Selasa, 14 Februari 2017

Hak Ingkar



Catatan:
Catatan berikut merupakan hak ingkar yang saya majukan tanggal 3 Februari 2017 dalam Perkara No. 5/PUU-XV/2017 di Mahkamah Konstitusi. Salah satu bagian dari hak ingkar tersebut saya mempersoalkan bahwa Yang Mulia Hakim Konstitusi Dr. Wahiduddin Adams tidak memenuhi syarat untuk menjadi hakim konstitusi menurut Pasal 15 ayat (2) huruf b UU Mahkamah Konstitusi. Menjadi soal apakah yang dimaksud dengan "dasar sarjana berlatar belakang pendidikan tinggi hukum"?


Perihal: Permohonan untuk mendapat putusan Sela mengenai keberatan atas keberadaan Yang Mulia Hakim Konstitusi Dr. Wahiduddin Adams, SH., MA. dalam Perkara No. 5/PUU-XV/2017

Yang Mulia Ketua Mahkamah Konstitusi,
Sehubungan dengan Pekara Pengujian UU Jaminan Produk Halal Terhadap UUD 1945  No. 5/PUU-XV/2017 dengan ini Pemohon menyampaikan keberatan atas keberadaan dari Yang Mulia Hakim Konstitusi Dr. Wahidududdin Adams, SH., MA dalam Majelis yang akan memeriksa dan memutus perkara ini dan memohon agar Yang Mulia Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams tersebut tidak diikutsertakan dalam memeriksa dan memutus perkara ini. Keberatan Pemohon ada dua hal:
1. Pemohon meragukan sikap adil dan tidak memihak dari Yang Mulia Hakim Konstitusi Dr. Wahiduddin Adams, SH., MA tersebut; dan
2. Pemohon menemukan bahwa Yang Mulia Hakim Konstitusi Dr. Wahiduddin Adams, SH., MA sebenarnya tidak memenuhi syarat untuk menjadi Hakim Konstitusi.
Adapun alasan Pemohon mengajukan permohonan ini adalah sebagai berikut:

I. Aspek Prosedur
1. Bahwa UU Mahkamah Konstitusi memang tidak menyediakan prosedur semacam ini. Pemohon berupaya mencari tahu mengenai keberatan terhadap Hakim Konstitusi untuk memeriksa dan memutus perkara tidak diatur dalam UU MK dan juga Peraturan Mahkamah Konstitusi. Pemohon juga tidak menemukan adanya Putusan MK (preseden) dalam perkara yang sudah diputus menyangkut persoalan semacam yang Pemohon  majukan ini. Dalam lingkungan peradilan umum, ada aturan bahwa seorang hakim tidak boleh menjadi anggota majelis jika memiliki hubungan keluarga dan semenda sampai derajat ketiga dengan pihak yang berperkara. Dalam lingkungan Mahkamah Konstitusi ketentuan semacam itu harusnya ada. Tentu soalnya bukan hubungan keluarga tetapi dalam hal Hakim Konstitusi yang bersangkutan mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung atau ada hal-hal lain yang dikemukakan salah satu Pihak yang menurutnya akan memberatkannya jika Hakim Konstitusi yang bersangkutan ikut sebagai anggota Majelis dalam perkara yang bersangkutan. Misalnya, seperti Yang Mulia Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams ini, dulu sebelum jadi Hakim Konstitusi ikut membidani UU Jaminan Produk Halal yang dalam perkara ini menjadi persoalan. Tentu tidak fair jika Yang Mulia Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams tersebut ikut menangani perkara ini. Maka salah satu Pihak yang berperkara dapat mempersoalkannya dan memohon agar beliau tidak diikutsertakan sebagai anggota majelis.
2. Bahwa tidak adanya pengaturan semacam ini, dalam pemahaman Pemohon, bukan soal berwenang atau tidaknya Mahkamah Konstitusi, tetapi soal kekosongan hukum.  Dasar untuk proses semacam ini, dalam pemahaman Pemohon, dapat diturunkan dari Pasal 27B mengenai kewajiban Hakim Konstitusi, Jika Hakim konstitusi diwajibkan bersikap tidak memihak, lalu harus ada prosedur bagi para pihak untuk mempersoalkan sikap memihak tersebut sebelum perkara disidangkan. Tetapi UU MK bersikap diam, tentu sesuai hakekat Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan, dalam pemahaman Pemohon, Mahkamah Konstitusi dapat melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) untuk  mengisi kekosongan hukum tersebut dengan menciptakan norma untuk menerima, memeriksa, dan memutus permohonan seperti ini.  Mahkamah Konstitusi juga dapat mengimpor dari wilayah Hukum Islam terminology “ijtihad” yang diproduksi dan diedarkan disana ke wilayah Hukum Konstitusi dalam memutus permohonan seperti yang Pemohon majukan ini. Tugas Hakim, termasuk hakim konstitusi, memang untuk menemukan hukum.
3. Bahwa lagi pula Pasal 10 UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan:

(1) Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
………..
Pasal 10 itu berbicara tentang perkara, sementara permohonan ini merupakan bagian dari perkara, maka Pasal 10 tersebut, dalam pemahaman Pemohon dapat berlaku dalam permohonan ini.  Oleh karenanya Pemohon memohon agar Mahkamah Konstitusi sudi mengabulkan permohonan bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai wewenang untuk memeriksa dan memutus permohonan semacam ini.

II. Aspek Substantif
1. Soal Sikap Tidak Memihak
Bahwa Pasal 15 ayat (1) huruf b UU Mahkamah Konstitusi menentukan bahwa syarat untuk menjadi Hakim Konstitusi adalah “Adil”. Pasal 27B menentukan lebih jauh kewajiban Hakim Konstitusi:
Untuk menjaga dan menegakkan integritas dan kepribadian yang tidak tercela, keadilan, dan kenegarawanan:
a. hakim konstitusi wajib:
………………..
5. memperlakukan para pihak yang berperkara dengan adil, tidak diskriminatif, dan tidak memihak; dan
6. menjatuhkan putusan secara objektif didasarkan pada fakta dan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
…………
Pemohon meragukan apakah Yang Mulia Hakim Konstitusi Dr. Wahiduddin Adams tersebut dapat melakukan kewajibannya sebagaimana disebut dalam Pasal 27B huruf a angka 5 dan 6.

Adapun alasan-alasannya adalah sebagai berikut:
1. 1 Bahwa Yang Mulia Hakim Konstitusi Dr. Wahiduddin Adams meniti karir awal di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM (dahulu Departemen Kehakiman c/q Badan Pembinaan Hukum Nasional) sampai mencapai puncak karir sebagai Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan. Sekitar 2 bulan sebelum beliau menjabat Hakim Konstitusi beliau meninggalkan Jabatan yang sangat prestisius sebagai Direktur Jenderal Perundang-undangan tersebut. Sejak tahun 2002 beliau sudah melaksanakan tugas dalam jabatan sebagai Plt. Direktur Harmonisasi peruundang-undangan. UU Jaminan Produk Halal disahkan pada tanggal 25 September 2014, 8 bulan sesudah beliau meninggalkan jabatan Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan. Hal ini berarti bahwa beliau mempunyai keterlibatan langsung mulai dari tahap perancangan RUU sampai dengan bagian-bagian terakhir dari pengesahan RUU. Dirjen Peraturan Perundang-undangan adalah wakil pemerintah dalam pembahasan RUU di Dewan Perwakilan Rakyat.
1.2 Bahwa dalam Profil beliau pada situs web Mahkamah Konstitusi tertulis:
“Keragu-raguan akan independensinya, diakui Wahid juga disampaikan oleh Tim Ahli untuk Seleksi Hakim Konstitusi di DPR. Menjawab hal tersebut, dirinya menegaskan persyaratan itu sudah ditentukan oleh konstitusi, bagaimana menjadi hakim konstitusi termasuk suasana kerja dan aturan kerja dan ia berkomitmen untuk mengikuti aturan sebagai hakim konstitusi yang tentunya lebih banyak batasan yang mesti ia perhatikan. “Kalau birokrasi karena relasi hubungan kerja itu banyak dan terbuka, sementara di sini fokus dan yudikatif. Ya, Pemohon harus membatasi diri. Kalau di perundang-undangan ada kegiatan harmonisasi yang seluruh kementerian dan lembaga tiap hari berhubungan, berinteraksi yang setiap saat dan sangat cair sekali, sementara di sini fokus pada yudikatifnya dan komunikasi dengan eksternal sudah dibatasi oleh konstitusi dan Undang-Undang MK sendiri,” tuturnya.”[1]

Apa yang disampaikan beliau dalam profil tersebut tidak mencerminkan apa yang menjadi soal. Persoalan independensi bukanlah soal apakah hubungan dengan orang-orang lain bersifat cair atau tidak. Pemohon tidak meragukan kemampuan beliau memisahkan urusan pertemanan dengan urusan “memutus” (teman adalah teman, tugas adalah tugas). Yang Pemohon ragukan justru adalah pemikiran atau mindset konstitusional beliau. Mengenai hal ini, beliau menyatakan dalam profilnya:
Kendati demikian, antara pekerjaannya sebagai Dirjen Peraturan Perundang-Undangan dengan Hakim Konstitusi menurut Wahid ada persamaan.“Tolak ukurnya tetap sama, terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Saat pembentukan kita berusaha agar tidak bertentangan (dengan UUD 1945). Kalau di sini ya menguji undang-undang yang telah dibuat pemerintah dan DPR terhadap UUD 1945,” jelasnya.[2]

Tidak jauh rentang waktu antara beliau Dirjen dan Hakim Konstitusi. Hanya berselang 2 bulan. Beliau menyatakan “Saat pembentukan kita berusaha agar tidak bertentangan (dengan UUD 1945).” Ini artinya pada waktu pembentukan UU beliau sudah mempunyai keyakinan tertentu bahwa RUU yang masih dalam proses pembentukan sudah sesuai dengan UUD 1945. Lalu bagaimana mungkin beliau setelah menjadi Hakim Konstitusi langsung tiba-tiba dapat mengubah pendiriannya bahwa UU yang menjadi persoalan bertentangan dengan UUD 1945.
1.3 Bahwa Pemohon berpendirian seseorang seharusnya tidak menjadi hakim terhadap UU yang konstitusionalitasnya dipersoalkan , dimana dia terlibat secara langsung dalam proses pembentukannya. Bahwa dari awal beliau terlibat dalam perancangan UU Jaminan Produk Hal, beliau menyatakan dalam sidang pendahuluan dalam perkara No. 5/PUU-XV/2017 ini:
“Nah, sebetulnya di sana. Sebetulnya tidak hanya khusus untuk yang jalankan agamanya ini, ya, kebetulan kita capek-capek di rumah menyiapkannya, ya.”[3] (Cetak miring dari Pemohon sebagai penekanan).

Pada bagian lain dari Risalah beliau menyatakan:
Nah, kemudian ya disebut tadi syariat Islam sebagaimana yang diatur dalam undang-undang ini sebetulnya. Jadi, ya ada batasnya supaya tidak semua orang bisa menafsirkan. Tafsirnya ya di undang-undang ini, undang-undang inilah yang memberikan jaminan, pembatasan, serta koridor-koridornya.[4]
Boleh beliau berkelit ini begini itu begitu, tetapi intinya tetap. Jika RUU yang bersangkutan kandungannya tidak konstitusional maka beliau pasti tidak akan setuju RUU yang bersangkutan dimajukan dalam pembahasan di DPR. Lagi pula beliau sudah menyatakan bahwa UU Jaminan Produk Halal adalah tafsir atas syariat Islam. Walau terasa menggelikan, bagaimana UU dapat menjadi tafsir atas syariat, tetapi hal ini sudah merupakan indikasi kuat bahwa beliau tidak akan membiarkan UU Jaminan Produk Halal diusik karena UU ini merupakan tafsir atas syariat Islam.
1.4. Bahwa beliau sudah capek-capek menyiapkannya di rumah, pada awal, lalu di penghujung karier beliau selaku Dirjen Perundang-undangan, beliau terlibat langsung dalam pembahasan dengan DPR selaku wakil pemerintah. Pemohon benar-benar meragukan apakah beliau akan menyatakan bertentangan dengan UUD 1945 apa yang beliau sudah capek-capek menyiapkannya di rumah, apa yang sudah berupaya dibuatnya tidak bertentangan dengan UUD 1945, dan apa yang diperjuangkannya dengan sungguh-sungguh, walaupun beliau tidak sampai ikut dalam proses pensahan RUU di DPR tanggal 25 September 2014. Jadi beliau terlibat langsung dari A – Y (tidak sampai Z).
1.5 Bahwa beliau juga tidak hanya berkiprah dalam blantika perundang-undangan Indonesia. Beliau juga aktif di Majelis Ulama Indonesia, sebuah Majelis yang sampai dengan saat ini bertanggungjawab untuk menjalankan urusan sertifikasi halal.   Dalam profil beliau di situs web Mahkamah Konstitusi disebutkan bahwa:
“Apalagi, seorang Wahid yang terkesan pendiam ternyata juga gemar berorganisasi. Ia sempat aktif sebagai Ketua Dewan Perwakilan Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) selama tiga tahun. Selain itu, ia sempat menjadi anggota Dewan Penasihat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Ketua Bidang Wakaf dan Pertanahan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Wakil Sekretaris Dewan Pengawas Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), dan sejumlah organisasi lainnya.”[5]

Dalam profil beliau dalam situs web Badan Wakaf Indonesia ada tertulis:

Dalam organisasi, ia pernah menjabat Ketua Dewan Pengurus Pusat KNPI periode 1981 – 1984. Ia juga aktif sebagai anggota Majelis Pemuda Indonesia pada tahun 1987 – 1990. Di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, selain aktif mengajar ia juga menjabat sebagai Ketua Umum Ikatan Alumni UIN Fakultas Syariah dan Ketua Departemen Pembinaan SDM IKALUIN pusat. Saat ini, ia menjabat Ketua Lembaga Wakaf dan Pertanahan Nahdlatul Ulama (LWP-NU) periode 2004 – 2009, Wakil Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan MUI Pusat (2004 – 2009) dan juga Wakil Sekretaris Dewan Pertimbangan BAZNAS (2004 – 2009). Ia juga terlibat aktif dalam penyusunan naskah akademik, perancangan dan menjadi Tim Asistensi Pemerintah antara lain; dalam RUU peradilan agama, RUU Zakat, RUU Wakaf, RUU Perbankan Syariah, dan berbagai kegiatan penelitian lainnya.[6]
Perhatikan, beliau adalah Wakil Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan MUI Pusat (2004 – 2009). Pada waktu itulah RUU Jaminan Produk Halal ini digodok dan dimajukan ke DPR. Jadi keterlibatan beliau tidak hanya dari sudut pemerintah tetapi juga dari MUI yang memang bertanggungjawab dalam urusan Halal atau Haram. Sehingga hampir mustahil beliau akan dapat bersikap tidak memihak dalam perkara ini.
1.6  Bahwa tentu Yang Mulia Hakim Konstitusi Dr. Wahiduddin Adams tersebut hanya satu dari antara 9 Hakim Konstitusi. Kalaupun beliau tidak setuju dengan hakim yang lain, yang mungkin membenarkan dalil-dalil Pemohon,  beliau dapat membuat dissenting opinion. Itu benar. Namun persoalannya bukanlah dapat membuat dissenting opinion atau tidak, tetapi dari awal UU MK sudah meminta bahwa Hakim Konstitusi mempunyai kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27B yang sudah Pemohon kutip di atas. Dengan keterlibatan beliau dari A – Y dalam pembentukan UU Jaminan Produk Halal, beliau tidak akan dapat menjalankan kewajiban dalam Pasal 27B UU Mahkamah Konstitusi tersebut terutama kewajiban untuk menjatuhkan putusan secara objektif didasarkan pada fakta dan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
1.7 Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas Pemohon memohon agar Yang Mulia Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams tersebut tidak dilibatkan baik secara langsung atau tidak langsung dalam setiap proses perkara ini lagi.

2. Dr. Wahiduddin Adams, SH., MA tidak Memenuhi Syarat untuk jadi Hakim Konstitusi
2.1 Bahwa Pemohon membaca dalam situs web Mahkamah Konstitusi profil beliau itu dan setelah membaca selintas paragraf yang akan segera dikutip, Pemohon terkejut bahwa ternyata  beliau tidak memenuhi syarat untuk menjadi Hakim Konstitusi.  Paragraf yang dimaksud berbunyi:  
“Kemudian ia mengenyam ilmu Peradilan Islam, Fakultas Syariah di Institut Agama Islam Negeri Jakarta. Bak haus akan ilmu, Wahid tidak menghentikan pendidikannya sampai di situ. Ia melanjutkan sekolahnya sampai meraih gelar doktor di universitas yang sama. Wahid bahkan memparipurnakan pendidikannya dengan mengambil program S1 di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah demi meraih gelar SH (sarjana hukum) tahun 2005 setelah ia meraih gelar doktor.”[7]
Pemohon termenung, kok beliau itu bisa lolos seleksi jadi hakim konstitusi. Lalu, untuk memastikan, Pemohon me(m)-browse lebih jauh sampai ke dasar profil beliau dan tertulis, dalam bagian yang relevan,  sebagai berikut:
Pendidikan:
  • S-1 Peradilan Islam, Fakultas Syariah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta (1979)
  • De Postdoctorale Cursus Wetgevingsleer di Leiden, Belanda (1987)
  • S-2 Hukum Islam UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (1991)
  • S-3 Hukum Islam UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (2002)
  • S-1 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah, Jakarta (2005)
 Karier:
  • Koordinator Urusan Pembinaan Administrasi (Eselon IIB) pada Kantor Wilayah Departemen Kehakiman Sulawesi Tenggara (2001-2002)
  • Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan pada Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan, Departemen Hukum dan HAM RI (2002-2004)
  • Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan (Eselon IIA) pada Dirjen PPU, Departemen Hukum dan HAM RI (2004)
  • Direktur Fasilitasi Perencanaan Peraturan Daerah (Eselon IIA) pada Dirjen PPU, Departemen Hukum dan HAM RI (2004-2010)
  • Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan (Eselon IA) pada Kementerian Hukum dan HAM RI (2010-2014)
  • Dosen Mata Kuliah Ilmu Perundang-Undangan pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta (2002-sekarang)

2.2  Bahwa untuk menjadi seorang Hakim Konstitusi, Pasal 15 ayat (2) huruf b UU MK menentukan:
(2) Untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi, selain harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seorang calon hakim konstitusi harus memenuhi syarat:
a. ……
b. berijazah doktor dan magister dengan dasar sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum;
Apakah Yang Mulia Hakim Konstitusi Dr. Wahihuddin Adams tersebut mempunyai dasar sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum?
2.3 Bahwa dari Pasal 15 ayat (2) huruf b tersebut, Pemohon mendapatkan pemahaman bahwa “tidak setiap Sarjana Hukum yang bergelar doctor dan magister memenuhi syarat untuk menjadi Hakim Konstitusi.” Harus dilihat dulu, kapan dan dalam rangka apa sarjana hukumnya didapatkan, apakah langsung setelah tamat SMA, yang berarti “dasar sarjana yang berlatarbelakang pendidikan tinggi hukum” atau sesudah magister atau doctor. Banyak orang mempunyai dua atau lebih gelar akademik yang berbeda tetapi sederajat pada waktu bersamaan atau berdekatan. Agar dapat dikatakan “dasar sarjana berlatar pendidikan tinggi hukum”, ijazah Sarjana Hukum harus menjadi “tiket” untuk mendapatkan gelar magister dan doktor. Jika sesudah magister atau doctor seseorang meraih gelar sarjana hukum maka yang bersangkutan tidak memenuhi syarat untuk disebut “…. dengan dasar sarjana yang berlatar pendidikan tinggi hukum” dan dengan demikian tidak memenuhi syarat untuk  menjadi Hakim Konstitusi, sesuai Pasal 15 ayat (2) b UU Mahkamah Konstitusi tersebut.
2.3 Bahwa dari profil yang tersedia dalam situs web Mahkamah Konstitusi, dalam pemahaman Pemohon, Dr Wahiduddin Adams, dasar sarjananya bukan pendidikan tinggi hukum tetapi Ilmu Peradilan Islam dari Fakultas Syariah di Institut Agama Islam Negeri Jakarta. Ilmu Peradilan Islam, dalam pemahaman Pemohon, bukanlah atau tidak sama dengan ilmu hukum. Fakultas Syariah tidak sama dengan Fakultas Hukum dan Pendidikan Tinggi Ilmu Peradilan Islam tidak sama dengan Pendidikan Tinggi Hukum. Hal ini dapat dikonfirmasi dari gelar akademik. Jika dia dari pendidikan tinggi hukum maka gelarnya adalah Sarjana Hukum (SH). Kalau dari IAIN, Pemohon tidak tahu pasti tetapi, kalau tidak salah,  adalah S.Ag. Lagi pula, jika Ilmu Peradilan Islam sama dengan Ilmu Hukum atau jika Fakultas Syariah sama dengan Fakultas Hukum untuk apa beliau ikut kuliah hukum  lagi di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah.
2.4 Bahwa sebagaimana profil Dr. Wahiduddin Adams tersebut berbunyi lebih jauh, Pendidikan tinggi hukumnya berjalan bersamaan dengan upaya beliau meraih gelar doktor dan tujuan beliau  memasuki pendidikan tinggi hukum adalah untuk “memparipurnakan” pendidikannya. Jadi, pendidikan tinggi hukumnya bukan “dasar sarjana” dalam pengertian dari Pasal 15 ayat (2) huruf b tersebut tetapi “yang memparipurnakan pendidikannya”. Sementara secara tegas UU tersebut meminta “dasar sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum”. Artinya bahwa Dr. Wahiduddin Adams tersebut mendapatkan gelar magister dan doctor tidak terlebih dahulu menyelesaikan dasar sarjana berlatar belakang pendidikan tinggi hukum. Jadi ini terbalik, doktor dulu baru sarjana hukum dan karenanya tidak memenuhi persyaratan Undang-undang untuk menjadi Hakim Konstitusi. 
2.5 Bahwa jika Pemohon memperhatikan dari riwayat pendidikan hukum beliau, dimana beliau lulus doktor tahun 2002 dan sarjana hukum tahun 2005, ini dapat diartikan bahwa sambil beliau mengikuti pendidikan doktor/atau sedang dalam proses menyusun dissertasi  beliau juga mengikuti pendidikan tinggi hukum. Tidak disebutkan kapan beliau masuk di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah. Logisnya, beliau masuk di FHUM sebelum tahun 2002. Pemohon tidak tahu apakah sudah ada yang dapat menjadi sarjana hukum kurang dari tiga tahun. Pemohon merasakan bahwa menyelesaikan pendidikan tinggi hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia sangat sulit padahal waktu itu Pemohon hanya kuliah, lalu bagaimana beliau itu mempunyai kecakapan hukum yang mumpuni dengan pendidikan tinggi hukumnya dimana pada saat yang bersamaan beliau menempuh program pendidikan doktoral dalam bidang ilmu lain. Beliau juga adalah seorang Pegawai Negeri Sipil dengan jabatan yang tinggi (Pejabat eselon IIA), Direktur harmonisasi dan Direktur Fasilitasi pada saat menempuh pendidikan tinggi hukumnya. Pada tahun 2001 beliau ada di Sulawesi Tenggara. Disamping itu beliau juga aktif dalam organisasi seperti Majelis Ulama Indonesia dan Majelis Wakaf, Nahdlatul Ulama, dan juga dosen di almamaternya Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah sejak tahun 2002. Dengan sedemikian banyaknya aktivitas beliau, lalu, kapan beliau itu kuliah hukum? Kuliah hukum Strata 1 tidak sama dengan kuliah Strata 2 dan 3 hukum. Kuliah hukum Strata 1 lebih intens dalam hal menghadiri kuliah tatap muka, absennya harus benar, membuat makalah-makaalah dan ikut ujian mid semester serta akhir semester. Dalam kasus Dr. Wahiduddin Adams tersebut, yang super sibuk, apakah itu tidak berarti bahwa beliau membeli gelar Sarjana Hukum?
2.6 Bahwa memang jika diperhatikan penyebutan nama beliau dalam profil di situs web Mahkamah Konstitusi terlihat sepertinya tidak bermasalah. Tertulis disana Dr. Wahiduddin Adams, SH., MA. Pemohon mencoba menjelajah di Internet (surfing the Net) gelar yang beliau sandang dari “dasar sarjana berlatar belakang pendidikan tinggi ilmu peradilan Islam”-nya tidak pernah disebutkan. Pemohon tidak memahami apakah beliau merasa malu menyandang gelar S-1 dari IAIN tersebut dan merasa gelar beliau itu tidak pantas dipajang atau dipersandingkan dengan gelar-gelar akademik beliau yang lain atau atas alasan yang lain. JIka melihat nama tersebut dengan dihiasi gelar yang indah pastilah orang berpikir bahwa gelar SH beliau sudah memenuhi syarat untuk menjadi Hakim Konstitusi. Namun sebagaimana sudah Pemohon tunjukkan di atas, tidak demikian halnya.
2.7 Bahwa beliau tidak mempunyai dasar sarjana pendidikan tinggi hukum dapat dilihat dari pandangan beliau terhadap Permohonan Pemohon dalam sidang Pendahuluan tanggal 23 Januari 2014 yang menurut Pemohon sama sekali tidak nyambung, jauh panggang dari api. Pemohon memilih untuk tidak mengemukakannya dalam permohonan ini, dan sebaiknya dicermati dari Risalah Sidang Pendahuluan tersebut. Intinya adalah bahwa persyaratan hukum sebagaimana diatur dalam UU haruslah dipenuhi. Mahkamah Konstitusi tidak berada dalam posisi untuk menolak menjalankan undang-undang.
2.8 Bahwa lagi pula adalah sesuatu hal yang aneh jika 7 orang Yang Mulia Hakim Konstitusi (pasca pengunduran diri Sdr. Dr. Patrialis Akbar, SH.) yang lain harus duduk bersama dalam suatu persidangan sementara ada seorang Hakim Konstitusi yang tidak memenuhi syarat yang ditentukan dalam UU. Dengan adanya 8 Hakim Konstitusi juga sudah berlebih karena Mahkamah Konstitusi tidak dapat bersidang dengan 8 orang Hakim (jumlah harus ganjil). Dalam keadaan luar biasa, sesuai UU Mahkamah Konstitusi, MK bersidang pleno hanya dengan 7 orang hakim konstitusi. 
III.  PETITUM
Sesuai dengan dalil-dalil yang disebutkan di atas dan dengan mengingat bahwa Mahkamah Konstitusi sudah membatalkan UU No. 4 tahun 2014, dengan ini Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan Permohonan Pemohon untuk keseluruhannya dan memutuskan dan menyatakan:
1.  Menyatakan Mahkamah Konstitusi berwenang memeriksa dan memutus permohonan ini;
2.  Mengabulkan Permohonan Pemohon untuk keseluruhannya;
3. Menyatakan bahwa keraguan Pemohon akan sikap adil dan tidak memihak dan keraguan  akan dapat tidaknya Yang Mulia Hakim Konstitusi Dr. Wahiduddin Adams, SH., MA menjatuhkan putusan secara objektif didasarkan pada fakta dan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan dalam memutus perkara ini sangat  beralasan;
4.  Menyatakan bahwa untuk perkara PUU No. 5/PUU-XV/2017, Yang Mulia Hakim Konstitusi Dr. Wahiduddin Adams, SH., MA tidak dilibatkan lagi dalam setiap proses pemeriksaan dan berlaku surut sampai setelah berakhirnya sidang pendahuluan pertama tanggal 23 Januari 2017 dan dengan ini menutup segala akses menyangkut perkara No. 5/PUU-XV/2017 di Mahkamah Konstitusi untuk Yang Mulia Hakim Konstitusi Dr. Wahiduddin Adams, SH., MA tersebut;
5. Menyatakan Yang Mulia Hakim Konstitusi Dr. Wahiduddin Adams, SH., MA tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) huruf b Undang-Undang Mahkamah Konstitusi untuk menjadi Hakim Konstitusi dan, oleh karenanya, Dr. Wahiduddin Adams, SH., MA tersebut harus segera meninggalkan Mahkamah Konstitusi untuk kembali mengajar Ilmu Perundang-undangan di almamaternya dan tidak pernah lagi kembali ke Mahkamah Konstitusi; dan
6. Menyatakan bahwa proses hukum pasca putusan tentang tidak memenuhi syaratnya Yang Mulia Hakim Konstitusi Dr. Wahiduddin Adams, SH., MA sebagai Hakim Konstitusi akan diproses sesuai mekanisme yang berlaku, termasuk tetapi tidak terbatas pada proses pidana, dimana perlu.

Demikianlah Permohonan ini disampaikan kepada Yang Mulia Ketua Mahkamah Konstitusi untuk diproses dan mendapatkan hasil yang diinginkan sebagaimana dikemukakan di atas. Atas perhatian dan proses hukum yang adil di Mahkamah Konstitusi dalam perkara ini, Pemohon menghaturkan terima kasih tak berhingga.

Jakarta,    Februari  2017
Pemohon



Paustinus Siburian, SH. MH.


[1] Lihat Profil Dr. Wahiduddin Adams, SH., MA  di        terakhir dikunjungi tanggal 29 Januari 2017.
[2] Ibid.
[3] Lihat  RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 5/PUU-XV/2017, 23 Januari 2017, halaman 14.
[4] Ibid, Risalah halaman 15. Terlepas dari soal keakuratan mengenai tafsir syariat, patau dicatat tidak ada satu ketentuanpun dalam UUD 1945 dan UU yang relevan yang member wewenang kepada pembuat UU untuk menafsirkan syariat Islam, Jika sekiranyapun dipaksakan ada, akan aneh mengingat Yth Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat banyak non muslim, bagaimana mereka dapat menyusun tafsir atas syariat. Juga UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak ada menyebutkan tafsir atas syariat Islam sebagai materi muatan undang-undang.
[5] Profil Dr Wahiduddin Adams, SH., MA di situs web MK http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.ProfilHakim&id=671&menu=3. Dikunjungi terakhir pada 29 Januari 2017.
[6] Lihat Profil Dr Wahiduddin Adams dalam http://bwi.or.id/index.php/en/component/content/article/44drwahiduddin-adams-sh-ma  dikunjungi terakhir pada 29 Januari 2017.
[7] Prodil di MK.