Jumat, 27 Mei 2016

GUGATAN OOD: SOLUSI BAGI PEMERINTAH DAN PARA EKS TAPOL (PULAU BURU DAN LAIN-LAIN)



Pemerintah dihadapkan dengan berbagai tuntutan menyangkut peristiwa-peristiwa di masa lalu seperti soal G 30 S PKI, tahanan pulau Buru, dan banyak yang lain. Ada yang meminta pengungkapan peristiwa-peristiwa tersebut, ada yang meminta pemerintah mengajukan permintaan pada korban-korban dan keluarganya, rekonsiliasi, dan lain-lain. Mengenai pengungkjapan peristiwa dan pembongkaran makam tragedy 1965 berada di luar jangkauan tulisan ini. Mengenai permintaan maaf dari pemerintah Indonesia, saya pikir masih terlalu dini mengingat belum ada suatu putusan hukum mengenai bersalah tidaknya pemerintah Indonesia karena peristiwa-peristiwa tersebut . Demikian halnya amenyangkut rekonsiliasi, tidak jelas rekonsiliasi antara siapa dengan siapa atau antara pemerintah dengan kelompok mana atau individu mana.

Saya memberi batasan di awal bahwa yang saya kemukakan dalam tulisan ini untuk sekedar memberi jalan keluar apa yang harus diperbuat, baik oleh pemerintah maupun orang-orang yang menempatkan diri sebagai korban peristiwa masa lalu. Dalam hal ini adalah mereka yang ditahan tanpa proses hukum dan keluarganya harus menderita karena terkena label sebagai eks tapol. Pada masa pemerintahan orde baru hal ini sangat menyedihkan dimana keluarga dari para tahanan politik tidak berdaya dan seperti dicabut tulang-tulang dari dagingnya. Banyak orang ditangkap ditahan dan di buang ke pulau Buru sebagai akibat dari keputusan politik di masa lalu yang dieksekusi tanpa adanya keputusan hukum atau tanpa melalui putusan pengadilan.

Gugatan Perbuatan Melawan Hukum Oleh Penguasa (Onrechtmatige Overheids Daad (OOD))

Untuk memulihkan keadaan ini belum ditemukan formula yang tepat. Banyak yang berpendirian penyelesaian politik merupakan jalan untuk menyelesaikan persoalan ini. Saya hendak menawarkan dalam tulisan ini suatu penyelesaian hukum atas masalah-masalah ini, yaitu agar para eks tahanan politik dan keluarganya mengajukan   gugatan perbuatan melahwan hukum oleh penguasa (Onrechtmatige Overheids Daad atau OOD)  sesuai Pasal 1365 KUHPerdata terhadap pemerintah. Pokok gugatan adalah mempersoalkan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh penguasa waktu itu yang melakukan penangkapan dan penahanan dan penempatan di Pulau Buru atau tempat-tempat lain tanpa adanya putusan pengadilan dan melekatkan label eks tapol tanpa adanya putusan pengadilan mengenai bersalah tidaknya  serta menuntut ganti rugi kepada pemerintah atas perbuatan melawan hukum yang dilakukannya di masa lalu.

Dengan mengajukan hal ini  para eks Tapol secara individual atau secara bersama-sama dapat mengajukan gugatan perdata di pengadilan negeri yang relevan sesuai dengan tempat mereka ditangkap dan ditahan untuk memulihkan nama baiknya dan memulihkan hak-haknya sebagai warga Negara dan agar mereka tidak menjadi warga marginal di Negara Republik Indonesia ini. Masalah yang dihadapi tiap eks tapol tentu berbeda satu sama lain. Setahu saya juga tidak ada organisasi yang dapat menampung untuk mengajukan gugatan atas nama individu-individu eks tapol.  Biarlah Para Eks Tapol dan keluarganya berhadapan dengan pemerintah yang dalam hal ini diwakili para pengacara Negara (jaksa) di hadapan majelis  hakim yang akan memberi putusan apakah pemerintah melakukan perbuatan melawan hukum di masa lalu atau tidak dan jika melakukan perbuatan melawan hukum maka biar pengadilan menetapkan besaran ganti rugi terhadap eks tapol tersebut.

Dengan menyerahkan kepada pengadilan untuk membuat putusan menyangkut masalah-masalah tersebut maka para eks tapol pada permulaan dapat beranggapan bahwa mereka mempunyai hak yang sama di hadapan hukum untuk mengajukan gugatan.   Pengadilan, dengan menerima hak para eks tapol untuk mengajukan gugatan dan untuk didengar, tanpa terlebih dahulu mengetahui apakah putusannya akan menguntungkan penggugat, sudah dengan sendirinya memberikan pengakuan bahwa eks tapol adalah warga Negara juga. Soal apakah gugatannya dikabulkan atau tidak tentu bergantung pada dalil-dalil masing pihak juga yang harus didengar oleh para hakim, lalu ditimbang dan diputuskan. Bagi pemerintah, tentu hal ini juga akan melegakan. Pemerintah tidak perlu harus merasa bersalah tanpa adanya putusan pengadilan yang menyatakan bahwa pemerintah (di masa lalu) melakukan kesalahan  yang mengakibatkan kerugian bagi para eks tapol. Pemerintah juga tidak perlu meminta maaf atas apa yang dilakukan oleh penguasa di masa lalu.

Mengapa Gugatan Perdata
Saya sepakat bahwa peristiwa di masa lalu bukan soal Hak Azasi Manusia tetapi soal pertarungan ideology. Dengan demikian issu HAM tidak menarik perhatian saya dan karenanya tidak menawarkan solusi melalui penyelesaian pada pengadilan HAM. Persoalan di atas juga tidak dapat diajukan melalui pengadilan tata usaha Negara karena persoalan kompetensi dimana UU Tentang PTUN sudah mengeluarkan masalah yang berkaitan dengan hukum acara pidana dari kompetensi pengadilan TUN. Dari segi waktu juga hal ini tidak memungkinkan karena sudah ditentukan adanya tenggang waktu 90 hari sejak keputusan dibuat atau sesuai dengan batas waktu yang ditentukan dalam perundang-undangan. Dengan demikian maka jalan melalui PTUN tidak memungkinkan. Meskipun dalam KUHAP ada tempat untuk mempersoalkan sah tidaknya penahanan, rehabilitasi dan ganti rugi melalui gugatan pra peradilan tetapi KUHAP baru ada pada tahun 1981 sehingga tidak mengkover apa yang terjadi sebelumnya dan lagi pula persoalan tahanan politik sudah merupakan persoalan yang selesai dalam arti tidak ada proses hukum lanjutan dan tidak melalui proses yang diatur dalam KUHAP sehingga gugatan pra peradilan tidak memungkinkan.
Undang-undang menentukan bahwa pengadilan tidak boleh menolak perkara karena tidak ada hukum yang mengatur. Inilah hukumnya melalui gugatan OOD. Sarana hukum yang tersedia tinggal melalui gugatan perdata berupa gugatan perbuatan melawan hukum oleh penguasa.

Keputusan Politik
Untuk hal ini tentu pemerintah harus juga membuat keputusan politik untuk mempersilahkan para eks tapol dan keluarganya untuk mengajukan gugatan, menganggarkan uang ganti rugi dalam hal putusan pengadilan menyatakan pemerintah bersalah dan harus membayar ganti rugi, dan membebaskan biaya untuk pendaftaran perkara untuk mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum oleh penguasa.

Penutup
Saya tidak berpretensi bahwa jalan ini menjadi yang terbaik tetapi untuk saat ini memang inilah jalan terbaik menyangkut para eks tapol. Saya kebetulan tidak memahami soal-soal politik jadi tidak dapat melihat ada penyelesaian politik menyangkut hal ini. Jalan yang saya usulkan ini sudah barang tentu juga tidak menyelesaikan keseluruhan masalah menyangkut eks tapol, apalagi soal tragedy 1965. Ini hanya jalan untuk sedikit masalah. Jika pemerintah mempersilahkan pengajuan gugatan OOD ini juga sudah menandakan itikad baik dari pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini dan yang terpenting, pemerintah harus melakukan sesuatu untuk menyelesaiakan masalah ini.

Rabu, 25 Mei 2016

Sifat Hukum Uni Eropa



Setiap pertimbangan mengenai sifat hukum dari Uni Eropa harus mulai dengan melihat pada fitur karakteristiknya. Meskipun sifat hukum dari Uni Eropa ditentukan dalam dua putusan Mahkamah Eropa yang menjadi pada tahun 1963 dan 1964 yyang berkaitan dengan European Economic Community, putusan Mahkamah masih merupakan pegangan dalam menilai sifat hukum dari Uni Eropa.

VAN GEND & LOOS
Dalam kasus ini perusahaan transportasi Belanda Van Gend & Loos mengajukan gugatan sebagai perlawanan atas tindakan otoritas kepabeanan Belanda karena mengenakan suatu kewajiban impor atas suatu produk kimia dari Jerman yang lebih tinggi dari bea impor sebelumnya. Perusahaan mempertimbangkan bahwa hal ini merupakan pelanggaran terhadap Pasal 12 Traktat EEC, yang melarang pengenaan bea-bea impor baru atau setiap peningkatan dari bea yang ada yang sudah ditetapkan sebelumnya antara Negara-negara anggota. Pengadilan di Belanda lalu menangguhkan proses dan mengajukan persoalan ini pada Mahkamah Eropa untuk membuat klarifikasi mengenai lingkup dan implikasi hukum dari Pasal 12 Traktat EEC tersebut di atas.

Mahkamah Eropa menggunakan kasus ini sebagai suatu kesempatan untuk menentukan sejumlah observasi mengenai sifat fundamental atas sifat hukum dari Uni Eropa. Dalam putusannya, Mahkamah Eropa member pertimbangan berikut:
‘The objective of the EEC Treaty, which is to establish a common market, the functioning of which is of direct concern to interested parties in the Community, implies that this Treaty is more than an agreement which merely creates mutual obligations between the contracting States. This view is confirmed by the preamble to the Treaty, which refers not only to governments but to peoples. It is also confirmed more specifically by the establishment of institutions endowed with sovereign rights, the exercise of which affects Member States and also their citizens ... The conclusion to be drawn from this is that the Community constitutes a new legal order of international law for the benefit of which the States have limited their sovereign rights, albeit within limited fields, and the subjects of which comprise not only Member States but also their nationals.’
(“Tujuan dari Traktat EEC, yang adalah membentuk suatu pasar bersama, keberfungsian mana merupakan perhatian langsung pada kepentingan para pihak dalam Community, berimplikasi bahwa Traktat ini lebih dari sekedar perjanjian yang semata-mata menciptakan kewajiban-kewajiban bersama antara Negara-negara Penandatangan. Pandangan ini dikonfirmasi oleh Pembukaan pada Traktat, yang merujuk tidak hanya pada pemerintah-pemerintah tetapi juga pada rakyat. Hal itu juga dikonfirmasi secara lebih khusus oleh pembentukan institusi-institusi yang diberikan hak-hak berdaulat., pelaksanaan mana berdampak pada Negara-negara Anggota dan warga negaranya. .. Kesimpulan yang harus ditarik dari hal ini adalah bahwa Community menandakan suatu tatanan hukum barudari Hukum Internasional untuk manfaat pada mana Negara-negara telah membatasi hak-hak kedaulatannya, sekalipun dalam bidang-bidang terbatas, dan pokok-pokok mana terdiri dari tidak hanya Anggota tetapi juga warga negaranya.’)

COSTA v ENEL

Setahun setelah kasus di atas, Mahkamah Eropa mendapatkan kesempatan untuk untuk menjelaskan lebih jelas posisinya mengenai sifay  hukum dari Uni Eropa, yaitu dalam Costa v ENEL. Kasus ini bermula  dari tindakan pemerintah Italia yang melakukan nasionalisasi produksi dan distribusi listrik dan mengalihkan asset-asset perusahaan listrik kepada Badan Listrik Nasional ENEL. Sebagai pemegang saham dari Edison Volt, salah satu perusahaan yang dinasionalisasi, Mr Costa mempertimbangkan bahwa ia sangat dirugikan soal dividennya dan sesudahnya menolak membayar tagihan listrik untuk 1926. Dalam proses pada pengadilan arbitrase di Milan, salah satu dalil yang dikemukakan oleh Mr Costa untuk membenarkan tindakannya adalah bahwa tindakan menketentuan-ketentuan dalam Traktat EEC. Agar dapat  menilai pengahuan dari Mr Costa sebagai pembelaannya, pengadilan meminta Mahkamah Eropa untuk menafsirkan berbagai aspek dari Traktat EEC. Dalam putusannya Mahkamah menyatakan hal-hal berikut mengenai sifat hukum dari EEC:

‘By contrast with ordinary international treaties, the EEC Treaty has created its own legal system which ... became an integral part of the legal systems of the Member States and which their courts are bound to apply. By creating a Community of unlimited duration, having its own institutions, its own personality, its own legal capacity and capacity of representation on the international plane and, more particularly, real powers stemming from a limitation of sovereignty or a transfer of powers from the States to the Community, the Member States have limited their sovereign rights ... and have thus created a body of law which binds both their nationals and themselves.’
(“Secara berbeda dengan traktat-traktat internasional yang umum, Traktat EEC telah menciptakan system hukumnya sendiri yang….menjadi suatu bagian yang intergral dari system hukum para Anggota dan yang pengadilan-pengadilannya terikat untuk menerapkan. Dengan menciptakan suatu komunitas dengan jangka waktu yang tidak terbatas, mempunyai lembaga-lembaganya sendiri, kepribadiannya sendiri, kapasitas hukumnya sendiri dan kapasitas perwakilan pada tataran internasional dan, secara lebih khusus, kekuasaan nyata yang berasal dari suatu pembatasan kedaulatan atau pengalihaan kekuasaan dari Negara-Negara  kepada Komunitas, Negara-negara anggota telah membatasi hak-hak kedaulatan mereka…dan telah oleh karenanya menciptakan suatu tubuh hukum yang mengikat baik warga negaranya dan mereka sendiri.”)

Atas dasar observasi yang rinci, Mahkamah mencapai kesimpulan berikut:
 ‘It follows from all these observations that the law stemming from the Treaty, an independent source of law, could not, because of its special and original nature, be overridden by domestic legal provisions, however framed, without being deprived of its character as Community law and without the legal basis of the Community itself being called into question. The transfer by the States from their domestic legal system to the Community legal system of the rights and obligations arising under the Treaty carries with it a permanent limitation of their sovereign rights, against which a subsequent unilateral act incompatible with the concept of the Community cannot prevail.’
(‘Ia mengikuti dari semua penilaian ini bahwa hukum yang datang dari Traktat, sumber hukum yang independen, tidak dapat, karena sifat khusus dan aslinya, dicelakai oleh ketentuan-ketentuan hukum domestic, bagaimanapun dibingkai, tanpa kehilangan karakternya sebagai Hukum Komunitas dan tanpaa dasar hukum dari Komunitas itu sendiri yang melahirkan pertanyaan. Pengalihan oleh Negara-negara dari system hukum domestiknya pada system hukum Komunitas atas hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang timbul di bawah Traktat membawanya suatu pembatasan yang permanen atas hak-hak berdaulatnya, terhadap mana suatu tindakan unilateral yang kemudian tidak sesuai dengan konsep Komunitas tidak dapat menjadi utama’)

Sesuai dengan putusan-putusan di atas, unsure-unsur yang secara tipikal bersama mensifatkan sifat hukum khusus dari Uni Eropa adalah:
1.   Bangunan institusional, yang memastikan bahwa tindakan oleh Uni Eropa adalah juga dikarakteristikkan oleh kepentingan Eropa secara keseluruhan, dalam hal ini direfleksikan dan dipengaruhi oleh kepentingan Uni Eropa sebagaimana ditentukan dalam tujuannya;
2.   Pengalihan kekuasaan kepada institusi-institusi Uni Eropa pada tingkatan yang lebih tinggi dari organisasi-organisasi internasional lain, dan memperluas wilayah-wilayah pada mana Negara-negara biasanya memelihara hak-hak kedaulatannya;
3.   Pembentukan tatanan hukumnya sendiri yang adalah independen dari tatanan hukum Negara-negara anggota;
4.   Penerapan secara langsung hukum Uni Eropa, yang membuat ketentuan-ketentuan dari hukum Uni Eropa berlaku secara penuh dan seragam dalam semua Negara-negara Anggota dan memegang hak-hak dan mengenakan kewajiban-kewajiban pada keduanya Negara-negara anggota dan warga negaranya;
5.   Keutamaan dari hukum Uni Eropa, yang memastikan bahwa hukum Uni eropa tidak dapat dibatalkan atau diubah doleh hukum nasional dan bahwa dalam hal ada konflik antar norma hukum Uni Eropa menang atas hukum nasional.

Oleh karenanya Uni Eropa adalah suatu entitas yang otonom dengan hak-hak kedaulatannya sendiri dan suatu tatanan hukum yang independen dari Negara-negara anggota, pada mana keduanya Negara-negara anggota dan warga negaranya tunduk dalam wilayah kompetensi Uni Eropa.
Uni Eropa, sesuai sifatnya, mempunyai fitur-fitur tertentu yang sama dengan organisasi-organisasi internasional atau struktur federal, sebagaimana juga mempunya sejumlah perbedaan.

Uni Eropa sendiri belum merupakan suatu bentuk yang final. Ia masih sedang berproses dan bentuk akhir nantinya belum dapat diprediksi.

Satu-satunya fitur yang sama yang dimiliki Uni Eropa dengan organisasi-organisasi internasional yang lain adalah bahwa ia juga menjadi ada sebagai hasil dari suatu traktat internasional. Namun demikian, Uni Eropa telah bergerak sangat jauh dari permulaannya.Hal ini terjadi karena meskipun traktat-traktat pembentukan Uni Eropa didasarkan pada traktat-traktat internasional, traktat-traktat itu memimpin pada penciptaan Uni yang independen dengan hak-hak berdaulat dan tanggungjawab-tanggungjawabnya sendiri. Negara-negara anggota telah menyerahkan beberapa kekuasan berdaulatnya pada Uni ini. Sebagai tambahan, tugas-tugas yang telah diberikan pada Uni Eropa adalah sangat berbeda deari organisasi-organisasi internasional lain. Meskipun yang terakhir ini utamanya mempunya tugas-tugas yang secara teknis didefenisikan dengan jelas, Uni Eropa mempunyai wilayah-wilayah tanggungjawab yang bersama menandakan secara esensial atribut kenegaraan.  

Melalui perbedaan-perbedaan ini antara Uni Eropa dan tipe tradisional dari organisasi internasional, Uni Eropa sedang dalam proses untuk mendapatkan suatu status yang serupa dengan suatu Negara. Secara khusus, penyerahan hak-hak berdaulat sebagian telah dipandang sebagai suatu pertanda bahwa Uni Eropa berada segaris dengan Negara-negara federal.Namun pandangan ini tidak cocok karena institusi-institusi Uni Eropa hanya mempunyai kekuasaan dalam wilayah tertentu untuk mencapai tujuan yang ditentukan dalam traktat-traktat. Hal ini berarti bahwa mereka tidak bebas memilih tujuan-tujuannya sebagaimana suatu Negara; juga mereka tidak dalam posisi untuk memenuhi tantangan-tantangan nmegara-negara modern. Uni Eropa tidak mempunyai jurisdiksi yang komprehensif sebagaimana dinikmati Negara-negara-negara dan juga tidak mempunyai kekuasaan untuk menetapkan wilayah baru tanggungjawabnya (‘jurisdiction over jurisdiction’).

Oleh karenanya Uni Eropa bukanlah suatu organisasi internasional dalam pengertian umum dan juga bukan assosiasi Negara-negara tetapi suatu entitas yang otonom yang berada di suatu tempat antara organisasi internasional dan assosiasi Negara-negara. Dalam istilah yang diciptakan saat ini Uni Eropa adalah organisasi supra nasional.

Konstitusi Uni Eropa



Setiap organisasi social mempunyai konstitusi. Konstitusi merupakan cara dengan mana struktur dari system politik ditentukan, dalam hal ini hubungan antara berbagai bagian satu sama lain dan pada keseluruhannya yang ditentukan , tujuan-tujuan bersama didefenisikan dan aturan-aturan untuk membuat keputusan-keputusan yang mengikat diatur.
Konstitusi Uni Eropa, sebagai assosiasi dari Negara-negara pada mana tugas-tugas dan fungsi-fungsi yang benar-benar spesifik diberikan harus juga dapat menjawab pertanyaan sebagaimana halnya dengan konstitusi-konstitusi Negara-negara pada umumnya.

Pada Negara-negara anggota badan politik dibentuk melalui dua prinsip yaitu Rule of Law dan Demokrasi. Semua aktivitas dalam Uni, jika benar mereka menghormati dua persyaratan fundamental, yaitu rule of law dan demokrasi, harus oleh karenanya mempunyai legitimasi hukum dan demokrasi: Unsur-unsur pada mana mereka didirikan, strukturnya, kekuasaannya, cara beroperasinya, posisi dari Negara-negara anggota dan institusi-institusi mereka, dan posisi dari warga Negara.

Setelah kegagalan dalam traktat pembentukan Konstitusi untuk Eropa pada 29 Oktober 2004, Konstitusi Uni Eropa masih belum dibuat dalam suatu dokumen konstitusi yang komprehensif, karena ia kebanyakan dari konstitus-konstitusi Negara-negara Anggota, tetapi timbul dari totalitas aturan-aturan dan nilai-nilai fundamental dengan mana mereka yang berada dalam kekuasaan mengikatkan diri untuk tunduk. Aturan-aturan ini dapat ditemukan untuk sebagian dalam Traktat-traktat Eropa atau dalam instrument-instrumen hukum yang diproduksi oleh institusi-institusi Uni, tetapi juga dalam kebiasaan-kebiasaan.