Tampilkan postingan dengan label Internet Governance. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Internet Governance. Tampilkan semua postingan

Kamis, 29 Oktober 2015

Komentar atas RPM tentang Klasifikasi Game



KOMENTAR DAN USULAN TERHADAP RANCANGAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR      TAHUN
TENTANG KLASIFIKASI PERMAINAN INTERAKTIF ELEKTRONIK  

  
Merujuk pada Siaran Pers Tentang Uji Publik Rancangan Peraturan Menteri mengenai Klasifikasi Permainan Interaktif Elektronik dengan ini saya, Paustinus Siburian, SH., MH. Memberikan tanggapan dan masukan atas RPP tersebut dan mudah-mudahan berguna.


I.                    Defenisi Permainan Interaktif elektronik
Sewaktu saya pertama membaca judul dari Rancangan Peraturan yang terbayang adalah pemerintah hendak mengatur berbagai hal yang masuk dalam interactive game, yaitu amusement game, social gaming, waging dan gambling. Pembacaan saya terhadap interactive gaming di yurisdiksi lain adalah menyangkut keempat hal itu. Pembacaan saya terhadap defenisi dalam Pasal 1.1 keempaat macam game di lain yurisdiksi tercakup. Oleh karena itu pengertian permainan interaktif elekttronik perlu dipertegas.  Penegasan semacam ini perlu karena ada kekaburan dalam Pasal 12 dan Pasal 15 seolah-olah bahwa permainan interaktif yang tidak dapat diklasifikasi (yang meliputi gambling) hanya sekedar tidak dimasukkan dalam daftar rekomendasi bukan sesuatu yang dilarang.
Setelah saya mengunjungi situs web dari badan rating sysem sebagaimana disebut dalam siaran pers itu saya mengerti ini untuk perlindungan anak, utamanya. Saya pikir juga UU Perindungan Anak perlu dirujuk dalam RPM tersebut.
II.                  Bahasa
Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 37  UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2009 TENTANG BENDERA, BAHASA, DAN LAMBANG NEGARA, SERTA LAGU KEBANGSAAN ada kewajiban untuk menggunakan bahasa Indonesia. Mengingat permainan interaktif dapat dilakukan dalam bahasa lain, apakah aturan dalam permainan interaktif dapat dengan bahasa lain dengan syarat harus menyediakan terjemahan dalam bahasa Indonesia  
1.      Bahasa yang digunakan  tidak diatur (a) dalam permainannya sendiri (b) dalam petunjuk penggunaan. Apakah harus dalam bahasa Indonesia atau dapat dalam bahasa daerah atau bahasa asing?
2.      Pasal 7ayat (1) d, Pasal 8 ayat (1) e, Pasal 11 ayat (1) d memuat larangan soal bahasa kasar. Jika bahasa yang digunakan di luar bahasa Indonesia, bagaimana menentukan itu bahasa kasar atau bukan.

III.               Ketentuan dalam Pasal 9 huruf a dan 10 huruf a Rancangan sepanjang menyangkut narkoba, saya pikir dan saya menyarankan,  harus dinyatakan terlarang. Sudah menjadi program pemerintah bahwa narkoba sesuatu yang terlarang dan berbahaya, maka juga dalam hal game dalam permainan untuk klasifikasi yang manapun harus dilarang. Jadi ketentuan dalam  Pasal 9 huruf a dan Pasal 10 huruf a harus diperbaiki sehingga naroba tidak dapat dimasukkan sebagai dan/atau dalam konten suatu game. 

IV.               Apakah ketentuan ini berlaku juga terhadap permainan interaktif secara eletronik yang disediakan oleh pelaku usaha di luar Indonesia yang dapat diakses di Indonesia? Jika ya tentu juga harus diindikasikan dalam Rancangan Peraturan itu. Dalam Pasal 20 ayat (2) Rancangan ini memang ada diatur soal itu tetapi apakah di yurisdiksi lain ada ketentuan semacam yang akan diatur oleh Indonesia ini.

V.                   Apakah dengan mengadakan klasifikasi merupakan suatu persyaratan untuk mendapatkan izin atau malahan izin itu sendiri? Dalam hal ini perlu ditegaskan bahwa pengklasifikasian dimaksudkan sebagai salah sau syarat unuk dapat ditempatkan di pasar.

VI.               Apakah permainan yang tidak masuk dalam klasifikasi (Pasal 12) dilarang? Ketentuan dalam Rancangan ini bersifat kabur. Ketentuan dalam Pasal 15 yang berbunyi  Setiap Permainan Interaktif Elektronik yang dapat diklasifikasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 11 dimasukkan ke dalam daftar rekomendasi Permainan Interaktif Elektronik oleh pemerintah.” Ini berari bahwa yang tidak masuk klasifikasi tidak dilarang tetapi hanya tidak direkomendasikan. Saya pikir hal ini harus dibuat secara tegas untuk menghentikan pemikiran ataupun kesan bahwa Indonesia membuka pasar untuk social gaming, waging, dan/atau gambling. Disini menjadi issu, apakah rekomendasi berarti izin.

VII.             Kalau kata-kata “diklasifikasikan” dan “daftar rekomedasi” mengandung konotasi perizinan maka harus ditentukan juga jangka waktu yang dibutuhkan antara tanggal dari “penempatan dalam www.igrs.id” sampai tanggal “pemerintah memasukan dalam daftar rekomendasi” dan biaya yang diperlukan untuk hal itu. (Namun sejauh saya tahu untuk besaran biaya harus ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah).

VIII.          Pasal 13 dan 14 lebih baik digabungkan karena ada pengulangan apa yang diatur dalam Pasal 14 yang sudah diatur dalam Pasal 13.  Ayat (2) dalam Pasal 14 dapat dimasukkan dalam Pasal 13 ayat (3) dan Pasal 13 ayat (3) Draf Rancangan dibuat jadi Pasal 13 ayat (4). Pasal 14 ayat (3) dimasukan jadi Pasal 13 ayat (5).

IX.                Ketentuan mengenai privasinya sangat tidak memadai padahal justru masalah privasi-lah yang paling menonjol dalam hal permainan interaktif elekronik itu.

X.                  Jika apa yang saya sebut dalam Butir VII di atas berurusan dengan perizinan maka ketentuan mengenai Penilaian Kesesuaian dalam Pasal 16 ayat (4) harus dilakukan setelah pendafaran menurut Pasal 13 dan sebelum dimasukkan dalam daftar rekomendasi. (Mengenai Penilaian Kesesuaian harus disesuaikan dengan WTO’s Agreement on Technical Barriers to Trade, UU No.7 tahun 2014 tentang Perdagangan, dan UU No. 20 tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penlaian Kesesuaian.

XI.                Perlu juga diatur soal penyelesaian sengketa dalam hal ada transaksi keuangan dalam pasal 9 j, 10 j dan 11 ayat (1) k. Karena klaim dalam soal ini merupakan klaim dengan nilai kecil (small claim), saya pikir baik juga jika Kominfo mencipakan platform penyelesaian small claim atau meminta kepada perusahaan tertentu untuk menyiapkannya penyelesaian sengkea semacam itu.

Saya mencukupkan diri untuk menyampaikan hal-hal di atas. Saya pikir banyak hal lain yang perlu ditata dalam RPM tersebut. Saya sendiri berpendirian bahwa soal permainan interaktif elektronik membutuhkan pengaturan yang bersifat komprehensif mengingat kekhususannya dibandingan dengan transaksi elektronik lain. Soal klasifikasi hanya salah satu bagian yang sangat penting. Saya menghormati keputusan Pihak Kementrian Kominfor untuk mengatur hanya soal klasifikasi permainan interaktif elekronik.

Semoga komentar dan saran saya di atas dapat bermanfaat.

Paustinus Siburian

Rabu, 24 Juni 2009

Internet Governance

Dalam minggu ini, Internet Corporation for Assigned Names and Numbers (ICANN) mengadakan pertemuan ke 35 di Sydney Australia. Diantara topic yang menjadi perhatian adalah usulan dari Komisi Masyarakat Eropa, yang dituangkan dalam sebuah komunikasi berjudul Internet governance: the next steps.
Cukup menarik perhatian saya mengenai apa pengertian dari Internet Governance ini. Hasil-hasil dari Pertemuan ICANN tersebut akan dituliskan setelah selesainya pertemuan tersebut.
Para 34 dari TUNIS AGENDA FOR THE INFORMATION SOCIETY menyatakan:
“A working definition of Internet governance is the development and application by governments, the private sector and civil society, in their respective roles, of shared principles, norms, rules, decision-making procedures, and programmes that shape the evolution and use of the Internet.” Dari defenisi yang disebutkan di atas, dapat ditarik tiga hal yang dilakukan dalam Internet Governance ini, yaitu standardisasi teknis, pengalokasian dan pemberian sumberdaya, dan formulasi kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan penyelesaian sengketa.
Standardisasi teknis
Hal pertama adalah standardisasi teknis. Hal ini berkaitan dengan bagaimana keputusan-keputusan dibuat berkenaan dengan protocol-protokol dasar jaringan, aplikasi-aplikasi perangkat lunak, dan standar format data yang membuat internet bekerja dengan baik. Organisasi-organisasi yang melaksanakan fungsi ini mendefenisikan, mengembangkan, dan mencapai consensus mengenai spesifikasi teknis. Spesifikasi-spesifikasi kemudian dipublikasikan sebagai suatu cara untuk pengkkordinasiaan pembuatan peralatan, desain software, dan ketentuan-ketentuan pelayanan yang akan memastikan kesesuaian dan keberoperasian teknis. Standardisasi teknis dari Internet telah dilakukan terutama oleh para pelaku dari kalangan swasta.
Dalam Internet Governance, kerapkali terdapat hubungan yang sangat erat antara factor-fator teknis dan kebijakan. Pilihan-pilihan kebijakan dapat dibatasi oleh arsitektur teknis atau harus memberhatikan kelayakan teknis. Pada sisi llain, kadangkala terdapat tekanan yang diberikan kepada para pengembang standar teknis untuk merefleksikan keputusan-keputusan mengenai kebijakan dalam pengembangan standar-standar.
Pengalokasian dan Pemberian Sumberdaya
Hal kedua adalah pengalokasian dan pemberian sumberdaya. Ketika penggunaan sumberdaya global, seperti space untuk alamat IP, spectrum radio atau nomor kode Negara, harus eksklusif, penggunaan harus dikoordinasikan atau diadministrasikan oleh suatu organisasi atau beberapa mekanisme yang lain. Otoritas pemberian mengalokasika space sumberdaya dan memberikan bagian darinya kepada pengguna yang spesifik. Mereka juga mengembangkan kebijakan-kebijakan prosedur-prosedur atau aturan-aturan untuk membimbing keputusan-keputusan mengenai pengalokasian dan pemberian. Fungsi ini merupakan sumber awal dari perselisihan mengenai Internet Governance, dimana perselisihan mengenai pemberian Domain Name Tingkat Tinggi membawa pada pembentukan Internet Corporation for Assigned Names and Numbers (ICANN).
Pemberian sumberdaya bukanlah hal yang sama dengan standardisasi teknis. Standar teknis dapat menciptakan sumberdaya virtual yang mewajibkan pemberian yang eksklusif ketika dibuat beroperasi (contohnya standar-standar teknis protocol IP menciptakan space alamat dan Protokol DNS mendefenisikan space domain name. Namun demikian, mendefenisikan dan mencapai consensus mengenai standar adalah fungsi yang sama sekali berbeda dari pengalokasian dan pemberian selanjutnya atas sumber daya. Beberapa organisasi mengkombinasikan kedua fungsi itu, seperti IEEE Ethernet group, ITU; sementara yang lain, seperti ICANN, IETF, North American Numbering Council, tidak melakukannya. Persoalan mengenai otoritas dibelakang organisasi-organisasi atau mekanisme-mekanisme adalah perlu dalam pengalokasian sumber daya. Siapa yangpaling bertanggungjawab untuk pengambilan keputusan, baik dalam pengertian hokum maupun politik, menjadi perlu dan kerapkali entitas yang mempunyai otoritas yang legitimate dapat mempengaruhi bagaimana sumberdaya diberikan. Dalam hal sumber daya langka, control atas institusi menjadi perlu bagi pelaku yang berkenaan.
Formulasi Kebijakan, Pelaksanaan dan Penyelesaian Sengketa
Hal ketiga adalah pembuatan kebijakan. Hal ini merujuk pada formulasi kebijakan, pelaksanaan dan pemantauan, dan penyelesaian sengketa. Ia mencakup pengembangan norma-norma, aturan-aturan dan prosedur-prosedur yang mengatur tingkah laku dari manusia dan organisasi, sebagai kebalikan dari struktur dan operasi dari teknologi. Meskipun Internet sendiri adalah semata-mata saluran untuk berkomunikasi dan oleh karenanya kebijakan bersifat netral, banyak issu kebijakan public timbul baik sebagai konsekwensi dari penggunaannya oleh pertumbuhan dalam penggunaan dalam koneks internasional atau karena Negara-negara dan actor bukan Negara ingin merespons pada masalah-masalah nasional maupun internasional dengan mengatur system teknologi itu sendiri.
Prinsip-prinsip dalam Internet Governance
Dalam komunikasi yang disampaikan oleh Komisi Eropa tersebut diatas disebutkan bahwa Prinsip-prinsip dasar yang menjadi kerangka dasar dalam Internet Governance adalah perlunya keamanan dan stabilitas dari Internet secara global, penghargaan terhadap hak asasi manusia, kebebasan berekspresi, privasi, perlindungan atas data-data pribadi, dan memajukan keragaman bahasa dan kebudayaan. Sebagai tambahan atas prinsip-prinsip tersebut Komisi Eropa tersebut menambahkan prinsip-prinsip yang harus ada, antara lain adalah Kepemimpinan dari sector swasta dalam menjalankan operasi Internet sehari-hari perlu tetap dipelihara tetapi badan-badan swasta yang bertanggungjawab untuk mengkoordinasikan sumber daya Internet Global perlu diakui oleh komunitas internasional untuk tindakan-tindakan mereka. Peranan pemerintah harus difokuskan terutama pada hal-hal fundamental menyangkut kebijakan public dan tidak terlibat dalam pengoperasian sehari-hari.