Cukup
menarik perhatian saya perkara kode etik yang kini ditangani oleh Mahkamah
Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat (MKD). Perkara kode etik ini dilaporkan oleh
Menteri energy dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said. Ketua DPR Setya Novanto
dilaporkan karena ada dugaan melakukan pencatutan nama Presiden dan Wakil
Presiden dalam meminta saham PT. Freeport Indonesia.(FI) Menteri ESDM sendiri
sudah menegaskan sewaktu persidangan di MKD bahwa dirinya tidak pernah membuat
pernyataan bahwa SN mencatut nama Presiden dan Wapres. Demikian juga Maroef Syamsudin
Presiden Direktur FI tidak menyebutkan bahwa SN ada mencatut nama Presiden dan
Wapres dalam meminta saham FI. Langkah Presiden Direktur FI untu melarang
penyerahan bukti rekaman asli kepada MKD sudah merupakan pertanda bahwa laporan
Menteri ESDM tidak dapat dipertanggungjawabkan. SN sendiri sudah diperiksa
dalam sidang tertutup dan menyatakan rekaman tersebut tidak sah dan tidak
bersedia menanggapi mengenai isi rekaman. MENKO POLHUKHAM Luhut Binsar
Panjaitan juga diperiksa dalam perkara ini karena namanya ada disebut sampai 66
kali dalam rekaman yang menurut SN tidak sah. Satu saksi kunci yaitu Reza
Khalid yang ikut dalam pertemuan yang direkam itu sudah dipanggl dua kali
tetapi tidak hadir dalam persidangan MKD. Saya tidak melihat ada sesuatu yang
berharga untuk disampaikan oleh Reza Chalid mengingat Presiden Direktur FI
melarang rekaman asli diserahkan ke MKD dan SN sudah menyatakan rekaman tidak
sah dan tidak menanggapi apapun soal isi rekaman.
Keputusan
Fiktif Negatif MKD
Dalam
hukum administrasi Negara ada dikenal keputusan fiktif negative. Keputusan
fiktif negative berarti keputusan yang tidak pernah dibuat tetapi harus
dianggap dibuat (fiktif) yang isinya berupa
penolakan (negative). Misalnya, seseorang mengajukan permohonan untuk
mendapatkan Izin mendirikan bangunan. Jika untuk jangka waktu tertentu, yang
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang relevan atau dalam jangka
waktu 90 hari jika tidak ditentukan waktunya, tidak ada keputusan, apakah menolak atau
memberikan, maka pejabat yang berwenang
menangani soal IMB dianggap sudah mengeluarkan keputusan yang berisi penolakan untuk
memberikan izin.
Dalam
konteks perkara yang sekarang bergulir di MKD dimana SN diduga melakukan
pelanggaran berat yang dapat berujung pada pemberhentian. Banyak suara beredar
yang menuntut pemberhentian SN karena melakukan pelanggaran berat. Apakah benar
SN sudah melakukan pelanggaran berat atau apakah ada dugaan bahwa SN melakukan
pelanggaran berat. Dari semula MKD sudah
membuat putusan fiktif negative bahwa SN tidak melakukan pelanggaran berat atau
bahwa dugaan pelanggaran Berat yang dilakukan SN tidak ada. Dasar untuk membuat kesimpulan ini dapat
ditarik dari ketentuan dalam UU No. 17 tahun 2014 jo peraturan DPR No. 2 tahun 2015.
Pasal 148 dan 149 UU No. 17 tahun
2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT,
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
DAERAH berbunyi
Pasal 148
(1)
Dalam hal Mahkamah Kehormatan Dewan menangani kasus pelanggaran kode etik yang
bersifat berat dan berdampak pada sanksi pemberhentian, Mahkamah Kehormatan
Dewan harus membentuk panel sidang pelanggaran kode etik anggota DPR.
(2) Panel sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri atas 3 (tiga) orang anggota Mahkamah Kehormatan Dewan dan
4 (empat) orang dari unsur masyarakat.
(3) Putusan panel sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disampaikan kepada rapat paripurna untuk mendapat persetujuan terhadap
pemberhentian tetap anggota DPR.
Pasal 149
Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan Mahkamah Kehormatan Dewan, tata
cara pengenaan sanksi, tata cara pembentukan panel, dan tata cara sidang
pelanggaran kode etik DPR diatur dalam peraturan DPR.
Ketentuan lebih lanjut dalam Pasal
148 dan 149 UU No. 17 tahun 2014 diatur dalam Pasal 39-54 PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG TATA
BERACARA MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
Pasal 39 Peraturan DPR no 2 tahun
2015 berbunyi:
(1)
Dalam hal MKD menangani kasus pelanggaran Kode Etik yang bersifat berat dan
berdampak pada sanksi pemberhentian, MKD harus membentuk Panel yang bersifat ad
hoc.
(2)
Putusan Panel disampaikan kepada MKD untuk dilaporkan dalam rapat paripurna DPR
untuk mendapat persetujuan terhadap pemberhentian tetap anggota DPR.
Dari
ketentuan-ketentuan tersebut dapat dilihat bahwa jika perkara SN adalah
pelanggaran Kode Etik yang bersifat berat dan berdampak pada sanksi
pemberhentian maka MKD seharusnya membentuk Panel untuk menangani perkara itu. Baik
Pasal 148 ayat (1) UU No 1 tahun 2014 maupun Pasal 39 ayat (1) Peraturan DPR No
2 tahun 2015 menggunakan kata “MKD harus….” Hal ini berarti suatu kewajiban
yang tidak dapat dilanggar. Pada kenyataannya kita melihat MKD sama sekali
tidak membentuk Panel. MKD bersidang dengan pimpinan merangkap anggota yang
jumlahnya 17 orang. Hal ini berarti bahwa MKD sudah membuat putusan yang
bersifat fiktif negative yang isinya SN tidak melakukan pelanggaran Kode Etik
berat dan berdampak sanksi pemberhentian. MKD tidak melakukan pelanggaran terhadap
Pasal 148 UU No 17 tahun 2014 jo Pasal 39 PerDPR No 2 tahun 2015 tersebut
dengan tidak membentuk Panel. MKD hanya membuat keputusan yang bersifat fiktif
negative bahwa MKD memutuskan, dengan tidak membuat keputusan, bahwa SN tidak melakukan pelanggaran Kode Etik
berat dan berdampak pada sanksi pemberhentian.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar