Saya membaca-baca soal standar dalam perdagangan.
Terdapat dua undang-undang yang berlaku yang mengatur soal standar, yatu UU No.7 tahun 2014 tentang Perdagangan dan UU No. 20 tahun 2014 tentangStandaradisasi dan Penlaian Kesesuaian. Dalam kedua UU tersebut standar
didefenisikan sebagai “persyaratan
teknis atau sesuatu yang dibakukan, termasuk tata cara dan metode yang disusun
berdasarkan konsensus semua pihak/Pemerintah/ keputusan internasional yang
terkait dengan memperhatikan syarat keselamatan, keamanan, kesehatan,
lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengalaman,
serta perkembangan masa kini dan masa depan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya”.
(Lihat Pasal 1 butir 8 UU No. 7 tahun 2014 dan Pasal 1 butr 3 UU No. 20 tahun
2014).
Dari
pengertian standar tersebut, terdapat beberapa unsure yang diperhatikan
menyangkut standar:
1. Persyaratan teknis atau sesuatu yang
dibakukan termasuk tata cara dan metode;
2. Yang disusun berdasarkan consensus semua
pihak/Pemerintah/ keputusan internasional;
3. yang terkait dengan memperhatikan syarat
keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, pengalaman, serta perkembangan masa kini dan masa
depan; dan
4. untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya
Yang menarik
perhatan saya adalah butir 1 yaitu bahwa standar itu adalah persyaratan teknis
atau sesuatu yang dibakukan termasuk tata cara dan metode. Saya ingin mengambil
sekedar contoh mengenai perdagangan barang dalam UU No. 7 tahun 2014 tersebut. Istilah
persyaratan teknis digunakan dalam Pasal 57 UU No 7 tahun 2014 untuk merujuk sesuatu
yang lain selain standar. Pasal 57 berbunyi:
(1) Barang
yang diperdagangkan di dalam negeri harus memenuhi:
a. SNI yang
telah diberlakukan secara wajib; atau
b.
persyaratan teknis yang telah diberlakukan secara wajib.
Untuk sekedar memberi pemahaman,
Standar Nasional Indonesia (SNI) adalah
standar yang ditetapkan oleh BSN yang berlaku di wilayah Negara Republik
Indonesia (Pasal 1 butir 7 UU No. 20 tahun 2014. Catatan: Pasal 1 butir 10 UU
No 7 tahun 2014 menyatakan “. Standar Nasional Indonesia yang selanjutnya
disingkat SNI adalah Standar yang ditetapkan oleh lembaga yang menyelenggarakan
pengembangan dan pembinaan di bidang Standardisasi”).
Dari
ketentuan Pasal 57 tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa selain standar, yang
adalah persyaratan teknis, ada persyaratan teknis yang lain yang berlaku agar
barang dapat diperdagangkan dalam negeri. Ini berarti bahwa persyaratan teknis
dapat dimuat dalam standar atau dalam bentuk atau instrument lain selain
standar. Tidak jelas siapa yang
menentukan dan dalam bentuk apa persyaratan teknis selain standar ini. Baik UU
No. 7 tahun 2014 maupun UU No. 20 tahun 2014 tidak memberikan pemahaman
mengenai apa persyarataan teknis selain yang dimuat dalam standar.
Pembedaan
antara SNI dengan persyaratan teknis ini membawa konsekwensi mengenai
persetujuannya. Bagi barang yang sudah ada SNI yang diberlakukan secara wajib
maka barang tersebut wajib dibubuhi tanda SNI sedangkan untuk yang sudah ada
persyaratan teknis yang dberlakukan secara wajib diberikan tanda kesesuaian
atau sertifikat kesesuaian. (Lihat Pasal 57 ayat (5)). Sedangkan untuk barang
yang belum diberlakukan SNI secara wajib dapat dibubuhi tanda SNI atau tanda
kesesuaian sepanjang telah dibuktikan dengan sertifikat produk penggunaan tanda
SNI atau sertifikat kesesuaian (Pasal 57 ayat (6). Tampak ada yang hilang dari
Pasal 57 ayat (6) ini. Tanda SNI hanya untuk SNI sedangkan tanda kesesuaian
adalah untuk persyaratan teknis. Digunakannya tanda kesesuaian dalam Pasal 57
ayat (6) seolah-olah ada kemungkinan untuk barang-barang yang sudah ada SNI
dapat diberikan tanda kesesuaian tanpa menggunakan tanda SNI. Saya memperhatikan
harusnya terdapat juga “..atau belum diberlakukan persyaratan teknis secara
wajib……” dalam Pasal 57 ayat (6) UU No. 7 tahun 2014 tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar