Rabu, 13 Juli 2016

Catatan Kecil dari Putusan MA untuk Anas Urbaningrum



Saya membaca putusan MA No. No. 1261 K/Pid.Sus/2015 dalam perkara dengan Terdakwa Anas Urbaningrum. Dalam Putusan tersebut MA membenarkan permohonan Penuntut Umum agar memutuskan bahwa Terdakwa dalam perkara tersebut, yaitu Anas Urbaningrum, terbukti bersalah melakukan tindak pidana menurut Pasal 12a UU TIPIKOR  dalam dakwaan Kesatu Primer dan Pasal 3 UU TPPU Dakwaan Ketiga. Pengadilan TIPIKOR pada PN Jakpus dan PT Jakarta memutuskan bahwa Terdakwa tidak terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan Penuntut umum dalam Dakwaan Kesatu Primer dan Dakwaan Ketiga. Kedua pengadilan tersebut menyatakan Terdakwa terbukti melakukan perbuatan pidana sebagaimana didakwakan dalam Dakwaan Kesatu Subsidair dan Dakawaan Kedua (TPPU) dan menjatuhkan Pidana 8 tahun (pengadilan TIPIKOR pada PN Jakpus)  tetapi kemudian dikurangi oleh Pengadilan TIPIKOR pada PT Jakarta menjadi 7 tahun. Mahkamah Agung memutuskan bahwa Terdakwa dalam perkara tersebut terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan Tindak Pidana Korupsi menurut Dakwaan Kesatu Primer, Dakwaan Kedua dan Dakwaan Ketiga dan menjatuhkan pidana 14 tahun bagi terdakwa ditambah dengan pidana lain-lain.

Catatan:
1.   Menarik perhatian saya bahwa Pengadilan TIPIKOR pada PN Jakpus dan PT Jakarta memutuskan bersalah padahal dakwaan penuntut umum disusun secara kumulatif. Dakwaan kumulatif berarti bahwa semua dakwaan harus dibuktikan. Jika salah satu saja tidak terbukti maka keseluruhan dakwaan gugur.   Mengingat menurut kedua pengadilan ini Dakwaan ketiga tidak terbukti maka seharusnya Terdakwa dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan.  Namun pada kenyataannya ternyata kedua pengadilan menyatakan terbukti bersalah menurut dakwaan kesatu subsidair dan Dakwaan kedua dan menjatuhkan pidana.
Malangnya dalam permohonan kasasi, Terdakwa tidak mempersoalkan kekeliruan ini. Terdakwa mempersoalkan hal-hal yang tidak relevan dengan persoalan hukum dalam kasus tersebut. Sangat wajar jika kemudian MA menolak permohonan Kasasi yang diajukan oleh Terdakwa, karena sebagaimana dikatakan MA, kasasi terdakwa hanya pengulangan fakta yang sudah dikemukanan di dua pengadilan di bawah MA.
2.   Persoalan hukum juga mengapa MA dapat menyatakan bahwa dakwaan kesatu primer dan  dakwaan ketiga terbukti padahal dua pengadilan di bawahnya menyatakan bahwa dakwaan kesatu primer dan dakwaan ketiga tidak terbukti. Tampak disini MA tidak professional menghormati pengadilan di bawahnya yang adalah penguji fakta (trier of facts);
3.   Jika sebagaimana di sebut pada butir 2 di atas, MA menempati kursi dari pengadilan di bawahnya tetapi sayangnya MA tidak melakukan pemeriksaan terhadap unsure-unsur dari pasal-pasal yang didakwakan pada dakwaan kesatu primer dan dakwaan ketiga;
4.   Perkara TPPU sesungguhnya masih terus menghantui. Apakah Perkara TPPU dapat diadili tanpa mengadili soal tindak pidana asal. Dalam beberapa putusan seperti dalam perkara dengan terdakwa Wa Ode Nurhayati, Luthfi Hasan Ishaaq, Akil Mochtar dan Joko Susilo, MA konsisten menyatakan bahwa Perkara TPPU dapat diperiksa tanpa membuktikan terlebih dahulu tindak pidana asal. Alasan hukum yang dikemukakan oleh MA, tampak bagi saya, agak konyol. Pembacaan yang teliti terhadap UU TPPU menyarankan bahwa perkara TPPU tidak berdiri sendiri. Tindak Pidana asal justru harus ada. Tanpa tindak pidana asal tidak ada tindak pidana pencucian uang. Tidak perlu mencuci uang (TPPU) tanpa adanya uang kotor (tindak pidana asal).
Tentu untuk menunjukkan hal ini dibutuhkan keahlian hukum yang mumpuni. Ini agak rumit tetapi pasti ada yang mampu menunjukkan bahwa MA keliru dalam putusan-putusannya.
5.   Tentu banyak hal yang bersifat tekhnis hukum yang harus dilihat sebagai kekeliruan yang nyata yang sudah mulai terjadi di tahapan awal sebelum penyidikan sampai dengan kasasi di MA, mulai dari alat bukti sampai cara-cara MA mengadili perkara yang menyimpang jauh dari UU. Saking banyaknya saya menduga ulasan terhadapnya dapat melebihi jumlah lembaran kertas putusan MA dalam perkara Irjen Joko Susilo yang lebih dari 1700 lembar dan tentu tidak cukup layak dibahas dalam suatu catatan ringkas seperti tulisan ini. Kesemua itu merupakan alasan untuk mengajukan Peninjauan Kembali dalam perkara ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar