Catatan:
Catatan berikut merupakan hak ingkar yang saya majukan tanggal 3 Februari 2017 dalam Perkara No. 5/PUU-XV/2017 di Mahkamah Konstitusi. Salah satu bagian dari hak ingkar tersebut saya mempersoalkan bahwa Yang Mulia Hakim Konstitusi Dr. Wahiduddin Adams tidak memenuhi syarat untuk menjadi hakim konstitusi menurut Pasal 15 ayat (2) huruf b UU Mahkamah Konstitusi. Menjadi soal apakah yang dimaksud dengan "dasar sarjana berlatar belakang pendidikan tinggi hukum"?
Perihal: Permohonan untuk
mendapat putusan Sela mengenai keberatan atas keberadaan Yang Mulia Hakim
Konstitusi Dr. Wahiduddin Adams, SH., MA. dalam Perkara No. 5/PUU-XV/2017
Yang Mulia Ketua Mahkamah
Konstitusi,
Sehubungan dengan Pekara
Pengujian UU Jaminan Produk Halal Terhadap UUD 1945 No. 5/PUU-XV/2017 dengan ini Pemohon
menyampaikan keberatan atas keberadaan dari Yang Mulia Hakim Konstitusi Dr.
Wahidududdin Adams, SH., MA dalam Majelis yang akan memeriksa dan memutus
perkara ini dan memohon agar Yang Mulia Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams
tersebut tidak diikutsertakan dalam memeriksa dan memutus perkara ini.
Keberatan Pemohon ada dua hal:
1. Pemohon meragukan sikap adil
dan tidak memihak dari Yang Mulia Hakim Konstitusi Dr. Wahiduddin Adams, SH.,
MA tersebut; dan
2. Pemohon menemukan bahwa Yang
Mulia Hakim Konstitusi Dr. Wahiduddin Adams, SH., MA sebenarnya tidak memenuhi
syarat untuk menjadi Hakim Konstitusi.
Adapun alasan Pemohon mengajukan
permohonan ini adalah sebagai berikut:
I. Aspek Prosedur
1. Bahwa UU Mahkamah Konstitusi memang
tidak menyediakan prosedur semacam ini. Pemohon berupaya mencari tahu mengenai
keberatan terhadap Hakim Konstitusi untuk memeriksa dan memutus perkara tidak
diatur dalam UU MK dan juga Peraturan Mahkamah Konstitusi. Pemohon juga tidak
menemukan adanya Putusan MK (preseden)
dalam perkara yang sudah diputus menyangkut persoalan semacam yang Pemohon majukan ini. Dalam lingkungan peradilan umum,
ada aturan bahwa seorang hakim tidak boleh menjadi anggota majelis jika
memiliki hubungan keluarga dan semenda sampai derajat ketiga dengan pihak yang
berperkara. Dalam lingkungan Mahkamah Konstitusi ketentuan semacam itu harusnya
ada. Tentu soalnya bukan hubungan keluarga tetapi dalam hal Hakim Konstitusi
yang bersangkutan mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung atau ada
hal-hal lain yang dikemukakan salah satu Pihak yang menurutnya akan
memberatkannya jika Hakim Konstitusi yang bersangkutan ikut sebagai anggota
Majelis dalam perkara yang bersangkutan. Misalnya, seperti Yang Mulia Hakim
Konstitusi Wahiduddin Adams ini, dulu sebelum jadi Hakim Konstitusi ikut
membidani UU Jaminan Produk Halal yang dalam perkara ini menjadi persoalan.
Tentu tidak fair jika Yang Mulia Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams tersebut
ikut menangani perkara ini. Maka salah satu Pihak yang berperkara dapat
mempersoalkannya dan memohon agar beliau tidak diikutsertakan sebagai anggota
majelis.
2. Bahwa tidak adanya pengaturan
semacam ini, dalam pemahaman Pemohon, bukan soal berwenang atau tidaknya
Mahkamah Konstitusi, tetapi soal kekosongan hukum. Dasar untuk proses semacam ini, dalam
pemahaman Pemohon, dapat diturunkan dari Pasal 27B mengenai kewajiban Hakim
Konstitusi, Jika Hakim konstitusi diwajibkan bersikap tidak memihak, lalu harus
ada prosedur bagi para pihak untuk mempersoalkan sikap memihak tersebut sebelum
perkara disidangkan. Tetapi UU MK bersikap diam, tentu sesuai hakekat Mahkamah
Konstitusi sebagai lembaga peradilan, dalam pemahaman Pemohon, Mahkamah
Konstitusi dapat melakukan penemuan hukum (rechtsvinding)
untuk mengisi kekosongan hukum tersebut
dengan menciptakan norma untuk menerima, memeriksa, dan memutus permohonan
seperti ini. Mahkamah Konstitusi juga
dapat mengimpor dari wilayah Hukum Islam terminology “ijtihad” yang diproduksi
dan diedarkan disana ke wilayah Hukum Konstitusi dalam memutus permohonan
seperti yang Pemohon majukan ini. Tugas Hakim, termasuk hakim konstitusi,
memang untuk menemukan hukum.
3. Bahwa lagi pula Pasal 10 UU No. 48
tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan:
(1) Pengadilan dilarang menolak
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan
dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa
dan mengadilinya.
………..
Pasal 10 itu berbicara tentang
perkara, sementara permohonan ini merupakan bagian dari perkara, maka Pasal 10
tersebut, dalam pemahaman Pemohon dapat berlaku dalam permohonan ini. Oleh karenanya Pemohon memohon agar Mahkamah
Konstitusi sudi mengabulkan permohonan bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai
wewenang untuk memeriksa dan memutus permohonan semacam ini.
II. Aspek Substantif
1. Soal Sikap Tidak Memihak
Bahwa Pasal 15 ayat (1) huruf b
UU Mahkamah Konstitusi menentukan bahwa syarat untuk menjadi Hakim Konstitusi
adalah “Adil”. Pasal 27B menentukan lebih jauh kewajiban Hakim Konstitusi:
Untuk
menjaga dan menegakkan integritas dan kepribadian yang tidak tercela, keadilan,
dan kenegarawanan:
a.
hakim konstitusi wajib:
………………..
5.
memperlakukan para pihak yang berperkara dengan adil, tidak diskriminatif, dan
tidak memihak; dan
6.
menjatuhkan putusan secara objektif didasarkan pada fakta dan hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan.
…………
Pemohon meragukan apakah Yang
Mulia Hakim Konstitusi Dr. Wahiduddin Adams tersebut dapat melakukan
kewajibannya sebagaimana disebut dalam Pasal 27B huruf a angka 5 dan 6.
Adapun alasan-alasannya adalah sebagai
berikut:
1. 1 Bahwa Yang Mulia Hakim
Konstitusi Dr. Wahiduddin Adams meniti karir awal di lingkungan Kementerian
Hukum dan HAM (dahulu Departemen Kehakiman c/q Badan Pembinaan Hukum Nasional)
sampai mencapai puncak karir sebagai Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan.
Sekitar 2 bulan sebelum beliau menjabat Hakim Konstitusi beliau meninggalkan
Jabatan yang sangat prestisius sebagai Direktur Jenderal Perundang-undangan
tersebut. Sejak tahun 2002 beliau sudah melaksanakan tugas dalam jabatan sebagai
Plt. Direktur Harmonisasi peruundang-undangan. UU Jaminan Produk Halal disahkan
pada tanggal 25 September 2014, 8 bulan sesudah beliau meninggalkan jabatan
Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan. Hal ini berarti bahwa beliau
mempunyai keterlibatan langsung mulai dari tahap perancangan RUU sampai dengan
bagian-bagian terakhir dari pengesahan RUU. Dirjen Peraturan Perundang-undangan
adalah wakil pemerintah dalam pembahasan RUU di Dewan Perwakilan Rakyat.
1.2 Bahwa dalam Profil beliau
pada situs web Mahkamah Konstitusi tertulis:
“Keragu-raguan akan
independensinya, diakui Wahid juga disampaikan oleh Tim Ahli untuk Seleksi
Hakim Konstitusi di DPR. Menjawab hal tersebut, dirinya menegaskan persyaratan
itu sudah ditentukan oleh konstitusi, bagaimana menjadi hakim konstitusi
termasuk suasana kerja dan aturan kerja dan ia berkomitmen untuk mengikuti
aturan sebagai hakim konstitusi yang tentunya lebih banyak batasan yang mesti
ia perhatikan. “Kalau birokrasi karena relasi hubungan kerja itu banyak dan terbuka,
sementara di sini fokus dan yudikatif. Ya, Pemohon harus membatasi diri. Kalau
di perundang-undangan ada kegiatan harmonisasi yang seluruh kementerian dan
lembaga tiap hari berhubungan, berinteraksi yang setiap saat dan sangat cair
sekali, sementara di sini fokus pada yudikatifnya dan komunikasi dengan
eksternal sudah dibatasi oleh konstitusi dan Undang-Undang MK sendiri,”
tuturnya.”[1]
Apa
yang disampaikan beliau dalam profil tersebut tidak mencerminkan apa yang
menjadi soal. Persoalan independensi bukanlah soal apakah hubungan dengan
orang-orang lain bersifat cair atau tidak. Pemohon tidak meragukan kemampuan
beliau memisahkan urusan pertemanan dengan urusan “memutus” (teman adalah
teman, tugas adalah tugas). Yang Pemohon ragukan justru adalah pemikiran atau mindset konstitusional beliau. Mengenai
hal ini, beliau menyatakan dalam profilnya:
Kendati demikian, antara
pekerjaannya sebagai Dirjen Peraturan Perundang-Undangan dengan Hakim
Konstitusi menurut Wahid ada persamaan.“Tolak ukurnya tetap sama, terhadap
Undang-Undang Dasar 1945. Saat pembentukan kita berusaha agar tidak
bertentangan (dengan UUD 1945). Kalau di sini ya menguji undang-undang yang
telah dibuat pemerintah dan DPR terhadap UUD 1945,” jelasnya.[2]
Tidak jauh rentang waktu antara
beliau Dirjen dan Hakim Konstitusi. Hanya berselang 2 bulan. Beliau menyatakan “Saat pembentukan kita berusaha agar tidak
bertentangan (dengan UUD 1945).” Ini artinya pada waktu pembentukan UU
beliau sudah mempunyai keyakinan tertentu bahwa RUU yang masih dalam proses
pembentukan sudah sesuai dengan UUD 1945. Lalu bagaimana mungkin beliau setelah
menjadi Hakim Konstitusi langsung tiba-tiba dapat mengubah pendiriannya bahwa
UU yang menjadi persoalan bertentangan dengan UUD 1945.
1.3 Bahwa Pemohon berpendirian
seseorang seharusnya tidak menjadi hakim terhadap UU yang konstitusionalitasnya
dipersoalkan , dimana dia terlibat secara langsung dalam proses pembentukannya.
Bahwa dari awal beliau terlibat dalam perancangan UU Jaminan Produk Hal, beliau
menyatakan dalam sidang pendahuluan dalam perkara No. 5/PUU-XV/2017 ini:
“Nah, sebetulnya di sana.
Sebetulnya tidak hanya khusus untuk yang jalankan agamanya ini, ya, kebetulan kita capek-capek di rumah
menyiapkannya, ya.”[3] (Cetak miring dari Pemohon
sebagai penekanan).
Pada bagian lain dari Risalah
beliau menyatakan:
Nah, kemudian ya disebut tadi syariat Islam
sebagaimana yang diatur dalam undang-undang ini sebetulnya. Jadi, ya ada
batasnya supaya tidak semua orang bisa menafsirkan. Tafsirnya ya di
undang-undang ini, undang-undang inilah yang memberikan jaminan, pembatasan,
serta koridor-koridornya.[4]
Boleh beliau berkelit ini begini
itu begitu, tetapi intinya tetap. Jika RUU yang bersangkutan kandungannya tidak
konstitusional maka beliau pasti tidak akan setuju RUU yang bersangkutan
dimajukan dalam pembahasan di DPR. Lagi pula beliau sudah menyatakan bahwa UU
Jaminan Produk Halal adalah tafsir atas syariat Islam. Walau terasa
menggelikan, bagaimana UU dapat menjadi tafsir atas syariat, tetapi hal ini
sudah merupakan indikasi kuat bahwa beliau tidak akan membiarkan UU Jaminan
Produk Halal diusik karena UU ini merupakan tafsir atas syariat Islam.
1.4. Bahwa beliau sudah capek-capek menyiapkannya di rumah,
pada awal, lalu di penghujung karier beliau selaku Dirjen Perundang-undangan, beliau
terlibat langsung dalam pembahasan dengan DPR selaku wakil pemerintah. Pemohon
benar-benar meragukan apakah beliau akan menyatakan bertentangan dengan UUD
1945 apa yang beliau sudah capek-capek
menyiapkannya di rumah, apa yang sudah berupaya dibuatnya tidak
bertentangan dengan UUD 1945, dan apa yang diperjuangkannya dengan
sungguh-sungguh, walaupun beliau tidak sampai ikut dalam proses pensahan RUU di
DPR tanggal 25 September 2014. Jadi beliau terlibat langsung dari A – Y (tidak
sampai Z).
1.5 Bahwa beliau juga tidak hanya
berkiprah dalam blantika perundang-undangan Indonesia. Beliau juga aktif di
Majelis Ulama Indonesia, sebuah Majelis yang sampai dengan saat ini
bertanggungjawab untuk menjalankan urusan sertifikasi halal. Dalam profil beliau di situs web Mahkamah
Konstitusi disebutkan bahwa:
“Apalagi, seorang Wahid yang
terkesan pendiam ternyata juga gemar berorganisasi. Ia sempat aktif sebagai
Ketua Dewan Perwakilan Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) selama
tiga tahun. Selain itu, ia sempat menjadi anggota Dewan Penasihat Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Pusat, Ketua Bidang Wakaf dan Pertanahan Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (PBNU), Wakil Sekretaris Dewan Pengawas Badan Amil Zakat
Nasional (BAZNAS), dan sejumlah organisasi lainnya.”[5]
Dalam profil beliau dalam situs
web Badan Wakaf Indonesia ada tertulis:
Dalam organisasi, ia pernah
menjabat Ketua Dewan Pengurus Pusat KNPI periode 1981 – 1984. Ia juga aktif
sebagai anggota Majelis Pemuda Indonesia pada tahun 1987 – 1990. Di kampus UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, selain aktif mengajar ia juga menjabat sebagai
Ketua Umum Ikatan Alumni UIN Fakultas Syariah dan Ketua Departemen Pembinaan
SDM IKALUIN pusat. Saat ini, ia menjabat Ketua Lembaga Wakaf dan Pertanahan
Nahdlatul Ulama (LWP-NU) periode 2004 – 2009, Wakil Ketua Komisi Hukum dan
Perundang-undangan MUI Pusat (2004 – 2009) dan juga Wakil Sekretaris Dewan
Pertimbangan BAZNAS (2004 – 2009). Ia juga terlibat aktif dalam penyusunan
naskah akademik, perancangan dan menjadi Tim Asistensi Pemerintah antara lain;
dalam RUU peradilan agama, RUU Zakat, RUU Wakaf, RUU Perbankan Syariah, dan
berbagai kegiatan penelitian lainnya.[6]
Perhatikan,
beliau adalah Wakil Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan MUI Pusat (2004 –
2009). Pada waktu itulah RUU Jaminan Produk Halal ini digodok dan dimajukan ke
DPR. Jadi keterlibatan beliau tidak hanya dari sudut pemerintah tetapi juga
dari MUI yang memang bertanggungjawab dalam urusan Halal atau Haram. Sehingga
hampir mustahil beliau akan dapat bersikap tidak memihak dalam perkara ini.
1.6 Bahwa tentu Yang Mulia Hakim Konstitusi Dr.
Wahiduddin Adams tersebut hanya satu dari antara 9 Hakim Konstitusi. Kalaupun
beliau tidak setuju dengan hakim yang lain, yang mungkin membenarkan
dalil-dalil Pemohon, beliau dapat membuat
dissenting opinion. Itu benar. Namun persoalannya bukanlah dapat membuat
dissenting opinion atau tidak, tetapi dari awal UU MK sudah meminta bahwa Hakim
Konstitusi mempunyai kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27B yang sudah
Pemohon kutip di atas. Dengan keterlibatan beliau dari A – Y dalam pembentukan
UU Jaminan Produk Halal, beliau tidak akan dapat menjalankan kewajiban dalam
Pasal 27B UU Mahkamah Konstitusi tersebut terutama kewajiban untuk menjatuhkan
putusan secara objektif didasarkan pada fakta dan hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan.
1.7 Bahwa
berdasarkan hal-hal tersebut di atas Pemohon memohon agar Yang Mulia Hakim
Konstitusi Wahiduddin Adams tersebut tidak dilibatkan baik secara langsung atau
tidak langsung dalam setiap proses perkara ini lagi.
2. Dr. Wahiduddin Adams, SH., MA
tidak Memenuhi Syarat untuk jadi Hakim Konstitusi
2.1 Bahwa Pemohon membaca dalam
situs web Mahkamah Konstitusi profil beliau itu dan setelah membaca selintas
paragraf yang akan segera dikutip, Pemohon terkejut bahwa ternyata beliau tidak memenuhi syarat untuk menjadi
Hakim Konstitusi. Paragraf yang dimaksud
berbunyi:
“Kemudian ia mengenyam ilmu Peradilan Islam, Fakultas Syariah di
Institut Agama Islam Negeri Jakarta. Bak haus akan ilmu, Wahid tidak menghentikan
pendidikannya sampai di situ. Ia melanjutkan sekolahnya sampai meraih gelar
doktor di universitas yang sama. Wahid bahkan memparipurnakan pendidikannya
dengan mengambil program S1 di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah demi
meraih gelar SH (sarjana hukum) tahun 2005 setelah ia meraih gelar doktor.”[7]
Pemohon termenung, kok beliau itu bisa lolos seleksi jadi hakim
konstitusi. Lalu, untuk memastikan, Pemohon me(m)-browse lebih jauh sampai ke
dasar profil beliau dan tertulis, dalam bagian yang relevan, sebagai berikut:
Pendidikan:
- S-1 Peradilan Islam, Fakultas Syariah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta (1979)
- De Postdoctorale Cursus Wetgevingsleer di Leiden, Belanda (1987)
- S-2 Hukum Islam UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (1991)
- S-3 Hukum Islam UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (2002)
- S-1 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah, Jakarta (2005)
Karier:
- Koordinator Urusan Pembinaan Administrasi (Eselon IIB) pada Kantor Wilayah Departemen Kehakiman Sulawesi Tenggara (2001-2002)
- Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan pada Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan, Departemen Hukum dan HAM RI (2002-2004)
- Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan (Eselon IIA) pada Dirjen PPU, Departemen Hukum dan HAM RI (2004)
- Direktur Fasilitasi Perencanaan Peraturan Daerah (Eselon IIA) pada Dirjen PPU, Departemen Hukum dan HAM RI (2004-2010)
- Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan (Eselon IA) pada Kementerian Hukum dan HAM RI (2010-2014)
- Dosen Mata Kuliah Ilmu Perundang-Undangan pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta (2002-sekarang)
2.2 Bahwa untuk menjadi seorang Hakim Konstitusi,
Pasal 15 ayat (2) huruf b UU MK menentukan:
(2)
Untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi, selain harus memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seorang calon hakim konstitusi harus
memenuhi syarat:
a.
……
b.
berijazah doktor dan magister dengan dasar sarjana yang berlatar belakang
pendidikan tinggi hukum;
Apakah Yang Mulia Hakim
Konstitusi Dr. Wahihuddin Adams tersebut mempunyai dasar sarjana yang berlatar belakang
pendidikan tinggi hukum?
2.3 Bahwa dari Pasal 15 ayat (2)
huruf b tersebut, Pemohon mendapatkan pemahaman bahwa “tidak setiap Sarjana
Hukum yang bergelar doctor dan magister memenuhi syarat untuk menjadi Hakim
Konstitusi.” Harus dilihat dulu, kapan dan dalam rangka apa sarjana hukumnya
didapatkan, apakah langsung setelah tamat SMA, yang berarti “dasar sarjana yang
berlatarbelakang pendidikan tinggi hukum” atau sesudah magister atau doctor. Banyak
orang mempunyai dua atau lebih gelar akademik yang berbeda tetapi sederajat pada
waktu bersamaan atau berdekatan. Agar dapat dikatakan “dasar sarjana berlatar
pendidikan tinggi hukum”, ijazah Sarjana Hukum harus menjadi “tiket” untuk
mendapatkan gelar magister dan doktor. Jika sesudah magister atau doctor
seseorang meraih gelar sarjana hukum maka yang bersangkutan tidak memenuhi
syarat untuk disebut “…. dengan dasar
sarjana yang berlatar pendidikan tinggi hukum” dan dengan demikian tidak
memenuhi syarat untuk menjadi Hakim
Konstitusi, sesuai Pasal 15 ayat (2) b UU Mahkamah Konstitusi tersebut.
2.3 Bahwa dari profil yang
tersedia dalam situs web Mahkamah Konstitusi, dalam pemahaman Pemohon, Dr
Wahiduddin Adams, dasar sarjananya bukan pendidikan tinggi hukum tetapi Ilmu
Peradilan Islam dari Fakultas Syariah di Institut Agama Islam Negeri Jakarta.
Ilmu Peradilan Islam, dalam pemahaman Pemohon, bukanlah atau tidak sama dengan
ilmu hukum. Fakultas Syariah tidak sama dengan Fakultas Hukum dan Pendidikan
Tinggi Ilmu Peradilan Islam tidak sama dengan Pendidikan Tinggi Hukum. Hal ini
dapat dikonfirmasi dari gelar akademik. Jika dia dari pendidikan tinggi hukum
maka gelarnya adalah Sarjana Hukum (SH). Kalau dari IAIN, Pemohon tidak tahu
pasti tetapi, kalau tidak salah, adalah
S.Ag. Lagi pula, jika Ilmu Peradilan Islam sama dengan Ilmu Hukum atau jika
Fakultas Syariah sama dengan Fakultas Hukum untuk apa beliau ikut kuliah
hukum lagi di Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah.
2.4 Bahwa sebagaimana profil Dr.
Wahiduddin Adams tersebut berbunyi lebih jauh, Pendidikan tinggi hukumnya
berjalan bersamaan dengan upaya beliau meraih gelar doktor dan tujuan
beliau memasuki pendidikan tinggi hukum
adalah untuk “memparipurnakan” pendidikannya. Jadi, pendidikan tinggi hukumnya
bukan “dasar sarjana” dalam
pengertian dari Pasal 15 ayat (2) huruf b tersebut tetapi “yang memparipurnakan pendidikannya”. Sementara secara tegas UU
tersebut meminta “dasar sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi
hukum”. Artinya bahwa Dr. Wahiduddin Adams tersebut mendapatkan gelar magister
dan doctor tidak terlebih dahulu menyelesaikan dasar sarjana berlatar belakang
pendidikan tinggi hukum. Jadi ini terbalik, doktor dulu baru sarjana hukum dan
karenanya tidak memenuhi persyaratan Undang-undang untuk menjadi Hakim
Konstitusi.
2.5 Bahwa jika Pemohon
memperhatikan dari riwayat pendidikan hukum beliau, dimana beliau lulus doktor
tahun 2002 dan sarjana hukum tahun 2005, ini dapat diartikan bahwa sambil
beliau mengikuti pendidikan doktor/atau sedang dalam proses menyusun
dissertasi beliau juga mengikuti
pendidikan tinggi hukum. Tidak disebutkan kapan beliau masuk di Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah. Logisnya, beliau masuk di FHUM sebelum tahun 2002. Pemohon
tidak tahu apakah sudah ada yang dapat menjadi sarjana hukum kurang dari tiga
tahun. Pemohon merasakan bahwa menyelesaikan pendidikan tinggi hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Indonesia sangat sulit padahal waktu itu Pemohon
hanya kuliah, lalu bagaimana beliau itu mempunyai kecakapan hukum yang mumpuni
dengan pendidikan tinggi hukumnya dimana pada saat yang bersamaan beliau
menempuh program pendidikan doktoral dalam bidang ilmu lain. Beliau juga adalah
seorang Pegawai Negeri Sipil dengan jabatan yang tinggi (Pejabat eselon IIA),
Direktur harmonisasi dan Direktur Fasilitasi pada saat menempuh pendidikan
tinggi hukumnya. Pada tahun 2001 beliau ada di Sulawesi Tenggara. Disamping itu
beliau juga aktif dalam organisasi seperti Majelis Ulama Indonesia dan Majelis
Wakaf, Nahdlatul Ulama, dan juga dosen di almamaternya Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah sejak tahun 2002. Dengan sedemikian banyaknya aktivitas
beliau, lalu, kapan beliau itu kuliah hukum? Kuliah hukum Strata 1 tidak sama
dengan kuliah Strata 2 dan 3 hukum. Kuliah hukum Strata 1 lebih intens dalam
hal menghadiri kuliah tatap muka, absennya harus benar, membuat
makalah-makaalah dan ikut ujian mid semester serta akhir semester. Dalam kasus
Dr. Wahiduddin Adams tersebut, yang super sibuk, apakah itu tidak berarti bahwa
beliau membeli gelar Sarjana Hukum?
2.6 Bahwa memang jika
diperhatikan penyebutan nama beliau dalam profil di situs web Mahkamah
Konstitusi terlihat sepertinya tidak bermasalah. Tertulis disana Dr. Wahiduddin
Adams, SH., MA. Pemohon mencoba menjelajah di Internet (surfing the Net) gelar yang beliau sandang dari “dasar sarjana
berlatar belakang pendidikan tinggi ilmu peradilan Islam”-nya tidak pernah disebutkan.
Pemohon tidak memahami apakah beliau merasa malu menyandang gelar S-1 dari IAIN
tersebut dan merasa gelar beliau itu tidak pantas dipajang atau dipersandingkan
dengan gelar-gelar akademik beliau yang lain atau atas alasan yang lain. JIka
melihat nama tersebut dengan dihiasi gelar yang indah pastilah orang berpikir
bahwa gelar SH beliau sudah memenuhi syarat untuk menjadi Hakim Konstitusi.
Namun sebagaimana sudah Pemohon tunjukkan di atas, tidak demikian halnya.
2.7 Bahwa beliau tidak mempunyai
dasar sarjana pendidikan tinggi hukum dapat dilihat dari pandangan beliau
terhadap Permohonan Pemohon dalam sidang Pendahuluan tanggal 23 Januari 2014
yang menurut Pemohon sama sekali tidak nyambung, jauh panggang dari api.
Pemohon memilih untuk tidak mengemukakannya dalam permohonan ini, dan sebaiknya
dicermati dari Risalah Sidang Pendahuluan tersebut. Intinya adalah bahwa
persyaratan hukum sebagaimana diatur dalam UU haruslah dipenuhi. Mahkamah Konstitusi
tidak berada dalam posisi untuk menolak menjalankan undang-undang.
2.8 Bahwa lagi pula adalah
sesuatu hal yang aneh jika 7 orang Yang Mulia Hakim Konstitusi (pasca
pengunduran diri Sdr. Dr. Patrialis Akbar, SH.) yang lain harus duduk bersama
dalam suatu persidangan sementara ada seorang Hakim Konstitusi yang tidak
memenuhi syarat yang ditentukan dalam UU. Dengan adanya 8 Hakim Konstitusi juga
sudah berlebih karena Mahkamah Konstitusi tidak dapat bersidang dengan 8 orang
Hakim (jumlah harus ganjil). Dalam keadaan luar biasa, sesuai UU Mahkamah
Konstitusi, MK bersidang pleno hanya dengan 7 orang hakim konstitusi.
III. PETITUM
Sesuai
dengan dalil-dalil yang disebutkan di atas dan dengan mengingat bahwa Mahkamah Konstitusi sudah
membatalkan UU No. 4 tahun 2014, dengan ini Pemohon memohon
kepada Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan Permohonan Pemohon untuk
keseluruhannya dan memutuskan dan menyatakan:
1.
Menyatakan Mahkamah Konstitusi berwenang
memeriksa dan memutus permohonan ini;
2.
Mengabulkan Permohonan Pemohon untuk
keseluruhannya;
3.
Menyatakan bahwa keraguan Pemohon akan sikap adil dan tidak memihak dan
keraguan akan dapat tidaknya Yang Mulia
Hakim Konstitusi Dr. Wahiduddin Adams, SH., MA menjatuhkan putusan
secara objektif didasarkan pada fakta dan hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan dalam memutus perkara ini sangat beralasan;
4.
Menyatakan bahwa untuk perkara PUU No.
5/PUU-XV/2017, Yang Mulia Hakim Konstitusi Dr. Wahiduddin Adams, SH., MA tidak
dilibatkan lagi dalam setiap proses pemeriksaan dan berlaku surut sampai
setelah berakhirnya sidang pendahuluan pertama tanggal 23 Januari 2017 dan
dengan ini menutup segala akses menyangkut perkara No. 5/PUU-XV/2017 di
Mahkamah Konstitusi untuk Yang Mulia Hakim Konstitusi Dr. Wahiduddin Adams,
SH., MA tersebut;
5.
Menyatakan Yang Mulia Hakim Konstitusi Dr. Wahiduddin Adams, SH., MA tidak
memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) huruf b Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi untuk menjadi Hakim Konstitusi dan, oleh karenanya, Dr.
Wahiduddin Adams, SH., MA tersebut harus segera meninggalkan Mahkamah
Konstitusi untuk kembali mengajar Ilmu Perundang-undangan di almamaternya dan
tidak pernah lagi kembali ke Mahkamah Konstitusi; dan
6.
Menyatakan bahwa proses hukum pasca putusan tentang tidak memenuhi syaratnya
Yang Mulia Hakim Konstitusi Dr. Wahiduddin Adams, SH., MA sebagai Hakim
Konstitusi akan diproses sesuai mekanisme yang berlaku, termasuk tetapi tidak
terbatas pada proses pidana, dimana perlu.
Demikianlah
Permohonan ini disampaikan kepada Yang Mulia Ketua Mahkamah Konstitusi untuk
diproses dan mendapatkan hasil yang diinginkan sebagaimana dikemukakan di atas.
Atas perhatian dan proses hukum yang adil di Mahkamah Konstitusi dalam perkara
ini, Pemohon menghaturkan terima kasih tak berhingga.
Jakarta,
Februari 2017
Pemohon
Paustinus
Siburian, SH. MH.
[2]
Ibid.
[3] Lihat RISALAH
SIDANG PERKARA NOMOR 5/PUU-XV/2017, 23 Januari 2017, halaman 14.
[4]
Ibid, Risalah halaman 15. Terlepas dari soal keakuratan mengenai tafsir
syariat, patau dicatat tidak ada satu ketentuanpun dalam UUD 1945 dan UU yang
relevan yang member wewenang kepada pembuat UU untuk menafsirkan syariat Islam,
Jika sekiranyapun dipaksakan ada, akan aneh mengingat Yth Anggota-anggota Dewan
Perwakilan Rakyat banyak non muslim, bagaimana mereka dapat menyusun tafsir
atas syariat. Juga UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan tidak ada menyebutkan tafsir atas syariat Islam sebagai
materi muatan undang-undang.
[5]
Profil Dr Wahiduddin Adams, SH., MA di situs web MK http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.ProfilHakim&id=671&menu=3.
Dikunjungi terakhir pada 29 Januari 2017.
[6]
Lihat Profil Dr Wahiduddin Adams dalam http://bwi.or.id/index.php/en/component/content/article/44drwahiduddin-adams-sh-ma
dikunjungi terakhir pada 29 Januari
2017.
[7]
Prodil di MK.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar