mengira bahwa barang-barang yang
disita untuk Negara tetapi tidak. (Saya ada menulis perlakuan terhadap barang
bukti berjudul “Mainan Kecilnya KPK”).
Baik Dewan maupun partai-partai
mempunyai lembagai penelitian yang semestinya dapat diberdayakan untuk terlebih
dahulu melakukan penelitian dan membuat saran-saran sebelum Dewan atau
anggota-anggotanya bertindak mengajukan perubahan UU. Putusan-putusan
pengadilan dalam perkara korupsi memang perlu dievaluasi. Jika memang putusan
dibuat dengan menyalahi aturan maka harus dibuatkan jalan keluar. Hukum
Indonesia memang menyediakan sarana untuk evaluasi terhadap putusan-putusan
dalam perkara pidana yang telah mempunyai kekuatan hokum tetap, termasuk yang
sudah diajukan PK.
Jika perkara-perkara korupsi ditangani dengan
baik, saya pikir KPK juga akan runtuh sendiri tanpa DPR perlu mengubah UU
KPK. Dalam perkara di pengadilan,
misalnya, dengan menerapkan prinsip “de omnibus dubitandum” atau “segala sesuatunya harus dipertanyakan “ KPK akan kelabakan sendiri, dan, jika KPK
tidak berhati-hati, semua komisioner KPK, yang sekarang maupun yang
sebelum-sebelumnya, bisa dituntut karena
melakukan tindak pidana Korupsi. Jadi, dapat terjadi, akan
ada semacam arus balik.
Menyangkut UU KPK memang,
sebagaimana dengan semua UU, ada hal yang harus selalu dimuat, yaitu evaluasi
terhadap UU. Saya belum pernah membaca ada UU yang memuat ketentuan
mengenai kapan evaluasi terhadap
pelaksanaan UU dilakukan, apakah UU perlu diubah, diperbaiki, atau malah
dicabut dengan menggantikan yang baru. Pada
jurisdiksi lain, ketentuan mengenai evaluasi terhadap UU lazim dimuat dalam UU
yang bersangkutan. Ke depan sya pikir,
dalam setiap UU perlu dibuat ketentuan khusus mengenai evaluasi terhadap UU
yang bersangkutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar